SUJUD Oleh : Toha MT Lc
''Posisi paling dekat seorang hamba dengan Tuhannya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah sujud dan berdoa.'' (HR: Muslim)
Sujud merupakan lambang ketundukan dan penyerahan diri pada sang pemilik kekuasaan. Ia juga mengisyaratkan kepasrahan total pada sang pemberi kekuasaan.
Bagi kebanyakan orang, posisi yang rendah merupakan musibah yang harus dihindari, bahkan hal itu merupakan simbol kegagalan. Padahal, tidaklah demikian. Sikap tawadhu dan rendah hati adalah sikap yang mencerminkan kualitas keimanan dan sarana penting mencapai kemuliaan di sisi Allah SWT.
''Tidaklah berkurang harta yang disedekahkan, tidaklah seorang hamba menjadi mulia kecuali karena ampunan Allah dan tidaklah seseorang rendah hati (tawadhu) karena Allah, melainkan Allah akan meninggikan derajatnya,'' (HR: Muslim).
Ilustrasi yang terkandung dalam sujud memberikan penjelasan penting bagi manusia akan nilai penyerahan diri pada Sang Khaliq. Ia hakikatnya adalah posisi paling mulia dan momen istimewa dalam hubungan dan komunikasi antara hamba dan penciptanya.
Satu ketika seseorang berjalan melewati Abdullah bin Umar yang sedang sujud di atas batu sambil menangis. Abdullah berkata, ''Apakah kalian heran melihat aku menangis karena takut kepada Allah sedangkan rembulan menangis dan sujud kepada Allah.''
Sujud juga mengingatkan kita pada asal-usul manusia, dari tanah yang hina dikembalikan pada posisi semula dan paling rendah. Hal ini memperjelas bahwa hakikat kemuliaan dan ketinggian derajat terletak manakala kita mau merendah dan tunduk pada pemilik kehidupan dan kebesaran.
''Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.'' (QS. Thoha [20]:55)
''Setiap hamba yang sujud kepada Allah pasti akan diangkat oleh-Nya satu derajat dan diampuni satu dosanya,'' (HR: Ahmad, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah)
MARAH Oleh : M Mahbubi Ali
Seorang lelaki berkata kepada Rasulullah, ''Berpesanlah kepadaku.'' Lalu, Rasul bersabda, ''Jangan marah.'' Beliau mengulangi perkataannya itu berkali-kali (HR Bukhari).
Ada tiga hal yang diperingatkan Allah SWT dan Rasul-Nya agar kita tidak tergelincir dalam kehinaan. Salah satunya adalah marah. Pada prinsipnya, Islam tidak melarang kita marah sebab hal itu sangat manusiawi. Dalam Islam, marah terbagi dua, tercela dan terpuji. Marah yang tercela adalah kemarahan yang lahir dari dorongan nafsu. Rasulullah melarang marah yang timbul dari nafsu sebab dapat membutakan seseorang dari kebenaran dan menjadi pemicu semua keburukan.
Rasulullah bersabda, ''Marah adalah awal segala keburukan.'' (Muttafaq Alaih). Marah tidak dapat menyelesaikan masalah, bahkan dapat memperkeruh masalah. Pada kali lain, Rasulullah bersabda, ''Marah adalah api setan yang menyala, yang mencelakakan dan membongkar aib seseorang. Orang yang menahan marah ibarat memadamkan api dan yang membiarkannya berarti telah menyalakan api dengan kemarahan.''
Rasulullah mengajarkan beberapa hal agar dapat menahan kemarahan. Pertama, selalu melatih diri untuk menahan marah. ''Orang yang kuat bukan yang jago gulat, tetapi yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.'' (HR bukhari Muslim).
Kedua, berwudhu. ''Sesungguhnya, marah itu dari setan. Setan diciptakan dari api. Api hanya bisa dipadamkan dengan air. Maka, jika salah seorang dari kamu marah, hendaklah ia berwudhu.'' (HR Abu Daud).
Ketiga, jika sedang berdiri, duduklah. Jika sedang duduk, tidurlah miring. Ini untuk mendekatkan tubuh orang yang sedang marah ke tanah sehingga ia sadar akan asal penciptaannya dan merasa hina. Lalu, menahan diri dari marah sebab marah timbul dari kepongahan. Keempat, diam. Kelima, berfikir tentang keutamaan orang yang menahan amarah dan bersikap arif kepada orang lain.
