Selamat Datang di Blog Wijaya Kusumah

Untuk Pelayanan Informasi yang Lebih Baik, maka Isi Blog Wijaya Kusumah juga tersedia di blog baru di http://wijayalabs.com

Sabtu, 01 Desember 2007

MEDIA PEMBELAJARAN

MEDIA PEMBELAJARAN
Oleh : Wijaya Kusumah

Pengertian media pembelajaran

Kata media berasal dari kata medium yang secara harfiah artinya perantara atau pengantar. Banyak pakar tentang media pembelajaran yang memberikan batasan tentang pengertian media. Menurut EACT yang dikutip oleh Rohani (1997 : 2) “media adalah segala bentuk yang dipergunakan untuk proses penyaluran informasi”. Sedangkan pengertian media menurut Djamarah (1995 : 136) adalah “media adalah alat bantu apa saja yang dapat dijadikan sebagai penyalur pesan guna mencapai Tujuan pembelajaran”.

Selanjutnya ditegaskan oleh Purnamawati dan Eldarni (2001 : 4) yaitu :
“media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa sedemikian rupa sehingga terjadi proses belajar”.

a. Jenis – jenis Media pembelajaran
Banyak sekali jenis media yang sudah dikenal dan digunakan dalam penyampaian informasi dan pesan – pesan pembelajaran. Setiap jenis atau bagian dapat pula dikelompokkan sesuai dengan karakteristik dan sifat – sifat media tersebut. Sampai saat ini belum ada kesepakatan yang baku dalam mengelompokkan media. Jadi banyak tenaga ahli mengelompokkan atau membuat klasifikasi media akan tergantung dari sudut mana mereka memandang dan menilai media tersebut.
Penggolongan media pembelajaran menurut Gerlach dan Ely yang dikutip oleh Rohani (1997 : 16) yaitu :
1. Gambar diam, baik dalam bentuk teks, bulletin, papan display, slide, film strip, atau overhead proyektor.
2. Gambar gerak, baik hitam putih, berwarna, baik yang bersuara maupun yang tidak bersuara.
3. Rekaman bersuara baik dalam kaset maupun piringan hitam.
4. Televisi
5. Benda – benda hidup, simulasi maupun model.
6. Instruksional berprograma ataupun CAI (Computer Assisten Instruction).

Penggolongan media yang lain, jika dilihat dari berbagai sudut pandang adalah sebagai berikut :
1. Dilihat dari jenisnya media dapat digolongkan menjadi media Audio, media Visual dan media Audio Visual.
2. Dilihat dari daya liputnya media dapat digolongkan menjadi media dengan daya liput luas dan serentak, media dengan daya liput yang terbatas dengan ruang dan tempat dan media pengajaran individual.
3. Dilihat dari bahan pembuatannya media dapat digolongkan menjadi media sederhana (murah dan mudah memperolehnya) dan media komplek.
4. Dilihat dari bentuknya media dapat digolongkan menjadi media grafis (dua dimensi), media tiga dimensi, dan media elektronik.

b. Manfaat media pembelajaran
Media pembelajaran sebagai alat bantu dalam proses belajar dan pembelajaran adalah suatu kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri keberadaannya. Karena memang gurulah yang menghendaki untuk memudahkan tugasnya dalam menyampaikan pesan – pesan atau materi pembelajaran kepada siswanya. Guru sadar bahwa tanpa bantuan media, maka materi pembelajaran sukar untuk dicerna dan dipahami oleh siswa, terutama materi pembelajaran yang rumit dan komplek.
Setiap materi pembelajaran mempunyai tingkat kesukaran yang bervariasi. Pada satu sisi ada bahan pembelajaran yang tidak memerlukan media pembelajaran, tetapi dilain sisi ada bahan pembelajaran yang memerlukan media pembelajaran. Materi pembelajaran yang mempunyai tingkat kesukaran tinggi tentu sukar dipahami oleh siswa, apalagi oleh siswa yang kurang menyukai materi pembelajaran yang disampaikan.
Secara umum manfaat media pembelajaran menurut Harjanto (1997 : 245) adalah :
1) Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu verbalistis ( tahu kata – katanya, tetapi tidak tahu maksudnya)
2) Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera.
3) Dengan menggunakan media pembelajaran yang tepat dan bervariasi dapat diatasi sikap pasif siswa.
4) Dapat menimbulkan persepsi yang sama terhadap suatu masalah.

Selanjutnya menurut Purnamawati dan Eldarni (2001 : 4) yaitu :

1) Membuat konkrit konsep yang abstrak, misalnya untuk menjelaskan peredaran darah.
2) Membawa obyek yang berbahaya atau sukar didapat di dalam lingkungan belajar.
3) Manampilkan obyek yang terlalu besar, misalnya pasar, candi.
4) Menampilkan obyek yang tidak dapat diamati dengan mata telanjang.
5) Memperlihatkan gerakan yang terlalu cepat.
6) Memungkinkan siswa dapat berinteraksi langsung dengan lingkungannya.
7) Membangkitkan motivasi belajar
8) Memberi kesan perhatian individu untuk seluruh anggota kelompok belajar.
9) Menyajikan informasi belajar secara konsisten dan dapat diulang maupun disimpan menurut kebutuhan.
10) Menyajikan informasi belajar secara serempak (mengatasi waktu dan ruang)
11) Mengontrol arah maupun kecepatan belajar siswa.


c. Prinsip - prinsip memilih media pembelajaran
Setiap media pembelajaran memiliki keunggulan masing – masing, maka dari itulah guru diharapkan dapat memilih media yang sesuai dengan kebutuhan atau tujuan pembelajaran. Dengan harapan bahwa penggunaan media akan mempercepat dan mempermudah pencapaian tujuan pembelajaran.
Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemilihan media pembelajaran, yaitu :
1) Harus adanya kejelasan tentang maksud dan tujuan pemilihan media pembelajaran. Apakah pemilihan media itu untuk pembelajaran, untuk informasi yang bersifat umum, ataukah sekedar hiburan saja mengisi waktu kosong. Lebih khusus lagi, apakah untuk pembelajaran kelompok atau individu, apakah sasarannya siswa TK, SD, SLTP, SMU, atau siswa pada Sekolah Dasar Luar Biasa, masyarakat pedesaan ataukah masyarakat perkotaan. Dapat pula tujuan tersebut akan menyangkut perbedaan warna, gerak atau suara. Misalnya proses kimia (farmasi), atau pembelajaran pembedahan (kedokteran).
2) Karakteristik Media Pembelajaran. Setiap media pembelajaran mempunyai karakteristik tertentu, baik dilihat dari keunggulannya, cara pembuatan maupun cara penggunaannya. Memahami karakteristik media pembelajaran merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki guru dalam kaitannya pemilihan media pembelajaran. Disamping itu memberikan kemungkinan pada guru untuk menggunakan berbagai media pembelajaran secara bervariasi
3) Alternatif Pilihan, yaitu adanya sejumlah media yang dapat dibandingkan atau dikompetisikan. Dengan demikian guru bisa menentukan pilihan media pembelajaran mana yang akan dipilih, jika terdapat beberapa media yang dapat dibandingkan.
Selain yang telah penulis sampaikan di atas, prinsip pemilihan media pembelajaran menurut Harjanto (1997 : 238) yaitu:
Tujuan, Keterpaduan (validitas),Keadaan peserta didik, Ketersediaan,Mutu teknis, Biaya
Selanjutnya yang perlu kita ingat bersama bahwa tidak ada satu mediapun yang sifatnya bisa menjelaskan semua permasalahan atau materi pembelajaran secara tuntas.

METODE PENELITIAN

Metode Penelitian

Metode penelitian adalah teknik-teknik ilmiah dalam pengumpulan data untuk pemecahan masalah
Penelitian pendidikan adalah cara yang didapatkan orang untuk menyelesaikan masalah dalam pendidikan
Masalah penelitian adalah hal-hal yg terdapat di dalam masyarakat sehingga memungkinkan untuk dilakukan penelitian Contoh : Kesenjangan di langan dengan harapan-harapan
Desain penelitian adalah suatu uraian tentang prosedur yang akan digunakan dalam pengujian hipotesis

Sumber-sumber pengetahuan :
Pengalaman pribadi yang dialami
Otoritas/wewenang diterima dari org yg berkuasa/berwenang/dihormati
Institusi / Ilham adalah kemampuan khusus yg dimiliki seseorang tentang kemampuan melihat kejadian yang akan terjadi
Eksporato adalah pengetahuan yg tdk dapat dilihat prosesnya tapi sdh terjadi mis : cerita tentang pemberontakan G.30 S PKI

Cara berpikir deduktif adalah pengetahuan yg didapat dari cara berpikir yg bertolak berdasarkan kenyataan, yaitu dari umum ke khusus
contoh :
Semua planet mengelilingi matahari
Bumi mengelilingi matahari

Cara berpikir induktif adalah pengetahuan yg didapat dari cara berpikir yg berdasarkan fakta2 yg terjadi berdasarkan pengamatan di lapangan, yaitu dari khusus ke umum
Contoh :
Kelinci mempunyai paru-paru
Maka semua kelinci mempunyai paru-paru

Metode ilmiah merupakan gabungan dari pendekatan induktif dan deduktif

Langkah-langkah metode ilmiah :
Identifikasi masalah
Perumusan masalah
Pembatasan masalah
Kesimpulan masalah

MENGUPAS TUNTAS PENELITIAN TINDAKAN KELAS

MENGUPAS TUNTAS PENELITIAN TINDAKAN KELAS
(Upaya Guru untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran melalui PTK)

A. PENDAHULUAN
Belajar adalah merupakan suatu proses kontinyu yang tiada pernah berhenti sepanjang hayat masih dikandung badan. Keinginan untuk belajar merupakan suatu peristiwa alami. Manusia selalu ingin mengetahui hal baru, atau menggali hal baru, apakah itu pengetahuan, keterampilan atau apapun. satu hal penting yang pelru kita catat bahwa belajar terjadi dari peristiwa mengalami (melihat, mendengar, merasakan, mencoba, melakukan, dan seterusnya). Setiap orang, dalam setiap detik dalam hidupnya akan mengalami sesuatu dan dari setiap pengalaman tersebut terdapat hikmah alias “inspirasi”. Orang yang belajar ternyata adalah orang yang pandai mengambil hikmah (inspirasi) dari setiap apa yang ia alami dalam setiap tarikan nafasnya.

B. APAKAH PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK) ITU?
Pertanyaan di atas tentu akan menggelitik kita. Betapa tidak, bila kita bicara tentang penelitian, anggapan orang mengatakan penelitian itu pekerjaan seorang ilmuwan. Kalau sudah bicara tentang ilmuwan, maka gambaran yang terbersit dalam kacamata kita adalah pastilah sukar, rumit alias susah binti sulit. Benarkah demikian ? Mengapa sebagian guru merasa penelitian itu sulit? Apakah penelitian itu memerlukan dana yang besar sehingga harus menunggu bantuan?
Selama ini, menulis karya ilmiah merupakan momok bagi para guru. Kurangnya budaya membaca menyebabkan guru kurang dapat menulis dengan baik. Padahal, menulis itu dimulai dari banyak membaca. Kalau sudah banyak membaca, tentunya guru akan tertarik untuk meneliti. Penelitian dimulai dari adanya masalah. Masalah dapat dipecahkan bila kita melakukan penelitian. Penelitian dapat dilakukan bila adanya upaya dari guru untuk memperbaiki kualitas pembelajarannya di sekolah.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri dengan jalan merencanakan, melaksanakan, dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat disebut Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Masalah PTK harus berawal dari guru itu sendiri yang berkeinginan memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajarannya di sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
PTK atau Classroom action research (CAR) adalah action research yang dilaksanakan oleh guru di dalam kelas. Penelitian Tindakan pada hakikatnya merupakan rangkaian “riset-tindakan-riset-tindakan-riset-tindakan…”, yang dilakukan secara siklus, dalam rangka memecahkan masalah, sampai masalah itu terpecahkan. Ada beberapa jenis Penelitian Tindakan, dua di antaranya adalah individual action research dan collaborative action research (CAR). Jadi CAR bisa berarti dua hal, yaitu classroom action research dan collaborative action research; dua-duanya merujuk pada hal yang sama. Penelitian Tindakan termasuk penelitian kualitatif walaupun data yang dikumpulkan bisa saja bersifat kuantitatif. Penelitian Tindakan atau Action research berbeda dengan penelitian formal, yang bertujuan untuk menguji hipotesis dan membangun teori yang bersifat umum (general). Action research lebih bertujuan untuk memperbaiki kinerja, sifatnya kontekstual dan hasilnya tidak untuk digeneralisasi. Namun demikian hasil action research dapat saja diterapkan oleh orang lain yang mempunyai latar belakang yang mirip dengan yang dimiliki peneliti. Perbedaan antara penelitian formal dengan classroom action research disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 1. Perbedaan antara Penelitian Formal dengan Classroom Action Research
Penelitian Formal
Classroom Action Research
Dilakukan oleh orang lain
Dilakukan oleh guru itu sendiri
Sampel harus representative
Kerepresentatifan sampel tidak diperhatikan
Instrumen harus valid dan reliabel
Instrumen yang valid dan reliabel tidak diperhatikan
Menuntut penggunaan analisis statistic
Tidak diperlukan analisis statistik yang rumit
Mempersyaratkan hipotesis
Tidak selalu menggunakan hipotesis
Mengembangkan teori
Memperbaiki praktik pembelajaran secara langsung

Dalam PTK, guru harus bertindak sebagai pengajar sekaligus peneliti. Fokus penelitian berupa kegiatan pembelajaran. Guru adalah orang yang paling akrab dengan kelasnya dan biasanya interaksi yang terjadi antara guru-siswa berlangsung secara unik. Keterlibatan guru dalam berbagai kegiatan kreatif dan inovatif yang bersifat pengembangan mempersyaratkan guru untuk mampu melakukan PTK di kelasnya. Guru pun mempunyai hak otonomi untuk menilai sendiri kinerjanya. Metode paling utama adalah merefleksikan diri dengan tetap mengikuti kaidah-kaidah penelitian yang sudah baku dan bukan tradisional. Dari berbagai pengalaman penelitian, temuan penelitian tradisional terkadang sangat sukar diterapkan untuk memperbaiki pembelajaran di sekolah. Karena itu arahan atau petunjuk untuk melakukan PTK dan sumber dananya sangat diperlukan oleh para guru.
Sehubungan hal itu, Fasli Jalal (2006) dalam makalahnya berjudul "Peningkatan Mutu Pendidikan" mengatakan bahwa; "Pada tahun 2007 pemerintah telah memprogramkan tiga kegiatan utama peningkatan profesional guru berkelanjutan berkolaborasi dengan LPTK dan menyediakan dana block grant untuk itu, yakni kegiatan; (1) penelitian tindakan kelas (PTK) bagi 3.837 guru dengan alokasi dana sebesar Rp. 13.653.600.000,-; (2) bimbingan karya tulis ilmiah bagi 10.000 guru dengan alokasi dana sebesar Rp. 50.000.000.000,-; dan (3) pertemuan ilmiah guru, baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional. Pemerintah juga memberikan hak cuti kepada guru yang akan melaksanakan kegiatan penelitian dan penulisan buku pelajaran”.

C. MANFAAT PTK BAGI GURU
Manfaat PTK bagi guru sangat banyak sekali Diantaranya adalah membantu guru memperbaiki mutu pembelajaran, meningkatkan profesionalitas guru, meningkatkan rasa percaya diri guru, memungkinkan guru secara aktif mengembangkan pengetahuan, dan keterampilannya. Namun demikian, PTK sebagai salah satu metode penelitian memiliki beberapa keterbatasan, yang diantaranya : validitasnya yang masih sering disangsikan, tidak dimungkinkan melakukan generalisasi karena sampel sangat terbatas, peran guru yang ‘one man show’ bertindak sebagai pengajar dan sekaligus peneliti sering kali membuat dirinya menjadi sangat repot (very busy).
Dengan melakukan PTK, guru menjadi terbiasa menulis, dan sangat baik akibatnya bila guru sekolah negeri atau PNS akan naik pangkat, khususnya dari gol. IVA ke IVB yang mengharuskan guru untuk menuliskan karya tulis. Begitu pun untuk guru sekolah swasta, PTK sangat penting untuk meningkatkan apresiasi, dan profesionalisme guru dalam mengajar. Apalagi dengan adanya program sertifikasi dari pemerintah.
Setiap hari guru menghadapi banyak masalah, seakan-akan masalah itu tidak ada putus-putusnya. Oleh karena itu guru yang tidak dapat menemukan masalah untuk PTK sungguh ironis. Merenunglah barang sejenak, atau mengobrollah dengan teman sejawat, Anda akan segera menemukan kembali seribu satu masalah yang telah merepotkan Anda selama ini.
Adanya masalah yang dirasakan sendiri oleh guru dalam pembelajaran di kelasnya merupakan awal dimulainya PTK. Masalah tersebut dapat berupa masalah yang berhubungan dengan proses dan hasil belajar siswa yang tidak sesuai dengan harapan guru atau hal-hal lain yang berkaitan dengan perilaku mengajar guru dan perilaku belajar siswa. Langkah menemukan masalah akan dilanjutkan dengan menganalisis dan merumuskan masalah, kemudian merencanakan PTK dalam bentuk tindakan perbaikan, mengamati, dan melakukan refleksi. Namun demikian harus dapat dibedakan antara pengamatan dengan refleksi. Pengamatan lebih cenderung kepada proses, sedangkan refleksi merupakan perenungan dari proses yang sudah dilakukan.

