Ketika PGRI Dimaki, Saatnya Menunjukkan Jati Diri
Oleh: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay)
Guru Blogger Indonesia, Sekjen IGTIK PGRI
---
Beberapa hari ini, jagat media sosial mendadak ramai. Beragam komentar pedas dan cemoohan ditujukan kepada organisasi guru tertua di negeri ini — Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Di kolom komentar Facebook dan grup WhatsApp, saya membaca banyak keluhan yang bernada getir.
> “PGRI cuma bisa mungut iuran!”
“Giliran guru ditangkap polisi, diam seribu bahasa.”
“Ngapain ada PGRI kalau nggak pernah bela guru?”
Kalimat-kalimat itu menusuk hati. Bukan karena semuanya benar, tapi karena di baliknya tersimpan rasa kecewa yang dalam dari para guru sendiri. Mereka mencintai PGRI, tapi juga menuntut kehadiran yang nyata saat rekan-rekannya sedang susah.
Kasus di Lebak yang Mengusik Nurani
Kita tahu, baru-baru ini publik digemparkan oleh kasus di Lebak, Banten. Seorang kepala sekolah menampar siswanya yang kedapatan merokok dan berbohong.
Sang siswa mengaku sakit hati, orang tua marah, dan akhirnya kasus itu berlanjut ke ranah hukum.
Di sisi lain, sang kepala sekolah menangis. Ia merasa tidak berniat melakukan kekerasan, hanya spontan bereaksi karena ingin menegakkan disiplin.
Namun, masyarakat menilai lain. Berita menyebar cepat di media sosial, disertai hujatan yang memojokkan guru.
Sayangnya, nama PGRI pun ikut terseret. “Mana suara PGRI?” begitu suara netizen menggema di kolom komentar.
Omjay: Jangan Diam Saat Guru Diserang
Sebagai bagian dari keluarga besar PGRI, saya ikut prihatin.
Saya memahami betapa sulitnya posisi para pengurus di daerah.
Di satu sisi, mereka harus menenangkan publik dan menghormati proses hukum.
Di sisi lain, mereka dituntut untuk cepat turun tangan membela anggotanya.
> “PGRI tidak boleh diam ketika guru sedang diserang,” kata saya dalam satu diskusi.
“Kalau kita terus diserang di media sosial tanpa klarifikasi, citra organisasi rusak.
Kita harus berani bicara dan menjelaskan duduk perkaranya secara jujur.”
Saya percaya, PGRI bukan organisasi penonton.
Ia lahir dari semangat perjuangan para guru, bukan dari ketakutan akan kehilangan jabatan.
Kalau hari ini kita takut bersuara, maka esok kita akan kehilangan kepercayaan dari anggota sendiri.
Sumardiansyah: Advokasi Itu Tak Selalu di Media
Saya juga sempat berbincang dengan sahabat saya, Dr. Sumardiansyah Perdana Kusuma, Ketua APKS PGRI sekaligus Wakil Sekjen PB PGRI.
Ia menjelaskan bahwa banyak orang tidak tahu kalau pendampingan hukum terhadap guru sudah dan sedang dilakukan, hanya saja tidak semua bisa dipublikasikan.
> “Proses advokasi tidak selalu bisa diumumkan di media sosial,” ujar Sumardiansyah.
“Ada etika yang harus dijaga, apalagi kalau kasusnya masih dalam tahap penyelidikan. Tapi percayalah, PGRI tidak tinggal diam.”
Saya tahu betul, Sumardiansyah adalah sosok yang selalu berdiri di barisan depan saat guru bermasalah.
Namun, di era digital ini, diam sering disalahartikan sebagai tidak peduli.
Padahal, bisa jadi para pengurus sedang bekerja keras di balik layar, bernegosiasi, menenangkan semua pihak, agar kasus tak berakhir tragis.
Ujian Kepemimpinan di Tengah Badai Kritik
Untuk PGRI Lebak dan PGRI Provinsi Banten, ini adalah ujian kepemimpinan yang sesungguhnya.
Bukan sekadar mengurus rapat, kegiatan, atau seremoni. Tapi bagaimana berdiri tegak saat badai datang.
> “Kalau takut kehilangan jabatan, jangan jadi pengurus PGRI,” begitu pesan saya kepada para sahabat pengurus di daerah.
“Pemimpin sejati justru tumbuh dari keberanian menghadapi kritik, bukan dari kenyamanan di kursi jabatan.”
PGRI adalah rumah besar kita.
Kalau rumah ini retak oleh kesalahpahaman, tugas kita bukan saling menyalahkan, tapi memperbaikinya bersama.
Kritik Itu Vitamin, Bukan Racun
Saya justru bersyukur melihat banyak guru yang berani bersuara lantang di media sosial.
Itu tanda masih ada harapan.
Organisasi yang tidak dikritik adalah organisasi yang sudah tidak dianggap penting.
Maka, mari jadikan kritik sebagai vitamin yang menyehatkan PGRI.
Jangan disikapi dengan marah, tapi dengan introspeksi.
Kalau memang ada kekurangan dalam komunikasi dan keberpihakan, mari kita perbaiki bersama.
Penutup: Saatnya PGRI Bangkit Kembali
Sebagai Guru Blogger Indonesia, saya ingin mengajak kita semua untuk tidak hanya melihat PGRI dari kacamata negatif.
Organisasi ini sudah berjuang puluhan tahun mendampingi guru, dari Sabang sampai Merauke.
Namun memang, zaman telah berubah.
Kini, guru menuntut kecepatan, transparansi, dan kehadiran nyata — bukan sekadar janji atau surat resmi.
Karena itu, PGRI harus beradaptasi.
Harus hadir di ruang publik, menjelaskan posisi dengan bahasa yang sederhana dan empatik.
Tunjukkan bahwa PGRI masih punya hati, masih punya nyali, dan masih punya jiwa perjuangan.
Dan bagi para pengurus di Lebak dan Banten, jangan gentar menghadapi badai.
Badai pasti berlalu, tapi keberanian akan dikenang selamanya.
Karena di saat PGRI dimaki, justru di situlah jati diri kita diuji.
Apakah kita akan tenggelam dalam cibiran, atau bangkit dan berkata lantang:
“Kami ada untuk guru Indonesia!”
Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay
Guru blogger Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar pada blog ini, dan mohon untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan yang benar.