Keenam, meminta perlindungan kepada Allah agar dijauhkan dari tipu daya setan. Tidak semua bentuk kemarahan dilarang. Dalam kondisi tertentu, marah malah dibutuhkan dan sangat terpuji. Marah yang terpuji adalah marah yang muncul karena Allah SWT. Kemarahan umat Islam terhadap pelecehan Nabi Muhammad adalah kemarahan yang niscaya. Sebab, ia adalah ekspresi dari ghirah terhadap simbol-simbol agama dan bentuk cinta kepada Rasulullah.
KEPEDULIAN PEMIMPIN Oleh : Ispiraini Lc
Di zaman kekhalifahan Umar bin Khattab, pernah terjadi krisis luar biasa atau terkenal dengan istilah 'Am Ramadah yang terjadi sekitar tahun 18 Hijriyah. Kata ramada bagi orang Arab merupakan ungkapan ketika terjadi kebinasaan, banyak orang yang meninggal, dan sebagainya. Ibnu Sa'ad, seorang sejarawan Muslim, melukiskan, ''Saat itu, terjadi bencana yang hebat, kekeringan terjadi di mana-mana, binatang mati bergelimpangan, orang-orang mati kelaparan, sampai ada yang menggali lubang tikus untuk mencari makanan penyambung hidup.''
Pertanian di waktu itu gagal total karena hujan tak kunjung turun dan tanah-tanah yang mengering menimbulkan debu sepanjang hari. Kondisi ini diperparah dengan munculnya penyakit menular di negeri Syam. Padahal, Hijaz (Makkah dan Madinah) sangat bergantung dengan barang-barang impor dari Syam. Karena pedagang Hijaz tidak berani melakukan perjalanan dagang ke Syam, stok barang di Hijaz pun semakin langka dan sudah bisa dipastikan harga kebutuhan masyarakat melambung tinggi. Harga segelas susu dan sekantong keju saja bisa mencapai empat puluh dirham.
Dalam kondisi semacam ini, Umar bin Khattab memperlihatkan kepedulian seorang pemimpin umat, yang tentu menjadi teladan berharga bagi generasi berikutnya. Selama masa krisis, beliau tidak pernah mau makan di rumah salah satu putranya, bahkan makan bersama salah satu istri tercinta sekalipun. Umar juga bersumpah untuk tidak makan keju dan roti yang merupakan makanan favoritnya.
Kepedulian terhadap penderitaan rakyat bukan hanya milik pribadi Umar. Semua anggota keluarganya pun harus menunjukkan hal yang sama. Maka, ketika anaknya yang masih kecil memegang sepotong semangka, Umar menegurnya, ''Bagus, wahai putra Amirul Mukminin! Kamu makan buah-buahan, sedangkan umat Muhammad mati kelaparan.''
Tiap tengah malam, Umar selalu berdoa, ''Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kebinasaan umat Muhammad di tanganku dan di dalam era kepemimpinanku.'' Walaupun krisis yang melanda begitu luar biasa, tetapi tidak ada satu pun yang protes, apalagi mendemo Umar bin Khattab. Kelaparan dan kemiskinan tidak membuat mereka melakukan tindakan anarkis, hilang akal sehat, atau bunuh diri.
Semua sadar bahwa apa yang mereka rasakan juga dirasakan oleh sang khalifah, bahkan oleh semua keluarga khalifah. Umat merasa senasib sepenanggungan dengan pemimpin mereka. Sehebat apa pun pemimpin itu, secerdas apa pun solusi dan kebijakan yang ditawarkan pemimpin, semuanya tidak terlalu berarti ketika rakyat sudah pesimistis dan hilang kepercayaan kepada pemimpinnya.
MENYIKAPI PERISTIWA Oleh : Abu Daffa
Katakanlah, ''Siapakah yang dapat melindungi kamu dari takdir Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu?'' Dan orang-orang munafik itu tidak memperoleh pelindung dan penolong selain Allah.'' (QS Al-Ahzab [33]: 17).