D. SIKLUS PTK
Untuk melaksanakan PTK, dibutuhkan perencanaan (planning) yang matang setelah kita tahu ada masalah dalam pembelajaran kita. Perencanaan itu harus diwujudkan dengan adanya tindakan (acting) dari guru berupa solusi dari tindakan sebelumnya. Lalu kemudian diadakan pengamatan (observing) yang teliti tentang proses pelaksanaannya. Setelah diamati, barulah guru dapat melakukan refleksi (reflecting) dan dapat menyimpulkan apa yang telah terjadi dalam kelasnya.
Keempat langkah utama dalam PTK yaitu merencanakan, tindakan, mengamati, dan refleksi merupakan satu siklus dan dalam PTK siklus selalu berulang. Setelah satu siklus selesai, barangkali guru akan menemukan masalah baru atau masalah lama yang belum tuntas dipecahkan, dilanjutkan ke siklus kedua dengan langkah yang sama seperti pada siklus pertama. Dengan demikian, berdasarkan hasil tindakan atau pengalaman pada siklus pertama guru akan kembali mengikuti langkah perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi pada siklus kedua. Siklus yang baik, biasanya lebih dari dua siklus, dan waktu siklus yang baik lamanya sekitar enam bulan atau satu semester.
Keempat langkah dalam setiap siklus dapat digambarkan sebagai berikut :
Perencanaan
Tindakan
Pengamatan
Refleksi
Siklus I
Gambar Siklus PTK Model Kurt Lewin



Model Kurt Lewin menjadi acuan pokok atau dasar dari berbagai model action research, terutama classroom action research. Dialah orang pertama yang memperkenalkan action research. Konsep pokok action research menurut Kurt Lewin terdiri dari empat komponen, yaitu : (1) perencanaan (planning), (2) tindakan (acting), (3) pengamatan (observing), dan (4) refleksi (reflecting). Hubungan keempat komponen itu dipandang sebagai satu siklus. Model Kemmis & Taggart merupakan pengembangan dari konsep dasar yang diperkenalkan Kurt lewin seperti yang diuraikan di atas, hanya saja komponen acting dan observing dijadikan satu kesatuan karena keduanya merupakan tindakan yang tidak terpisahkan, terjadi dalam waktu yang sama. Tahap perencanaan PTK terdiri atas mengidentifikasi masalah, menganalisis dan merumuskan masalah, serta merencanakan perbaikan. Adapun tahapannya adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi dan Menetapkan Masalah
Selama mengajar kemungkinan guru menemukan berbagai masalah, baik masalah yang bersifat pengelolaan kelas, maupun yang bersifat instruksional. Meskipun banyak masalah, ada kalanya guru tidak sadar kalau dia mempunyai masalah. Atau masalah yang dirasakan guru kemungkinan masih kabur sehingga guru perlu merenung atau melakukan refleksi agar masalah tersebut menjadi semakin jelas. Oleh karena itu, kepala sekolah, atau teman sejawat perlu mendorong guru menemukan masalah atau dapat juga guru memulai dengan suatu gagasan untuk melakukan perbaikan kemudian mencoba memfokuskan gagasan tersebut. Guru tidak mungkin memecahkan semua masalah yang teridentifikasikan itu secara sekaligus, dalam suatu PTK. Masalah-masalah itu berbeda satu sama lain dalam hal kepentingan atau nilai strategisnya. Masalah yang satu boleh jadi merupakan penyebab dari masalah yang lain sehingga pemecahan terhadap yang satu akan berdampak pada yang lain; dua-duanya akan terpecahkan sekaligus.
Untuk dapat memilih masalah secara tepat guru perlu menyusun masalah-masalah itu berdasarkan kriteria tersebut: tingkat kepentingan, nilai strategis, dan nilai prerekuisit. Akhirnya seorang guru dapat memilih salah satu dari masalah-masalah tersebut, misalnya “Siswa tidak dapat melihat hubungan antara mata pelajaran yang satu dengan yang lain.”
Masalah pembelajaran dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu (a) pengorganisasian materi pelajaran, (b) penyampaian materi pelajaran, dan (c) pengelolaan kelas. Jika Anda sebagai guru berfikir bahwa pembahasan suatu topik dari segi sejarah dan geografi secara bersama-sama akan lebih bermakna bagi siswa daripada pembahasan secara sendiri-sendiri, Anda sedang berhadapan dengan masalah pengorganisasian materi. Jika Anda suka dengan masalah metode dan media, sebenarnya Anda sedang berhadapan dengan masalah penyampaian materi. Apabila Anda menginginkan kerja kelompok antar siswa berjalan dengan lebih efektif, Anda berhadapan dengan masalah pengelolaan kelas. Jangan terikat pada satu kategori saja; kategori lain mungkin mempunyai masalah yang lebih penting untuk dimunculkan. Untuk melakukan hal ini, guru dapat merenungkan kembali apa yang telah dilakukan. Jika guru rajin membuat catatan-catatan kecil pada akhir setiap pembelajaran yang dikelolanya, maka ia akan dengan mudah menemukan masalah yang dicarinya. Agar mampu merasakan dan mengungkapkan adanya masalah, maka seorang guru dituntut jujur pada diri sendiri dan melihat pembelajaran yang dikelolanya sebagai bagian penting dari dunianya. Setelah mengetahui permasalahan, selanjutnya melakukan analisis dan merumuskan masalah agar dapat dilakukan tindakan (acting). Dalam PTK, semua masalah harus berada dalam kendali guru dan bukan orang lain.. Guru harus dapat mengendalikan semua masalah yang ada di kelasnya. Jika Anda sebagai guru yakin bahwa ketiadaan buku yang menyebabkan siswa sukar membaca kembali materi pelajaran dan mengerjakan PR di rumah, Anda tidak perlu melakukan PTK untuk meningkatkan kebiasaan belajar siswa di rumah. Dengan dibelikan buku masalah itu akan terpecahkan, dan itu di luar kemampuan Anda. Dengan perkataan lain yakinkan bahwa masalah yang akan Anda pecahkan cukup layak (feasible), berada di dalam wilayah pembelajaran, yang Anda kuasai. Contoh lain masalah yang berada di luar kemampuan Anda adalah: Kebisingan kelas karena sekolah berada di dekat jalan raya. Masalah yang dibahas pun jangan terlalu besar, misalnya Nilai Ujian Nasional (UN) yang tetap rendah dari tahun ke tahun merupakan masalah yang terlalu besar untuk dipecahkan melalui PTK, apalagi untuk PTK individual yang cakupannya hanya kelas. Faktor yang mempengaruhi Nilai UN sangat kompleks mencakup seluruh sistem pendidikan. Pilihlah masalah yang sekiranya mampu untuk Anda pecahkan. Masalah pun jangan terlalu kecil. Masalah yang terlalu kecil baik dari segi pengaruhnya terhadap pembelajaran secara keseluruhan maupun jumlah siswa yang terlibat sebaiknya dipertimbangkan kembali, terutama jika penelitian itu dibiayai oleh pihak lain. Sangat lambatnya dua orang siswa dalam mengikuti pelajaran Anda misalnya, termasuk masalah kecil karena hanya menyangkut dua orang siswa; sementara masih banyak masalah lain yang menyangkut kepentingan sebagian besar siswa.
Contoh permasalahan PTK : Ibu Netty seorang guru sejarah menemukan rendahnya motivasi sebagian besar siswa untuk menjawab pertanyaan atau siswa sering tidak dapat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru di kelasnya. Kesulitan siswa memahami bacaan secara cepat merupakan contoh lain dari masalah yang cukup besar dan strategis karena diperlukan bagi sebagian besar mata pelajaran. Semua siswa memerlukan keterampilan itu, dan dampaknya terhadap proses belajar siswa cukup besar. Sukarnya siswa berkonsentrasi dalam mengikuti pelajaran, dan ketidaktahuan siswa tentang ‘belajar bagaimana belajar’ merupakan contoh PTK lainnya dari masalah yang cukup besar dan strategis. Dengan demikian pemecahan masalah akan memberi manfaat yang besar dan jelas. Akhirnya seorang harus merasa memiliki dan senang terhadap masalah yang diteliti. Hal itu diindikasikan dengan rasa penasaran guru terhadap masalah itu dan keinginan guru untuk segera tahu hasil-hasil setiap perlakukan yang diberikan. Apakah terjadi perubahan ataukah tidak. Di dalam melakukan PTK, jangan mencari-cari masalah hanya karena Anda sebagai guru ingin mempunyai masalah yang berbeda dengan orang lain. Pilihlah masalah yang masuk di akal dan nyata (riil), ada dalam pekerjaan Anda sehari-hari dan memang problematik (memerlukan pemecahan, dan jika ditunda dampak negatifnya cukup besar). Masalah yang dikupas dalam PTK adalah masalah yang benar-benar terjadi dalam proses pembelajaran di kelas dan bukan rekayasa guru.
2. Menganalisis dan Merumuskan Masalah
Terkadang secara tidak sadar guru telah melakukan PTK, yakni ketika guru melakukan evaluasi, menganalisis hasil evaluasi, dan tindak lanjutnya. Jika masalah sudah ditetapkan, maka masalah ini perlu dianalisis dan dirumuskan. Mengapa demikian? Tujuannya adalah agar guru paham akan hakikat masalah yang dihadapi, terutama apa yang menyebabkan terjadinya masalah tersebut. Perumusan masalah didapatkan dari berbagai masalah yang timbul dalam proses pembelajaran di kelas, lalu pilihlah masalah yang akan dikupas sesuai dengan kerangka teoritis yang dimiliki.
Untuk mengetahui penyebabnya, setiap masalah harus dianalisis, dengan mengacu kepada kerangka teoritis dan pengalaman yang relevan sehingga guru dapat merencanakan pelaksanaan tindakan. Misalnya, untuk menganalisis penyebab contoh permasalahan Ibu Netty yang mengajar sejarah, guru dapat mengacu kepada teori keterampilan bertanya, dan mencari penyebabnya dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut : 1) Apakah rumusan pertanyaan yang dibuat guru sejarah sudah cukup jelas dan singkat? 2) Apakah guru sejarah memberikan waktu yang cukup untuk berpikir sebelum meminta siswa menjawab?
Jika setelah dianalisis, kedua pertanyaan di atas dijawab dengan ya, tentu harus dicari penyebab lainnya, misalnya : apakah penjelasan guru sejarah cukup jelas bagi siswa, apakah bahasa yang digunakan guru sejarah mudah dipahami, dan apakah ketika menjelaskan guru sejarah memberikan contoh-contoh. Jika umpamanya kedua pertanyaan di atas dijawab tidak, maka kita sudah dapat jawaban sementara, yaitu penyebab siswa tidak dapat menjawab pertanyaan guru adalah karena pertanyaan yang diajukan guru sejarah tidak jelas dan sering panjang dan berbelit-belit, serta guru tidak memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir. Jika ini yang dianggap sebagai penyebab, maka guru sejarah dapat merencanakan tindakan perbaikan, yaitu dengan menyusun pertanyaan tersebut secara cermat, serta berusaha memberikan waktu untuk berpikir sebelum meminta siswa menjawab pertanyaan. Menganalisis dan merumuskan masalah bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Diperlukan kecermatan guru dalam menganalisis dan merumuskan masalah. Masalah yang dirumuskan harus menjadi bahan dalam penulisan laporan PTK.
3. Merencanakan Tindakan Perbaikan
Berdasarkan rumusan masalah (juga mencakup penyebab timbulnya masalah), guru mencoba mencari cara untuk memperbaiki atau mengatasi masalah tersebut. Dengan perkataan lain, dalam langkah ini, guru merancang tindakan perbaikan yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Untuk merancang suatu tindakan perbaikan, guru dapat : (1) mengacu kepada teori yang relevan, (2) bertanya kepada ahli terkait, dan (3) berkonsultasi dengan teman sejawat. Ahli terkait mungkin ahli pembelajaran, mungkin pula ahli bidang studi atau pembelajaran bidang studi. Rencana tindakan perbaikan dituangkan dalam rencana pembelajaran. Mari kita ambil kasus ibu Netty lagi, yaitu masalah pertanyaan guru yang tidak terjawab oleh siswa. Hasil analisis menunjukkan bahwa pertanyaan yang disusun guru terlampau panjang dan kurang jelas. Di samping itu, guru sering langsung meminta jawaban setelah mengajukan pertanyaan, dan kadang-kadang langsung mengarahkan pertanyaan ini pada siswa tertentu, sehingga siswa yang lain tidak memperhatikan pertanyaan tersebut. Akibatnya, hampir selalu pertanyaan tidak terjawab dan Ibu Netty sering harus menjawab pertanyaannya sendiri atau melupakan pertanyaan tersebut. Dari hasil analisis tersebut, penyebab pertanyaan Ibu Netty yang tidak terjawab adalah: Pertanyaan Ibu Netty terlampau panjang dan tidak jelas Ibu Netty tidak memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir dan Ibu Netty sering mengajukan pertanyaan dengan menunjuk kepada siswa tertentu. Apabila dikaji secara cermat ternyata ketiga penyebab tersebut berkaitan dengan pembelajaran, dalam hal ini keterampilan dasar mengajar, yaitu keterampilan bertanya. Oleh karena itu, tindakan perbaikan yang harus dilakukan guru adalah meningkatkan keterampilan bertanya. Tindakan perbaikan ini kita cantumkan dalam rencana pembelajaran yang kita gunakan dalam mengajar. Satu hal yang sangat perlu kita perhatikan adalah bahwa PTK dilakukan dalam pembelajaran biasa, tidak ada kelas khusus untuk melakukan PTK karena pada hakikatnya PTK dilakukan oleh guru sendiri di kelasnya sendiri. Contoh PTK lainnya adalah: “Jika diberi pelajaran dengan pendekatan terpadu antara geografi, ekonomi, dan sejarah siswa merasa sukar mentransfer keterampilan dari satu pelajaran ke pelajaran lain. Pelajaran yang guru berikan adalah geografi, tetapi guru sering mengaitkan pembahasan dengan mata pelajaran lain seperti ekonomi dan sejarah. Ketika guru meminta siswa mengemukakan hipotesis tentang pengaruh Danau Toba terhadap perkembangan ekonomi daerah, siswa terasa sangat bingung; padahal mereka telah dapat mengemukakan hipotesis dengan baik dalam mata pelajaran geografi. Guru khawatir siswa hanya menghafal pada saat dilatih mengemukakan hipotesis. Padahal dalam kehidupan sehari-hari keterampilan berhipotesis harus dapat diterapkan di mana saja dan dalam bidang studi apa saja. Pada hakikatnya setiap hari kita mengemukakan hipotesis. Ketidakbisaan siswa itu terjadi sepanjang tahun, tidak hanya pada permulaan tahun ajaran. Kelihatannya semua siswa mengalami hal yang sama, termasuk siswa yang cerdas. Guru lain ternyata juga mengalami hal yang sama, siswanya sukar mentransfer suatu keterampilan ke mata pelajaran lain.” Karena itu, di dalam PTK, guru perlu juga berkolaborasi dengan guru lainnya. Tidak ada yang lebih menakutkan daripada kesendirian. Dalam PTK guru perlu bertukar fikiran dengan guru mitra lainnya dari mata pelajaran sejenis atau guru lain yang lebih senior dalam menentukan dan menyelesaikan masalah pembelajaran.
E. BAGAIMANA MELAKSANAKAN PTK DI SEKOLAH?
Dengan melihat contoh kasus Ibu Netty, tindakan pertama adalah implementasi serangkaian kegiatan pembelajaran seperti yang telah direncanakan untuk mengatasi masalah. Karena penyebab pertanyaan Ibu Netty yang sering tidak terjawab sudah diketahui, maka tindakan yang harus dilakukannya adalah : (1) Membuat pertanyaan secara jelas dan tidak terlampau panjang. (2) Pertanyaan ditujukan kepada seluruh siswa. (3) Memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir dulu sebelum menjawab. Dalam tahap pelaksanaan tindakan, guru berperan sebagai pengajar dan pengumpul data, baik melalui pengamatan langsung, maupun melalui telaah dokumen, bahkan juga melalui wawancara dengan siswa setelah pembelajaran selesai. Guru juga dapat meminta bantuan kolega guru lainnya untuk melakukan pengamatan selama guru melakukan tindakan perbaikan. Selama proses belajar akan dilakukan observasi menyangkut aktivitas siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Antara lain, bagaimana kualitas jawaban siswa dan apakah motivasi siswa menjawab pertanyaan guru meningkat?.Apakah hasil belajar siswa meningkat? Data yang dikumpulkan selama tindakan berlangsung kemudian dianalisis. Berdasarkan hasil analisis ini guru melakukan refleksi, yaitu guru mencoba merenungkan atau mengingat dan menghubung-hubungkan kejadian dalam interaksi kelas, mengapa itu terjadi, dan bagaimana hasilnya. Hasil refleksi akan membuat guru menyadari tingkat keberhasilan dan kegagalan yang dicapainya dalam tindakan perbaikan. Hasil refleksi ini merupakan masukan bagi guru dalam merencanakan dan melaksanakan tindakan perbaikan berikutnya. Refleksi pertama dapat dilakukan oleh guru bersama siswa dengan tujuan untuk mengkaji dan menganalisis pelaksanaan tindakan pada siklus pertama dengan jalan mengidentifikasi baik kemajuan-kemajuan yang telah diperoleh maupun kekurangan-kekurangan atau hambatan-hambatan yang masih dihadapi. Kemudian, setelah mendapat persetujuan dari kedua belah pihak hasil refleksi tersebut digunakan untuk memperbaiki rencana tindakan pada siklus kedua atau siklus berikutnya Refleksi yang dilakukan pada akhir siklus pertama bertujuan untuk meng-identifikasi baik kemajuan-kemajuan yang telah diperoleh maupun kekurangan-kekurangan atau hambatan-hambatan yang masih dihadapi. Hasil refleksi ini kemudian digunakan untuk memperbaiki rencana tindakan pada siklus kedua atau berikutnya. Tindakan kedua berupa implementasi serangkaian kegiatan pembelajaran yang telah direvisi untuk mengatasi masalah pada siklus pertama yang belum tuntas. Selama proses belajar pada siklus kedua ini juga akan dilakukan observasi menyangkut aktivitas siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Refleksi kedua juga dilakukan oleh guru bersama siswa bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis pelaksanaan tindakan pada siklus kedua dengan jalan mengidentifikasi baik kemajuan-kemajuan yang telah diperoleh maupun kekurangan-kekurangan atau hambatan-hambatan yang masih dihadapi.
Berdasarkan hasil refleksi tersebut dapat disimpulkan berhasil tidaknya keseluruhan tindakan implementasi pembelajaran di dalam kelas terhadap peningkatan hasil belajar siswa. Apabila pada siklus kedua tujuan PTK sudah dapat tercapai, maka tidak perlu dilanjutkan siklus berikutnya. Tetapi apabila tujuan belum tercapai, maka perlu dilanjutkan siklus berikutnya. Kemudian, setelah mendapat persetujuan dari kedua belah pihak hasil refleksi tersebut digunakan untuk memperbaiki rencana tindakan pada siklus ketiga. Guru dapat membuat jurnal atau catatan seluruh kegiatan PTK yang telah dilakukannya. Catatan tersebut dapat digunakan untuk menyusun suatu karya ilmiah yang dapat disebarluaskan menjadi suatu inovasi, dan dapat dimanfaatkan oleh guru-guru lainnya dalam melaksanakan PTK.
Adapun siklusnya dapat digambarkan dengan gambar sebagai berikut :
Siklus I

