Selamat Datang di Blog Wijaya Kusumah

Untuk Pelayanan Informasi yang Lebih Baik, maka Isi Blog Wijaya Kusumah juga tersedia di blog baru di http://wijayalabs.com

Minggu, 30 November 2025

pgri dan jati diri guru serta kisah kisah yang menyejukkan hati

PGRI, JATI DIRI GURU, DAN CERITA-CERITA YANG MENGHIBURKAN HATI
Oleh: Wijaya Kusumah – Omjay

Percakapan pagi di WhatsApp Group PGRI itu selalu menyimpan kejutan. Ada tawa, ada kritik, ada keprihatinan, tapi semuanya berputar pada satu titik: kecintaan pada organisasi guru tertua dan terbesar di republik ini. Hari itu, obrolan terasa lebih panas dari biasanya. Ada yang mengingatkan sejarah Hari Guru Nasional, ada yang mengomentari sikap pemerintah, ada yang menyentil kebijakan organisasi lain, dan ada pula yang memohon maaf bila tulisan atau ucapan menyinggung pihak tertentu. Namun, di balik semua riuh itu, saya justru merasakan satu hal yang menghibur—bahwa PGRI masih punya ruh, masih punya nyawa, dan masih punya keluarga besar yang tak pernah lelah menjaga marwahnya.

Dari pesan Pak Defrion yang bilang, “Berikan lagi infonya sama pemerintah tentang sejarah Hari Guru Nasional itu Ayah. Mana tahu mereka sudah mulai pikun,” saya tersenyum sendiri. Bukan karena pesannya lucu, tetapi karena pesan itu menegaskan satu hal: guru itu memang penjaga sejarah, penjaga tradisi, sekaligus penjaga akal sehat bangsa. Ketika negara lupa, guru yang mengingatkan. Ketika kebijakan melenceng, guru yang menegur. Dan ketika ada yang mencoba mengaburkan sejarah HGN, guru pula yang berdiri paling depan untuk meluruskannya.

Lalu, Pak Prameswara menimpali dengan nada yang lebih serius. Ia meraba kemungkinan bahwa ada “kesengajaan” dalam mencampuradukkan HUT PGRI dengan HGN. Bahkan beberapa kebijakan baru dinilai mulai menggeser peran organisasi guru terbesar ini. Diskusi makin hangat saat Pak Didi Suprijadi menyampaikan permohonan maaf soal tulisannya yang cukup menohok: “Dirjen GTK Keliru, Mengundang Organisasi Pendidikan dalam Acara HGN.” Dalam dunia organisasi, kritik seperti itu adalah hal lumrah—asal tidak melukai hati dan tetap berdasarkan fakta. Dan Pak Didi, seperti yang kita semua tahu, selalu menyampaikan kritik dengan niat membenahi, bukan membelah.

Diskusi makin mengalir ke pertanyaan besar: “Sejak kapan HUT PGRI dipisahkan dari Hari Guru? Apa alasannya? Siapa tokoh-tokoh yang mendesain perubahan itu?” Pertanyaan yang tidak hanya butuh jawaban dokumenter, tetapi juga butuh kejujuran sejarah. Dan itulah mengapa diskusi ini penting: agar guru tidak hanya ikut arus, tetapi juga paham arah.

Lalu muncul cerita menarik dari seorang rekan yang mengisahkan momen dramatis saat HUT PGRI/HGN yang digelar pemerintah di Sentul. Ketika penempatan logo organisasi tertentu terlalu menonjol sementara logo PGRI justru seperti “dihilangkan”, ia tiba-tiba mengambil langkah spontan: mendatangi bagian kamera, menegur, dan meminta agar logo PGRI ditampilkan. “Kalau tidak, teman-teman di gedung akan datang dan ngrubut situ,” katanya sambil mengingat kejadian itu. Saya bisa membayangkan wajah kameramennya yang pucat pasi. Tapi dari situ kita belajar: marwah organisasi memang harus dijaga—dengan cara yang terhormat, tetapi tegas.

Di tengah riuh diskusi, muncul komentar Bu Unifah Rosyidi. Tegas, jelas, dan menenangkan. Ia mengingatkan bahwa jabatan eselon yang mengurus guru dulu lahir dari perjuangan PGRI. Bahwa ada pihak yang mungkin bermimpi “merebut” PGRI setelah pensiun. Bahwa kita harus waspada, menjaga AD/ART, dan tidak memberi ruang bagi mereka yang “bermain dua kaki”. Ungkapan yang menggetarkan, tetapi juga membakar semangat—sebab organisasi ini memang lahir dari keringat, air mata, dan pengorbanan guru.

Di tengah percakapan yang serius, saya pun menambahkan komentar kecil yang membuat suasana mencair:
“Kan dulu Omjay paling benci sama PGRI. Tapi setelah ketemu Ayah Didi, benci itu berubah jadi benar-benar cinta. Hehehe…”
Kadang, saya memang harus menyelipkan humor. Bukan untuk membuat orang lupa masalah, tetapi untuk membuat masalah itu tidak membebani hati. Guru harus berani belajar, termasuk belajar mencintai lagi organisasi yang dulu pernah dikecewakan.

Dan benar saja, dari candaan itu muncul ide baru:
"Kalau pensiunan guru bagaimana? Biar Ayah Didi jawab. Siapa tahu jadi artikel baru dengan judul Pensiunan Guru Republik Indonesia. Hahaha."

Tawa kecil itu menyadarkan saya bahwa kekuatan PGRI bukan pada gedung, bukan pada jabatan, bukan pada seragam, tetapi pada relasi hangat antaranggotanya. Pada keberanian bicara jujur tetapi tetap menjaga perasaan. Pada ruh kebersamaan yang sudah mengakar sejak 1945.

---

PGRI itu rumah, bukan sekadar organisasi.
Rumah tempat guru pulang ketika terluka, tempat guru bersuara ketika terabaikan, dan tempat guru berdiri bersama ketika harga dirinya disentuh. Karena itu, bila ada gejala “penggembosan”, wajar jika banyak yang resah. Bila ada kebijakan yang tak adil, wajar bila kita bersuara. Tetapi semua harus dilakukan dengan sejuk, santun, dan tetap menghibur hati—seperti diskusi kita pagi itu.

