Politik PGRI Adalah Politik Negara, Bukan Politik Partai
Isu politik dalam organisasi profesi guru selalu menjadi topik hangat. Ada yang menganggap PGRI harus jauh dari politik, ada yang berpendapat PGRI justru harus bersuara lantang ketika menyangkut kebijakan pendidikan. Namun satu prinsip yang sejak 1945 sampai hari ini tetap dijaga adalah:
Politik PGRI adalah politik PGRI.
Dan politik PGRI adalah politik negara.
Artinya, PGRI bukan partai politik, bukan corong kepentingan kelompok tertentu, dan bukan alat untuk memenangkan kandidat tertentu. PGRI berdiri sebagai kekuatan moral dan profesi yang berjuang demi masa depan pendidikan Indonesia.
PGRI Terbentuk dari Semangat Kebangsaan
PGRI berdiri pada 25 November 1945, hanya beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan. Para guru di seluruh Nusantara menyatukan diri bukan karena dorongan partai, tetapi karena panggilan negara. Saat itu, bangsa baru merdeka membutuhkan kekuatan pendidikan untuk membangun peradabannya.
Sejak awal, PGRI menetapkan tiga prinsip utama:
Unitaristik: menyatukan semua guru tanpa membedakan latar belakang.
Non-partisan: tidak memihak atau berafiliasi dengan partai politik mana pun.
Kolektif-kolegial: setiap keputusan diambil secara bersama.
Prinsip inilah yang membuat PGRI tetap bertahan sebagai organisasi profesi terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia.
Politik PGRI: Politik Kebijakan, Bukan Politik Kekuasaan
Bukan satu atau dua kali PGRI harus memberikan pandangan kritis terhadap kebijakan pemerintah, terutama ketika menyangkut nasib guru dan kualitas pendidikan. Inilah politik PGRI:
Politik menuntut keadilan bagi guru honorer.
Politik memperjuangkan kesejahteraan dan perlindungan profesi.
Politik mengajukan kritik terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada mutu pendidikan.
Politik membela guru ketika menghadapi persoalan hukum dalam menjalankan tugasnya.
PGRI tidak berpolitik untuk merebut kekuasaan, tetapi untuk memastikan pendidikan bangsa berjalan dengan benar.
Inilah politik moral.
Inilah politik kebijakan.
Inilah politik PGRI.
Komentar Ayah Didi: “Politik PGRI adalah Politik Negara, Seperti TNI”
Seorang tokoh PGRI yang dihormati, Ayah Didi, pernah menyampaikan komentar yang sangat dalam dan relevan:
> “Politik PGRI adalah politik negara, seperti TNI.”
Maknanya sangat jelas:
PGRI setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan kepada partai.
PGRI mengabdi pada kepentingan pendidikan nasional, bukan pada urusan electoral.
PGRI berdiri di atas semua golongan, sebagaimana TNI menjaga kedaulatan tanpa memihak partai politik mana pun.
Jika TNI menjaga republik melalui pertahanan, guru menjaga republik melalui pendidikan. Keduanya sama-sama benteng negara.
Komentar Ayah Didi ini menjadi pengingat penting agar PGRI tidak terseret arus politik praktis yang bisa merusak persatuan organisasi.
Netralitas PGRI: Aktif, Bukan Pasif
Sering muncul anggapan bahwa PGRI harus diam demi menjaga netralitas. Padahal netralitas tidak berarti pasif. PGRI tetap harus bersuara ketika:
Guru honorer tidak mendapatkan kepastian kerja.
Kebijakan kurikulum berubah tanpa kajian matang.
Pendidikan dijadikan komoditas politik.
Guru diposisikan sebagai alat kampanye.
PGRI netral dari partai politik, tetapi tidak netral dari masalah pendidikan.
PGRI tidak boleh diam ketika guru dizalimi atau profesi dilemahkan.
Netralitas PGRI adalah netralitas bermartabat: tidak memihak partai, tetapi memihak pendidikan.
Menjaga Rumah Besar Bernama PGRI
PGRI adalah rumah besar bagi jutaan guru Indonesia. Di rumah besar inilah guru menemukan perjuangan bersama, kekuatan bersama, serta perlindungan ketika menghadapi masalah.
Namun rumah besar ini bisa rapuh jika perbedaan pilihan politik individu dibawa masuk ke dalam organisasi. Karena itu, PGRI harus teguh menjaga prinsip unitaristik. Perbedaan di luar boleh, tetapi di dalam PGRI harus satu suara: memperjuangkan pendidikan.
Jika rumah ini kokoh, guru terlindungi.
Jika rumah ini retak, guru kehilangan sandaran.
Guru: Agen Perubahan, Bukan Alat Politik
Guru adalah figur teladan di masyarakat. Karena itu, posisi guru sering dijadikan incaran politisi. Ini berbahaya jika tidak dikawal dengan baik.
Guru adalah pendidik, bukan penggerak massa.
Guru adalah pencerdas bangsa, bukan komoditas elektoral.
Guru adalah pemimpin peradaban, bukan objek politik praktis.
PGRI lah yang harus memastikan martabat guru tetap terjaga.
Penutup: Saatnya Menjaga Khitah PGRI
Dalam suasana politik nasional yang makin kompetitif, PGRI harus kembali meneguhkan prinsip dasarnya: mengabdi pada profesi guru dan negara.
Maka tepatlah pesan ini:
“Politik PGRI adalah Politik PGRI.
Politik PGRI adalah Politik Negara.
Dan politik negara adalah pengabdian kepada Indonesia.”
Selama prinsip ini dipegang teguh, PGRI akan tetap menjadi kekuatan moral bangsa dan benteng pendidikan Indonesia.
Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay
Guru blogger Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar pada blog ini, dan mohon untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan yang benar.