Pengamatan
(Observing)
PERUBAHAN
Refleksi
(Reflecting)
Tindakan
(Acting)
Perencanaan
(Planning)
Siklus II

Pengamatan
(Observing)
Refleksi
(Reflecting)
Tindakan
(Acting)
Perencanaan
(Planning)
Contoh PTK dengan 2 Siklus Model Kurt Lewin








F. IMPLEMENTASI PTK DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) memiliki potensi yang sangat besar untuk meningkatkan pembelajaran apabila diimplementasikan dengan baik dan benar. Diimplementasikan dengan baik di sini berarti pihak yang terlibat (guru) mencoba dengan sadar mengembangkan kemampuan dalam mendeteksi dan memecahkan masalah-masalah pendidikan dan pembelajaran melalui tindakan bermakna yang diperhitungkan dapat memecahkan masalah atau memperbaiki situasi dan kemudian secara cermat mengamati pelaksanaannya untuk mengukur tingkat keberhasilannya. Diimplementasikan dengan benar berarti sesuai dengan kaidah-kaidah penelitian tindakan.
Tulisan ini membahas bagaimana implementasi penelitian tindakan kelas untuk peningkatan kualitas pembelajaran yang mencakup diagnosis dan penetapan masalah yang ingin diselesaikan, bentuk dan skenario tindakan, pengembangan instrumen untuk mengukur keberhasilan tindakan, serta prosedur analisis dan interpretasi data penelitian.
A. Diagnosis dan Penetapan Masalah Masalah PTK yang ada di sekolah hendaknya berasal dari persoalan-persoalan praktis yang dihadapi guru di kelas. Oleh karena itu, diagnosis masalah hendaknya tidak dilakukan oleh orang lain yang bukan guru, lalu ”ditawarkan” kepada orang lain yang bukan guru untuk dipecahkan tetapi sebaiknya justru dilakukan bersama-sama oleh sesama guru. Pada kenyataannya seorang guru dapat mengajak guru lainnya, di luar bidang studinya untuk berkolaborasi melakukan PTK dan menanyakan masalah-masalah apa yang dihadapi guru yang mungkin dapat diteliti melalui PTK. Guru yang telah berpengalaman melakukan penelitian tindakan kelas mungkin dapat langsung mengatakan permasalahan yang dihadapinya yang mungkin dapat diteliti bersama dan kemudian membahas masalah tersebut dengan guru lainnya yang lebih senior.
Lain halnya dengan guru yang belum berpengalaman dalam PTK. Guru tersebut mungkin belum dapat secara langsung mengemukakan permasalahan yang mungkin dapat diteliti bersama guru lainnya. Dalam hal ini guru perlu meminta izin kepada guru yang bersangkutan untuk hadir di kelas dan mengamati guru mengajar. Setelah pembelajaran berakhir guru senior atau teman sejawat dapat terlebih dahulu menanyakan kepada guru masalah apa yang dirasakan guru pada saat pembelajaran sebelum mengusulkan salah satu permasalahan yang dipikirkan guru. Guru boleh mengajukan permasalahan kepada guru lainnya, bila guru tidak dapat mendeteksi adanya masalah di kelasnya.
Di dalam mendiagnosis masalah untuk PTK ini guru harus ingat bahwa tidak semua topik penelitian dapat diangkat sebagai topik PTK. Hanya masalah yang dapat “dikembangkan berkelanjutan” dalam kegiatan harian selama satu semester atau satu tahun yang dapat dipilih menjadi topik. “Dikembangkan berkelanjutan” berarti bahwa setiap waktu tertentu, misalnya 2 minggu atau satu bulan, rumusan masalahnya, atau hipotesis tindakannya, atau pelaksanaannya sudah perlu diganti atau dimodifikasi.
Dalam kegiatan di kelas, guru dapat mencermati masalah-masalah apa yang dapat dikembangkan berkelanjutan ini dalam empat bidang yaitu yang berkaitan dengan bidang pengelolaan kelas, proses kegiatan belajar-mengajar, pengembangan/penggunaan sumber-sumber belajar, maupun sebagai wahana peningkatan personal dan profesional. PTK yang dikaitkan dengan pengelolaan kelas dapat dilakukan dalam rangka: 1) meningkatkan kegiatan belajar-mengajar, 2) meningkatkan partisipasi siswa dalam belajar, 3) menerapkan pendekatan belajar-mengajar inovatif, dan 4) mengikutsertakan pihak ketiga dalam proses belajar-mengajar. PTK yang dikaitkan dengan proses belajar mengajar dapat dilakukan dalam rangka: 1) menerapkan berbagai metode mengajar, 2) mengembangkan kurikulum, 3) meningkatkan peranan siswa dalam belajar, dan 4) memperbaiki metode evaluasi. PTK yang dikaitkan dengan pengembangan/penggunaan sumber-sumber belajar dapat dilakukan dalam rangka pengembangan pemanfaatan 1) model atau peraga, 2) sumber-sumber lingkungan, dan 3) peralatan tertentu. PTK sebagai wahana peningkatan personal dan profesional dapat dilakukan dalam rangka 1) meningkatkan hubungan antara siswa, guru, dan orang tua, 2) meningkatkan “konsep diri” siswa dalam belajar, 3) meningkatkan sifat dan kepribadian siswa, serta 4) meningkatkan kompetensi guru secara profesional.
Dari sekian banyak kemungkinan masalah, guru perlu mendiagnosis masalah apa atau masalah mana yang perlu diprioritaskan pemecahannya dalam penelitian yang akan dilakukan bersama itu. Penetapan masalah hendaknya dilakukan bersama oleh guru setelah menganalisis seluruh pilihan masalah, minat, dan keinginan guru untuk memecahkan salah satu atau beberapa di antaranya.
Penetapan masalah ini ditandai dengan penentuan permasalahan yang akan diteliti dan perumusan fokus masalahnya. Rumusan fokus masalah yang mungkin ditetapkan bersama antara guru dapat berupa rumusan sebagai berikut: Bagaimana membelajarkan siswa dengan materi tertentu agar siswa mau dan mampu belajar? Masalah-masalah lain yang mungkin dihadapi guru dapat berupa: Bagaimana meningkatkan minat dan motivasi siswa untuk belajar? yang “ideal” itu dapat meningkatkan antusiasme siswa sehingga mereka sepertinya “tidak sabar” menunggu-nunggu datangnya jam pelajaran yang dibina oleh guru tersebut; Bagaimana mengajak siswa agar di kelas mereka benar-benar aktif belajar (aktif secara mental maupun fisik, aktif berpikir)? Bagaimana menghubungkan materi pembelajaran dengan lingkungan kehidupan siswa sehari-hari agar mereka dapat menggunakan pengetahuan dan pemahamannya mengenai materi itu dalam kehidupan sehari-hari dan tertarik untuk mempelajarinya karena mengetahui manfaatnya? Bagaimana memilih strategi pembelajaran yang paling tepat untuk membelajarkan materi? Bagaimana melaksanakan pembelajaran kooperatif?
Striger (2004) memberikan arahan untuk memfokuskan penelitian dengan jelas setelah melakukan refleksi mengenai apa yang terjadi yang memunculkan masalah dan apa isu serta peristiwa yang terkait dengan masalah. Isu atau masalah itu harus dinyatakan dalam bentuk pertanyaan yang dapat diteliti dan diidentifikasi tujuan meneliti masalah tersebut.
§ Isu atau topik yang ingin diteliti
Definisikan apa isu atau peristiwa yang menimbulkan permasalahan.
§ Masalah penelitian:
Nyatakan isu sebagai suatu masalah. Rumusan masalah: Tuliskan masalah dalam bentuk pertanyaan yang dapat dipahami.
§ Manfaat Penelitian:
Deskripsikan apa yang diharapkan dapat diperoleh dengan meneliti masalah ini. Misalnya dipilih masalah sebagai berikut: Isu : Siswa kurang aktif di kelas, cenderung tidak pernah mengajukan pertanyaan dalam pembelajaran. Guru sering memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya tetapi hampir tidak ada siswa yang bertanya. Masalah : Siswa perlu digalakkan untuk aktif dalam kelas, aktif secara utuh (sedapat mungkin ”hands on” atau ”minds on”, bahkan juga kalau mungkin ”hearts on”).
Fokus masalah: Bagaimana meningkatkan partisipasi siswa dalam kelas? Rumusan masalah PTK yang lengkap biasanya berupa suatu pertanyaan dalam bentuk ”Masalah apa yang terjadi di kelas, bagaimana upaya mengatasinya, apa tindakan yang dianggap tepat untuk itu, di kelas, dan sekolah mana hal itu terjadi?”Contoh fokus masalah (rumusan masalah yang belum dilengkapi dengan tindakan dan lokasi penelitian): Bagaimana peningkatan partisipasi siswa dalam kelas, baik secara ”hands on”, ”minds on” maupun ”hearts on” ?
§ Tujuan penelitian:
Merupakan jawaban terhadap masalah penelitian. Contoh tujuan (yang belum dilengkapi dengan tindakan dan lokasi penelitian): Meningkatkan partisipasi siswa dalam kelas, baik secara ”hands on”, ”minds on” maupun ”hearts on”.
Setelah ditetapkan fokus masalah seperti itu guru berdiskusi dengan guru lainnya untuk mengadakan gagas pendapat mengenai tindakan apa saja yang dapat dipilih untuk memecahkan masalah.
B. Bentuk dan Skenario Tindakan Gagas pendapat mengenai tindakan apa saja yang dapat memecahkan masalah yang dihadapi akan menghasilkan banyak alternatif tindakan yang dapat dipilih. Guru perlu membahas bentuk dan macam tindakan (atau tindakan-tindakan) apa yang kira-kira paling dikehendaki untuk dicoba dan dilaksanakan dalam kelas. Bentuk dan macam tindakan ini kemudian dimasukkan dalam judul usulan penelitian yang akan disusun guru. Tindakan yang dipilih dapat disebutkan sebagai suatu nama tindakan (misalnya penugasan siswa membaca materi pelajaran 10 menit sebelum pembelajaran) atau dalam bentuk penggunaan salah satu bentuk media pembelajaran (misalnya penggunaan peta konsep, penggunaan lingkungan sekitar sekolah, penggunaan sungai, dan seterusnya), atau dapat pula dalam bentuk suatu strategi pembelajaran. Bagaimana tindakan tersebut akan dilaksanakan dalam PTK perlu direncanakan dengan cermat. Perencanaan pelaksanaan tindakan ini dituangkan dalam bentuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau dalam bentuk Skenario Pembelajaran.