Setiap peristiwa yang terjadi di muka bumi ini, entah itu bencana maupun rahmat, disikapi dengan berbeda-beda antara orang satu dan lainnya. Banyak yang mengeluh, tapi tak kurang juga yang bersyukur. Paling tidak ada tiga sikap yang selayaknya dijalani, bukan sebagian, tapi semuanya. Pertama, mempercayai bahwa apa yang terjadi adalah takdir Allah. Ketika hal ini yang kita lakukan, semestinya tidak ada lagi keluhan dan protes.
Sekaligus mengukuhkan keimanan dengan percaya pada qada dan qadar. Takdir Allah adalah apa yang terjadi terhadap tiap-tiap manusia yang telah ditulis di Lauhul Mahfudz. Sikap mempercayai kejadian sebagai takdir dari Allah SWT, sebaiknya diteruskan dengan sikap kedua.
Yakni, mengambil hikmah kejadian. Allah SAW bersabda, ''Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidaklah pula sama orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal saleh dengan orang-orang yang durhaka. Sedikit sekali kamu mengambil hikmah (pelajaran).'' (QS Al-Mu'min [40]: 58).
Setiap kejadian, selain takdir, pasti mempunyai hikmah. Ketika kita kalah dalam kompetisi sebuah jabatan, misalnya, selain takdir, kita harus bisa mengambil hikmah dari semuanya. Ketika kalah, kita bisa lebih mengingat Allah SWT. Ketika kalah, sesungguhnya kita diselamatkan Allah dari banyak masalah yang bakal kita terima ketika menang. Sungguh Allah telah menyiapkan berbagai hikmah kehidupan, bagi orang-orang yang berpikir.
Ketiga, melakukan pembelajaran. Sebagai makhluk Allah yang paling sempurna, kita bisa mengevaluasi apakah 'strategi' hidup kita sudah benar? Seluruh pertanyaan tersebut harus dijawab dengan jujur untuk pembelajaran dan perubahan. Bukankah Allah telah berjanji.
''.... Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.'' (QS Ar-Ra'd [13]:11). Wallahu a'lam bish-shawab.
CANTIK LAHIR BATIN Oleh : Agus Taufik Rahman
Senantiasa tampil cantik dan menawan adalah dambaan setiap insan. Berbagai perawatan dilakukan demi meraih penampilan yang diinginkan. Dari metode tradisional hingga terapi yang paling mutakhir, banyak tersedia untuk mewujudkan impian tersebut. Aktivitas ini tidak hanya dilakukan kaum Hawa. Kaum Adam memiliki kecenderungan yang sama. Fenomena pria metroseksual adalah satu bukti.
Mengejar penampilan jasmani tidak disalahkan dalam agama. Selain merupakan fitrah yang manusiawi, Allah SWT pun menyenangi hambanya yang memerhatikan penampilan karena Ia Mahaindah dan mencintai keindahan.
Hanya saja, penampilan fisik ini bukanlah segala-galanya. Kecantikan fisik bisa memudar seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya usia. Maka, ada satu hal yang akan menjaga nilai kecantikan ini agar tidak pernah sirna, yaitu menghidupkan kecantikan rohani yang bersumber dari relung kesalehan hati.
Kecantikan rohani ini akan memancar jika pemiliknya mampu menjaga kebersihan hati dan menghilangkan penyakit-penyakitnya. Betapa besarnya peran dan fungsi hati dalam membentuk kepribadian. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW berujar, ''Ketahuilah di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Bila ia baik, maka baik pulalah seluruh perbuatannya. Dan, apabila ia rusak, maka rusak pulalah seluruh perbuatannya. Ketahuilah itu adalah hati.'' (HR Bukhari dan Muslim).
Seluruh pikiran, perkataan, dan perbuatan adalah buah akhlak yang dikendalikan oleh hati. Ketika seorang Muslim memahami hakikat hidup di dunia, hatinya akan segera bertindak untuk mempercantik diri dengan akhlak mulia sesuai tuntunan Rasulullah serta mencampakkan tindakan tercela berupa syirik, iri, dengki, dan takabur.
Untuk menghadirkan kecantikan rohani, kaum Muslim tidak perlu merogoh uang saku yang banyak untuk perawatan. Hanya perlu memperbanyak amal saleh dan menjauhi segala bentuk perbuatan maksiat dan menggantinya dengan dzikir pada Allah SWT.