Saya percaya, sejarah HGN dan HUT PGRI tidak akan pernah hilang selama kita menjaga cerita-cerita kecil di baliknya. Cerita tentang mereka yang mengingatkan pemerintah, mereka yang mempertanyakan kebijakan, mereka yang membela organisasi, dan mereka yang tetap bisa tertawa di tengah kegaduhan.

Dan kepada seluruh guru yang membaca artikel ini, izinkan saya menutup dengan satu ajakan:

Mari tetap hangat meski berbeda pendapat.
Mari tetap bersatu meski diuji berbagai kepentingan.
Mari tetap berkhidmat pada guru, sebab dari gurulah bangsa ini berdiri.

Kalau pun ada yang ingin merebut PGRI, percayalah—yang mereka akan hadapi bukan hanya sebuah organisasi, tetapi keluarga besar guru se-Indonesia yang hatinya sudah menyatu dengan organisasi ini.

Dan hati guru, sebagaimana kita tahu, tidak pernah bisa direbut—kecuali dengan cinta.

Omjay, yang dulu benci PGRI lalu jatuh cinta benar-benar. Benci berubah menjadi benar benar cinta. Organisasi guru sebaikya diurus oleh guru yang memiliki kepemimpinan guru tangguh berhati cahaya. Siapakah guru tersebut?

Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

cerdas digital mandiri finansial

Kisah Wijaya Kusumah 

Cerdas Digital, Mandiri Finansial: Kisah Omjay dari 1998 hingga Hari Ini

Oleh: Wijaya Kusumah – Omjay, Guru Blogger Indonesia

Ketika saya menatap kembali perjalanan hidup sejak tahun 1998—tahun ketika saya menggenapkan separuh agama dengan menikahi perempuan terbaik yang Allah kirimkan untuk saya—ada satu kata yang terus menggema dalam hati: syukur.
Syukur karena hidup ini penuh liku, tetapi setiap liku itu membawa pelajaran.
Syukur karena setiap kesulitan ternyata menyiapkan diri saya menuju masa yang lebih baik.
Dan syukur karena perjalanan panjang ini akhirnya membuat saya memahami arti dua hal penting: cerdas digital dan mandiri finansial.

Kisah ini bukan hanya tentang seorang guru. Ini tentang seorang suami, ayah, pencari nafkah, pejuang literasi, dan manusia biasa yang berjuang meniti langkah kecil demi langkah kecil hingga akhirnya bisa berdiri tegak seperti hari ini.

Awal Pernikahan: Hidup Sederhana yang Penuh Makna

Saya menikah pada tahun 1998, tahun yang penuh gejolak. Indonesia sedang diguncang krisis moneter, harga-harga melambung, dan banyak orang kehilangan pekerjaan. Namun di tengah badai itu, saya justru memulai kehidupan baru bersama istri tercinta.

Gaji guru honorer saat itu tidak cukup untuk hidup nyaman. Jangankan menabung, untuk makan sehari-hari pun kami harus benar-benar mengatur. Tetapi kami punya satu hal yang membuat hidup tetap hangat: keyakinan bahwa Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya yang mau berusaha jatuh terlalu lama.

Saya bekerja apa saja. Mengajar, menulis, membuat modul, menjaga warnet, mengelola lab komputer, bahkan menerima job kecil-kecilan memperbaiki laptop dan komputer teman. Dari sinilah saya mulai mengenal dunia digital lebih dalam, jauh sebelum istilah cerdas digital menjadi tren seperti hari ini.

Internet, Blog, dan Jalan Rezeki yang Tak Disangka

Tahun 2005 menjadi titik balik penting. Saya mulai menulis blog. Awalnya hanya sebagai catatan harian—tempat saya menyalurkan keresahan dan menyimpan pengalaman. Tak disangka, blog itu membuka pintu rezeki yang tak pernah saya bayangkan.

Dari menulis blog, saya mulai diminta mengisi pelatihan. Dari pelatihan, saya dipanggil sekolah-sekolah untuk membantu program digitalisasi. Lalu tulisan-tulisan itu berubah menjadi buku, buku menjadi royalti, dan royalti menjadi salah satu sumur rezeki yang terus mengalir hingga kini.

Dari situlah saya belajar:
Cerdas digital bukan soal jago teknologi, tapi mampu memanfaatkan teknologi untuk memberi manfaat dan menambah nilai hidup.

Saya hanya guru biasa. Tapi internet membuat saya bisa berbagi ilmu kepada ribuan orang.
Saya hanya menulis dari rumah kontrakan. Tapi tulisan itu bisa dibaca dari Sabang sampai Merauke.
Saya hanya mengetik dari ruang tamu kecil. Tapi efeknya menjangkau ruang-ruang kelas yang tak pernah saya datangi secara fisik.

Itulah keajaiban dunia digital yang saya alami langsung.

Belajar Mandiri Finansial: Dari 0 hingga Lebih Percaya Diri

Saya dibesarkan dalam keluarga sederhana. Karena itu, sejak awal menikah saya tak ingin hidup menggantungkan masa depan pada gaji saja. Guru harus cerdas, bukan hanya dalam mengajar, tetapi juga dalam mengatur masa depan.

Saya belajar mengelola uang sedikit demi sedikit. Menabung dengan sangat disiplin, meskipun hanya lima ribu atau sepuluh ribu per hari. Ini kebiasaan yang saya bawa sampai hari ini.

Saya juga belajar:

membuat sumber pendapatan tambahan

menjadikan keterampilan digital sebagai aset

menulis buku sebagai investasi jangka panjang

mengikuti pelatihan agar kemampuan terus berkembang

menghindari hutang konsumtif

dan membuka peluang usaha kecil-kecilan bersama keluarga.

Kemandirian finansial bukan berarti menjadi kaya raya.
Bagi saya, mandiri finansial adalah ketika kita bisa hidup tenang tanpa khawatir berlebihan tentang uang.

Mampu menghidupi keluarga dengan layak, membantu orang tua, menyekolahkan anak-anak hingga jenjang tinggi, serta menyisihkan sebagian untuk sedekah dan berbagi.

Begitulah makna kemandirian yang saya yakini.

Ujian Hidup yang Menguatkan

Dalam perjalanan panjang itu, tentu tidak semuanya mulus. Ada masa-masa saya merasa gagal sebagai suami. Ketika ekonomi serba sulit, saya sering merenung panjang: Apakah saya sudah cukup berjuang? Apakah saya sudah menjadi kepala keluarga yang baik?