C. Pengembangan Instrumen untuk Mengukur Keberhasilan Tindakan Instrumen yang diperlukan dalam penelitian tindakan kelas (PTK) haruslah sejalan dengan prosedur dan langkah PTK. Instrumen untuk mengukur keberhasilan tindakan dapat dipahami dari dua sisi yaitu sisi proses dan sisi hal yang diamati. Dari sisi proses (bagan alirnya), instrumen dalam PTK harus dapat menjangkau masalah yang berkaitan dengan input (kondisi awal), proses (saat berlangsung), dan output (hasil). a. Instrumen untuk input Instrumen untuk input dapat dikembangkan dari hal-hal yang menjadi akar masalah beserta pendukungnya. Misalnya: akar masalah adalah bekal awal/prestasi tertentu dari peserta didik yang dianggap kurang. Dalam hal ini tes bekal awal dapat menjadi instrumen yang tepat. Di samping itu, mungkin diperlukan pula instrumen pendukung yang mengarah pada pemberdayaan tindakan yang akan dilakukan, misalnya: format peta kelas dalam kondisi awal, buku teks dalam kondisi awal, dst. b. Instrumen untuk proses Instrumen yang digunakan pada saat proses berlangsung berkaitan erat dengan tindakan yang dipilih untuk dilakukan. Dalam tahap ini banyak format yang dapat digunakan. Akan tetapi, format yang digunakan hendaknya yang sesuai dengan tindakan yang dipilih. c. Instrumen untuk output Adapun instrumen untuk output berkaitan erat dengan evaluasi pencapaian hasil berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Misalnya: nilai 75 ditetapkan sebagai ambang batas peningkatan (pada saat dilaksanakan tes bekal awal, nilai peserta didik berkisar pada angka 50), maka pencapaian hasil yang belum sampai pada angka 75 perlu untuk dilakukan tindakan-tindakan lagi (pada siklus berikutnya). Selain dari sisi proses (bagan alir), instrumen dapat pula dipahami dari sisi hal yang diamati. Dari sisi hal yang diamati, instrumen dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu: instrumen untuk mengamati guru (observing teachers), instrumen untuk mengamati kelas (observing classroom), dan instrumen untuk mengamati perilaku siswa (observing students). a. Pengamatan terhadap Guru (Observing Teachers) Pengamatan merupakan alat yang terbukti efektif untuk mempelajari tentang metode dan strategi yang diimplementasikan di kelas, misalnya, tentang organisasi kelas, respon siswa terhadap lingkungan kelas, dsb. Salah satu bentuk instrumen pengamatan adalah catatan anekdotal (anecdotal record). Catatan anekdotal memfokuskan pada hal-hal spesifik yang terjadi di dalam kelas atau catatan tentang aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran. Catatan anekdotal mencatat kejadian di dalam kelas secara informal dalam bentuk naratif. Sejauh mungkin, catatan itu memuat deskripsi rinci dan lugas peristiwa yang terjadi di kelas. Catatan anekdotal tidak mempersyaratkan pengamat memperoleh latihan secara khusus. Suatu catatan anekdotal yang baik setidaknya memiliki empat ciri, yaitu: 1) pengamat harus mengamati keseluruhan sekuensi peristiwa yang terjadi di kelas, 2) tujuan, batas waktu dan rambu-rambu pengamatan jelas, 3) hasil pengamatan dicatat lengkap dan hati-hati, dan 4) pengamatan harus dilakukan secara objektif. Beberapa model catatan anekdotal yang diusulkan oleh Reed dan Bergermann (1992) dan dapat digunakan dalam PTK, antara lain: a) Catatan Anekdotal Peristiwa dalam Pembelajaran, b) Catatan Anecdotal Interaksi Guru-Siswa, c) Catatan Anekdotal Pola Pengelompokan Belajar, d) Pengamatan Terstruktur (Structured Observation), e) Lembar Pengamatan Model Manajemen Kelas, f) Lembar Pengamatan Keterampilan Bertanya, g) Catatan Anekdotal Aktivitas Pembelajaran, h) Catatan Anekdotal Membantu Siswa Berpartisipasi (Checklist for Routine Involving Students), dsb. b. Pengamatan terhadap Kelas (Observing Classrooms) Catatan anekdotal dapat dilengkapi sambil melakukan pengamatan terhadap segala kejadian yang terjadi di kelas. Pengamatan ini sangat bermanfaat karena dapat mengungkapkan praktik-praktik pembelajaran yang menarik di kelas. Di samping itu, pengamatan itu dapat menunjukkan strategi yang digunakan guru dalam menangani kendala dan hambatan pembelajaran yang terjadi di kelas. Catatan anekdotal kelas meliputi deskripsi tentang lingkungan fisik kelas, tata letaknya, dan manajemen kelas. Beberapa model catatan anekdotal kelas yang diusulkan oleh Reed dan Bergermann (1992) dan dapat digunakan dalam PTK, antara lain:a) Format Anekdotal Organisasi Kelas, b) Format Peta Kelas, c) Observasi Kelas Terstruktur, d) Format Skala Pengkodean Lingkungan Sosial Kelas, e) Lembar Cek Wawancara Personalia Sekolah, f) Lembar Cek Kompetensi dsb. c. Pengamatan terhadap Siswa (Observing Students). Pengamatan atau observasi terhadap perilaku siswa dapat mengungkapkan berbagai hal yang menarik. Masing-masing individu siswa dapat diamati secara individual atau berkelompok sebelum pembelajaran dimulai, saat berlangsungnya pembelajaran, dan sesudah usai pembelajaran. Perubahan pada setiap individu juga dapat diamati, dalam kurun waktu tertentu, mulai dari sebelum dilakukan tindakan, saat tindakan diimplementasikan, dan seusai tindakan diberikan. Dibutuhkan kejelian guru dalam proses pengamatan agar PTK berjalan baik. Beberapa model pengamatan terhadap perilaku siswa diusulkan oleh Reed dan Bergermann (1992) yang dapat digunakan dalam PTK, antara lain: a) Tes Diagnostik, b) Catatan Anekdotal Perilaku Siswa, c) Format Bayangan (Shadowing Form), d) Kartu Profil Siswa (Profile Card of Students), e) Grafik Deskripsi Profil Siswa, e) Sistem Koding Partisipasi Siswa, f) Inventori Kalimat tak Lengkap (Incomplete Sentence Inventory), g) Pedoman Wawancara untuk Refleksi (Interview Guide for Reflection), h) Sosiogram, dsb Adapun instrumen lain selain catatan anekdotal yang dapat digunakan dalam pengumpulan data PTK dapat berwujud: (1) Pedoman Pengamatan. Pengamatan partisipatif dilakukan oleh orang yang terlibat secara aktif dalam proses pelaksanaan tindakan. Pengamatan ini dapat dilaksanakan dengan pedoman pengamatan (format, daftar cek), catatan lapangan, jurnal harian, observasi aktivitas di kelas, penggambaran interaksi dalam kelas, alat perekam elektronik, atau pemetaan kelas (cf. Mills, 2004: 19). Pengamatan sangat cocok untuk merekam data kualitatif, misalnya perilaku, aktivitas, dan proses lainnya. Catatan lapangan sebagai salah satu wujud dari pengamatan dapat digunakan untuk mencatat data kualitatif, kasus istimewa, atau untuk melukiskan suatu proses. (2) Pedoman Wawancara Untuk memperoleh data dan atau informasi yang lebih rinci dan untuk melengkapi data hasil observasi, tim peneliti dapat melakukan wawancara kepada guru, siswa, atau kepala sekolah. Wawancara digunakan untuk mengungkap data yang berkaitan dengan sikap, pendapat, atau wawasan.Wawancara dapat dilakukan secara bebas atau terstruktur. Wawancara hendaknya dapat dilakukan dalam situasi informal, wajar, dan peneliti berperan sebagai mitra. Wawancara hendaknya dilakukan dengan mempergunakan pedoman wawancara agar semua informasi dapat diperoleh secara lengkap. Jika dianggap masih ada informasi yang kurang, dapat pula dilakukan secara bebas. Guru yang berkolaborasi dapat berperan pula sebagai pewawancara terhadap siswanya. Namun harus dapat menjaga agar hasil wawancara memiliki objektivitas yang tinggi. (3) Angket atau kuesioner Indikator untuk angket atau kuesioner dikembangkan dari permasalahan yang ingin digali. Angket dibuat oleh guru sendiri sesuai dengan masalah yang diteliti.(4) Pedoman Pengkajian Data dokumen Dokumen yang dikaji dapat berupa: daftar hadir, silabus, hasil karya peserta didik, hasil karya guru, arsip, lembar kerja dll. (5) Tes dan Asesment Alternatif Pengambilan data yang berupa informasi mengenai pengetahuan, sikap, bakat dan lainnya dapat dilakukan dengan tes atau pengukuran bekal awal atau hasil belajar dengan berbagai prosedur asesment. Instrumen ini dikembangkan pada saat penyusunan usulan penelitian atau setelah usulan penelitian disetujui untuk didanai dan dilaksanakan.
Keuntungannya bila instrumen dikembangkan pada saat penyusunan usulan adalah peneliti telah mempersiapkan diri lebih dini sehingga peneliti dapat lebih cepat mengimplementasikannya di lapangan. Pengukuran keberhasilan tindakan sedapat mungkin telah ditetapkan caranya sejak awal penelitian, demikian pula kriteria keberhasilan tindakannya. Keberhasilan tindakan ini disebut sebagai indikator keberhasilan tindakan. Indikator keberhasilan tindakan biasanya ditetapkan berdasarkan suatu ukuran standar yang berlaku. Misalnya: pencapaian penguasaan kompetensi sebesar 75% ditetapkan sebagai ambang batas ketuntasan belajar (pada saat dilaksanakan tes awal, nilai peserta didik berkisar pada angka 50), maka pencapaian hasil yang belum sampai 75% diartikan masih perlu dilakukan tindakan lagi (pada siklus berikutnya). D. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data Penelitian Dalam PTK, perhatian lebih kepada kasus daripada sampel. Hal ini berimplikasi bahwa metodologi yang dipakai lebih dapat diterapkan terhadap pemahaman situasi problematik daripada atas dasar prediksi di dalam parameter.
Kasus-kasus yang terjadi dalam pembelajaran di kelas dapat dipecahkan dengan cara guru melakukan PTK di kelasnya sendiri sehingga guru dapat memperbaiki kinerjanya dan menelaah manfaat dan dampaknya bagi peserta didik. 1. Analisis Data Penelitian. Tahap-tahap analisis data penelitian meliputi: a) validasi hipotesis dengan menggunakan teknik yang sesuai (saturasi, triangulasi, atau jika memang perlu uji statistik); b). interpretasi dengan acuan teori, menumbuhkan praktik, atau pendapat guru; c). tindakan untuk perbaikan lebih lanjut yang juga dimonitor dengan teknik penelitian kelas. Analisis dilakukan dengan menggunakan hasil pengumpulan informasi yang telah dilakukan dalam tahap pengumpulan data. Misalnya, dengan memutar kembali hasil rekaman proses pembelajaran dengan video tape recorder guru mengamati kegiatan mengajarnya dan membahas masalah-masalah yang menjadi perhatian penelitian bersama dengan guru lainnya.
Pada proses analisis dibahas apa yang diharapkan terjadi, apa yang kemudian terjadi, mengapa terjadi tidak seperti yang diharapkan, apa penyebabnya atau ternyata sudah terjadi seperti yang diharapkan, dan apakah perlu dilakukan tindaklanjut 2. Validasi Hipótesis Validasi hipotesis adalah diterima atau ditolaknya suatu hipotesis.Jika di dalam desain penelitian tindakan kelas diajukan hipotesis tindakan yang merupakan keyakinan terhadap tindakan yang akan dilakukan, maka perlu dilakukan validasi.
Validasi ini dimaksudkan untuk menguji atau memberikan bukti secara empirik apakah pernyataan keyakinan yang dirumuskan dalam bentuk hipotesis tindakan itu benar. Validasi hipotesis tindakan dengan menggunakan tehnik yang sesuai yaitu: saturasi, triangulasi dan jika perlu dengan uji statistik tetapi bukan generalisasi atas hasil PTK. Saturasi, apakah tidak ditemukan lagi data tambahan. Triangulasi, mempertentangkan persepsi seseorang pelaku dalam situasi tertentu dengan aktor-aktor lain dalam situasi itu, jadi data atau informasi yang telah diperoleh divalidasi dengan melakukan cek, recek, dan cek silang dengan pihak terkait untuk memperoleh kesimpulan yang objektif. 3. Interpretasi Data Penelitian Interpretasi berarti mengartikan hasil penelitian berdasarkan pemahaman yang dimiliki peneliti. Hal ini dilakukan dengan acuan teori, dibandingkan dengan pengalaman, praktik, atau penilaian dan pendapat guru. Hipotesis tindakan yang telah divalidasi dicocokkan dengan mengacu pada kriteria, norma, dan nilai yang telah diterima oleh guru dan siswa yang dikenai tindakan. 4. Penyusunan Laporan Penelitian Di Bab Hasil dan Pembahasan Penelitian dalam Laporan PTK pada umumnya peneliti terlebih dulu menyajikan paparan data yang mendeskripsikan secara ringkas apa saja yang dilakukan peneliti sejak pengamatan awal (sebelum penelitian) yaitu kondisi awal guru dan siswa diikuti refleksi awal yang merupakan dasar perencanaan tindakan siklus I, dilanjutkan dengan paparan mengenai pelaksanaan tindakan, hasil observasi kegiatan guru, observasi situasi dan kondisi kelas dan hasil observasi kegiatan siswa.
Paparan data itu kemudian diringkas dalam bentuk temuan penelitian yang berisi pokok-pokok hasil observasi dan evaluasi yang disarikan dari paparan data.Berikutnya berdasarkan temuan data dilakukan refleksi hasil tindakan siklus pertama yang dijadikan dasar untuk merencanakan tindakan untuk siklus kedua. Di sini dapat dibandingkan hasil siklus pertama dengan indikator keberhasilan tindakan siklus pertama yang telah ditetapkan berdasarkan refleksi awal. Paparan data siklus kedua juga lengkap mulai perencanaan, pelaksanaan, observasi dan evaluasi. Ringkasan paparan data dicantumkan dalam bentuk temuan penelitian. Temuan ini menjadi dasar refleksi tindakan siklus kedua, termasuk apakah perlu dilanjutkan dengan pelaksanaan tindakan untuk siklus ketiga. Peneliti dapat membandingkan hasil siklus kedua ini dengan indikator keberhasilan tindakan siklus kedua yang telah ditetapkan berdasarkan hasil refleksi tindakan siklus kesatu. Jadi prosedur analisis dan interpretasi data penelitian dilaksanakan secara deskriptif kualitatif dengan meringkas data (reduksi data), saturasi dan triangulasi. E. Desain Penelitian Tindakan Kelas
Penerapan desain atau model–model PTK seperti yang telah banyak dikemukakan dapat dilakukan untuk semua mata pelajaran, terutama mata pelajaran yang di dalamnya terdapat praktik. Untuk itu mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, bahasa inggris, Biologi, dan sebagainya juga dapat menerapkan salah satu desain. Apakah akan diterapkan tersebut model Kurt Lewin, model Kemmis & McTaggart, ataupun model yang lainnya? Hal ini bergantung kepada permasalahan yang dihadapi praktisi di lapangan ataupun bergantung pada pemahaman dan kemampuan para praktisi di lapangan terhadap suatu model PTK atau dalam menerapkan salah satu model PTK. Yang perlu mendapatkan perhatian dalam kaitannya dengan diterapkan suatu model PTK ialah bahwa terdapat langkah – langkah yang seharusnya diikuti oleh peneliti/guru, yaitu: 1) ide awal, 2) prasurvei/temuan awal, 3) diagnose, 4) perencanaan, 5) Implementasi tindakan, 6) Observasi, 7) Refleksi, 8) Laporan, dan kepada Siapa Hasil PTK dilaporkan.
1. Ide Awal Seseorang yang berkehendak melaksanakan suatu penelitian baik yang berupa penelitian positivisme, naturalistic, analisis isi maupun PTK pasti diawali dengan gagasan–gagasan atau ide–ide, dan gagasan itu dimungkinkan yang dapat dikerjakan atau dilaksanakan. Pada umumnya ide awal yang menggayut di PTK ialah terdapatnya suatu permasalahan yang berlangsung di dalam suatu kelas. Ide awal tersebut di antaranya berupa suatu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan penerapan PTK itu peneliti mau berbuat apa demi suatu perubahan dan perbaikan.
2. Prasurvei Prasurvei dimaksudkan untuk mengetahui secara detail kondisi yang terdapat di suatu kelas yang akan diteliti. Bagi pengajar yang bermaksud melakukan penelitian di kelas yang menjadi tanggung jawabnya tidak perlu melakukan prasurvai karena berdasarkan pengalamannya selama dia di depan kelas sudah secara cermat dan pasti mengetahui berbagai permasalahan yang dihadapinya, baik yang berkaitan dengan kemajuan siswa, sarana pengajaran maupun sikap siswanya. Dengan demikian para guru yang sekaligus sebagai peneliti di kelasnya sudah akan mengetahui kondisi kelas yang sebenarnya.
3. Diagnosis Diagnosis dilakukan oleh peneliti yang tidak terbiasa mengajar di suatu kelas yang dijadikan sasaran penelitian. Peneliti dari luar lingkungan kelas/sekolah perlu melakukan diagnosis atau dugaan–dugaan sementara mengenai timbulnya suatu permasalahan yang muncul di dalam satu kelas. Dengan diperolehnya hasil diagnosis, peneliti PTK akan dapat menentukan berbagai hal, misalnya strategi pengajaran, media pengajaran, dan materi pengajaran yang tepat dalam kaitannya dengan implementasinya PTK.
4. Perencanaan Di dalam penentuan perencanaan dapat dipisahkan menjadi dua, yaitu perencanaan umum dan perencanaan khusus. Perencanaan umum dimaksudkan untuk menyusun rancangan yang meliputi keseluruhan aspek yang terkait PTK. Sementara itu, perencanaan khusus dimaksudkan untuk menytusun rancangan dari siklus per siklus. Oleh karenya dalam perencanaan khusus ini tiap kali terdapat perencanan ulang (replanning). Hal–hal yang direncanakan di antaranya terkait dengan pendekatan pembelajaran, metode pembelajaran, teknik atau strategi pembelajaran, media dan materi pembelajaran, dan sebagainya. Perencanaan dalam hal ini kurang lebih hampir sama dengan apabila kita menyiapkan suatu kegiatan belajar–mengajar.
5. Implementasi Tindakan Implementasi tindakan pada prinsipnya merupakan realisasi dari suatu tindakan yang sudah direncanakan sebelumnya. Strategi apa yang digunakan, materi apa yang di ajarkan atau dibahas dan sebagainya. PTK bersifat emansipatoris dan membebaskan (Liberating), karena mendorong kebebasan guru dalam berpikir dan berargumentasi dalam bereksperimen, meneliti, dan mengambil keputusan atau judgment.
6. Pengamatan Pengamatan, observasi atau monitoring dapat dilakukan sendiri oleh peneliti atau kolaborator, yang memang diberi tugas untuk hal itu. Pada saat memonitoring pengamat haruslah mencatat semua peristiwa atau hal yang terjadi di kelas penelitian. Misalnya mengenai kinerja guru, situasi kelas, perilaku dan sikap siswa, penyajian atau pembahasan materi, penyerapan siswa terhadap materi yang diajarkan, dan sebagainya.
7. Refleksi Pada prinsipnya yang dimaksud dengan istilah refleksi ialah perbuatan merenung atau memikirkan sesuatu atau upaya evaluasi yang dilakukan oleh para kolaborator atau partisipan yang terkait denga suatu PTK yang dilaksanakan. Refleksi ini dilakukan dengan kolaboratif, yaitu adanya diskusi terhadap berbagai masalah yang terjadi di kelas penelitian. Dengan demikian refleksi dapat ditentukan sesudah adanya implementasi tindakan dan hasil observasi. Berdasarkan refleksi ini pula suatu perbaikan tindakan (replanning) selanjutnya ditentukan.
8. Penyusunan Laporan PTK Laporan hasil PTK seperti halnya jenis penelitian yang lain, yaitu disusun sesudah kerja penelitian di lapangan berakhir. Penyusunan laporan harus sistematis dan sesuai dengan acuan yang telah diberikan dalam pelatihan PTK. Sebenarnya , PTK yang dilakukan guru lebih bersifat individual. Artinya bahwa tujuan utama bagi PTK adalah self-improvement melalui self-evaluation dan self reflection, yang paad akhirnya bermuara pada peningkatan mutu proses dan hasil belajar siswa. Dengan demikian hasil pelaksanan PTK yng berupa terjadinya inovasi pembelajaran akan dilaporkan kepada diri si peneliti (Guru) sendiri. Guru perlu mengarsipkan langkah–langkah dan teknik pembelajaran yang dikembangkan melalui aktifitas PTK demi perbaikan proses pembelajaran. Namun demikian, hasil PTK yang dilaksanakan tidak tertutup kemungkinan untuk diikuti oleh guru lain atau teman sejawat. Oleh karena itu guna melengkapi predikat guru sebagai ilmuwan sejati, guru perlu juga menuliskan pengalaman melaksanakan PTK tersebut ke dalam suatu karya tulis ilmiah. Karya tulis tersebut, yang selama ini ditulis belum merupakan kebiasaan bagi para guru, sebenarnya sangat bermanfaat bagi masyarakat pengguna lain. Dengan melaporkan hasil PTK tersebut kepada masyarakat (teman sejawat, pemerhati/pengamat pendidikan, dan para pakar pendidikan lainnya) guru akan memperoleh nilai tambah yaitu suatu bentuk pertanggungjawaban dan kebanggaan akademis/ilmiah sebagai kreativitas seorang ilmuwan. Hasil kerja guru akan merupakan amal jariah yang sangat membantu teman sejawatnya dan siswa secara khusus. Melalui laporan kepada masyarakat, PTK yang pada awalnya dilaksanakan dalam skala kecil yaitu di ruang kelas, akan memberi sumbangsih yang cukup signifikan terhadap peningkatan mutu, proses, dan hasil belajar siswa.
G. Penutup PTK merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan keprofesionalan guru. Dalam pelaksanaannya para guru perlu melakukan segala langkah penelitian ini secara bersama-sama (kolaboratif) dari awal hingga akhir. Ciri khas penelitian ini ialah adanya masalah pembelajaran dan tindakan untuk memecahkan masalah ini. Penelitian tindakan sebenarnya dapat dilakukan oleh guru sendiri, guru dan teman sejawat dapat saling berkolaborasi. Tahapan penelitian dimulai dari perencanaan, pelaksanaan tindakan dan evaluasi refleksi yang dapat diulang sebagai siklus. Refleksi merupakan pemaknaan dari hasil tindakan yang dilakukan dalam rangka memecahkan masalah. Disarankan guru dan teman sejawat dapat secara kolaboratif melakukan PTK ini untuk peningkatan keprofesionalannya. Proposal usulan PTK perlu dibuat sebagai pedoman (tuntunan) dalam melaksanakan penelitian. Dalam penyusunan usulan yang sesungguhnya guru peneliti harus berusaha memenuhi ketentuan, kriteria atau standar yang ditetapkan oleh sponsor atau lembaga pemberi dana. Saran lainnya ialah banyak membaca laporan penelitian, artikel dan sumber-sumber mengenai PTK. Penulis menaruh harapan besar mengenai pentingnya PTK ini untuk para guru, yaitu agar makin banyak guru di seluruh Indonesia yang melaksanakan PTK di sekolahnya masing-masing. Keinginan lainnya adalah agar dalam pelaksanaan PTK itu guru tidak hanya sekedar melaksanakan, tapi juga mengkomunikasikan hasilnya kepada rekan-rekan guru lainnya melalui media komunikasi atau internet. Akhir kata, penulis ingatkan kembali bahwa profesi guru adalah profesi mulia yang memerlukan kreativitas pengembangan terus-menerus dan tidak sembarang orang dapat melakukannnya. Karenanya setiap guru harus selalu siap, mau, dan mampu untuk membelajarkan dirinya sepanjang hayat agar dapat lebih mampu membelajarkan anak didiknya. PTK merupakan salah satu sarana belajar sepanjang hayat yang penting yang perlu dikuasai oleh setiap guru yang mau mengembangkan keprofesionalannya. Tuntutan terhadap sikap profesional guru dalam masyarakat kita harus disikapi sebagai harapan untuk memperbaiki proses pembelajaran dalam mendidik anak-anak kita menjadi cerdas.

