Mengapa Presiden Prabowo Subianto Tak Hadir di HUT PGRI ke-80?
Sebuah Opini dan Refleksi dari Seorang Guru
Oleh: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay)
Perayaan Hari Ulang Tahun ke-80 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tahun ini meninggalkan jejak batin yang panjang bagi para guru.
Ribuan guru datang dari seluruh provinsi, penuh harapan bahwa Presiden Prabowo Subianto akan hadir dan berdiri langsung di hadapan mereka, sebagaimana yang terjadi sehari sebelumnya dalam acara Hari Guru Nasional Kemdikdasmen di Senayan.
Kehadiran presiden di Senayan pada acara yang digelar Kemdikdasmen itu viral di berbagai media sosial, menampilkan riuh tepuk tangan, sorak penuh semangat, dan momen ketika ribuan guru menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama presiden.
Banyak guru saat itu merasa bangga karena presiden hadir langsung, memberikan pesan kuat tentang keberpihakan pada dunia pendidikan.
Namun keesokan harinya, ketika puncak HUT PGRI ke-80 digelar di Kelapa Gading, presiden tidak datang. Beliau mengutus Wakil Mendikdasmen sebagai perwakilan resmi.
Kekecewaan, rasa heran, dan pertanyaan pun mengalir deras dari para guru yang hadir.
Sehari Sebelumnya Presiden Hadir di Senayan — dan Viral
Suasana di Senayan pada Hari Guru Nasional begitu meriah. Salah satu guru yang hadir adalah Dr. Paidi dari pengurus PGRI Bengkulu, seorang tokoh pendidikan yang sudah lama bergerak dalam penguatan kompetensi guru. Beliau datang jauh-jauh ke Jakarta untuk menyaksikan langsung euforia Hari Guru Nasional bersama presiden.
Ketika saya omjay berbicara langsung dengannya, Dr. Paidi mengatakan:
“Saya benar-benar terharu melihat Presiden Prabowo hadir di Senayan. Ramai sekali, penuh energi. Beliau memberi pesan yang kuat tentang pentingnya guru. Video kehadiran beliau viral di mana-mana, dan itu membuat kami para guru daerah merasa dihargai.”
Beliau menambahkan:
“Karena itu, saya yakin presiden akan hadir juga besok di HUT PGRI. Makanya saya tetap tinggal di Jakarta dan hadir lagi di Kelapa Gading. Saya ingin melihat sejarah. Tapi ternyata presiden berhalangan. Jujur, saya kecewa. Tapi saya memahami jika beliau harus mengutamakan rakyat yang sedang tertimpa bencana.”
Komentar Dr. Paidi dari Bengkulu mencerminkan perasaan banyak guru: bangga karena presiden hadir di Senayan, tetapi sedih ketika presiden tidak hadir pada momentum besar organisasi profesi guru yang sudah berusia delapan dekade.
Alasan Resmi Ketidakhadiran: Meninjau Korban Bencana
Pemerintah menjelaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto pada hari perayaan HUT PGRI sedang berada di Sumatera dan Aceh untuk meninjau kondisi korban banjir besar. Situasi darurat ini membutuhkan kehadiran langsung presiden untuk memastikan bantuan tersalurkan dengan cepat.
Sebagai warga negara, kita harus mengakui bahwa keputusan ini berlandaskan kemanusiaan. Namun secara emosional, guru tetap merasa kehilangan momen simbolik yang sangat berarti.
Apalagi bagi guru yang datang dari jauh seperti Dr. Paidi.
HUT PGRI Ke-80: Momen Besar, Harapan Besar
Usia 80 tahun organisasi PGRI bukanlah usia biasa. Ini adalah usia yang sarat perjuangan, sejarah, dan dedikasi. Maka sangat wajar bila banyak guru anggota PGRI berharap presiden hadir secara langsung dan sebagai bentuk penghargaan moral dan simbolik.
Bagi Dr. Paidi, kehadiran presiden akan menjadi momen yang ia ceritakan kepada guru-guru di Bengkulu. Ia berkata kepada saya:
“Saya datang bukan hanya membawa nama diri saya, tetapi membawa harapan guru-guru di Bengkulu. Kami ingin presiden berdiri di podium PGRI, seperti ketika beliau berdiri di Senayan.”