Suatu ketika Ibnu Abbas mengatakan, ''Sesungguhnya amal kebaikan itu akan memancarkan cahaya dalam hati, membersitkan sinar pada wajah, kekuatan pada tubuh, kelimpahan dalam rezeki, dan menumbuhkan rasa cinta di hati manusia kepadanya.''
Apabila kita telah tersadar untuk mempercantik diri secara lahiriah dengan busana dan perawatan tubuh yang sesuai dengan aturan Allah SWT, mari kita sempurnakan dengan mempercantik mata hati kita agar lebih dicintai Allah SWT dan seluruh makhluknya.
MEMANFAATKAN AKAL Oleh : Irman Sulaiman Fauzi
Mohammad Natsir dalam bukunya, Islam dan Akal Merdeka mengatakan bahwa akal adalah salah satu alat untuk mengetahui Tuhan. Terkait dengan itu, di dalam Alquran banyak bertebaran ayat yang memerintahkan kita menggunakan akal dalam beragama. Rasulullah SAW bersabda bahwa agama tidak bebas lepas dari akal yang demikian itu.
Mengapa mereka tidak berpikir? Mengapa mereka tidak menggunakan akal? Dan, mengapa mereka tidak ingat? Adalah contoh pertanyaan-pertanyaan memancing dalam Alquran yang bermakna perintah menggunakan akal dalam memahami dan menyelami kebesaran Allah SWT.
Pentingnya akal dalam kehidupan berislam telah membawa umat Muslim terdahulu pada kemuliaan. Bagi mereka, akal merupakan karunia Allah SWT yang harus diberdayakan dengan sebaik-baiknya. Dalam hal keilmuan Islam, misalnya, akal menyokong kemajuan ilmu pengetahuan yang sinarnya terpancar ke seluruh dunia. Akal dalam praktik keilmuan Islam memberikan ciri khas tersendiri dan sama sekali berbeda dengan tradisi keilmuan Barat.
Akal tidak dibenturkan dengan agama, tapi justru akal menjadi mitra sejati yang tak terpisahkan. Akal mendorong umat untuk selalu konsisten dalam tafakkuh fid-din, merenungkan, menghayati, dan memikirkan tanda-tanda-Nya di jagat raya ini.
Dengan jasa akal pula, manusia dapat melepaskan diri dari perilaku taqlid untuk hal yang tidak berdasar pada Alquran dan sunah, maka Islam amat mencela umatnya yang tidak menggunakan akal. Dalam beribadah, paham-paham dan sekte-sekte dewasa ini semakin marak serta tidak sedikit di antara penyebarannya yang ditopang dengan semakin canggihnya teknologi informasi yang melampaui batas-batas sosial. Saat-saat seperti inilah akal berperan membimbing kita untuk dapat membedakan mana yang benar dan yang batil.
Allah SWT berfirman, ''Dan janganlah engkau mengikuti sesuatu yang engkau tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, (karena) sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.'' (QS Al-Isra [17]: 36).
Oleh karena itu, akal tidak dapat dihakimi sebagai perangkat manusia yang mengancam eksistensi agama. Akal mendapatkan tempat yang mulia dalam ajaran Islam. Dan, barang siapa yang memanfaatkannya dengan baik, insya Allah derajat mulia akan menyertainya karena hakikatnya. Potensi inilah yang membedakan manusia dengan makhluk Allah SWT lainnya. Wallahu a'lam bish-shawab.
KARAKTER RASULULLAH Fondasi tunggal Rasulullah dalam membangun agamanya sebagai basis bagi kehidupan manusia di dunia adalah tauhid. Menurut prinsip tauhid, zat yang merupakan sumber alam semesta dan patut disembah hanya Allah SWT. Seseorang tidak boleh mengagungkan dan memasrahkan dirinya pada zat selain Allah. Apalagi yang bisa menjurus pada musyrik yang dikategorikan menyekutukan Allah. Akidah dan praktik yang dicontohkan Nabi inilah yang harus menjadi norma persaudaraan dan persamaan manusia, berupa kepatuhan mutlak manusia kepada Allah.
