Selamat Datang di Blog Wijaya Kusumah
Untuk Pelayanan Informasi yang Lebih Baik, maka Isi Blog Wijaya Kusumah juga tersedia di blog baru di http://wijayalabs.com
Jumat, 21 Maret 2008
Bahasa Cinta
Mengajar dengan Bahasa Cinta
Tuhan kirimkanlah aku… guru yang baik hati yang mencintai aku apa
adanya." Itulah sepenggal pelesetan lagu Dewa syarat makna dan
merupakan ungkapan seorang siswa yang sedang merana dalam belajarnya.
Berdasarkan hasil survei kecil-kecilan kepada teman-teman guru di
sekolah kami, ternyata 9 di antara 10 guru pernah mendapat
pengalaman yang tidak menyenangkan ketika mereka masih duduk di
bangku SD, SMP, atau SMA sekitar 20 hingga 30 tahun yang lalu.
Ingatan mereka, termasuk penulis, masih segar ketika mendapat
hukuman spontan dari guru karena divonis melakukan suatu kesalahan.
Misalnya, mengganggu teman, berbicara atau bermain ketika guru
sedang menerangkan, tidak mengerjakan PR, tidak bisa menjawab soal
dengan benar, dan nyontek ketika ulangan.
Berbagai macam hukuman pun segera kami terima, disuruh berdiri di
depan kelas, dijewer bergiliran oleh teman sekelas, dijemur, dan
membersihkan kamar mandi. Bahkan, penulis pernah dimasukkan ke dalam
lemari cukup lama, baru dibuka setelah menangis keras.
Hukuman itu juga dibumbui dengan kata-kata pedas yang melukai hati,
misalnya: "Dasar anak nakal, kerjanya mengganggu teman
terus!", "Dasar bodoh, diterangkan berulang-ulang masih saja tidak
bisa!", "Anak malas kamu, masak PR 10 soal saja tidak
selesai!", "Yang bekerja tangan, bukan mulut!", dan sebagainya.
Kalimat-kalimat seperti itu sering meluncur dari bibir guru dengan
ekspresi seperti tokoh antagonis dalam sinetron. Interaksi
pembelajaran demikian sebenarnya adalah pelajaran mendalam tentang
kebencian dan dendam.
Dengan hukuman dan lontaran kata-kata seperti itu, seorang guru
mengharapkan siswanya akan menjadi lebih baik, tetapi yang terjadi
adalah kebalikannya karena sesungguhnya itu adalah kata-kata yang
menjatuhkan mental atau motivasi belajar anak. Hasil yang didapatkan
dari kata-kata itu adalah "kejatuhan mental" anak,
bukan "kebangkitan mental" anak. Akibatnya, hubungan antara guru dan
siswa menjadi kaku dan suasana belajar pun tidak menyenangkan.
Sebaik apa pun metode pembelajaran yang diterapkan seorang guru,
semuanya akan tetap menjadi sia-sia apabila guru tersebut lupa cara
membangun hubungan yang baik dengan para siswanya. Menurut DePorter
(2007:25), satu hal yang dapat menarik minat siswa untuk belajar
adalah guru membangun hubungan dengan siswanya sebagai manusia yang
memiliki rasa cinta. Oleh karena itu, bahasa cinta adalah salah satu
kunci sukses bagi semua guru untuk membangun sebuah hubungan yang
indah dengan siswa agar tercipta suasana belajar yang menyenangkan.
Memakai perkataan yang baik untuk membangun adalah suatu hal yang
jauh lebih bijaksana daripada memakai perkataan yang kotor. Maxwell
(1999:35) berpendapat bahwa seseorang dapat membangun sebuah
hubungan yang indah dengan orang lain apabila dia sanggup mengatakan:
1. Enam kata terpenting: Saya mengakui telah melakukan kesalahan
besar.
Sosok seorang guru adalah sosok yang dikagumi dan dihormati. Hal ini
terkadang membuat sang guru merasa seperti "diagungkan" sehingga
akan menjadi sangat memalukan baginya untuk mengakui kesalahan yang
mungkin telah dia perbuat kepada para siswanya. Salah satu alasannya
adalah karena takut kehilangan wibawa. Sesungguhnya, mengakui
kesalahan adalah lebih baik daripada menutupi kesalahan karena
wibawa seorang guru akan terlihat dari apa yang telah dia lakukan.
Sikap mengakui kesalahan dan mau minta maaf menunjukkan kebersihan
hati seseorang.
2. Lima kata terpenting: Anda melakukan pekerjaan dengan baik.
Memuji siswa atas keberhasilan yang telah dicapai atau memuji atas
tiap usaha yang telah dia lakukan dalam pembelajaran ternyata mampu
membantu meningkatkan motivasi belajar. Dengan memberikan pujian,
berarti seorang guru sedang menumbuhkan kepercayaan diri pada
siswanya sehingga siswa tersebut dapat mendorong dirinya sendiri
untuk dapat lebih maju dalam meraih kesuksesan belajar. Kegagalan
atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai
interpretasi yang berbeda yang sama-sama perlu dihargai.
3. Empat kata terpenting: Bagaimana menurut pendapat Anda?
Bertanya tentang pendapat siswa adalah sebuah hal luar biasa yang
sebaiknya dilakukan oleh guru. Dengan bertanya demikian, seorang
guru memosisikan diri menjadi seorang teman yang membutuhkan
pendapat dan hal ini akan membuat siswa belajar untuk saling
menghargai.
4. Tiga kata terpenting: Jika Anda berkenan...
Menanyakan dan memberikan pilihan-pilihan kepada siswa sehubungan
dengan proses pembelajaran akan membuat siswa berlatih untuk
mengambil keputusannya sendiri tanpa ada unsur pemaksaan. Siswa
terdidik untuk terus berpikir kreatif dalam mencari pemecahan suatu
masalah.