Namun setiap tantangan justru membentuk karakter. Kami pernah menabung bertahun-tahun hanya untuk sebuah keinginan sederhana: bisa memiliki rumah sendiri. Dan akhirnya, dengan kerja keras dan banyak keajaiban, kami berhasil.

Kami pernah hampir menyerah membiayai kuliah anak-anak. Tapi lagi-lagi, Allah menunjukkan jalan. Rezeki datang dari arah yang tidak disangka-sangka: dari menulis, mengajar, pelatihan, undangan seminar, bahkan dari pertemuan-pertemuan kecil yang saya lakukan sebagai guru blogger.

Semua itu membuat saya semakin yakin:
Rezeki itu bukan tentang jumlah, tetapi tentang keberkahan.

Cerita Hari Ini: Tetap Mengabdi, Tetap Belajar

Kini waktu berjalan begitu cepat. Dari suami muda berusia 30-an, saya menjadi ayah yang anak-anaknya sudah dewasa. Dari guru biasa, saya diberi amanah untuk berbagi ilmu ke banyak daerah. Dari penulis amatir, saya diberi kesempatan menulis puluhan buku.

Namun satu hal tetap sama: saya tetap belajar setiap hari.
Dunia digital berubah begitu cepat. Guru harus terus update, harus adaptif, harus mau terus meningkatkan diri. Karena itulah saya selalu mendorong para guru Indonesia untuk:

melek teknologi

menulis

mengelola media sosial dengan bijak

membangun jejaring positif

dan berdaya secara finansial

Guru yang cerdas digital akan lebih mudah menjadi guru yang mandiri finansial.
Dan guru yang mandiri finansial akan lebih tenang dalam mengajar.

Penutup: Hidup Adalah Perjalanan, Bukan Perlombaan

Setelah lebih dari 27 tahun menikah, saya memahami satu hal sederhana:
Hidup bukan perlombaan menuju kesuksesan, tapi perjalanan panjang menuju kebijaksanaan.

Jika hari ini Anda sedang berjuang dalam ekonomi, dalam karier, atau dalam keluarga, ingatlah:

Setiap orang punya waktunya.
Setiap keluarga punya perjuangannya.
Setiap rezeki punya jalurnya.

Yang penting kita terus bergerak, terus belajar, terus berbuat baik, dan terus menjaga integritas.

Saya, Omjay, hanyalah contoh kecil bahwa guru biasa bisa hidup luar biasa jika mau berjuang dan memanfaatkan teknologi dengan bijak.

Semoga kisah sederhana ini menguatkan siapa pun yang membacanya.
Terima kasih sudah setia mengikuti perjalanan hidup saya hingga hari ini.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Sabtu, 29 November 2025

pgri abadi samgat 80 tahun yang tak pernah padam untuk negeri

PGRI ABADI: SEMANGAT 80 TAHUN YANG TAK PERNAH PADAM
Liputan Langsung Omjay dari Britama Arena, Kelapa Gading – Jakarta

Hari ini, Britama Arena Kelapa Gading berubah menjadi lautan manusia. Ribuan guru dari seluruh penjuru negeri berdatangan sejak pagi, membawa bendera kabupaten, spanduk daerah, hingga nyanyian riang yang membuat suasana di pintu luar arena terasa seperti festival persatuan profesi terbesar di Indonesia. Inilah puncak perayaan HUT ke-80 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), sebuah momentum bersejarah yang membuktikan bahwa PGRI bukan sekadar organisasi profesi — tetapi rumah besar para pendidik Indonesia. Sebuah rumah yang abadi oleh waktu, sejarah, dan pengabdian.

Keramaian yang Menggetarkan: Guru Berkumpul dari Sabang sampai Merauke

Sejak memasuki area depan Britama Arena, saya—Omjay—melihat rombongan demi rombongan guru mengenakan seragam khas PGRI. Rombongan dari Jawa Barat datang sambil membawa rebana kecil, rombongan dari NTT bernyanyi lagu daerah dengan penuh semangat, guru-guru dari Kalimantan membawa poster tokoh-tokoh pendidikan, sementara rombongan dari Sumatera hadir membawa semangat budaya yang kental.

Pintu luar arena dipenuhi senyum, pelukan, dan saling tegur sapa. Guru-guru yang mungkin tak pernah bertemu sebelumnya, pagi ini saling menyapa seperti saudara lama. Inilah kekuatan PGRI: persatuan yang melampaui garis geografis dan budaya.

Acara Dimulai Sangat Meriah

Begitu memasuki arena, suasana semakin menggugah. Lampu-lampu panggung, layar LED raksasa, deretan kursi yang dipadati para anggota, hingga musik pembuka yang menggema membuat perayaan ini terasa seperti perhelatan nasional.

Pembawa acara membuka kegiatan dengan penuh semangat, diikuti penampilan seni budaya dari berbagai daerah. Tepuk tangan membahana saat barisan tari tradisional naik ke panggung, memperlihatkan bahwa guru bukan hanya mendidik, tetapi juga penjaga kebudayaan bangsa.

Ketika lagu “Hymne PGRI” dan “Mars PGRI” dikumandangkan, seluruh peserta berdiri tegap. Suara ribuan guru yang bersatu menyanyikan lagu perjuangan itu membuat dada bergetar. Ada rasa haru yang sulit digambarkan: 80 tahun perjuangan, 80 tahun pengabdian, 80 tahun kesetiaan guru kepada bangsa.

PGRI Abadi: Makna 80 Tahun Perjuangan Guru

Usia 80 tahun bukan sekadar angka.
Ini adalah bukti sejarah bahwa PGRI telah melewati zaman demi zaman: masa revolusi, masa transisi, masa reformasi, hingga era digital seperti sekarang. PGRI tetap berdiri tegak sebagai pelindung guru, pembela hak-hak pendidik, sekaligus ruang persatuan dan penguatan profesi.

Sebutan “PGRI Abadi” bukan sekadar tagline.
Ia adalah semangat yang diwariskan dari generasi ke generasi guru Indonesia.
Abadi dalam perjuangan.
Abadi dalam pengabdian.
Abadi dalam cinta kepada pendidikan.