DAFTAR PUSTAKA
Depdikbud. (1999). Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research ). Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Fasli Jalal (2006). Peningkatan Mutu Pendidikan. (Seminar Nasional Pendidikan). Jakarta
Hardjodipuro, S. (1997). Action Research. Jakarta: IKIP Jakarta.
Ishaq, M. F(1997). Action Research. Malang: Depdiknas.
Mukhlis, A. (2001). Penelitian Tindakan Kelas, Konsep Dasar dan Langkah – langkah. Surabaya: Unesa.
Rochiati Wiriatmadja, (2005). Metode Penelitian Tindakan Kelas, UPI Bandung dan Rosda
Supriyadi, (2005), Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research), Jakarta: Universitas Negeri Jakarta
Susilo, H. (2003). "Konsep dan Prosedur Penelitian Tindakan Kelas bagi Pengembangan Profesi Guru dan Dosen MIPA." Makalah Seminar Exchange Experience dan Workshop Pembelajaran MIPA Konstektual Menyongsong Implementasi KBK di Malang tanggal 9 – 12 Juli 2003.
Tim Pelatih Proyek GSM. (1999). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Tim PGSM. 1999. Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research). Bahan Pelatihan Dosen LPTK dan Guru Sekolah Menengah. Jakarta: Proyek PGSM, Dikti.

TIPS BAGI SEORANG GURU, DOSEN ATAU TRAINER

TIPS BAGI SEORANG GURU, DOSEN ATAU TRAINER
Oleh Uwes A.Ch.
Anda seorang guru, dosen atau pelatih? Mungkin, beberapa tips berikut akan bermanfaat bagi Anda. Mari kita lihat!
Tips #1: Kuasai Materi Secara Komprehensif Penguasaan materi sanngat esensial untuk dapat melaksanakan tugas mengajar dengan baik dan menarik. Pasalnya kenapa? Ketika suatu ketika saya diminta berbicara tentang Training Needs Assessment oleh suatu lembaga, jujur saya tidak PeDe, walaupun mengetahui tentang training needs assessment. Tapi ketika saya mengajar mahasiswa tentang pengantar teknologi pendidikan, katakanlah. Kepercayaan diri tinggi, karena memang menguasai betul tentang hal tersebut. Jika kita menguasai secara komprehensif, tentu akan mampu memberikan contoh, analogi, ilustrasi yang beragam dan sesuai dengan konteks serta dapat menyesuaikan dengan latar belakang audiens.Coba kalau kita tidak benar-benar menguasai, wauah bakal keringet dingin. Betul, gak? Kunci pertama, menguasai materi.
Tips #2: Libatkan Peserta Secara Aktif Ketika saya diminta untuk menjadi pembicara dalam suatu pelatihan, atau mengajar untuk suatu mata kuliah tertentu, hal pertama yang saya pikirkan adalah “Pengalaman belajar (aktifitas belajar) seperti apa saja yang harus saya siapkan agar peserta terlibat aktif.” Memikirkan strategi pembelajaran aktif seperti ini bukan perkara mudah, tapi secara kreatif mutlak kita lakukan atau. Pembelajaran tanpa melibatkan peserta belajar secara aktif, ibarat menabur garam di laut. Bahkan seorang orator ulungpun pada dasarnya telah berusaha mengaktifkan otak audiensya dengan berbagai cara sehingga terpukau (hypnoteaching). Ada ungkapan mengatakan bahwa, “We can teach fast, but they can forget it much more faster!”. Jadi, upayakan jangan selalu terpaku pada ceramah atau mencekoki informasi saja.
Tips #3: Upayakan untuk Melakukan Interaksi Informal dengan Peserta Kadang-kadang guyon, atau berbincang di sela-sela istirahat atau sebelum memulai materi sangat penting untuk mencairkan suasana. Dan tidak hanya itu, akan membangkitkan motivasi dan keterlibatan peserta dalam pembelajaran. Jangan sampai, sudah datang terlambat, langsung bicara, “Baik Bapak dan ibu sekalian, sesi ini kita akan ,……………”. Basa-basi, kalau perlu dengan guyon terutama diawal-awal memulai pembicaraan biasanya sangat ampuh. Saya biasa menyiapkan “ice breaker” yang lucu sebelum memulai pelatihan atau perkuliahan.
Tips #4: Beri Kesempatan Peserta Kewenangan dan Tanggung Jawab atas BelajarnyaPeserta akan termotivasi jika mereka diberi kewenangan untuk menentukan sendiri cara belajarnya. Saya, biasanya membangun komitmen atau aturan bersama sebelum memulai pelatihan atau perkuliahan. Dalam membangun komitmen atau aturan bersama ini, dibahas bebagai hal yang harus dilakukan dan apa yang tidak harus dilakukan, dimana keputusannya diambil bersama. Misalnya, bentuk tugas akhir mau seperti apa, apakah temanya bebas, atau tertentu dan lain-lain. Atau selama perkuliahan HandPhone harus seperti apa, dan lain-lain. Ternyata teknik seperti ini walaupun tidak ada hukuman, tapi karena disepakati bersama dan menjadi komitmen bersama akan sangat membantu, dengan catatan konsisten dilaksanakan bersama. Tentu saja ini adalah salah satu contoh upaya memberikan kewenangan kendali belajar kepada mereka.
Tips #5: Yakini Bahwa Manusia Belajar dengan Cara yang Berbeda Satu Sama lainDengan demikian, jangan perlakukan semua peserta dengan cara yang sama. Implikasinya adalah laksanakan tips 2 dan 4 di atas.
Tips #6: Yakinkan Peserta Bahwa Mereka Mampu Mempersepsi sejak awal bahwa semua peserta atau mahasiswa kita adalah mampu, dan meyakinkan bahwa mereka mampu akan meningkatkan efektifitas pembelajaran. Motivasi belajar akan menurun ketika mereka merasa tidak mampu. Oleh karena itu, tips ke 5 di atas bisa diterapkan disini. dalam artian, jangan sampai memberikan kegiatan belajar yang tidak mungkin mampu mereka capai. Harus yakin bahwa tugas yang kita berikan memang bisa dilakukan dan mereka merasa puas dengan hasil yang telah dilakukannya.
Tips #7: Beri Kesempatan kepada Peserta untuk Melakukan sesuatu Secara Kolaboratif atau KooperatifHal tersebut akan meningkatykan motivasi dan kemenarikan pembelajaran karena ada sedikit kompetisi, apalagi kalau mereka diberi kesempatan untuk saling berbagi ide, pengalaman, argumen secara bebas tanpa harus saling menjatuhkan satu sama lain.
Tips #8: Upayakan Materi yang Disampaikan Kontekstual Guru atau dosen harus pandai pandai mengaitkan materi yang diajarkan dengan pengetahuan awal audiens atau peserta. Untuk orang dewasa, seperti dalam pelatihan, materi yang tidak relevan atau tidak ada kaitannya dengan kehidupan atau pekerjaan sehari-hari yang ia lakoni maka walaupun harus berbusa-busa kita bicara, tidak akan ada manfaatnya.
Tips #9: Berikan Umpan Balik Segera dan bersifat Deskriptif Hal ini akan membantu mereka manyadari sudah sejauh mana perkembangan pemehaman atau penguasaan mereka terhadap pengetahuan, keterampilan atau sikap tertentu.
Tips #10: Tingkatkan Jam Terbang Sebagai penutup, saya ingin mengatakan bahwa tidak ada yang bisa mengalahkan pengalaman. Sembilan tips di atas akan sempurna dengan senjata pamungkas nomor sepuluh ini.
Semoga bermanfaat
(Sumber sebagian diambil dari “Principle of Effective Teaching and Learning, University of Toronto, 1990

PERUMUSAN MASALAH DAN PENENTUAN METODE PENELITIAN

PERUMUSAN MASALAH DAN PENENTUAN METODE PENELITIAN
( © Prof. Dr. I Made Putrawan, April 17, 2007 )