5. Dua kata terpenting: Terima kasih.
Kata-kata "terima kasih" adalah sebuah ungkapan yang bermakna luas.
Ketika seorang siswa mampu mengatakan terima kasih baik kepada teman
atau gurunya, berarti dia memiliki kepekaan bahwa apa yang telah
berhasil dia dapatkan adalah bukan karena kehebatannya sendiri,
melainkan ada orang lain yang turut membantu. Dari sinilah siswa
dapat belajar untuk menyadari bahwa bekerja sama merupakan hal yang
sangat baik untuk dilakukan.
6. Satu kata terpenting: Kita.
Kata "kita" menjadi sangat penting ketika guru mengajak siswanya
untuk masuk dalam proses belajar-mengajar. Kata "kita" mengandung
makna kesatuan dan kebersamaan. Dalam hal ini, kesatuan dan
kebersamaan mutlak diperlukan untuk mencapai sebuah tujuan
belajar. "Bawalah dunia siswa ke dunia kita dan antarkan dunia kita
ke dunia siswa (quantum learning). Semakin jauh Anda memasuki dunia
siswa, semakin jauh pengaruh yang dapat Anda berikan kepada mereka."
(Degeng, 2006).
7. Satu kata paling tidak penting: Saya
Kata "saya" menjadi tidak penting di sini karena kata "saya"
menunjukkan ego yang berkonotasi negatif. Pengagungan terhadap
kemampuan diri sendiri dan tidak memedulikan orang lain menyebabkan
anak memiliki pola pikir yang mengarah pada kepentingan diri
sendiri. Dia akan mencontoh sikap egois yang ditunjukkan sang guru.
8. Satu kata terburuk: Jangan! Dilarang! Awas! Harus!
Kata-kata seperti ini sangat sering dikatakan oleh guru terhadap
siswanya. Segala sesuatu yang dikerjakan oleh siswa harus sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh guru. Tidak ada tempat untuk
mengembangkan kreativitas siswa dalam proses pembelajaran.
9. Satu kata terindah: Silakan..
Setiap orang mendambakan untuk dapat melakukan hal-hal yang sesuai
dengan apa yang dirindukan. Ketika siswa menyatakan kepada guru
tentang kerinduannya menyampaikan suatu keinginan atau melakukan
suatu kegiatan, satu-satunya kata yang diharapkan didengar adalah
kata "silakan".
Sebagai makhluk sosial, manusia merupakan indvidu yang memerlukan
manusia lain untuk dapat hidup di dunia. Oleh karena itu, sudah
sepatutnyalah setiap individu memahami dan menguasai hukum yang
berlaku antarmanusia. Sepuluh hukum hubungan antarmanusia menurut
Maxwell (1999:6: 1) berbicara kepada orang lain, 2) tersenyum kepada
orang lain, 3) memanggil orang lain dengan namanya, 4) bersahabat
dan suka menolong, 5) menjadi orang yang ramah, 6) menunjukkan
ketertarikan yang tulus pada orang lain, 7) mudah memuji, 8)
tenggang rasa terhadap orang lain, 9) terbuka, dan 10) siap
memberikan pelayanan.
Jika guru telah sanggup menjalankan 10 hukum tersebut, akan
terciptalah hubungan yang harmonis sehingga pembelajaran akan
menjadi menyenangkan karena baik guru maupun siswa sejahtera. Bahasa
cinta bukanlah bahasa yang sulit diaplikasikan. Jika telah ada niat
baik ketika berbicara, maka setiap individu pasti sanggup memilih
dan menggunakan kata-kata yang sedap didengar.
Apabila seorang guru telah mampu berkata-kata dalam bahasa cinta
kepada siswanya dan begitu juga sebaliknya, maka akan terjalin
hubungan yang harmonis antara guru dan siswa. Hal inilah yang akan
menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Belajar bukan lagi
sebuah hal yang membebani dan menakutkan, tetapi belajar adalah
sesuatu yang menyenangkan, bebas, santai, penuh ketakjuban, dan
menggairahkan.
Dengan bahasa cinta, hubungan yang kaku dan monoton antara guru dan
siswa sudah saatnya diubah menjadi sebuah hubungan yang harmonis dan
penuh kasih sayang sehingga tidak ada lagi kata-kata kotor yang
muncul. Sebagai gantinya, muncul kata-kata terpuji yang bersumber
dari kebersihan hati seorang guru untuk menumbuhkan pribadi-pribadi
unggul. (*)
Oleh: Akhmad Basori
Guru SD Negeri Wonoasih II Kota Probolinggo
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
pak bener banget tuh artikelnya! kita sebagai murid tuh gasuka digituin, namanya juga msh usia sekolah masih wajar kan melakukan kenakalan2?? guru itu bukan tuhan, saya sering dengar guru memaksa anak untuk melakukan hal-hal yang sunnah (seperti: memaksa untuk sholat sunnah sblm sholat wajib, kalau tidak, akan dihukum) itu kan sholat SUNNAH buka WAJIB. tuhan saja tidak mewajibkan, knp guru2 yang mewajibkan? saya tau itu untuk membantu anak agar lebih taqwa, tapi tidak usah diberi hukumankan kalau tidak melakukan? tuhan saja tidak memberikan dosa, tp kenapa guru memberikan hukuman?
BalasHapusDari semua tulisan yang bapak buat saya paling tertarik dengan tulisan yang berjudul "Bahasa Cinta".Menurut saya, tulisan ini sangat mewakili seluruh aspirasi anak murid.
BalasHapus