Ajakan kepada akidah ini merupakan hal pertama yang dilakukan Rasulullah agar ia menjadi batu pertama dalam bangunan umat Islam. Kekokohan akidah di dalam jiwa manusia akan mengangkatnya dari materialisme yang rendah dan mengarahkannya kepada kebaikan, keluhuran budi pekerti, kesucian, dan kemuliaan.
Apabila akidah ini telah berkuasa dalam jiwa manusia, ia akan melahirkan keutamaan yang tinggi, seperti keberanian, kedermawanan, kebajikan, ketentraman, dan pengorbanan. Dalam melaksanakan prinsip tauhid, Rasulullah telah menunjukkan kualitas moral paling baik dan sikap paling jujur serta menyerukan logika yang paling masuk akal. Para sahabat beliau juga menggunakan metode serupa dalam menjelaskan prinsip-prinsip agama.
Rasulullah memperlakukan semua orang sebagai saudara dan sederajat serta tidak pernah mengecualikan siapa pun dalam aturan-aturan agama. Tidak membedakan kawan dan orang asing, kuat dan lemah, kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan, atau kulit hitam dan putih. Beliau memberikan hak setiap orang berdasarkan hukum-hukum agama tanpa diskriminasi. Untuk itu, beliau pernah mengatakan, ''Jika putriku Fatimah mencuri, pasti akan kupotong tangannya.''
Pada tatanan ini, Rasulullah mengklaim tidak punya perbedaan khusus dalam kehidupan dan juga tak seorang pun yang mengenal beliau sebelumnya mempunyai hak-hak istimewa atas orang lain. Beliau tidak duduk di singgasana atau di tempat duduk paling atas dalam majelis. Bila bepergian, beliau naik kendaraan tanpa upacara-upacara khusus. Apabila menerima barang-barang tertentu, beliau memberikan kelebihan dari kebutuhan pokok kepada orang-orang miskin, meski kerap menderita lapar. Begitulah Rasul kita menjalani hidup.
(Alwi Shahab )
KUALITAS SHALAT Kunci kesuksesan dan kebahagiaan sebenarnya terletak pada sejauh mana kemampuan kita dalam menyerap makna dari kejadian-kejadian dalam kehidupan ini untuk kemudian menjadikannya pelajaran. Selama manusia belum mampu mengambil dan menyerap makna dari kejadian-kejadian tersebut, manusia belum memiliki kejernihan pandangan dan ketajaman hati. Maka, ia tidak akan menemukan jalan yang membawanya pada kebahagiaan yang diinginkan.
Allah SWT berfirman, ''Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan menghapuskan segala kesalahan dan mengampuni (dosa-dosa)-mu. Dan, Allah mempunyai karunia yang besar.'' (QS Alanfal [8]: 29). Ketajaman pandangan dan kejernihan nurani terkait erat dengan ketakwaan yang dimiliki. Orang yang selalu menjaga kesucian jiwanya dengan tidak mengotori hatinya dari segala bentuk penyakit hati, seperti dendam, egois, dengki, keras kepala, dan sebagainya, akan dapat melihat hakikat satu kejadian dan peristiwa tanpa tirai penghalang.
Kejernihan hati merupakan kunci aspirasi dan saklar penghubung hikmah di balik kejadian. Rasulullah SAW bersabda, ''Hati-hatilah kamu terhadap firasat seorang mukmin karena ia memandang dengan cahaya Allah.'' (HR Turmudzi). Kualitas ketakwaan seseorang sesungguhnya terkait dengan kualitas shalat yang didirikannya. Selain sebagai sarana komunikasi antara makhluk dengan Sang Khalik, shalat juga merupakan satu bentuk ibadah yang mengandung partikel-pertikel khusus untuk mensterilkan hati dan jiwa dari kotoran-kotoran dan penyakit yang dapat merusak hati.
Allah SWT mengilustrasikan hal itu dalam firman-Nya, ''... Dan, dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan, sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan, Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.'' (QS Alankabut [29]: 45).