Salah satu komponen yang sangat penting dan menentukan kualitas sebuah penelitian ilmiah adalah rumusan masalah. Dalam hal ini yang dimaksud masalah adalah masalah ilmiah penelitian (scientific research problems). Masalah penelitian inilah yang akan dipecahkan atau dicarikan solusinya melalui suatu proses penelitian ilmiah. Berbeda dengan rumusan-rumusan masalah pada umumnya, seperti laporan-laporan proyek, dalam penelitian ilmiah dituntut untuk memenuhi beberapa kriteria, antara lain masalah dirumuskan dengan kalimat tanya, sebaiknya hindari kata tanya “sejauh manakah” atau “seberapa besarkah”, dsb. Kriteria lain adalah setiap rumusan masalah minimal terdapat dua faktor atau variabel yang dihubungkan atau dibedakan, dan terakhir adalah variabel-variabel tersebut harus dapat diukur dan di-manage (measurable and managable).
Agar dapat diukur maka variabel-variabel tersebut harus konseptual, artinya variabel tersebut harus didukung oleh teori-teori sehingga akan lebih mudah mengukurnya karena indikator-indikatornya jelas dideskripsikan dalam teori-teori yang relevan. Variabel dapat di-manage artinya data dengan mudah dapat dikumpulkan dan tersedianya atau bersedianya responden sebagai unit analisis untuk mengisi instrumen penelitian.
Hal lain yang perlu diperhatikan peneliti adalah dalam menentukan atau memilih variabel. Berdasarkan namanya, variabel memiliki ciri harus bervariasi. Insentif disuatu perusahaan atau institusi untuk golongan yang sama bukan variabel, tetapi fakta karena besarnya sama untuk golongan atau jenjang (level of job) yang sama. Kinerja (performances) adalah variabel karena setiap orang memiliki level of perfomances yang berbeda, demikian juga motivasi kerja atau kepuasan kerja, jelas dapat dipakai sebagai variabel karena tiap orang memiliki variabel tersebut yang bervariasi.
Namun ada juga peneliti kadang keliru menyebut misalnya kebijakan sebagai variabel sebab kebijakan disuatu perusahaan atau lembaga tidak akan dan tidak pernah bervariasi. Jadi dalam hal ini para peneliti harus secara logis menentukan berkaitan dengan apa yang hendak diukur terhadap kata kebijakan tersebut atau apa yang bervariasi terhadap kebijakan itu, seperti mungkin persepsi karyawan terhadap kebijakan atau penilaian atau pemahaman karyawan, jadi dalam hal ini yang bervariasi tentu persepsinya, penilaiannya atau pemahamannya terhadap kebijakan tersebut.
Oleh karena itu, apabila ditanya apa variabelnya maka jawabannya adalah persepsi atau pemahaman, sehingga peneliti dituntut untuk mencari teori-teori tentang persepsi atau pemahaman terhadap kebijakan. Jadi variabelnya bukan kebijakan, karena kebijakan tidak bervariasi. Faktor the naming variable sangat mempengaruhi peneliti dalam menentukan teori-teori yang akan diterapkan dalam sebuah karya ilmiah baik itu skripsi, tesis bahkan disertasi. Demikian juga contoh-contoh lain seperti budaya organisasi, iklim organisasi, konpensasi, rekrutmen, gaji, pemberdayaan, dsb.
Dalam penelitian ilmiah, variabel pada umumnya ada dua yaitu variabel bebas (independent variable) yang dapat mempengaruhi atau lebih dulu terjadi terhadap variabel lain yang disebut variabel terikat (dependent variable). Variabel terikat inilah yang menentukan the main topic seorang peneliti yang mencerminkan spesialisasinya.
Berdasarkan pengalaman membimbing mahasiswa, khususnya mahasiswa program doktor, banyak ditemukan adanya ketidakkonsistenan antara rumusan masalah dengan penentuan metode penelitian. Sebagai contoh, bagaimanakah hubungan antara motivasi kerja dengan produktivitas kerja karyawan? Ternyata metode yang dipilih peneliti survei dengan analisis regresi korelasi, jadi jenis penelitiannya kuantitatif padahal penelitian merumuskan masalah menggunakan kata tanya bagaimanakah yang mencerminkan adanya suatu proses yang ingin dipecahkan peneliti. Dalam hal ini jenis penelitian yang tepat adalah kualitatif.
Apabila kata tanya bagaimanakah diganti dengan apakah sehingga menjadi apakah terdapat hubungan antara motivasi kerja dengan produktivitas kerja karyawan, maka jenis penelitiannya kuantitatif dengan metode survei dan analisisnya regresi korelasi yang bersifat non kausal.
Contoh lain sebagai berikut:
1. Bagaimanakah mengembangkan model instruksional dalam rangka meningkatkan pemahaman konsep-konsep matematika untuk anak SD kelas IV? Jenis penelitian ini dapat berupa developmental research atau R and D yang dilanjutkan dengan pengujian keefektifan model yang telah dikembangkan tersebut melalui eksperimen.
2. Bagaimanakah cultural cohesiveness dapat mempengaruhi dalam proses pengambilan keputusan di institusi X? Jenis penelitian yang dipilih adalah kualitatif dengan langkah-langkah yang lengkap termasuk triangulasi dengan menekankan pada observasi yang unobtrusive, sampai ditemukan sesuatu yang unique. Tanpa uniqeness dan observasi terhadap proses maka penelitian kualitatif hanya sebuah ilusi.
3. Apakah komitmen berpengaruh langsung terhadap efektivitas organisasi? Contoh ini berkaitan dengan studi kausal non eksperimen dengan jenis penelitian kuantitatif, metode survei dengan analisis jalur (path analysis) untuk menguji model.
4. Apakah terdapat perbedaan hasil belajar genetika antara yang diajar dengan alat peraga dan siswa lain yang diajar dengan ceramah, apabila motivasi belajar siswa dikontrol? Masalah seperti ini harus dipecahkan melalui penelitian kuantitatif dengan metode eksperimen. Apabila the main effect memiliki dua level demikian juga simple effect dengan dua level, maka disain ekespeimennya adalah 2 x 2 factorial. Eksperimen yang dipilih karena variabel bebasnya dapat dimanipulasi menjadi beberapa level, sehingga memungkinkan peneliti melakukan treatment. Analisnya menggunakan ANOVA two way.
HAKIKAT HIPOTESIS DALAM PENELITIAN KUANTITATIF
Filed under: Metodologi Penelitian — putrawan at 10:03 am on Monday, April 23, 2007
( © Prof. Dr. I Made Putrawan, April 22, 2007 )
Pada hakikatnya setiap penelitian kuantitatif dalam ilmu-ilmu sosial menerapkan filosofi yang disebut deducto hipothetico verifikatif artinya, masalah penelitian dipecahkan dengan bantuan cara berpikir deduktif melalui pengajuan hipotesis yang dideduksi dari teori-teori yang bersifat universal dan umum, sehingga kesimpulan dalam bentuk hipotesis inilah yang akan diverifikasi secara empiris melalui cara berpikir induktif dengan bantuan statistika inferensial.
Jadi, hipotesis yang diajukan peneliti, setelah membaca teori-teori yang relevan merupakan jawaban sementara terhadap masalah yang diajukan. Oleh karena itu, penggunaan kata tanya dalam perumusan masalah harus juga diperhatikan dengan mempertimbangkan jawaban yang logis dalam hipotesis, sehingga tidak mungkin peneliti dapat mengajukan hipotesis manakala kata tanya yang digunakan dalam perumusan masalah ilmiah adalah kata tanya seperti “sejauh manakah” atau “seberapa besarkah,” karena jawabannya sejauh itu atau sebesar itu.
Pada umumnya, dalam penelitian sosial terdapat dua macam rumusan masalah yaitu yang menghubung-hubungkan dan membedakan antar variabel. Dalam hal ini, menghubungkan dalam kaitannya dengan studi korelasional, merupakan studi non kausal artinya variabel bebas hanya mampu menentukan (to determine), dalam bentuk persentase. Apabila peneliti memiliki teori yang kuat tentang hubungan antar variabel, maka dapat dilakukan penelitian kausal melalui hubungan dengan menguji model pengaruh (path model) antar variabel yaitu melalui studi kausal yang bersifat non eksperimen. Analisisnya dapat berupa path anlysis atau linear structural relation (lisrel) bila model bersifat non-recursive.
Jenis lain yaitu penelitian kausal melalui eksperimen atau ex post facto bila tidak dapat dilakukan treatment karena variabel bebas tidak dapat dimanipulasi mengingat variabel tersebut sudah after the fact artinya sudah terjadi sebelumnya seperti perbedaan jenis kelamin atau jenis pekerjaan.
Namun apapun bentuk penelitiannya, pada umumnya hipotesis ada dua yaitu hipotesis penelitian yang dirumuskan dengan kata-kata verbal, apakah berkaitan dengan hubungan atau perbedaan dan hipotesis statistik yang ditulis dengan notasi-notasi parameter yang dapat diuji dan memiliki dua macam hipotesis yaitu hipotesis nol dan hipotesis 1 atau alternatif. Hanya hipotesis inilah yang dapat diuji dengan statistika inferensial.
Misalnya dalam penelitian kuantitatif dirumuskan masalah sebagai berikut, apakah terdapat hubungan antara motivasi kerja dengan produktivitas kerja karyawan, maka rumusan hipotesis penelitiannya adalah terdapat hubungan antara motivasi kerja dengan produktivitas kerja karyawan. Namun hipotesis penelitian ini masih ngambang karena tidak secara tegas menyatakan hubungan apa, positif atau berbanding lurus ataukah negatif atau berbanding terbalik, tergantung teorinya. Kalau teorinya menemukan bahwa makin kuat motivasi kerja karyawan maka makin tinggi produktivitasnya maka hipotesis dinyatakan “terdapat hubungan positif, kecuali variabel bebas yang dipilih adalah stress, sehingga bentuk hubungannya menjadi hubungan berbanding terbalik dengan produktivitas karyawan.
Demikian juga bila masalah yang dirumuskan seperti apakah kecerdasan emosional berpengaruh langsung terhadap kepemimpinan, sehingga hipotesisnya menjadi kecerdasan emosional berpengaruh langsung terhadap kepemimpinan.
Contoh lain dalam eksperimen dengan disain faktorial 2 x 2, masalah utamanya adalah apakah secara keseluruhan terdapat perbedaan kemampuan daya saing (competitiveness) antara manager yang dilatih dengan metode sensitivity training (ST) dengan kelompok lain yang dilatih dengan cara konvensional bila motivasi kerja mereka dikontrol? Hipotesis penelitiannya “terdapat perbedaan kemampuan daya saing dengan variabel-variabel yang sama seperti di atas, namun peneliti yang memiliki teori-teori yang kuat tidak akan mengajukan hipotesis seperti itu karena mengundang pertanyaan tentang metode mana yang lebih unggul, jadi hipotesis penelitiannya harus secara tegas dan apriori dinyatakan seperti berikut “kemampuan daya saing manager yang dilatih dengan ST lebih tinggi dari pada yang dilatih dengan cara konvensional bila motivasi kerjanya dikontrol.”
Hipotesis penelitian jenis terakhir ini yang menentukan macam pengujiannya apakah one tailed test atau two tailed test. One tailed test diindikasikan dengan notasi > atau <> dan ujung kiri bila notasi <. Hal yang sama juga berlaku bagi hipotesis yang berkaitan dengan studi korelasional atau path analisis.
Apabila two tailed test yang dicirikan oleh tanda tidak sama dengan yang dipilih, maka konsekuensinya adalah taraf signifikansinya harus dibagi dua karena letak pengujian dikedua ujung distribusi sampling. Jadi apabila alpha (taraf signifikansi) yang dipakai 0,05 maka alpha yang dilihat pada tabel distribusi sampling adalah pada 0,025 denga n derajat kebebasan tertentu sesuai denga besar sampel.
Namun satu pesan yang perlu disampaikan agar tidak terjadi misleading adalah berkaitan dengan hakikat hipotesis nol dalam hal mana disebutkan bahwa the null hypothesis is no different hypothesis artinya hipotesis nol = hipotesis kesamaan sehingga dalam penulisannya selalu menggunakan tanda = dan bukan > atau <, apapun notasi yang ditulis pada hipotesis satu, semoga bermanfaat.
SEKELUMIT TENTANG LOGIKA PENULISAN DISERTASI KUANTITATIF
Filed under: Metodologi Penelitian — putrawan at 4:22 am on Monday, June 18, 2007
Disertasi merupakan suatu bentuk tugas akhir yang ditulis berdasarkan hasil penelitian ilmiah melalui penerapan berbagai metode penelitian (riset). Disertasi ditulis oleh mahasiswa dalam rangka memenuhi salah satu tugas akademik untuk memperoleh gelar doktor dalam bidangnya. Mengapa harus riset? Karena salah satu tujuan progran doktor yang merupakan gelar akademik tertinggi dari suatu perguruan tinggi adalah untuk menghasilkan seorang peneliti (researcher) dalam bidang ilmunya.
Oleh karena itu, bagi dosen yang tidak bergelar doktor, pada beberapa perguruan tinggi, tidak dapat menjadi profesor. Mengingat salah satu kewenangan seorang profesor adalah layak membimbing disertasi mahasiswa program doktor, maka sebaiknya calon profesor tersebut sudah bergelar doktor agar berpengalaman dan merasakan bagaimana riset untuk disertasi telah pernah dilakukan.
Jenis penelitian disertasi sangat beragam disesuaikan dengan masalah ilmiah yang akan dipecahkan. Jenis penelitian kualitatif dipilih karena mungkin mahasiswa ingin mencari informasi secara verstehen, naturalistik, terhadap suatu proses fenomena psikologis dan sosial dalam setting tertentu dan terdapat keunikan untuk diteliti secara kualitatif. Dalam hal ini, melakukan pengamatan dan pencatatan field notes merupakan salah satu kemampuan yang harus dikuasai oleh peneliti. Demikian peneliti diharapkan juga memiliki kemampuan mengintepretasikan field notes tersebut menjadi sebuah temuan naratif dan di “argue” dengan berbagai teori yang relevan.
Berbeda dengan penelitian kualitatif, riset kuantitatif lebih menekankan pada cara-cara cross-sectional, artinya fokus pada produk dan bukan proses. Riset jenis ini dapat berupa riset non kausal seperti studi korelasional atau riset kausal seperti path analisis, eksperimen atau ex post facto.
Apapun metode yang dipakai, dalam paradigma kuantitatif (baca lagi perbedaan paradigma kualitatif dan kuantitatif di topik lain dalam web ini), logika berpikir tetap mengikuti alur deducto hipothetico verificatif.
Artinya, alur berpikir dalam riset kuantitatif dimulai dengan mencari jawaban terhadap masalah riset yang telah dirumuskan melalui berbagai teori yang relevan. Kemudian, karena teori-teori tersebut bersifat abstrak, umum dan universal, maka dengan menggunakan cara berpikir deduktif dengan bantuan sarana matematika, maka dapat dirumuskan kesimpulan yang bersifat lebih khusus yang disebut hipotesis yakni jawaban sementara terhadap masalah. Hipotesis inilah kemudian diverifikasi secara empiris, inilah hakikat deducto-hipothetico-verificatif. Jadi hipotesis itu didasarkan pada teori-teori, sehingga tidak mungkin seorang peneliti dapat merumuskan hipotesis tanpa terlebih dahulu membaca teori-teori. Kunci utama dalam penulisan disertasi adalah adanya rumusan masalah ilmiah (scientific research problems) yang akan dipecahkan dan tentu masalah yang muncul tersebut harus didahului dengan argumen mengapa masalah tersebut penting untuk diteliti.
Untuk itu, pada bagian awal perlu dideskripsikan berbagai fakta yang mendasari atau melatarbelakangi “why” masalah tersebut ingin dipecahkan. Jadi fakta-fakta sebagai latar belakang rumusan masalah dapat diperoleh dari sumber-sumber informasi seperti majalah, koran, buletin-buletin, dsb atau dapat juga dari text books sehingga akan tampak alasan (reasoning) mengapa masalah itu perlu dan urgent untuk diteliti. Cara penulisannya dapat berupa alur berpikir seperti piramida terbalik, dimana ujungnya merupakan masalah yang akan diteliti.
Setelah latar belakang dirasa cukup kuat maka masalah perlu diidentifikasi, misalnya kinerja manager sebagai aspek utama dalam sebuah disertasi, karena itu faktor-faktor apa saja yang masih diduga menentukan atau mempengaruhi kinerja dapat dijadikan indetifikasi masalah. Karena terbatasnya waktu dan sumber dana, maka perlu masalah-masalah tersebut dibatasi dalam pembatasan masalah.
Semua hal yang telah dibahas di atas ada di bab pendahuluan dan masuk ke bab 2 sudah harus mulai berpikir tentang deskripsi teoretis, kerangka argumentatif, lalu pengajuan hipotesis.
Didalam Bab 2, semua variabel penelitian dideskripsikan teorinya sehingga variabel tersebut konseptual. Berdasarkan deskripsi teori-teori tersebut dapat dirumuskan definisi konseptual setiap variabel penelitian melalui berpikir sintesis, sehingga dapat dengan jelas diketahui dimensi-dimensi dan indikator-indikator variabel tesebut.
Disamping itu juga deskripsi teori-teori tersebut dapat dijadikan dasar untuk merumuskan kerangka berpikir yang bersifat argumentatif tentang mengapa variabel-variabel tersebut berkaitan atau saling berpengaruh. Misalnya peneliti ingin menghubungkan motivasi kerja dengan kinerja, jadi setelah teori-teori kedua variabel tersebut dideskripsikan maka akan tampak adanya hubungan logis antar kedua variabel tersebut berdasarkan kerangka berpikir argumentatif.
Atas dasar kerangka berpikir inilah dapat dibuat kesimpulan tentang dugaan adanya hubungan logis antar kedua variabel tersebut dalam bentuk hipotesis. Apabila peneliti, dalam hal ini, menggunakan cara berpikir silogistik, maka kesimpulan tersebut disebut kesimpulan tautologis setelah terlebih dahulu ditetapkan adanya premis mayor dan minor.
Sampai sejauh ini peneliti baru menggunakan cara berpikir atau logika berpikir deduktif yang berakhir dalam bentuk rumusan hipotesis. Karena itu, untuk membuktikan apakah hipotesis peneliti ditolak atau diterima maka perlu dilakukan verifikasi dengan menggunakan logika berpikir induktif dengan sarana berpikir statistika induktif.
Jadi dalam sebuah riset ilmiah terdapat dua proses yang harus dilakukan yaitu justifikasi (justification) yang merupakan proses dalam men “justify” kesimpulan dalam bentuk hipotesis dan kemudian proses diskoveri (discovery) atau temuan setelah dilakukan analisis statistika inferensial untuk memverifikasi apakah hipotesis ditolak atau diterima.
Mungkin dapat terjadi hipotesis yang diajukan tidak sesuai dengan temuan peneliti, hal ini terjadi apabila hipotesis tidak terbukti secara empiris maka itu berarti temuan penelitian tidak signifikan. Karena ini adalah sebuah temuan maka, signifikan maupun tidak, penelitian tidak perlu diulang. Peneliti hanya dituntut untuk membuat argumentasi teoretik dan statistik mengapa hipotesis yang demikian kuatnya didukung oleh berbagai teori namun pada saat diverifikasi tidak terbukti secara empiris. Dalam hal ini, seorang ilmuwan akan tetap membela hipotesisnya dengan mengatakan bahwa untuk saat ini temuan atau hasil pengujian hipotesis belum mampu membuktikan kebenaran hipotesis secara empiris. Semoga bermanfaat.
(Copyright Prof. I Made Putrawan, 17 June 2007)

PENTINGNYA LANDASAN FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN

PENTINGNYA LANDASAN FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN (Makalah yang dibuat untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu)
Pengantar
Terdapat cukup alasan yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila ada pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu. Misalnya: apakah yang dimaksud dengan pengetahuan, dan atau ilmu? Dapatkah kita bergerak ke kiri dan kanan di dalam ruang tetapi tidak terikat oleh waktu? Masalah yang dibahas dalam tugas makalah ini adalah sekitar pendidikan dan ilmu pendidikan. Kiranya kegiatan pendidikan bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat rasional semata mengingat kita mengharapkan pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia, lebih-lebih untuk anak-anak kita masing-masing; ilmu pendidikan secara umum tidak begitu maju ketimbang ilmu-ilmu sosial dan biologi tetapi tidak berarti bahwa ilmu pendidikan itu sekedar ilmu atau suatu studi terapan berdasarkan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan atau ilmu perilaku.

Pertanyaan yang timbul yaitu: apakah teori-teori pendidikan dapat atau telah tumbuh sebagai ilmu ataukah hanya sebagian dari cabang filsafat dalam arti filsafat sosial ataupun filsafat kemanusiaan?

A. Pengertian Ilmu, Filsafat, dan Filsafat Ilmu

I. Ilmu adalah suatu pengetahuan ilmiah yang memiliki syarat-syarat :
Dasar Pembenaran yang dapat dibuktikan dengan metode ilmiah dan teruji dengan cara kerja ilmiah
Sistematik, yaitu terdapatnya sistem yang tersusun dari mulai proses, metode, dan produk yang saling terkait.
Intersubyektif, yaitu terjamin keabsahan atau kebenarannya

Sifat ilmu yang penting:
Universal : berlaku umum, lintas ruang dan waktu yang berada di bumi ini
Communicable : dapat dikomunikasikan dan memberikan pengetahuan baru kepada orang lain
Progresif : adanya kemajuan, perkembangan, atau peningkatan yang merupakan tuntutan modern

Ilmu dari sisi Keyakinan atau Agama Islam : Ilmu Allah meliputi segala sesuatu
Perumpamaan tidak terbatasnya ilmu Allah adalah, jika kita hendak menulisnya dengan pena dan tinta. Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan yang ada di bumi. Di sisi Allah kunci-kunci yang ghaib dia mengetahui segala yang tampak, segala sesuatu yang ghaib, dan yang nyata (jelas), segala yang tersembunyi dan yang nyata, segala yang dirahasiakan, dan yang dilahirkan oleh manusia, yang dahulu dan yang kemudian, yang masuk ke dalam bumi dan yang keluar dari dalam bumi, yang turun dari langit dan yang naik padanya.
Ilmu manusia berasal dari Allah dan sangat terbatas. Allah memberi ilmu kepada nabi Adam a.s. dan mengajari manusia apa-apa yang tidak diketahuinya dengan kalam. Ilmu manusia sangat sedikit dan terbatas. Yang diketahui oleh manusia karena kehendak Allah jua. Manusia dilahirkan tanpa ilmu/tidak mengetahui sesuatu pun, diberi-Nya pendengaran agar memperoleh ilmu dengan pengabaran, diberi-Nya penglihatan agar memperoleh ilmu dengan melihat kenyataan, dan diberinya hati/akal agar memperoleh ilmu dengan penalaran atau proses memahami.

