Selamat Datang di Blog Wijaya Kusumah

Untuk Pelayanan Informasi yang Lebih Baik, maka Isi Blog Wijaya Kusumah juga tersedia di blog baru di http://wijayalabs.com

Kamis, 02 April 2009

Menulis: Reflektifnya Pembelajaran

Oleh FX Aris Wahyu Prasetyo - 2 April 2009

Malam yang sunyi senyap menyelimuti kesendirian sang guru yang tampak sedang termenung di kursi dekat jendela kamarnya. Matanya memandang gemerlip bintang-bintang di langit dengan sebuah senyum kecil yang mengembang. Pikirannya pun mulai menembus batas ruang dan waktu mengurai kembali masa-masa hidupnya yang telah lewat. Masa kecil di sebuah desa yang begitu subur, makmur, dan asri di seberang pulau sana. Ada sendau-gurau bersama teman, saudara, dan keluarga dalam kepolosan dan kasih orang-orang di dekatnya yang menghiasi masa-masa itu.

Pikiran sang guru pun perlahan-lahan mulai menapaki masa-masa remaja. Kenangan akan perjuangan cinta dan cita menghiasi langkah-langkah pikiran malam itu. Tak terasa senyum yang mengembang itu diiringi tetes air mata membasahi pipinya. Air mata itu terus mengalir hingga merasuk ke dalam relung-relung hatinya. Suka dan duka hidup itu telah membuka jalan baginya untuk sampai pada hari itu, saat sang guru masih termenung di kamarnya.

Tak terasa sang guru pun meraih sebuah buku tua dan kusut. Perlahan-lahan dibukanya buku itu dan tertulis di halaman pertama “28 September 1992, Happy Birthday…” Buku itu adalah hadiah ulang tahun dari seseorang untuk sang guru. Waktu itu sang guru sedang duduk di kelas 2 SMP. Buku itulah yang menjadi kenangan hingga hari ini. Buku itulah awal dari sebuah sejarah hidup yang terus tercatat.

Halaman demi halaman dibuka oleh sang guru. Kadang-kadang sang guru tersenyum ketika membaca untaian kata-kata di buku harian itu. Namun kadangkala juga tampak sedih dan terasa pilu. Berbagai ekspresi mengalir seiring dengan gerak tangan membalik halaman per halaman buku harian itu. Malam makin larut, sang guru pun membawa semuanya itu dalam tidurnya yang nyenyak hingga pagi.

Inspirasi Tulisan

Beberapa buku harian yang menumpuk di rak pojok kamar sang guru menjadi catatan sejarah tersindiri akan hidup sang guru. Bab demi bab kehidupan sang guru menjadi jilid tersendiri dalam hidupnya. Keceriaan dan semangat itu coba ditularkan pada anak-anak didiknya.

Sebuah kesadaran telah tumbuh dari tulisan-tulisan. Kita bisa mengenang dan belajar akan jalan hidup kita. Kita bisa memaknai hidup kita, baik suka maupun duka. Yang pada akhirnya membawa manusia pada sebuah tahap kesadaran akan eksistensinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hidup ini adalah anugerah dan hidup ini mesti dimaknai.

Sang guru telah belajar tentang hidup dan akan terus belajar tanpa henti. Tulisan yang selalu dia goreskan dalam buku hariannya telah membawa dia pada kesadaran untuk membagikan makna hidup ini pada orang lain, khususnya pada anak didik. Dengan senyum dan semangatnya, sang guru selalu mengajak anak-anak untuk menulis dan menjadikannya sebuah kebiasaan.

Menulis sebagai Pembelajaran

Setiap kali pelajaran bersama sang guru, anak-anak selalu diminta untuk menuliskan refleksi mereka atas apa yang sudah mereka pelajari sepanjang setengah sampai satu halaman. Tampaknya sang guru tidak ingin apa yang sudah dipelajari dan dilakukan anak-anak hanya menjadi sebuah urutan waktu belaka yang akan hilang begitu saja ditelan kesibukan hidup. Dua pertanyaan selalu dilontarkan oleh sang guru untuk membantu tulisan refleksi anak-anak. Apa yang sudah kamu lakukan selama proses pembelajaran? Dan, nilai-nilai hidup apa yang kamu dapat dari proses itu semua?

Dengan menulis refleksi itu, anak-anak seperti dibawa ke alam keheningan untuk menggapai “mutiara” hidup yang sebenarnya begitu banyak dan melimpah. Anak-anak pun dihantar pada sebuah pembelajaran yang nyaman dan rileks sehingga jauh dari kekhawatiran dan kefrustasian. Ini bukan tes sehingga tidak ada yang benar dan yang salah.

Tulisan itu pun menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri bagi sang guru tatkala membacanya. Refleksi-refleksi mereka ada yang begitu dalam, ada juga yang masih sangat dangkal. Tetapi sang guru dengan sabar, memberi feedback di tulisan itu untuk menyemangati anak-anak berefleksi lebih dalam. Bukankah ini yang menjadi nafas sebuah pendidikan, bahwa pendidikan bukan menghakimi tetapi justru memberi semangat bagi anak-anak didik untuk selalu belajar dan memaknai hidup.

Tulisan-tulisan yang sudah dibaca dan diberi komentar oleh sang guru dikembalikan ke anak-anak. Tulisan itu akan menjadi harta sendiri bagi mereka sebagai catatan hidup mereka. Suatu saat ketika mereka membacanya lagi, percayalah senyum dan air mata itu pun akan terjadi. Yang akhirnya akan mebawa mereka pada sebuah kesadaran akan begitu bernilainya hidup ini.

Menulis itu Perjuangan

Menulis bak anak emas bagi sang guru yang selalu menemani pembelajaran bersamanya. Menulis dan menulis, itulah yang terjadi. Bahkan di awal tahun pelajaran sang guru selalu mengatakan bahwa siapa saja yang mampu menulis di media cetak, baik cerpen, puisi, opini, maupun surat pembaca maka sang guru akan memberi bonus nilai. Dan, di akhir setiap bulan sang guru selalu bertanya, “Siapakah yang tulisannya sudah terbit di media massa?”

Suatu pagi sorang murid tampak berteriak memanggil sang guru, “Pak…. Surat Pembaca saya dimuat di Kompas.” Sang murid itu tampak bahagia sekali seperti baru saja memenangkan pertandingan besar. Sang guru pun tersenyum lebar dan berkata, “Kamu hebat. Saya bangga dengan kamu. Jangan pernah berhenti menulis!” Rupanya menulis telah membuat orang bahagia dan bangga pada dirinya serta tentunya menjadikan hidupnya lebih bergairah.

Di lain waktu juga ada seorang anak datang pada sang guru dan berkata, “Pak, saya itu sudah mencoba menulis di media delapan kali, kok tidak ada satu pun yang dimuat.” Kembali sang guru pun hanya bisa tersenyum dan berkata, “Dulu… saya malah sampai lima belas kali, baru tulisan pertama saya dimuat.” Sang anak pun bangkit dan berkata, “Jadi, kalau tulisan saya yang kesembilan dimuat, saya lebih hebat dari pak guru.” Sang guru pun mengangguk dengan mantap.

Akhirnya tulisan anak itu dimuat juga di sebuah media lokal berupa opini. Itu adalah tulisan dia yang ke sepuluh, bukan yang kesembilan. Namun anak itu lebih hebat dari sang guru. Itulah lika-liku menulis. Menulis membutuhkan perjuangan. Dan dengan menulis anak-anak belajar tentang nilai-nilai hidup yang nyata seperti rasa sabar, kreatif, dan gigih dalam perjuangan.

Menulis telah membawa aroma dan warna tersendiri dalam sebuah pembelajaran. Menulis telah mengalirkan air kehidupan untuk siapa saja yang bersedia bertekun dan berjuang dengannya. Menulis menjadi catatan sejarah tersendiri dan pada saatnya nanti akan membuat penulisnya dan pembacanya menyadari nilai-nilai di balik semua itu. Menulis adalah pembelajaran reflektif dalam untaian kata demi kata yang mengalun dalam alur dan pesan di dalamnya. Mari menulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar pada blog ini, dan mohon untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan yang benar.