Selamat Datang di Blog Wijaya Kusumah

Untuk Pelayanan Informasi yang Lebih Baik, maka Isi Blog Wijaya Kusumah juga tersedia di blog baru di http://wijayalabs.com

Minggu, 12 Oktober 2025

Gaji Guru Kecil Ketika Pensiun Lalu Bahagiakan Guru PNS yang Pensiun?

Bahagiakah Guru PNS yang Pensiun?

Oleh: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay)
Guru Blogger Indonesia – Sekjen Ikatan Guru Informatika PGRI

“Bahagiakah guru PNS yang pensiun?”
Pertanyaan itu sederhana, tapi jawabannya tidak sesederhana senyum yang biasanya terpancar dari wajah seorang guru saat melepas masa baktinya. Di satu sisi, tentu bahagia — karena setelah puluhan tahun mengabdi untuk mencerdaskan anak bangsa, akhirnya tiba masa untuk beristirahat dengan tenang. Namun di sisi lain, ada juga rasa kehilangan yang perlahan menyelinap, terutama ketika menyadari bahwa pendapatan yang diterima tak lagi sebesar saat masih aktif mengajar.

Seorang sahabat saya, Didi Suprijadi dari PGRI, pernah menulis dengan jujur dan menyentuh:

> “Guru PNS yang pensiun pasti orang paling bahagia, apalagi melihat anak-anak didiknya berkembang menjadi orang yang terhormat. Pekerjaan guru termasuk yang paling mulia, dan jarang tersentuh urusan hukum seperti KPK karena tak banyak bersinggungan dengan keuangan—kecuali kalau merangkap kepala sekolah.”

Kalimat itu menggambarkan betapa luhur dan bersihnya profesi guru. Tidak banyak profesi lain yang bisa tetap berdiri dengan kepala tegak, penuh kehormatan, bahkan setelah pensiun. Namun, kebahagiaan itu tetap dibayangi oleh kenyataan finansial yang berbeda.

Pendapatan yang Jauh Berbeda Setelah Pensiun

Ketika seorang guru PNS masih aktif, pendapatannya bisa berlapis-lapis:

1. Gaji pokok Rp 4 juta

2. Tunjangan Profesi Guru (TPG) Rp 4 juta

3. Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) Rp 10 juta

4. Tunjangan lainnya Rp 2 juta
Total: Rp 20 juta per bulan.

Namun begitu pensiun, semua tunjangan itu menguap — yang tersisa hanyalah 80 persen dari gaji pokok, sekitar Rp 3,2 juta. Jelas, perbedaan yang mencolok antara masa aktif dan masa pensiun ini menimbulkan “kejutan psikologis” bagi banyak guru. Tidak heran bila banyak di antara mereka yang mendadak merasa sepi, bukan karena kehilangan rutinitas mengajar, melainkan karena dompet yang ikut “pensiun”.

Guru yang dulu terbiasa menabung, memberi sumbangan, atau membantu murid dan tetangga, kini harus menyesuaikan diri dengan kehidupan yang lebih sederhana. Tetapi meski penghasilan berkurang drastis, semangat dan nilai kehidupan yang mereka wariskan justru tak ternilai.

Solusi dan Harapan Guru Pensiunan

Didi Suprijadi mengungkapkan harapan besar agar kelak sistem gaji guru diubah menjadi gaji tunggal (single salary system) dengan besaran yang lebih layak, antara Rp 20–25 juta per bulan.
Dengan begitu, ketika pensiun, seorang guru masih bisa menikmati 80 persen dari jumlah itu — sekitar Rp 16 juta. Jumlah yang memungkinkan mereka hidup layak di masa tua tanpa harus bergantung pada anak-anaknya.

Tentu, harapan ini bukan sekadar soal uang. Tapi lebih kepada penghargaan negara terhadap jasa dan pengorbanan seorang guru. Mereka bukan hanya mengajar pelajaran, tapi juga menanamkan nilai kehidupan. Dalam setiap huruf yang ditulis di papan tulis, ada pengabdian yang tak bisa diukur dengan nominal.