Liputan Langsung Omjay: Melihat Semangat dari Dekat

Sebagai Guru Blogger Indonesia, saya merasa beruntung bisa hadir langsung di lokasi, menyaksikan satu per satu momen yang menggetarkan ini. Saya melihat bagaimana guru-guru senior yang telah puluhan tahun mengajar berjalan pelan namun tetap semangat, bagaimana guru-guru muda berfoto, mendokumentasikan setiap detik, dan bagaimana perayaan ini menjadi bukti bahwa profesi guru ternyata masih sangat dihormati ketika guru mampu bersatu dan menunjukkan eksistensinya.

Setiap wajah menyimpan cerita:
tentang kelas-kelas kecil di pelosok, perjuangan sertifikasi, pengabdian tanpa batas, dan harapan masa depan yang lebih baik untuk dunia pendidikan Indonesia.

Penutup: Semangat yang Tak Pernah Padam

Di HUT ke-80 ini, PGRI menunjukkan bahwa organisasi ini bukan organisasi yang menua—melainkan organisasi yang matang, kuat, dan terus relevan. Kebersamaan ribuan guru di Britama Arena hari ini membuktikan bahwa PGRI tetap menjadi rumah besar bagi semua pendidik yang ingin memperjuangkan martabat profesi.

Dari Britama Arena, saya melihat sendiri betapa PGRI masih hidup, masih semangat, dan masih menjadi tumpuan harapan jutaan guru Indonesia.

PGRI ABADI.
Guru Bersatu, Indonesia Maju.

— Omjay, Guru Blogger Indonesia
Liputan langsung HUT ke-80 PGRI di Britama Arena, Kelapa Gading, Jakarta.
Blog https://wijayalabs.com

Jumat, 28 November 2025

pidato presiden prabowo subianto di puncak hari guru nasional

Pesan Presiden Prabowo di Hari Guru Nasional 2025: Guru adalah Penjaga Masa Depan Bangsa

Hari ini, Jumat 28 November 2025, bangsa Indonesia kembali memberikan penghormatan tertinggi kepada para pendidik yang telah mengabdikan hidupnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Puncak Peringatan Hari Guru Nasional 2025, yang disiarkan langsung melalui kanal resmi Kemdikdasmen, berlangsung megah dan penuh keharuan.

Acara ini tidak hanya dihadiri Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, tetapi juga 78 organisasi pendidikan yang datang dari berbagai wilayah. Atmosfer kebersamaan terasa kuat, seolah seluruh ekosistem pendidikan Indonesia sedang berdiri di ruangan yang sama.

Di antara para tokoh pendidikan, Wijaya Kusumah (Omjay) hadir secara langsung, membawa semangat literasi dan kebersamaan yang selama ini ia gaungkan di dunia pendidikan Indonesia.

Guru adalah Cahaya yang Tak Pernah Padam

Dalam pidatonya, Presiden Prabowo menyampaikan pesan yang menggugah hati:

> “Guru adalah cahaya yang tidak pernah padam. Di tangan merekalah masa depan bangsa dibentuk. Tanpa guru, tidak ada dokter, tidak ada insinyur, tidak ada pemimpin—dan tidak ada saya berdiri di sini hari ini.”

Presiden menegaskan komitmen pemerintah untuk mempermudah tugas guru, memperbaiki kesejahteraan, dan menghadirkan negara secara nyata untuk para pendidik.

Kekuatan Kolaborasi: 78 Organisasi Pendidikan Bersatu

Kehadiran 78 organisasi pendidikan memberikan warna tersendiri pada perayaan kali ini. Mereka datang membawa ide, energi, dan semangat perubahan. Omjay yang berada di tengah-tengah mereka merasakan suasana keakraban yang sangat kuat.

> “Ketika 78 organisasi berkumpul, saya melihat harapan baru. Pendidikan Indonesia bisa melesat jika kita bersatu,” ujar Omjay.

Perayaan ini memperlihatkan sebuah babak baru: dunia pendidikan tidak lagi berjalan sendiri-sendiri, tetapi mulai membangun aliansi kuat berbasis kolaborasi.

Hiburan Dewa 19: Acara Semakin Semarak dan Menggugah

Salah satu momen paling meriah dalam acara ini adalah penampilan grup legendaris Dewa 19. Dengan formasi panggung yang energik, mereka membawakan sejumlah lagu nostalgia yang membuat ruangan bergemuruh.

Guru-guru yang hadir ikut bernyanyi, bertepuk tangan, bahkan berdiri menikmati alunan musik dari band yang menjadi ikon musik Indonesia selama puluhan tahun.

Lagu-lagu seperti:

“Kangen”

“Separuh Nafas”

“Risalah Hati”

menghadirkan suasana haru sekaligus semangat baru.

Penampilan Dewa 19 bukan sekadar hiburan, tetapi penghormatan bagi jutaan guru yang telah memberikan separuh nafasku—separuh hidupnya—untuk murid-murid Indonesia.

Sorak tawa, senyum, dan kebersamaan terasa begitu kuat. Banyak guru yang mengatakan bahwa inilah pertama kalinya Hari Guru dirayakan dengan skala sebesar dan semeriah ini.

Penghargaan dan Air Mata Bahagia

Acara puncak juga memberikan penghargaan kepada guru berprestasi dari berbagai daerah. Para guru dari daerah 3T, guru honorer yang tidak pernah menyerah, guru difabel yang menginspirasi—semuanya mendapatkan sorotan khusus.

Wajah-wajah haru dan bangga terlihat jelas. Banyak yang tidak kuasa menahan air mata.

---

Refleksi Omjay: Guru Kuat, Indonesia Hebat

Di sela acara, Omjay menulis catatan reflektif:

> “Hari ini saya melihat guru benar-benar dihargai. Semoga apa yang disampaikan Presiden Prabowo bukan hanya janji, tetapi kebijakan nyata yang menyentuh kehidupan guru.”

Ia menutup pesannya:

> “Guru kuat, Indonesia hebat. Ketika guru dihormati, bangsa akan berdiri tegak.”

Penutup: Harapan untuk Pendidikan Indonesia

Puncak Peringatan HGN 2025 bukan sekadar perayaan. Ia menjadi simbol bahwa:

Guru kembali ditempatkan sebagai pusat pembangunan bangsa.