Ucapannya menggambarkan bagaimana guru-guru dari daerah sangat ingin merasakan kehadiran pemimpin negara dalam momentum besar bagi profesinya.
Diwakili oleh Wakil Mendikdasmen: Sah Secara Protokoler, Kurang di Hati Guru
Wakil Mendikdasmen hadir membawa pesan resmi presiden. Secara protokoler, kehadiran tersebut sah. Namun bagi banyak guru, terutama yang sudah menempuh perjalanan jauh, delegasi tersebut belum cukup untuk memenuhi harapan besar mereka.
Salah satu guru dari Jawa Timur yang duduk di samping Dr. Paidi bahkan berkata:
> “Kalau presiden bisa hadir di Senayan yang isinya banyak siswa dan guru, masa tidak datang ke ulang tahun PGRI yang ke-80?”
Ini bukan soal politik. Ini soal penghargaan emosional dan simbolik.
Komentar Omjay untuk Para Guru
Dalam acara tersebut, saya menyampaikan pandangan saya kepada rekan-rekan guru:
“Kita boleh kecewa, tetapi jangan sampai kekecewaan itu menghapus semangat kita. PGRI telah bertahan 80 tahun bukan karena kehadiran presiden, tetapi karena kekuatan guru-guru seluruh Indonesia.”
Saya juga menyampaikan kepada Dr. Paidi:
“Kehadiranmu dua hari berturut-turut adalah simbol bahwa guru Indonesia tidak pernah setengah hati. Kita hadir dengan cinta, bukan sekadar acara. Dan cinta ini tidak boleh padam meskipun presiden tidak hadir.”
Beliau hanya tersenyum dan menepuk bahu saya.
Itu senyum guru daerah yang tegar.
Dua Kepentingan yang Saling Berhadapan: Kemanusiaan dan Simbol Pendidikan
Keputusan presiden menghadiri Hari Guru Nasional di Senayan lalu tidak hadir di HUT PGRI keesokan harinya membuat kita melihat dua prioritas yang bertemu:
1. Prioritas kemanusiaan → meninjau korban bencana.
2. Prioritas simbolik → hadir di perayaan besar organisasi guru.
Dua-duanya penting.
Dua-duanya benar.
Namun dalam praktik pemerintahan, prioritas kemanusiaan harus didahulukan.
Tetapi kita juga harus jujur bahwa luka emosional guru adalah sesuatu yang harus didengarkan pemerintah ke depannya.
Pelajaran Penting untuk Ke Depan
1. Komunikasi harus lebih transparan dan sensitif
PGRI dan pemerintah harus duduk bersama memastikan tidak ada kesalahpahaman.
2. Guru perlu mendapatkan penghargaan simbolik yang lebih sering
Tidak hanya pada acara kementerian, tetapi juga acara organisasi profesi.
3. Pemerintah perlu mengutamakan pendekatan emosional kepada guru
Karena guru bekerja dari hati, bukan sekadar laporan kinerja.
Penutup: Kekuatan Guru Ada Pada Keikhlasan
HUT PGRI ke-80 tetap berlangsung penuh semangat. Para guru tetap bernyanyi, menari, dan bersorak. Dr. Paidi tetap duduk di barisan tengah, meski rasa kecewa tak dapat disembunyikan. Tetapi beliau tetap hadir dengan sepenuh hati.
Itulah guru Indonesia. Selalu siap bekerja untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kita mungkin tidak selalu mendapat perhatian penuh dari negara, tetapi kita tidak pernah berhenti mengabdi untuk negara. Kita berdiri bukan karena siapa yang datang, tetapi karena siapa kita sesungguhnya:
Pengabdi tanpa pamrih.
Penjaga masa depan bangsa.
Dan bagi saya pribadi, para guru seperti Dr. Paidi adalah bukti bahwa:
PGRI kuat karena gurunya kuat.
Indonesia hebat karena gurunya hebat.
Hidup guru
Hidup PGRI
Solidaritas yes!
Siapa kita? Indonesia
Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay
Guru blogger Indonesia
Blog https://wijayalabs.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar pada blog ini, dan mohon untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan yang benar.