Rasulullah SAW bersabda, ''Apa pendapat kamu jika sebuah sungai berada di depan rumah salah seorang kalian, kemudian ia mandi sebanyak lima kali setiap harinya, apakah tersisa kotoran darinya?'' Para sahabat menjawab, ''Tentu tidak tersisa sedikit pun kotoran.'' Rasul bersabda, ''Demikianlah perumpamaan shalat. Ia berfungsi sebagai penggugur dosa dan kesalahan.'' (HR Muttafaq Alaih)
(Toha MT Lc )
MANUSIA TERBAIK ''Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling mulia akhlaknya.'' (HR Albukhari). Manusia adalah makhluk sosial yang hidup berdampingan satu dengan yang lainnya. Di tengah masyarakat yang heterogen tersebut, tentunya ia dituntut untuk bisa berinteraksi dengan manusia lain dengan akhlak yang terpuji.
Dibutuhkan kepiawaian, kecerdikan, serta pikiran yang matang agar segala perbuatan dan tindak tanduk kita dapat diterima dengan baik oleh semua pihak. Dan, yang terpenting tanpa ada seorang pun yang tersakiti.
Orang mukmin yang baik, bukan hanya mampu beribadah dengan khusuk di Masjid, tetapi bagaimana pula ia mampu mengontrol diri untuk berinteraksi sebaik mungkin dengan lingkungan sekitarnya.
Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk bergaul dengan sesama karena didalamnya terdapat media kontrol sosial sebagai sarana dakwah amar ma'ruf nahi munkar. Orang yang bergaul dan dapat bersabar terhadap berbagai cobaan, ia dikatakan lebih baik ketimbang orang yang apatis, menutup diri, dan tidak mau bergaul sama sekali.
Baginda Nabi SAW bersabda dalam sebuah hadis, ''Mukmin yang bergaul di tengah-tengah masyarakat dan bersabar atas segala gangguan, mereka lebih baik daripada mukmin yang tidak bergaul dan tidak bersabar dengan gangguan orang.'' (HR Ahmad).
Yang bergaul dan bersabar tentu saja dikatakan terbaik karena dengan begitu ia dapat teruji akhlaknya, kejujurannya, kedewasaannya, serta bagaimana ia mampu mempertahankan prinsip hidup sebagai seorang Muslim di tengah lingkungan yang selalu menyuguhkan berbagai bentuk godaan.
Dalam bergaul tidak jarang terjadi gesekan atau bahkan sampai menimbulkan kekerasan sekalipun. Suasana pengaruh-memengaruhi sering kali terjadi dalam proses interaksi tersebut. Dalam kondisi seperti inilah seorang Muslim mestinya tertantang untuk turut ambil bagian, memikirkan bagaimana memberikan solusi untuk menjadikan lingkungannya dapat selaras, harmonis, dan damai.
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin mengajarkan bagaimana seorang Muslim bergaul, adalah lebah yang menjadi perumpamaan dalam Alquran, bagaimana mestinya seorang mukmin berbuat. Sifat lebah tak pernah sekalipun merugikan bahkan menyakiti lingkungan sekitarnya, dan setiap yang keluar darinya adalah perkara yang baik dan berharga.
Berperangailah laksana lebah yang menebarkan manfaat saat berinteraksi dengan sesama kapan pun dan di mana pun, maka engkau akan menjadi manusia terbaik.
(Rita Zahara Nurliyah )
MENYEMPURNAKAN SHALAT Dari Al Hasan, Rasulullah bersabda, ''Maukah kamu aku beri tahu tentang seburuk-buruknya pencuri?'' Para sahabat bertanya, ''Siapakah dia, wahai Rasulullah?'' Nabi menjawab, ''Orang yang mencuri dari shalatnya.'' Sahabat bertanya, ''Bagaimana seseorang mencuri dari shalatnya?'' Beliau bersabda, ''Dia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya.''
Dalam kisah lain, Rasulullah pernah menyuruh orang yang telah melakukan shalat untuk mengulangi shalatnya hingga tiga kali. Penyebabnya, ketika shalat, orang tersebut belum menyempurnakan wudlunya, takbirnya, berdirinya, bacaannya, rukuknya, sujudnya, dan thuma'ninah-nya. Beliau menjelaskan cara yang benar dalam melakukannya sebanyak empat kali hingga selesai. Lalu, Rasul bersabda, ''Shalatnya seseorang di antara kamu tidak akan sempurna sebelum mengerjakan yang demikian itu.''