Kolaborasi 78 organisasi pendidikan menjadi kekuatan baru.

Pemerintah menunjukkan komitmen untuk hadir bagi guru.

Seni, musik, dan kebudayaan kembali dihidupkan sebagai bagian dari dunia pendidikan.

Pidato Presiden Prabowo menutup acara dengan gagah:

> “Saya titip masa depan Indonesia kepada Anda, para guru. Negara akan menjaga Anda, sebagaimana Anda menjaga generasi bangsa.”

Dengan iringan musik Dewa 19 dan tepuk tangan ribuan insan pendidikan, Hari Guru Nasional 2025 menjadi momen yang tak akan dilupakan.

Selamat Hari Guru Nasional 2025

Untuk seluruh guru di penjuru negeri:
Terima kasih karena telah menjadi cahaya yang tidak pernah redup.

Guru kuat, Indonesia hebat!

Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Rabu, 26 November 2025

ketika menulis menjadi jalan percaya diri

Merayakan Literasi di SKB 02 Jakarta:

Ketika Menulis Menjadi Jalan untuk Percaya Diri

Di sebuah aula sederhana namun penuh semangat di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) 02 Jakarta, Rabu pagi, 26 November, udara terasa berbeda. Tidak ada hiruk-pikuk yang biasa terdengar di sekolah pada umumnya. Yang ada justru suasana tenang, namun penuh energi. Para peserta didik hadir dengan mata berbinar, beberapa masih berbisik malu-malu dengan teman di sebelahnya, sementara guru-guru SKB 02 Jakarta tersenyum bangga melihat aula dipenuhi wajah-wajah penuh harapan.

Pagi itu bukan hari biasa. Pagi itu adalah hari ketika SKB 02 Jakarta merayakan dua hal luar biasa: Workshop Literasi dan Launching Buku karya peserta didik. Dua acara yang tampak sederhana, tetapi memiliki makna besar bagi setiap anak yang hadir. Inilah hari ketika mereka menyaksikan sendiri bagaimana tulisan mereka—yang selama ini hanya bersembunyi di buku catatan—akhirnya menemukan panggungnya.

Kehadiran Omjay: Guru Blogger Indonesia yang Menghangatkan Ruangan

Ketika Omjay memasuki aula, suasana berubah hangat. Nama lengkapnya adalah Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd, tetapi di dunia pendidikan Indonesia, beliau dikenal dengan panggilan akrab Omjay, sang Guru Blogger Indonesia. Kehadirannya tidak hanya sebagai narasumber, tetapi sebagai sosok yang sudah lama menjadi inspirasi, baik bagi guru maupun pelajar.

Tema workshop kali ini adalah:

“Melalui Literasi, Membangun Percaya Diri Peserta Didik.”

Sejak awal sesi, Omjay tidak hanya berbicara, tetapi juga bercerita. Ia menceritakan bagaimana dulu ia memulai menulis dari nol, bagaimana ia pernah minder, dan bagaimana menulis membantunya menemukan suara. Cerita-cerita yang disampaikannya terasa dekat, seolah ia sedang berbicara dari hati ke hati.

“Kalian hebat. Kalian bukan hanya peserta workshop, tapi calon penulis masa depan.”
Kalimat itu saja sudah cukup membuat mata beberapa peserta berbinar.

Kegiatan Menulis Tangan: Saat Pena Menjadi Alat Keberanian

Di tengah materi, Omjay memberikan tantangan sederhana kepada seluruh peserta:
Menuliskan secara langsung—dengan tangan—mengapa mereka ikut workshop literasi hari ini.

Namun bukan hanya itu. Mereka diminta menggunakan teknik dasar kepenulisan yang sering diajarkan Omjay pada para guru di seluruh Indonesia: rumus 5W + 1H.

Peserta pun mulai mengambil buku dan bolpoin. Suasana aula mendadak hening. Bahkan deru kipas angin pun terdengar jelas.

Di atas kertas, mereka menuliskan:

What: Apa yang membuatku hadir di workshop hari ini?

Why: Mengapa literasi penting bagiku?

Where: Di mana aku merasa literasi membantu hidupku?

When: Kapan aku mulai suka membaca atau menulis?

Who: Siapa sosok yang menginspirasiku?

How: Bagaimana workshop ini bisa membuatku lebih percaya diri?

Beberapa anak menunduk dalam-dalam, menulis perlahan. Ada yang menulis cepat, seakan takut kehilangan ide. Ada pula yang berhenti sejenak, menatap langit-langit, mungkin sedang mengumpulkan keberanian menuliskan cerita yang selama ini dipendam.

Omjay berjalan memutari ruangan. Sesekali ia menepuk bahu seorang siswa, membaca sekilas tulisannya, lalu berkata pelan,
“Tulisanmu bagus. Teruskan. Jangan takut salah.”

Momen itu sangat berharga—sebuah validasi yang jarang sekali diterima anak-anak pada zaman yang serba cepat ini. Mereka merasa dihargai, didengar, dan diberi ruang untuk tumbuh.

Dan yang paling menggembirakan, semua tulisan tangan peserta akan dikumpulkan dan dijadikan buku digital. Mereka bukan hanya belajar menulis, tetapi akan menjadi penulis sungguhan.

Launching Buku Karya Peserta Didik: Dari Coretan Menjadi Karya Nyata

Setelah sesi menulis, tibalah saat yang ditunggu-tunggu: Launching Buku karya siswa SKB 02 Jakarta. Buku ini adalah hasil perjalanan panjang. Para siswa menulis sedikit demi sedikit, didampingi guru-guru yang penuh kesabaran.

Ketika buku fisik itu diangkat ke atas panggung, tepuk tangan menggema di seluruh ruangan. Banyak yang tidak percaya bahwa karya sederhana mereka bisa lahir menjadi buku sungguhan. Beberapa siswa bahkan terlihat memeluk buku itu dengan mata berkaca-kaca.

Ada yang berbisik pada temannya,
“Ternyata aku bisa, ya…”

Itulah kekuatan literasi. Ia melahirkan keberanian.

Para siswa dipanggil maju untuk membacakan beberapa cuplikan tulisan mereka. Ada yang membacanya dengan suara gugup, ada yang membacanya sambil tersenyum, dan ada pula yang membaca dengan lantang, menunjukkan bahwa rasa percaya diri itu benar-benar mulai tumbuh.

