🥗 MBG: Anak Kenyang, Tapi Belum Tentu Bisa Sekolah!
Omjay: “Sebaiknya Pendidikan Gratis Dulu, Baru Makan Bergizi Gratis”
Oleh: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay) — Guru Blogger Indonesia
Pemerintah sedang gencar mensosialisasikan program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk siswa sekolah di seluruh Indonesia. Tujuannya mulia — memastikan tidak ada anak yang belajar dalam keadaan lapar. Namun di balik niat baik itu, muncul pertanyaan besar: apakah makan bergizi gratis lebih penting daripada pendidikan gratis dan berkualitas?
Sebagai guru dan pemerhati pendidikan, saya (Omjay) merasa perlu mengingatkan agar prioritas kebijakan publik tidak terbalik.
“Makan bergizi itu penting, tapi pendidikan gratis yang bermutu jauh lebih mendesak. Jangan sampai anak kenyang tapi tidak bisa melanjutkan sekolah karena biaya,” begitu refleksi saya dalam berbagai diskusi guru.
🎓 Pendidikan Adalah Fondasi, Gizi Adalah Penguat
Program MBG memang mendapat banyak dukungan dari kalangan kesehatan dan masyarakat. Dr. Siti Nur Aisyah, M.Gizi, pakar gizi dari Universitas Indonesia, menilai:
“Anak yang kekurangan gizi cenderung memiliki kemampuan belajar rendah dan cepat lelah. MBG bisa jadi solusi strategis jika dijalankan dengan standar gizi dan kebersihan yang ketat.”
Selain manfaat kesehatan, program MBG juga berpotensi menggerakkan ekonomi lokal. Sekolah bisa bekerja sama dengan petani, peternak, dan nelayan sekitar untuk menyuplai bahan pangan.
Namun di sisi lain, pertanyaan soal anggaran dan efektivitas pelaksanaan menjadi sorotan utama.
💰 Kontra: Risiko Teknis dan Prioritas Anggaran
Program besar seperti MBG tentu menelan dana triliunan rupiah. Di tengah keterbatasan APBN, banyak kalangan khawatir program ini justru menggeser pos penting lain — terutama untuk perbaikan mutu pendidikan.
Dr. Arif Rachman, M.Ec.Dev, ekonom pendidikan dari Universitas Gadjah Mada, mengingatkan:
“MBG bisa jadi beban fiskal besar bila tidak diimbangi reformasi pendidikan. Guru honorer masih belum sejahtera, sekolah di pelosok masih rusak, dan akses pendidikan menengah belum merata.”
Beberapa kasus keracunan makanan di sekolah pun menjadi alarm bahwa pelaksanaan MBG memerlukan standar pengawasan ketat. Jangan sampai niat baik berubah jadi petaka.
🧠 Omjay: Dana Pendidikan Harus Tepat Sasaran
Sebagai Sekjen Ikatan Guru TIK dan Informatika PGRI, saya menilai bahwa dana pendidikan harus benar-benar tepat sasaran.
Guru adalah kunci pendidikan yang bermutu, maka kesejahteraan dan pelatihan mereka perlu jadi prioritas utama.
“Kalau anak sudah bisa sekolah dengan tenang, baru kita pikirkan bagaimana memastikan mereka makan bergizi setiap hari. Pendidikan adalah fondasi, gizi adalah penguatnya. Jangan terbalik,” ujar saya dalam forum diskusi guru TIK baru-baru ini.
🔄 Jalan Tengah: Sinergi Pendidikan dan Gizi
Sebenarnya, pendidikan dan gizi tidak harus dipertentangkan. Pemerintah bisa menjalankan keduanya secara bertahap dan sinergis.
Prioritaskan dulu pendidikan gratis hingga SMA dan akses merata di seluruh Indonesia, baru kemudian perkuat dengan program makan bergizi berbasis komunitas sekolah.
Keterlibatan masyarakat, koperasi sekolah, hingga UMKM lokal akan membuat MBG tidak sekadar proyek pemerintah, melainkan gerakan sosial yang menyehatkan dan mendidik.
❤️ Penutup:
Anak Kenyang Belum Tentu Cerdas, Tapi Anak Cerdas Pasti Tahu Pentingnya Gizi
Program MBG adalah bentuk kasih sayang negara kepada anak-anaknya. Namun seperti kata pepatah, kasih sayang yang bijak harus tahu mana yang lebih dulu dibenahi.
Pendidikan gratis yang berkualitas adalah kunci kemajuan bangsa. Setelah fondasi itu kuat, barulah kita pastikan anak-anak Indonesia tumbuh sehat dan bergizi.
“Anak yang berpendidikan akan tahu pentingnya gizi, tapi anak yang hanya diberi gizi tanpa pendidikan belum tentu tahu arah hidupnya.”
— Omjay, Guru Blogger Indonesia
Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay
Guru blogger Indonesia
Setuju, Om. Otaknya dulu yang dikembangkan oleh pendidikan gratis
BalasHapusSepakat
Hapus