Al-Qur’an Sumber ilmu pengetahuan. Al Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan yang mengeluarkan manusia dari kegelapan. Pelajarilah alam semesta ini, semua digelar dan dicipta agar dipelajari oleh manusia yang dianugrahi akal budi, namun hanya yang berakal atau yang menggunakan akalnyalah yang dapat menerima pelajaran dan ilmu tersebut.

Derajat dan keadaan orang yang tidak berilmu
Tanpa ilmu manusia sering dan suka berdusta terhadap yang lainnya, dengan maksud menyesatkan manusia. Dia akan mengikuti dan menuruti hawa nafsunya sendiri tanpa kendali. Wajib kita berpaling dari orang bodoh. Dosa akibat perbuatan yang tidak diketahui (karena kebodohan) akan diampuni asalkan mau bertobat dan memperbaiki dirinya.Keutamaan dan derajat orang yang berilmu. Orang berilmu akan takut kepada Allah, mengakui keesaan Allah, dan membenarkan sesuatu yang datang dari-Nya. Pahala yang besar bagi yang berilmu, dan Allah meninggikan derajatnya, (baik di sisi Allah maupun di hadapan manusia) di antaranya, sebagai tempat bertanya.

Kewajiban menuntut ilmu dan mengajarkannya.
Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban, mengajarkannya kepada orang lain hendaklah dengan jelas, dengan terang, dan janganlah menyembunyikan yang benar. Hendaklah mengajarkan sesuatu dengan penuh kebijaksanaan (penuh hikmah). Di sinilah mulianya tugas pendidik, karena ia mempunyai kewajiban untuk mengajarkan ilmunya kepada anak didiknya dengan penuh hikmah dan keteladanan. Guru harus dapat membedakan ilmu yang amaliah dan amal yang ilmiah.

II. Filsafat adalah cinta akan kebijaksanaan. Filsafat berasal dari kata bahasa Yunani philosophia yang terdiri dari dua suku kata yaitu philos yang berarti cinta dan sophos yang berarti kebijaksanaan.

Pengertian filsafat secara luas adalah :
1. Usaha spekulatif manusia yang sangat rasional, sistematik, konseptual untuk memperoleh pengetahuan selengkap mungkin berdasarkan kaidah ilmiah
2. Ikhtiar atau usaha untuk menentukan batas-batas pengetahuan secara koheren dan menyeluruh (”holistic dan comprehensive”)
3. Wacana tempat berlangsungnya penelusuran kristis terhadap berbagai pernyataan dan asumsi yang umumnya merupakan dasar suatu pengetahuan.
4. Dapat dipandang sebagai suatu tubuh pengetahuan yang memperlihatkan apa yang kita lihat dan katakan. Dia harus seiring dan sejalan dalam aplikasi dan penerapannya di lapangan.
Filsafat menjembati cara berfikir secara ontologis, epistemologi dan aksiologi
§ Ontologi : hakikat apa yang dikaji
§ Epistemologi : cara mendapatkan pengetahuan yang benar
§ Aksiologi : nilai kegunaan ilmu

Filsafat adalah pengetahuan yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan manusia secara kritis. Filsafat disebut juga ilmu pengetahuan yg mencari hakekat dari berbagai fenomena kehidupan manusia. Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (= kebenaran) dan memperoleh hikmat (= kebijaksanaan).
Dalam sejarah filsafat Yunani, filsafat mencakup seluruh bidang ilmu pengetahuan. Lambat laun banyak ilmu-ilmu khusus yang melepaskan diri dari filsafat. Meskipun demikian, filsafat dan ilmu pengetahuan masih memiliki hubungan dekat. Sebab baik filsafat maupun ilmu pengetahuan sama-sama pengetahuan yang metodis, sistematis, koheren dan mempunyai obyek material dan formal. Namun yang membedakan diantara keduanya adalah: filsafat mempelajari seluruh realitas, sedangkan ilmu pengetahuan hanya mempelajari satu realitas atau bidang tertentu.
Filsafat adalah induk semua ilmu pengetahuan. Dia memberi sumbangan dan peran sebagai induk yang melahirkan dan membantu mengembangkan ilmu pengetahuan hingga ilmu pengetahuan itu dapat hidup dan berkembang. Filsafat membantu ilmu pengetahuan untuk bersikap rasional dalam mempertanggungjawabkan ilmunya. Pertanggungjawaban secara rasional di sini berarti bahwa setiap langkah langkah harus terbuka terhadap segala pertanyaan dan sangkalan dan harus dipertahankan secara argumentatif, yaitu dengan argumen-argumen yang obyektif (dapat dimengerti secara intersuyektif).

III. Filsafat Ilmu :

Hampir semua penyakit dan ilmu dapat dipelajari oleh kita. Semua itu berangkat dari filsafat. Filsafat itu ibarat pondasi dalam sebuah bangunan. Filsafat (mencari kebenaran versi manusia) mulanya berasal dari data empiris. Filsafat ilmu adalah ikhtiar manusia untuk memahami pengetahuan agar menjadi bijaksana. Dengan filsafat ilmu keabsahan atau cara pandang harus bersifat ilmiah. Filsafat ilmu memperkenalkan knowledge dan science yang dapat ditransfer melalui proses pembelajaran atau pendidikan.

Filsafat ilmu adalah filsafat yang menelusuri dan menelidiki sedalam dan seluas mungkin segala sesuatu mengenai semua ilmu, terutama hakekatnya, tanpa melupakan metodenya. Kerapkali kita lihat ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan berada di awang-awang saja, padahal ilmu filsafat itu dekat dan berada dalam kehidupan kita sehari. Benar, filsafat bersifat tidak konkrit, karena menggunakan metode berpikir sebagai cara pergulatannya dengan realitas hidup kita.
Filsafat , philosophy, dalam bahasa Inggeris, atau philosophya dalam Yunani mempunyai arti cinta akan kebijaksanaan. Philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi. Dari pengertian tersebut filsafat sebenarnya amat dekat dengan realitas kehidupan kita. Untuk mengerti apa filsafat itu, orang perlu menggunakan akal budinya untuk merenungkan realitas hidupnya, “apa itu hidup? Mengapa saya hidup? Akan kemana saya hidup? Tentunya pertanyaan tersebut sejatinya muncul alamiah bila akal budi kita dibiarkan bekerja. Persoalannya, apakah orang atau peminat filsafat sudah membiarkan akal budinya bekerja dengan baik memandang realitas? Aristoteles menyebut manusia sebagai “binatang berpikir”. Tapi kita para guru menganggapnya sebagai ”Makhluk Allah” yang berakal dan berbudi serta memiliki akhlak mulia. Untuk mencapai hal itu diperlukan ilmu yang bernama Ilmu Pendidikan.


B. Filsafat Ilmu dan Aplikasinya dalam Pendidikan

Aspek filsafat sesungguhnya merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan kinerja dan mutu pendidikan di suatu negara, meskipun bukan satu-satunya determinan. Di samping kajian filsafat mengenai eksistensi ilmu pendidikan, perumusan dan kejelasan filsafat pendidikan itu sendiri akan menentukan kebijakan dasar pendidikan, dan selanjutnya menentukan tingkat kemajuan dan perkembangan pendidikan nasional.

Atas dasar itu ilmu dan aplikasi pendidikan secara komprehensif membahas berbagai aspek dan persoalan pendidikan teoritis/filosofis, pendidikan praktis, pendidikan disiplin ilmu, dan pendidikan lintas bidang, sangatlah tepat dan strategis. Sejumlah ahli mengungkapkan bahwa di tengah kecendrungan pragmatisme dalam dunia pendidikan, ilmu pendidikan merupakan ilmu yang cenderung kurang berkembang. Ilmu pendidikan bukan saja tidak memiliki daya pikat dan daya tarik yang kuat, tapi juga bersifat konservatif, statis, kurang menghiraukan aspirasi kemajuan, dan semakin terlepas dari konteks budaya masyarakat.

Ilmu pendidikan, dengan demikian dianggap mengalami reduksi dan involusi. Salah satu akar persoalannya, ilmu pendidikan dianggap tidak didukung oleh body of knowledge yang relevan dengan masyarakat Indonesia, serta tidak dibangun atas dasar pengetahuan yang relevan dengan perkembangan jiwa dan fisik anak-anak Indonesia.

Pada sisi lain, falsafah yang mendasari ilmu pendidikan serta kebijakan dasar pendidikan secara umum, pada saat ini dihadapkan pada konteks masyarakat Indonesia yang sedang berubah, suatu masyaerakat reformasi transisional yang diharapkan menuju masyarakat yang sejahtera, berkeadilan, demokrasi, egaliter, menghargai kenyataan pluralitas masyarakat dan sumber daya, otonomi, dsbnya. Kenyataan ini merupakan tantangan baru di tengah “keringnya” ilmu pendidikan.

Tantangan semacam itu, tentu perlu disikapi oleh para pakar pendidikan dengan upaya menemukan dan merumuskan parameter yang bersifat menyeluruh, untuk membangun ilmu pendidikan sebagai ilmu yang multidimensi baik dari segi filsafat (epistemologis, aksiologis, dan ontologis), maupun secara ilmiah. Dari segi ini, yang diinginkan adalah ilmu pendidikan yang berakar dari konteks budaya dan karakteristik masyarakat Indonesia, dan untuk kebutuhan masyarakat Indonesia yang terus berubah. Alangkah pentingnya kita berteori dalam praktek di lapangan pendidikan karena pendidikan dalam praktek harus dipertanggungjawabkan. Tanpa teori dalam arti seperangkat alasan dan rasional yang konsisten dan saling berhubungan maka tindakan-tindakan dalam pendidikan hanya didasarkan atas alasan-alasan yang kebetulan, seketika dan aji mumpung. Hal itu tidak boleh terjadi karena setiap tindakan pendidikan bertujuan menunaikan nilai yang terbaik bagi peserta didik dan pendidik. Bahkan pengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain memerlukan proses dan alasan rasional serta intelektual juga terjalin oleh alasan yang bersifat moral. Sebabnya ialah karena unsur manusia yang dididik dan memerlukan pendidikan adalah makhluk manusia yang harus menghayati nilai-nilai agar mampu mendalami nilai-nilai dan menata perilaku serta pribadi sesuai dengan harkat nilai-nilai yang dihayati itu.

Kita baru saja menyaksikan pendidikan di Indonesia gagal dalam praktek berskala makro dan mikro yaitu dalam upaya bersama mendalami, mengamalkan dan menghayati Pancasila. Lihatlah bagaimana usaha nasional besar-besaran selama 20 tahun (1978-1998) dalam P-7 (Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) berakhir kita nilai gagal menyatukan bangsa untuk memecahkan masalah nasional suksesi kepresidenan secara damai tahun 1998, setelah krisis multidimensional melanda dan memporakporandakan hukum dan perekonomian negara mulai pertengahan tahun 1997, bahkan sejak 27 Juli 1996 sebelum kampanye Pemilu berdarah tahun 1997. itu adalah contoh pendidikan dalam skala makro yang dalam teorinya tidak pas dengan Pancasila dalam praktek diluar ruang penataran. Mungkin penatar dan petatar dalam teorinya ber-Pancasila tetapi didalam praktek, sebagian besar telah cenderung menerapkan Pancasila Plus atau Pancasila Minus atau kedua-duanya. Itu sebabnya harus kita putuskan bahwa P-7 dan P-4 tidak dapat dipertanggungjawabkan, setidak-tidaknya secara moral dan sosial. Mari kita kembali berprihatin sesuai ucapan Dr. Gunning yang dikutip Langeveld (1955).
“Praktek tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila, sedangkan teori praktek hanya untuk orang-orang jenius”.
Ini berarti bahwa sebaiknya pendidikan tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab secara rasional, sosial dan moral. Sebaliknya apabila pendidikan dalam praktek dipaksakan tanpa teori dan alasan yang memadai maka hasilnya adalah bahwa semua pendidik dan peserta didik akan merugi. Kita merugi karena tidak mampu bertanggung jawab atas esensi perbuatan masing-masing dan bersama-sama dalam pengamalan Pancasila. Pancasila yang baik dan memadai, konsisten antara pengamalan (lahiriah) dan penghayatan (psikologis) dan penataan nilai secara internal. Dalam hal ini kita bukan menyaksikan kegiatan (praktek) pendidikan tanpa dasar teorinya tetapi suatu praktek pendidikan nasional tanpa suatu teori yang baik.
Pendidikan sebagai gejala sosial dalam kehidupan mempunyai landasan individual, sosial dan kultural. Pada skala mikro pendidikan bagi individu dan kelompok kecil beralngsung dalam skala relatif tebatas seperti antara sesama sahabat, antara seorang guru dengan satu atau sekelompok kecil siswanya, serta dalam keluarga antara suami dan isteri, antara orang tua dan anak serta anak lainnya. Pendidikan dalam skala mikro diperlukan agar manusia sebagai individu berkembang semua potensinya dalam arti perangkat pembawaanya yang baik dengan lengkap.

Manusia berkembang sebagai individu menjadi pribadi yang unik yang bukan duplikat pribadi lain. Tidak ada manusia yang diharap mempunyai kepribadian yang sama sekalipun keterampilannya hampir serupa. Dengan adanya individu dan kelompok yang berbeda-beda diharapkan akan mendorong terjadinya perubahan masyarakat dengan kebudayaannya secara progresif. Pada tingkat dan skala mikro pendidikan merupakan gejala sosial yang mengandalkan interaksi manusia sebagai sesama (subyek) yang masing-masing bernilai setara. Tidak ada perbedaan hakiki dalam nilai orang perorang karena interaksi antar pribadi (interpersonal) itu merupakan perluasan dari interaksi internal dari seseorang dengan dirinya sebagai orang lain, atau antara saya sebagai orang kesatu (yaitu aku) dan saya sebagai orang kedua atau ketiga (yaitu daku atau-ku; harap bandingkan dengan pandangan orang Inggris antara I & me).
Pada skala makro pendidikan berlangsung dalam ruang lingkup yang besar seperti dalam masyarakat antar desa, antar sekolah, antar kecamatan, antar kota, masyarakat antar suku dan masyarakat antar bangsa. Dalam skala makro masyarakat melaksanakan pendidikan bagi regenerasi sosial yaitu pelimpahan harta budaya dan pelestarian nilai-nilai luhur dari suatu generasi kepada generasi muda dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan adanya pendidikan dalam arti luas dan skala makro maka perubahan sosial dan kestabilan masyarakat berangsung dengan baik dan bersama-sama. Pada skala makro ini pendidikan sebagai gejala sosial sering terwujud dalam bentuk komunikasi terutama komunikasi dua arah. Dilihat dari sisi makro, pendidikan meliputi kesamaan arah dalam pikiran dan perasaan yang berakhir dengan tercapainya kemandirian oleh peserta didik. Maka pendidikan dalam skala makro cenderung dinilai bersifat konservatif dan tradisional karena sering terbatas pada penyampaian bahan ajar kepada peserta didik dan bisa kehilangan ciri interaksi yang afektif.