Melakukan shalat saja tidaklah cukup, tetapi harus mencapai taraf kesempurnaan. Obsesi kesempurnaan bukanlah pemaksaan, tetapi agar jiwa shalat terserap dan tertanam untuk membentuk karakter terpuji dan menghasilkan kemaslahatan, keberkahan, serta perbaikan diri.
Kesempurnaan shalat diawali dengan menyempurnakan wudlu dan menyempurnakan semua rangkaian gerakan dalam shalat. Gerakannya begitu ringan dan mudah. Akan tetapi, bila gerakannya tidak disesuaikan dengan contoh dan petunjuk Rasulullah, gerakan tersebut hanya menjadi gerakan tak beraturan tanpa makna.
Setiap gerakan memiliki jiwa, peran, dan makna tersendiri yang akan memantulkan kekuatan positif dan konstruktif. Ia merupakan sebuah irama kesatuan yang saling menopang dan menyempurnakan gerakan berikutnya.
Wudlu bermakna membersihkan karakter buruk dan dosa. Menghadap kiblat, menghadapkan jiwa sepenuh hati dengan khusyuk dan merendahkan diri. Takbiratul ihram, membesarkan Zat Allah. Membaca surah dengan menghayati dan berkeinginan untuk mengamalkannya. Rukuk dan sujud, bentuk perwujudan ketundukan, kepatuhan, dan kepasrahan diri total kepada Zat Yang Mahaagung.
Bila gerakan raga dan jiwa shalatnya sudah terbiasa, terpola, dan seirama dengan yang dicontohkan Rasulullah, manusia akan terbiasa pula mengikuti gerakan dan pola hidup yang dicontohkan Rasulullah. Kepatuhan di luar shalat berbanding lurus dengan kepatuhannya di dalam shalat.
(Nasruloh )
BERKACA PADA QARUN Qarun adalah sepupu Nabi Musa AS. Ia dikenal sebagai seorang hartawan di Mesir. Dalam Alquran, nama Qarun disebut sebanyak empat kali. Satu kali dalam surat Almu'min dan Al-'Ankabut, dua kali dalam surat Alqashas. Allah SWT memberikan anugerah nikmat kepada Qarun berupa limpahan harta kekayaan. Tetapi, Qarun mengingkari nikmat ini. Dia berkata, ''Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.'' (QS Alqashas [28]: 78).
Oleh karena itu, Allah SWT menimpakan bencana sebagai hukuman untuknya sekaligus sebagai pelajaran bagi yang lain. ''Maka, kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka, tidak ada suatu golongan pun yang dapat menolongnya dari azab Allah.'' (QS Alqashas [28]: 81).
Kisah Qarun ini mengajarkan kita tentang bahaya sifat kufur, cinta dunia, dan sombong. Allah SWT berfirman, ''Dan sesungguhnya Musa telah datang kepada mereka (Qarun, Fir'aun, dan Haman) dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata. Akan tetapi mereka berlaku sombong di muka bumi, maka tidaklah mereka luput dari kehancuran.'' (QS Al-'Ankabut [29]: 39).
Kisah Qarun pun sekaligus mengajarkan kita arti penting sifat bersyukur. Allah SWT melalui syariat yang dibawa Muhammad SAW mengajarkan kita bagaimana cara menghindari karakter Qarun dengan berbagai cara. Di antaranya adalah dengan membelanjakan harta di jalan-Nya seperti sedekah, zakat, infak, dan wakaf.
Dalam Alquran, Allah SWT menjanjikan, ''Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan harta di jalan Allah adalah serupa sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada setiap bulir terdapat seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas lagi Maha penyayang.'' (QS Albaqarah [02]: 261).
Islam memberikan rambu-rambu bagi manusia supaya tidak tersesat seperti Qarun. Karenanya, Allah SWT mengingatkan bahwa hendaklah kita bersyukur atas limpahan nikmat kekayaan itu. Inilah yang tidak dilakukan Qarun sehingga Allah SWT menimpakan bencana terhadapnya.
''Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.'' (QS Ibrahim [14]: 7). Bila sudah begitu, apakah masih bernilai harganya? Adakah kekayaan akan bisa menyelamatkannya? Wallahu a'lam bish-shawab.
(Rashid Satari )