Menjadi Bahagia Meski Pendapatan Berkurang

Namun, tidak semua guru pensiunan merasa sedih. Irianto Gunawan, seorang guru senior yang kini telah pensiun, menulis tanggapan yang indah:

> “Itu besaran penghasilan guru di daerah yang surplus. Rata-rata penghasilan guru secara umum sekitar 7–10 juta. Kami pensiun golongan IV/c menerima 5 juta lebih. Tapi lebih bahagia lagi menjadi pensiunan yang masih bisa ikut mengabdi di PGRI, membantu menyelesaikan masalah guru-guru aktif agar mereka bisa tenang menjalankan tugas mulianya.”

Kalimat itu adalah cermin kebahagiaan sejati. Bahagia bukan karena angka di slip gaji, melainkan karena masih bisa memberi manfaat bagi sesama. Banyak guru pensiunan yang kini menjadi pengurus PGRI di daerahnya masing-masing. Mereka berbagi pengalaman, menjadi konsultan pendidikan, atau sekadar teman curhat bagi guru muda yang sedang berjuang menghadapi tantangan zaman digital.

Investasi Tak Ternilai: Jasa dan Kenangan

Saya, Wijaya Kusumah, atau yang biasa disapa Omjay, melihat hal ini dari sisi yang lebih dalam. Guru seperti Didi Suprijadi mungkin tidak lagi menerima TKD belasan juta setiap bulan, tapi ia memiliki investasi yang nilainya jauh lebih besar: investasi kenangan, jasa, dan doa dari murid-muridnya.

Setiap kali seorang murid sukses dan mengingat gurunya, di sanalah kebahagiaan yang sesungguhnya. Tidak ada bunga deposito atau saham yang bisa menandingi nilai itu. Itulah dividen moral yang hanya dimiliki oleh guru — dan bertahan seumur hidup.

Saya sering katakan kepada teman-teman guru, baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun:

> “Gaji pensiunan boleh kecil, tapi jasa seorang guru untuk bangsa sangat besar. Guru profesional dan inspiratif akan selalu hidup di hati muridnya.”

Guru sejati tidak pernah benar-benar “pensiun”. Mereka mungkin tak lagi berdiri di depan kelas, tapi suaranya tetap hidup di kepala murid-muridnya. Kata-kata bijak, nasihat sederhana, bahkan senyuman yang dulu mungkin dianggap biasa, kini menjadi pelita bagi generasi penerus bangsa.

Guru Profesional dan Inspiratif Tak Pernah Pudar

Kebahagiaan sejati guru pensiunan bukan hanya diukur dari uang yang mereka terima tiap bulan, melainkan dari seberapa banyak cinta yang mereka tanam selama mengajar. Guru profesional dan inspiratif tidak akan pernah dilupakan muridnya. Mereka akan dikenang bukan karena jabatan atau gelar, tapi karena ketulusan.

Kita bisa mencontoh banyak guru senior yang setelah pensiun tetap aktif menulis, berbagi ilmu di media sosial, mengikuti kegiatan PGRI, atau bahkan menulis buku inspiratif. Ada pula yang menjadi relawan pendidikan, mengajar anak-anak di pelosok, tanpa pamrih. Di sanalah terlihat bahwa semangat mendidik bukan urusan gaji, tapi urusan hati.

Penutup: Bahagia Karena Pernah Mengabdi

Jadi, apakah guru PNS yang pensiun bahagia?
Jawabannya: ya, bila ia pernah mengabdi dengan hati.

Meski pendapatan menurun drastis, kebahagiaan mereka tetap utuh karena diisi oleh rasa bangga. Mereka telah melahirkan ribuan anak bangsa yang kini menjadi pemimpin, dokter, insinyur, pengusaha, bahkan guru baru yang meneruskan semangatnya.

Selama masih ada murid yang berkata, “Terima kasih, Bu Guru. Terima kasih, Pak Guru,” — maka kebahagiaan seorang pensiunan tak akan pernah habis.
Karena sejatinya, guru tidak pernah benar-benar berhenti mengajar. Mereka hanya berpindah kelas — dari ruang sekolah ke ruang kehidupan.

---

Omjay menutup dengan refleksi:

> “Guru profesional dan inspiratif akan selalu di hati muridnya. Jangan hitung berapa besar gaji yang hilang, tapi hitunglah berapa banyak cinta yang tertinggal.”

🖋 Ditulis untuk Melintas.id dan Kompasiana, dalam rangka menghargai jasa guru-guru pensiunan yang tetap menginspirasi Indonesia.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar pada blog ini, dan mohon untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan yang benar.