Adanya aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah seperti disebut tadi mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena (situasi) pendidikan adalah paduan antara manusia sebagai sebagai fakta dan manusia sebagai nilai. Tiap manusia bernilai tertentu yang bersifat luhur sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual, sosial dan bobot moral. Itu sebabnya pendidikan dalam praktek adalah fakta empiris yang syarat nilai berhubung interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat maniusiawi seperti saya atau siswa mendidik diri sendiri atas dasar hubungan pribadi dengan pribadi (higher order interactions) antar individu dan hubungan intrapersonal secara afektif antara saya (yaitu I) dan diriku (diri sendiri yaitu my self atau the self).
Adapun manusia sebagai fakta empriris tentu meliputi berbagai variabel dan hubungan variabel yang terbatas jumlahnya dalam telaah deskriptif ilmu-ilmu. Sedangkan jumlah variabelnya amat banyak dan hubungan-hubungan antara variabel amat kompleks sifatnya apabila pendidik memelihara kualitas interaksinya dengan peserta didik secra orang perorang (personal). Artinya sifat manusiawi dari pendidikan (manusia dalam pendidikan) harus terpelihara demi kualitas proses dan hasil pendidikan. Pemeliharaan itulah yang menuntut agar pendidik siap untuk bertindak sewaktu-waktu secara kreatif (berkiat menciptakan situasi yang pas, apabila perlu. Misalnya atas dasar diagnostik klinis) sekalipun tanpa prognosis yang lengkap namun utamanya berdasarkan sikap afektif bersahabat terhadap terdidik. Kreativitas itu didasarkan kecintaan pendidik terhadap tugas mendidik dan mengajar, itu sebabnya gejala atau fenomena pendidikan tidak dapat direduksi sebagai gejala sosial atau gejala komunikasi timbal balik belaka. Apabila ilmu-ilmu sosial atau behavioral mampu menerapkan pendekatan dan metode ilmiah (Pearson, 1900) secara termodifikasi dalam telaah manusia melalui gejala-gejala sosial, apakah ilmu pendidikan harus bertindak serupa untuk mengatasi ketertinggalan- nya khususnya ditanah air kita?
Pendidik memang harus bertindak pada latar mikro termasuk dalam kelas atau di sekolah kecil, mempengaruhi peserta didik dan itu diapresiasi oleh telaah pendidikan berskala mikro, yaitu oleh paedagogik (teoritis) dan andragogi (suatu pedagogic praktis). Itu sebabnya ilmu pendidikan harus lebih inklusif daripada pengajaran (yang makro) lebih utama daripada mengajar dan mendidik. Bahkan kegiatan pengajaran disekolah memerlukan perencanaan dalam arti penyusunan persiapan mengajar. Dalam pandangan ilmu pendidikan yang otonom, ruang lingkup pengajaran tidak dengan sendirinya mencakup kegiatan mendidik dan mengajar.
Atas dasar pokok-pokok pikiran tentang aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah dari manusia dalam fenomena pendidikan maka pendidikan dalam praktek haruslah secara lengkap mencakup bimbingan, mendidik, mengajar dan pengajaran. Dalam fenomena yang normal peserta didik dapat didorong aga belajar aktif melalui bimbingan dan mengajar. Tetapi adakalanya dalam situasi kritis siswa perlu meniru cara guru yang aktif belajar sendiri. Itu sebabnya perundang-undangan pendidikan kita sebenarnya perlu diluruskan, pada satu sisi agar upaya mendidik terjadi dalam keluarga secara wajar, disisi lain agar pengajaran disekolah meliputi dimensi mendidik dan mengajar. Lagi pula bahwa diferensisasi dan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan perlu ditentukan utamanya harus melakukan pengajaran dan mengelola kurikulum formal sebagai aspek spesialisasinya agar beroperasi efisien. Sedangkan konsep pendidikan yang juga mencakup program latihan (UU. No. 2/1989 Pasal 1 butir ke-1) adalah suatu konstruk yang amat luas dilihat dari perspektif sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.
Maka konsep pendidikan yang memerlukan ilmu dan seni ialah proses atau upaya sadar antar manusia dengan sesama secara beradab, dimana pihak kesatu secara terarah membimbing perkembangan kemampuan dan kepribadian pihak kedua secara manusiawi yaitu orang perorang. Atau bisa diperluas menjadi makro sebagai upaya sadar manusia dimana warga maysrakat yang lebih dewasa dan berbudaya membantu pihak-pihak yang kurang mampu dan kurang dewasa agar bersama-sama mencapai taraf kemampuan dan kedewasaan yang lebih baik (Phenix, 1958:13), Buller, 1968:10).

Dalam arti ini juga sekolah laboratorium akan memerlukan jalinan praktek ilmu dan praktek seni. Sebaliknya butir 1 pasal 1, UU No. 2 /1989 kiranya kurang tepat sehingga tentu sulit menuntut siswa ber CBSA padahal guru belum tentu aktif belajar, mengingat definisi pendidikan yang makro, yaitu : “Pendidikan ialah usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang”.(Lihat pula UU Sisdiknas 2003).
Kiranya konsep pendidikan yang demikian kurang mampu memberi isi kepada tujuan dan semangat Bab XIII UUD 1945 yang merujuk bidang pendidikan sebagai amanah untuk mewujudkan keterkaitan erat antara sistem pengajaran nasional dengan kebudayaan kebangsaan. Karena itu dalam lingkup pendidikan menurut skala mikro dan abstark yang lebih makro, pendidik harus juga peduli dengan aspek etis (moral) dan estetis dari pengalamannya berinteraksi dengan peserta didik selain aspek pengetahuan, kebenaran dan perilaku yang disisyaratkan oleh konsep pendidikan menurut undang-undang tadi.
Hal ini sesuai dengan pandangan Ki Hajar Dewantara (1950) sebagai berikut “Taman Siswa mengembangkan suatu cara pendidikan yang tersebut didalam Among dan bersemboyan ‘Tut Wuri Handayani’ (mengikuti sambil mempengaruhi). Arti Tut Wuri ialah mengikuti, namun maknanya ialah mengikuti perkembangan sang anak dengan penuh perhatian berdasarkan cinta kasih dan tanpa pamrih, tanpa keinginan menguasai dan memaksa, dan makna Handayani ialah mempengaruhi dalam arti merangsang, memupuk, membimbing, memberi teladan agar sang anak mengembangkan pribadi masing-masing melalui disiplin pribadi”.Demikian bagi Ki Hajar Dewantara pendidikan pada skala mikro tidak terlepas dari pendidikan dalam arti makro, bahkan disipilin pribadi adalah tujuan dan cara dalam mencapai disiplin yang lebih luas.
Ini berarti bahwa landasan pendidikan terdapat dalam pendidikan itu sendiri, yaitu faktor manusianya. Dengan demikian landasan-landasan pendidikan tidak mesti dicari diluar fenomena (gejala) pendidikan termasuk ilmu-ilmu lain dan atau filsafat tertentu dari budaya barat. Oleh karena itu data ilmu pendidikan tidak tergantung dari studi ilmu psikologi., fisiologi, sosiologi, antropologi ataupun filsafat. Lagi pula konsep pengajaran (yang makro) berdasarkan kurikulum formal tidak dengan sendirinya bersifat inklusif dan atau sama dengan mengajar. Bahkan dalam banyak hal pengajaran itu tergantung hasilnya dari kualitas guru mengajar dalam kelas masing-masing. Sudah barang tentu asas Tut Wuri Handayani tidak akan menjadikan pengajaran identik dengan sekedar upaya sadar menyampaikan bahan ajar dikelas kepada rombongan siswa mengingat guru harus berhamba kepada kepentingan siswanya.
C. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan
Uraian diatas mengisyaratkan terhadap dasar-dasar pendidikan bahwa praktek pendidikan sebagai ilmu yang sekedar rangkaian fakta empiris dan eksperimental akan tidak lengkap dan tidak memadai. Fakta pendidikan sebagai gejala sosial tentu sebatas sosialisasi dan itu sering beraspirasi daya serap kognitif dibawah 100 % (bahkan 60 %). Sedangkan pendidikan nilai-nilai akan menuntut siswa menyerap dan meresapi penghayatan 100 % melampaui tujuan-tujuan sosialisasi, mencapai internaliasasi (mikro) dan hendaknya juga enkulturasi (makro). Itulah perbedaan esensial antara pendidikan (yang menjalin aspek kognitif dengan aspek afektif) dan kegiatan mengajar yang paling-paling menjalin aspek kognitif dan psikomotor. Dalam praktek evaluasinya kegiatan pengajaran sering terbatas targetnya pada aspek kognitif. Itu sebabnya diperlukan perbedaan ruang lingkup dalam teori antara pengajaran dengan mengajar dan mendidik.
Adapun ketercapaian untuk daya serap internal mencapai 100 % diperlukn tolong menolong antara sesama manusia. Dalam hal ini tidak ada orang yang selalu sempurna melainkan bisa terjadi kemerosotan yang harus diimbangi dengan penyegaran dan kontrol sosial. Itulah segi interdependensi manusia dalam fenomena pendidikan yang memerlukan kontrol sosial apabila hendak mencegah penurunan pengamalan nilai dan norma dibawah 100%. Dalam bahasa Agama disebut ”Hablumminnnaas”
Pedagogik sebagai ilmu murni menelaah fenomena pendidikan. Jelaslah bahwa telaah lengkap atas tindakan manusia dalam fenomena pendidikan melampaui kawasan ilmiah dan memerlukan analisis yang mandiri atas data pedagogik (pendidikan anak) dan data andragogi (Pendidikan orang dewasa). Adapun data itu mencakup fakta (das sein) dan nilai (das sollen) serta jalinan antara keduanya. Data faktual tidak berasal dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi (fenomena) yang ditelaah Ilmuwan itu (pedagogik dan andragogi) secara empiris. Begitu pula data nilai (yang normative) tidak berasal dari filsafat tertentu melainkan dari pengalaman atas manusia secara hakiki. Itu sebabnya pedagogi dan andragogi memerlukan jalinan antara telaah ilmiah dan telaah filsafah. Tetapi tidak berarti bahwa filsafat menjadi ilmu dasar karena ilmu pendidikan tidak menganut aliran atau suatu filsafat tertentu. Sebaliknya ilmu pendidikan khususnya pedagogik (teoritis) adalah ilmu yang menyusun teori dan konsep yang praktis serta positif sebab setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu atau menyerah kepada keragu-raguan prinsipil.
Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya yang mikro dan makro. Seperti kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu pedagogik (dan telaah pendidikan mikro) serta pedagogik praktis dan andragogi (dan telaah pendidikan makro) bukanlah filsafat pendidikan yang terbatas menggunakan atau menerapkan telaah aliran filsafat normative yang bersumber dari filsafat tertentu. Yang lebih diperlukan ialah penerapan metode filsafah yang radikal dalam menelaah hakikat peserta didik sebagai manusia seutuhnya.Implikasinya jelas bahwa batang tubuh (body of knowledge) ilmu pendidikan haruslah sekurang-kurangnya secara mikro mencakup :
Ø Relasi sesama manusia sebagai pendidik dengan terdidik (person to person relation-ship)
Ø Pentingnya ilmu pendidikan mempergunakan metode fenomenologi secara kualitatif.
Ø Orang dewasa yang berperan sebagai pendidik (educator)
Ø Keberadaan anak manusia sebagai terdidik (learner, student)
Ø Memikiki Tujun pendidikan yang jelas (educational aims and objectives)
Ø Tindakan dan proses pendidikan (educative process), dan
Ø Lingkungan dan lembaga pendidikan (educational institution)
Ø Mengacu kepada Tujuan pendidikan nasional yaitu menjadikan manusia Indonesia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia.
Itulah lingkup pendidikan yang mikroskopis sebagai hasil telaah ilmu murni ilmu pendidikan dalam arti pedagogik (teoritis dan sistematis). Mengingat pendidikan juga dilakukan dalam arti luas dan makroskopis di berbagai lembaga pendidikan formal dan non-formal, tentu petugas tenaga pendidik di lapangan memerlukan masukan yang berlaku umum berupa rencana pelajaran atau konsep program kurikulum untuk lembaga yang sejenis. Oleh karena itu selain pedagogik praktis yang menelaah ragam pendidikan di berbagai lingkungan dan lembaga formal, informal dan non-formal pendidikan luar sekolah dalam arti terbatas, dengan begitu, batang tubuh diatas tadi diperlukn lingkupannya sehingga meliputi:
§ Konteks sosial budaya (socio cultural contexs and education)
§ Filsafat pendidikan (preskriptif) dan sejarah pendidikan (deskriptif)
§ Teori, pengembangan dan pembinaan kurikulum, serta cabang ilmu pendidikan lainnya yang bersifat preskriptif.
§ Berbagai studi empirik tentang fenomena pendidikan
§ Berbagai studi pendidikan aplikatif (terapan) khususnya mengenai pengajaran termasuk pengembangan specific content pedagogy.
§ Sedangkan telaah lingkup yang makro dan meso dari pendidikan, merupakan bidang telaah utama yang memperbedakan antara objek formal dari pedagogik dari ilmu pendidikan lainnya. Karena pedagogik tidak langsung membicarakan perbedaan antara pendidikan informal dalam keluarga dan dalam kelompok kecil lainnya, dengan pendidikan formal (dan non formal) dalam masyarakat dan negara, maka hal itu menjadi tugas dari andragogi dan cabang-cabang lain yang relevan dari ilmu pendidikan.
§ Itu sebabnya dalam pedagogik terdapat pembicaraan tentang faktor pendidikan yang meliputi : (a) tujuan hidup, (b) landasan falsafah dan yuridis pendidikan, (c) pengelolaan pendidikan, (d) teori dan pengembangan kurikulum, (e) pengajaran dalam arti pembelajaran (instruction) yaitu pelaksanaan kurikulum dalam arti luas di lembaga formal dan non formal terkait.
Bidang masalah yang ditelaah oleh teori pendidikan sebagai ilmu ialah sekitar manusia dan sesamanya yang memiliki kesamaan dan keragaman di dalam fenomena pendidikan. Yang menjadi inti ilmu pendidikan teoritis ialah Pedagogik sebagai ilmu mendidik yaitu mengenai tealaah (atau studi) pendidikan anak oleh orang dewasa. Pedagogik teoritis selalu bersifat sistematis karena harus lengkap problematik dan pembahasannya. Tetapi pendidikan (atau pedagogi) diperlukan juga oleh semua orang termasuk orang dewasa dan lanjut usia. Karena itu selain cabang pedagogik teoritis sistematis juga terdapat cabang-cabang pedagogik praktis, diantaranya pendidikan formal di sekolah, pendidikan informal dalam keluarga, andragogi (pendidikan orang dewasa) dan gerogogi (pendidikan orang lansia), serta pendidikan non-formal sebagai pelengkap pendidikan jenjang sekolah dan pendidikan orang dewasa.Di dalam menelaah manusia yang berinteraksi di dalam fenomena pendidikan, ilmu pendidikan khususnya pedagogic merupakan satu-satunya bidang ilmu yang menelaah interaksi itu secara utuh yang bersifat antar dan inter-pribadi. Untunglah ada ilmu lain yang melakukan telaah atas perilaku manusia sebagai individu. Begitu juga halnya atas telaah interaksi sosial, telaah perilaku kelompok dalam masyarakat, telaah nilai dan norma sebagai isi kebudayaaan, dan seterusnya. Ilmu-ilmu yang melakukan telaah demikian dijadikan berfungsi sebagai ilmu bantu bagi ilmu pendidikan. Diantara ilmu bantu yang penting bagi pedagogic dan androgogi ialah : biologi, psikologi, sosiologi, antropologi budaya, sejarah dan fenomenologi (filsafah).
a. Pendekatan fenomenologi dalam menelaah gejala pendidikan
Pedagogik tidak menggunakan metode deduktif spekulatif dalam investigasinya berdasarkan penjabaran pendirian dasar-dasar filosofis. Pedagogik adalah ilmu pendidikan yang bersifat teoritis dan bukan pedagogik yang filosofis. Pedagogik melakukan telaah fenomenologis atas fenomena yang bersifat empiris sekalipun bernuansa normative. Seperti dikatakan Langeveld (1955) Pedagogik mempergunakan pendekatan fenomenologis secara kualitatif dalam metode penelitiannya :

Pedagogik bersifat filosofis dan empiris. Berfikir filosofis pada satu sisi dan di pihak lain pengalaman dan penyelidikan empiris berjalan bersama-sama. Hubungan-hubungan dan gejala yang menunjukkan ciri-ciri pokok dari objeknya ada yang memaksa menunjuk ke konsekunsi yang filosofis, adapula yang memaksakaan konsekunsi yang empiris karena data yang faktual. Pedagogik mewujudkan teori tindakan yang didahului dan diikuti oleh berfikir filosofis. Dalam berfikir filosofis tentang data normative pedagogic didahului dan diikuti oleh oleh pengalaman dan penyelesaikan empiris atas fenomena pendidikan. Itulah fenomena atau gejala pendidikan secara mikro yang menurut Langevald mengandung keenam komponen yng menjadi inti dari batang tubuh pedagogik.
b. Kontribusi ilmu-ilmu bantu terhadap pedagogik
Ilmu pendidikan khususnya pedagogik dan androgogi tidak menggunakan metoda deskriptif-eksperimental karena manfaatnya terbatas pada pemahaman atas perubahan perilaku siswa. Sedangkan prediksi dan kontrol yang eksperimental diterapkan dan itupun manfaatnya terbatas sekali.
Jadi kurang bermanfaat apabila ilmu pendidikan mempergunakan metode deskriptif-eksperimental terhadap perubahan-perubahan didalam pendidikan secara kuantitatif. Sebaliknya pedagogik dan androgogi harus menjadi ilmu otonom yang menerapkan metode fenomenologi secara kualitatif. Maksudnya ialah agar dapat memperoleh data yang tidak normative (data factual) dalam jumlah seperlunya dari ilmu biologi, psikologi dan ilmu-ilmu sosial. Tetapi ilmu pendidikan harus sedapat mungkin melakukan pengumpulan datanya sendiri langsung dari fenomena pendidikan, baik oleh partisipan-pengamat (ilmuwan) ataupun oleh pendidik sendiri yang juga biasa melakukan analisis apabila situasi itu memaksanya harus bertindak kreatif. Tentu saja untuk itu diperlukan prasyarat penguasaan atas sekurang-kurangnya satu ilmu bantu dan atau filsafat umum.
Penulis Makalah Kelompok S2 Teknologi Pendidikan :
Wijaya Kusumah, Rosiman, Susun Suliharti, Yuyun Yunand, dan
DAFTAR REFERENSI
Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education.
Boston MA: Allyn BaconCampbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.
Chicago : Rand McNellyDeese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia University-Teachers
College PressGordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. WydenpubHenderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of Chicago Press
Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997
Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.Pembangunan
Jujun S. Suriasumantri (1982), Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Modern. Jakarta
Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila, Jakarta:Depdikbud
Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars
Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP IKIPBandung
Raka Joni T.(l977), Permbaharauan Profesional Tenaga Kependidikan: Permasalahan dan Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud