Saya termenung dan pikiran saya menerawang jauh setelah mendapatkan komentar dari teman saya seprofesi, bapak Sigit Mukriyadi di Madiun. Dalam komentarnya beliau menuliskan kenapa guru di daerah sulit untuk melakukan penelitian? Berikut ini komentar beliau yang saya ambil dari blog pribadi saya di sini.
Salam kenal pak wijaya.
Thanks fo sharing sir.
Disini saya hanya mau menyampaikan kondisi realitas sebenarnya yang kemudian saya hadapkan pada statement :
“Untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik, guru yang sudah memperoleh sertifikasi dan tunjangan guru akan tetap dipantau. Pemantauan termasuk juga pemberian pelatihan metode pengajaran, materi pengajaran, dan melakukan penelitian.”
Statement itu sangat baik sekali guna meningkatkan kualitas guru dengan memberikan pelatihan metode pengajaran ataupun dengan melakukan penelitian tindakan kelas dan saya sangat nenyetujui hal itu. akan tetapi alangkah baik lagi jika itu diterapkan pada guru-guru yang telah berstatus PNS dan guru yang berstatus Bersertifikasi karena kebutuhan ekonomi mereka tercukupi saat ini, dan mohon jangan sampai diterapkan pada guru bantu/honorer baik sekolah swasta/negeri .
Dan alangkah senangnya jika pelatihan-pelatihan tersebut gratis dan berlaku untuk semua guru baik guru PNS, guru bersertifikasi, ataupun guru bantu/ honorer agar dapat dinikmati & dirasakan bersama hasil pelatihan-pelatihan itu karena status kita adalah sama-sama berstatus guru, hanya kesejahteraan perekonomian yang berbeda.
Meskipun saya lulusan AKTA IV tetapi saya adalah orang yang selalu bersemangat untuk selalu belajar dalam keadaan apapun, setiap kali saya mengajar selalu menggunakan model-model pembelajaran yang berubah-berubah sesuai kondisi/ keadaan siswa beserta waktu yang cukup tersedia, baik STAD, TGT, problem solving dll yang intinya terus berusaha menciptakan suasana Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif sekaligus Menyenangkan untuk saya pribadi selaku guru maupun anak-anak didik saya, yang kemudian sering pula saya menganalisis dan mengevaluasinya.
intinya, setiap kali mengajar saya selalu merencanakan, menerapkan, menganalisis serta mengevaluasi atas metode & materi yang telah saya implementasikan guna mengetahui sejauh mana keberhasilan dalam membimbing anak didik saya. berarti saya telah melakukan Penelitian Tindakan Kelas setiap kali mengajar, hanya saja tidak dituangkan kedalam tinta hitam diatas putih (dibukukan).
Sebabnya:
Kebetulan sekali saya adalah T.U salah satu SD Negeri di madiun dan merangkap sebagai guru bantu/honorer salahsatu SMP swasta di madiun yang setiap hari kerjanya terbagi 2 waktu.
Gaji guru swasta perbulan yang saya terima kurang dari Rp. 200.ooo perbulan (dua ratus ribu rupiah perbulan) tepatnya Rp. 185.000,-. mari kita kakulasi gaji tersebut untuk menuangkan atas apa yang telah saya terapkan dikelas kemudian peraturan-peraturan baru memaksa untuk menuangkannya kedalam kertas sehingga menjadi sebuah buku berupa PTK.
- Kertas 1 Rem merk Sinar Dunia 70gram Rp 45.000,-
- Tinta untuk printer merk Rainbow Rp. 30.000 ,-
- Jika sewa rental komputer untuk ngetik perjam Rp. 2.500 (3 jam saja tidak cukup untuk mengetik sebuah PTK ), belum lagi ngeprintnya dirental yang perlembernya Rp. 500 (bayangkan jika PTK tebalnya 60 lembar, kalikan saja Rp. 500, sudah Rp. 30.000 tidak termasuk lama jam sewa rentalnya). jika beli komputer + printernya berapa juta tuh
- Belum lagi Menjilid dan mengcover kemudian menggandakan (silahkan tanyakan harganya ke toko fotocopy).
Usai itu anda hitung total biaya yang harus dikeluarkan untuk sebuah PTK.
Akibatnya:
Naaah gaji Rp. 185.000,- perbulan cukupkah??? Lalu Anak, Istri saya membeli sembako, sabun, perlengkapan mandi dapat uang darimana??? Mau menabung uang darimana jika selalu gaji habis karena hal diatas??? lalu transportasi untuk esok harinya berangkat ke sekolah untuk bertugas membimbing anak-anak didik saya yang jaraknya sekitar 10km dari rumah??? (jalan kaki karena tidak punya uang untuk beli bensin??? 10km jalan kaki??? berapa jam tuh tiba disekolah?), kemudian, Pendidikan anak saya harus bayar pakai uang darimana, katanya sekolah sekarang gratiiiisss ada dimana-mana tapi kenyataannya sekolah-sekolah masih memungut biaya dengan cara melakukan mengumpulkan orang tua wali murid kemudian meminta pungutan dengan dalih sumbangan untuk kelengkapan administrasi sekolah dengan hukum sumbangan wajib (sumbangan kok wajib jika anda tidak percaya, silahkan anda survey lapangan dengan menyamar (seperti intel polisi) lalu datang kesekolah contohnya disekolah pinggiran kota madiun bukan dikota madiunnya tapi pinggiran kota).
Berarti saya harus kerja sampingan untuk mencukupi kebutuhan keluarga, Naaah waktu lagi khaaan yang berbenturan antara waktu untuk menyusun sebuah PTK dengan mencari uang lewat kerja sampingan, lalu kapan rampungnya sebuah PTK itu jika setiap bulan harus mencukupi kebutuhan keluarga guna mencari tambahan pendapatan dari Rp. 185.000,- perbulan itu.
Bagaimana mau meningkatkan kualitas guru jika gizi guru dan keluarganya tidak tercukupi??? “jika gizi tercukupi maka akan menghasilkan otak yang sehat, apabila otak telah menjadi sehat maka otak akan mampu menerima transfer ilmu”.
Renungkanlah…
Monggo dengan senang hati dan sangat gembira jika peraturan di pendidikan diperkuat guna kemajuan pendidikan agar masyarakat kita tidak tertinggal dengan negara-negara lain, tetapi jangan hanya peraturan saja yang diperkuat , kesejahteraan guru yang belum PNS pun harus diperkuat, jangan asal cekik sana cekik sini.
Setiap kali pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pendidikan, semua pihak baik negeri maupun swasta mendapatkan dampaknya pula karena sekolah-sekolah swasta yang ada di indonesia bernaung dibawah departemen-departemen pemerintah.
Walau bagaimanapun dan apapun kebijakan pemerintah, saya tetap setia pada negara tercinta ini karena saya orang yang taat pada pemerintah dan saya orang yang takut sekaligus tidak rela apabila dibodohi oleh negara-negara lain.
Mohon dukungan dari rekan-rekan senior dan semoga guru bantu/ honorer tidak diwajibkan untuk menuangkannya kedalam buku kecuali pemerintah mau memberikan tunjangan untuk penelitian dan kesejahteraan yang sesuai terkhusus guru bantu/ honorer. Amin amin yaa rabbal ‘alamin…
Demikianlah komentar panjang yang saya dapatkan dari teman saya bapak Sigit Mukriyadi di Madiun. Saya terharu membacanya. Dengan gaji Rp.185.000,- guru dituntut harus kreatif dalam penelitian dan melaporkan hasil PTKnya. Pertanyaannya adalah apakah penelitian sederhana di kelas harus menggunakan dana? Apakah dana yang minim lalu membuat kita menjadi tidak kreatif? Coba mari kita renungkan!.
Saya jadi teringat dengan teman saya dari Aceh (saya lupa namanya) yang menjadi finalis LKTI (Lomba Karya Tulis Ilmiah) tingkat nasional bidang IMTAK di tahun 2005. Waktu itu beliau menjadi teman sekamar saya, karena sama-sama menjadi finalis LKTI tingkat nasional di Jakarta. Saya bertanya pada beliau, apa yang menyebabkan karya tulisnya bisa masuk final di tingkat nasional. Motivasi apa yang membuatnya sanggup menulis karya tulisnya? Bukankah Aceh baru saja terkena Tsunami? Beliau lalu bercerita panjang pada saya, semoga menjadi motivasi bagi teman-teman guru lainnya di seluruh Indonesia.
Sambil bercucuran air mata beliau bercerita. Setelah pasca tsunami, sekolahnya hancur porak poranda. Pada saat itu yang tersisa hanyalah satu buah komputer tua pentium 486. Sebagai sekolah yang berstatus swasta dan dengan jumlah siswa yang tidak banyak serta gaji yang minim pula, membuat teman saya itu tak pernah menyerah dengan keadaan. Beliau selalu memperbaiki kualitas pembelajarannya melalui penelitian kecil di kelasnya sendiri. Beliau rajin menuliskan apa-apa yang telah dikerjakannya. Beliau melakukan penelitian sederhana, dan nyaris tanpa biaya. Komputer yang hanya satu-satunya di sekolah itu, beliau pergunakan di sore hari setelah mengajar. Apa yang beliau tuliskan, di catatan kecil kemudan beliau ketik sendiri dengan menggunakan komputer tua itu.
Namun, ketika semua tulisannya jadi, tak ada printer di sekolah itu. Beliau pergi ke kabupaten yang jaraknya sekitar 50 km dari sekolah. Di sewa rental itulah beliau mencetak karya tulisnya. Lalu mengirimkan hasil penelitiannya ke panitia karya tulis di Jakarta. Beliau yakin dan sangat yakin, bila motivasi kita kuat, dan niat kita karena Allah pasti di dalam kesulitan itu ada kemudahan.
Gajinya yang kecil tak membuatnya pasrah dengan keadaan, beliau bekerja keras mencari tambahan penghasilan untuk bisa sewa printer dan biaya pengiriman KTI ke Jakarta.
Beberapa bulan kemudian, ada surat dari panita lomba KTI Jakarta. Karya tulis beliau terpilih masuk dalam final lomba karya tulis ilmiah tingkat nasional. Seluruh biaya transportasi dan akomodasi di tanggung oleh panitia. Beliau bersyukur kepada Allah karena telah diberikan kesempatan mewakili Aceh dan mengalahkan ribuan karya tulis lainnya. Beliau berangkatdari Aceh dengan pesawat terbang, dan baru kali itulah beliau bisa menikmati perjalanan ke jakarta dengan pesawat terbang. Gratis pula!.
Dari cerita teman saya di Aceh itu, saya menjadi termotivasi untuk selalu meneliti di kelas saya sendiri. Persoalan biaya tak pernah saya pikirkan. Sebab yang dibutuhkan guru dalam meneliti adalah semangat untuk memperbaiki diri dan semangat instropeksi diri untuk memperbaiki kualitas pembelajarannya di kelas. Manfaat yang bisa dipetik dari hasil penelitian itu jelas diri guru itu sendiri, dan juga peserta didik yang menjadi asuhannya. Persoalan dana, janganlah jadi kendala. Sebab, bila motivasi kita tinggi, persoalan dana itu pasti bisa kita atasi asalkan kita kreatif dan tidak pernah menyerah serta berputus asa.
Semoga para guru kita mau meneliti di kelasnya sendiri, dan tidak terus menerus mengeluh merenungi nasibnya yang bergaji guru Oemar Bakri. Guru harus menjadi motivator bagi para anak didiknya.
Salam Blogger Persahabatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar pada blog ini, dan mohon untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan yang benar.