Orang tua yang hadir tampak tersentuh. Beberapa ibu terlihat menyeka air mata. Guru-guru memandang murid-muridnya dengan bangga, seolah berkata dalam hati: “Perjuangan kita tidak sia-sia.”

Workshop Interaktif: Menulis Itu Mudah… Jika Kita Berani Memulai

Setelah launching, sesi workshop berlanjut dengan tanya jawab. Peserta didik bertanya tentang:

Bagaimana mengatasi rasa takut salah?

Bagaimana mencari ide ketika buntu?

Bagaimana agar tulisan tidak membosankan?

Bagaimana cara memulai blog pribadi?

Omjay menjawab satu per satu dengan sabar, diselingi cerita lucu dan pengalaman nyata sebagai penulis dan blogger.

“Menulis itu bukan soal pintar atau tidak, tapi soal berani atau tidak.
Kalau kalian berani memulai, maka tulisan akan menemukan jalannya sendiri.”

Kalimat ini membuat banyak peserta mengangguk-angguk. Mereka merasa seolah mendapat dorongan baru untuk terus melangkah.

Penutup: SKB 02 Jakarta Menjadi Rumah Literasi yang Menghangatkan

Ketika jam menunjukkan pukul 11.00 WIB, acara harus diakhiri. Namun, semangat para peserta tampak belum padam. Banyak yang masih menghampiri Omjay, meminta tanda tangan, bertanya lebih lanjut, atau sekadar menyampaikan rasa terima kasih.

Guru-guru SKB 02 Jakarta terlihat sangat bahagia. Mereka tahu, bahwa hari itu bukan sekadar acara. Hari itu adalah perjalanan. Hari itu adalah titik balik. Hari itu adalah bukti bahwa ketika anak diberi ruang untuk mengekspresikan diri, mereka mampu menghasilkan karya yang membanggakan.

Melalui workshop literasi ini, SKB 02 Jakarta membuktikan bahwa pendidikan bukan hanya soal angka, laporan, atau nilai. Pendidikan adalah tentang memberi makna, membangun keberanian, dan melahirkan masa depan.

Dan hari itu, literasi menjadi jembatan bagi semua itu.

Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Selasa, 25 November 2025

Mengapa Banyak Orang Hanya Mengucapkan Hari Guru Nasional dan Tidak Mengucapkan Juga HUT PGRI?

Mengapa Banyak Orang Hanya Mengucapkan Hari Guru Nasional, Tetapi Melupakan Hari Ulang Tahun PGRI?

Oleh: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay) – Guru Blogger Indonesia

Tanggal 25 November selalu menjadi hari yang tak terlupakan bagi dunia pendidikan Indonesia. Namun ironinya, justru pada hari yang penuh penghormatan ini, ada sesuatu yang pelan-pelan terlupakan: Hari Ulang Tahun PGRI, rumah besar guru yang telah berjuang sejak 1945.

Hampir seluruh masyarakat hanya mengucapkan Selamat Hari Guru Nasional (HGN). Foto-foto memenuhi media sosial. Ucapan selamat bergema di mana-mana. Sementara itu, HUT PGRI—yang seharusnya menjadi pusat dari peringatan 25 November—nyaris tenggelam dalam kesibukan simbolik.

Mengapa demikian?
Mengapa “anak”-nya dirayakan, sementara “ibunya” dilupakan?


---

1. HGN Lebih Diutamakan Karena Dianggap sebagai Gawai Pemerintah

Banyak yang lebih mengingat HGN daripada HUT PGRI karena HGN dianggap sebagai agenda resmi pemerintah. Guru berada dalam struktur birokrasi yang secara otomatis menempatkan HGN sebagai peringatan yang “wajib dihargai”.

Sebaliknya, HUT PGRI dianggap sebagai milik salah satu organisasi guru saja—padahal ini keliru besar. Namun anggapan keliru ini diperkuat oleh kenyataan bahwa organisasi guru kini pecah menjadi 77 organisasi yang begitu beragam, sebagian hanyalah komunitas belajar sejenis.

Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota akhirnya cenderung mengambil posisi “aman”: menghormati HGN, tetapi tidak memprioritaskan HUT PGRI, karena tampil seolah netral terhadap semua organisasi guru.

Inilah titik awal kelupaan kita pada akar sejarah.


---

2. Batang Dihargai, Akar Dilupakan

Saya sering mengatakan:

> “Batang dihargai, akar dilupakan.”



Ungkapan yang sederhana tetapi sarat makna. Karena faktanya:

HGN adalah batang.

PGRI adalah akar.


Tanpa akar, batang tak mungkin tumbuh.
Tanpa PGRI, tidak mungkin ada HGN.

Namun kini, akar itu seperti tak dianggap.
HGT dipuja, HUT PGRI terlupa.
Sebagian guru bahkan pura-pura lupa karena terbelenggu rasa ingin bersaing dengan PGRI.

Betapa ironis.


---

3. Guru Tua Masih Ingat Sejarah, Guru Muda Banyak yang Tidak Dikenalkan

Bagi guru-guru tua yang masih merasakan romantika perjuangan 1945 hingga masa sulit tahun-tahun berikutnya, HUT PGRI adalah ruh perjuangan. Mereka memahami sejarah itu, merasakannya, dan menjaganya.

Sebagian guru muda yang belajar sejarah PGRI pun paham betapa mulianya organisasi ini.

Namun banyak guru lain, terutama generasi baru, tidak pernah diperkenalkan pada sejarah ini. Mereka hanya mengetahui HGN sebagai “hari nasional yang sudah biasa dirayakan”.

Padahal, asal usul HGN berada tepat di pangkuan PGRI.


---

4. Pemerintah Masa Presiden Soeharto Sangat Menghargai Guru

Perlu kita akui:
Pemerintah pada era Presiden Soeharto sangat menghargai sejarah perjuangan guru. Hal itu terlihat ketika beliau menetapkan:

Keppres Nomor 78 Tahun 1994

yang mengukuhkan 25 November (HUT PGRI) sebagai Hari Guru Nasional.

Ini adalah pengakuan negara bahwa PGRI adalah ibu kandung dari HGN.

Sayangnya, seiring berganti rezim, banyak hal berubah. Banyak pihak yang kemudian menolak ingat—bukan menolak lupa—bahwa embrio HGN berasal dari rahim PGRI. HGN hanya mungkin lahir karena ada perjuangan panjang PGRI dalam perjalanan bangsa.


---

5. Apakah Kita Akan Menjadi Malin Kundang?

Kisah Malin Kundang menjadi metafor yang menyakitkan tetapi tepat.
Ibu melahirkan anak, membesarkannya, melindunginya, menguatkannya.
Tetapi ketika anak tumbuh besar dan dihormati, ia melupakan ibunya.

Bukankah ini mirip dengan hubungan HGN dan PGRI hari ini?

HGN dirayakan megah,

PGRI dilupakan secara struktural,

sejarahnya pelan-pelan dihapus dari ingatan.


Haruskah menunggu “kutukan” dalam bentuk konflik, perpecahan, atau hilangnya arah perjuangan guru baru kita sadar?

Semoga tidak.


---

6. Politik Penamaan Hari Nasional: Inilah Akar Masalahnya

Tambahan penting:
Mengapa HGN lebih diutamakan daripada HUT PGRI?

Karena penetapan nomenklatur hari nasional di Indonesia berada dalam ruang politik pemerintah yang berkuasa. Pemilihan nama bukan sekadar soal sejarah, tetapi juga landasan:

historis,

filosofis,

sosiologis, dan terutama

politik rezim yang memerintah.


Mari kita lihat tiga contoh berikut:


---

1. Mengapa Dinamakan Hari Kebangkitan Nasional, Bukan Hari Budi Utomo?

Padahal 20 Mei adalah hari lahirnya Budi Utomo.
Mengapa pemerintah tidak menamainya “Hari Budi Utomo”?

Karena pemerintah ingin:

mengangkat semangat kebangkitan nasional,

bukan hanya memuliakan organisasi tertentu,

membangun narasi kebangkitan kolektif,

merangkul seluruh elemen bangsa.


Ini adalah pilihan politik sekaligus sosiologis.


---

2. Mengapa Dinamakan Hari Santri, Bukan Hari Pekik Jihad?

Hari Santri diambil dari peristiwa resolusi jihad 22 Oktober.
Namun pemerintah memilih istilah “Hari Santri”:

lebih inklusif,

lebih mudah diterima masyarakat,

tidak memunculkan sensitivitas kata “jihad”,

mencerminkan identitas, bukan konflik.


Sekali lagi, ini pilihan politik budaya.


---

3. Mengapa Disebut Hari Lahir Pancasila, Bukan Hari Lahir Istilah Pancasila?

Secara historis, Pancasila yang diucapkan Bung Karno pada 1 Juni tidak sama persis dengan rumusan Pancasila dalam konstitusi sekarang. Namun pemerintah modern memilih:

narasi nasional yang menyatukan,

bukan perdebatan versi rumusan,

penekanan pada ideologi negara,

bukan sekadar istilah.


Ini pilihan politik yang mempersatukan bangsa di tengah keragaman sejarah.


---

Kesimpulan: Penetapan Nama Hari Besar Nasional Selalu Bernuansa Politik

Dengan tiga contoh itu, kita memahami bahwa:

**Penetapan nama hari besar nasional bukan keputusan sederhana.

Ini adalah keputusan politik pemerintah yang berkuasa.**

Begitu pula HGN.
Ia dipilih, dikukuhkan, dan diarusutamakan oleh pemerintah.
Dan dalam proses itu, HUT PGRI pelan-pelan tertutup oleh “agenda formal”.

Namun siapapun yang mempelajari akar sejarah akan tahu:

Hari Guru Nasional tidak akan pernah ada tanpa HUT PGRI.

Dan itu fakta.


---

Penutup: Mari Membiasakan yang Benar

Mari kita katakan dengan penuh kesadaran sejarah:

🌿 Selamat Hari Guru Nasional
🌿 Selamat Hari Ulang Tahun ke-80 PGRI

Kita tidak boleh menjadi Malin Kundang.
Kita tidak boleh menunggu kutukan.
Kita harus kembali menghormati akar perjuangan pendidikan di negeri ini.

Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati sejarahnya.
Dan PGRI adalah sejarah itu.

Mari membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa.

Salam blogger persahabatan
Omjay
Guru blogger indonesia
Blog https://wijayalabs.com
[25/11, 21.34] Wijaya Kusumah: Klik https://wijayalabs.com

Senin, 24 November 2025

PGRI



Info Komunitas Guru TIK dan KKPI dan inilah kisah Omjay guru blogger Indonesia.

Benarkah PGRI Akan Dipecah Belah? Suara Hati Guru Indonesia yang Tak Bisa Dibungkam

Ketika berbicara tentang pendidikan, orang sering membayangkan kurikulum, metode pembelajaran, teknologi digital, atau capaian literasi. Namun ada satu hal yang sering terlupakan: batin para guru. Batin yang setiap hari berhadapan dengan anak-anak bangsa, batin yang menjadi pondasi moral sekolah, dan batin yang sering menyimpan kegelisahan dalam diam.

Beberapa waktu terakhir, kegelisahan itu kembali memuncak. Bukan karena perubahan kurikulum, bukan karena penilaian baru, dan bukan karena tumpukan administrasi. Melainkan karena sebuah isu besar yang menyentuh jantung profesi guru: benarkah PGRI sedang dipecah belah?

Isu ini muncul bukan tanpa sebab. Ada dinamika kebijakan, munculnya berbagai organisasi baru, serta gelombang regulasi yang terkesan tumpang tindih dan membingungkan para pendidik. Guru bertanya-tanya: ada apa sebenarnya?

Di tengah kerisauan itu, muncul pesan-pesan dari Ketua Umum PB PGRI, Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd, yang disampaikan tanpa topeng, tanpa basa-basi, dan tanpa kepentingan politik. Pesan itu menyatu dalam percakapan hangat, tetapi justru terasa lebih jujur daripada pidato di panggung manapun.

Dan di sanalah para guru mulai memahami bahwa ada sesuatu yang sedang mengintai PGRI — rumah besar perjuangan para guru Indonesia sejak 1945.

PGRI: Rumah yang Dibangun oleh Air Mata dan Perjuangan

Ketika PGRI didirikan pada 25 November 1945, situasi bangsa belum stabil. Indonesia baru merdeka, belum sepenuhnya diakui dunia, dan para guru kala itu tidak memiliki apa-apa selain tekad. Mereka bukan sekadar mengajar; mereka ikut berjuang mempertahankan republik ini.

Karena itu PGRI bukan sekadar organisasi.
Ia adalah rumah sejarah, rumah yang dibangun dari idealisme, keringat, dan air mata guru.

Dan rumah seperti ini tidak boleh diganggu, apalagi dirusak oleh kepentingan jangka pendek.

“Saya lebih memilih dengan guru…” — Suara Seorang Ibu untuk Para Pendidik

Dalam sebuah percakapan pada 24 November 2025, Prof. Unifah menyampaikan kalimat yang menyejukkan sekaligus menyentak:

> “Monggo pak, saya lebih memilih dengan guru daripada berpolitik tidak jelas. Kenapa tidak sekalian ribuan kok hanya 77? Hem… semakin dipecah belah semakin kuat. Kalau Anda bangga di sana silakan. Saya bangga dengan teman-teman yang setia…”

Kalimat itu sederhana, tetapi terasa sangat dalam.
Beliau menegaskan dirinya memilih bersama guru — bukan bersama kepentingan politik, bukan bersama kegaduhan yang dibuat-buat, dan bukan bersama organisasi dadakan yang tidak jelas pijakannya.

Kata “setia” di kalimat itu bukan sembarang kata.
Ia adalah penanda bahwa di tubuh PGRI, loyalitas bukan diarahkan kepada individu, tetapi kepada perjuangan guru itu sendiri.

Badai Baru: 77 Organisasi yang Mengundang Tanda Tanya

Baru-baru ini Kemdikdasmen mengundang puluhan organisasi guru — disebut berjumlah 77. Undangan ini menyisakan tanya mendalam:

Apakah benar semuanya mewakili guru?

Mengapa begitu banyak?

Mengapa muncul dalam waktu bersamaan?

Dan apakah ini bukan strategi politik untuk memecah kekuatan guru?

Guru bukan tidak boleh berorganisasi.
Tetapi ketika jumlah organisasi tiba-tiba membengkak, wajar jika muncul rasa curiga.

Sebuah bangsa yang kuat dibangun oleh organisasi profesi yang kuat.
Dan organisasi profesi yang kuat hanya bisa ada jika anggotanya bersatu, bukan tercerai-berai.

“Ada yang senang hingar bingar, ada yang senang menepi…” — Peringatan dari Seorang Pemimpin

Masih di percakapan yang sama, Prof. Unifah menyampaikan kalimat yang lebih tajam:

> “Ada yang senang hingar bingar, ada yang senang menepi. Ingat ya… dia perusak utama dan setelah pensiun ingin masuk kita. Mari kita ramai-ramai menolak atas dasar konstitusi kita. Jangan biarkan pecundang merusak rumah kita.”

Dalam kalimat ini, beliau ingin para guru memahami bahwa ada pihak tertentu yang selama menjabat justru merusak sistem, membuat kekacauan, dan memperlemah struktur organisasi. Namun ketika masa jabatannya habis, orang itu ingin masuk ke PGRI seolah-olah pahlawan.

Inilah yang disebut oleh Prof. Unifah sebagai perusak utama.

Dalam organisasi sebesar PGRI, ancaman paling berbahaya bukan berasal dari luar, tetapi dari mereka yang pernah punya kekuasaan, kemudian ingin memanfaatkan nama besar PGRI untuk kepentingannya sendiri.

“Semenjak regulasi ini keluar, saya merasa ada yang aneh…” — Kesadaran yang Terlambat Terungkap

Yang membuat banyak guru merenung adalah kalimat jujur berikut ini:

> “Semenjak regulasi ini keluar, saya merasa ada yang aneh. Waktu itu saya tidak suuzon, saya hanya berprasangka bahwa ini dikarenakan ketidakpahaman mereka saja. Tetapi jika sekarang ada paradigma lain, itu sangat dimungkinkan. Karena saya sangat paham dinamika di tatanan birokrasi.”

Kalimat ini seperti membuka tabir.
Bahwa sejak awal, sebenarnya sudah ada tanda-tanda upaya memperlemah PGRI melalui jalur regulasi.

Namun dengan sikap rendah hati, beliau memilih tidak berpikiran buruk. Semua dianggap sebagai ketidaktahuan semata.

Namun kini, ketika banyak hal menjadi terang benderang, beliau menyadari bahwa paradigma yang bergulir tidak lagi sekadar ketidaksengajaan — tetapi bisa jadi memang diarahkan.

Sebagai seorang akademisi dan pemimpin organisasi besar, Prof. Unifah sangat memahami dinamika birokrasi. Beliau tahu kapan sebuah regulasi dibuat secara tulus, dan kapan regulasi dipakai sebagai alat politik.

“Nafsu ingin menghabisi kita…” — Luka Terbesar yang Diungkapkan

Lalu datanglah kalimat paling jujur, paling emosional, dan paling mengguncang:

> “Ya karena nafsu ingin menghabisi kita, pak. Tidak apa-apa, tidak lama kok kuasa itu. Tetap saja kalau ada masalah, arus utama kita yang dicari.”

Kalimat ini seperti tamparan bagi siapa pun yang selama ini meremehkan guru.

Bahwa ada pihak yang dengan sengaja ingin melemahkan PGRI — organisasi yang telah menjadi benteng guru selama hampir delapan dekade.

Namun beliau tetap tenang:

Kekuasaan itu tidak lama.

Jabatan itu tidak kekal.

Dan pada akhirnya, ketika masalah besar muncul, siapa yang dicari? Guru.

Dan ketika butuh solusi, ke mana pemerintah datang? PGRI.

Inilah yang disebut arus utama.
Sebesar apa pun badai politik, akhirnya bangsa tetap kembali kepada guru.

Mengapa Ada yang Ingin Memecah Belah PGRI?

Ada beberapa kemungkinan yang bisa dibaca:

1. Karena PGRI terlalu besar dan terlalu kuat.
Organisasi besar sering dianggap ancaman oleh mereka yang ingin menguasai sistem.

2. Karena suara guru jika bersatu sangat berpengaruh pada kebijakan nasional.
Suara ini ingin dipecah agar mudah dikendalikan.

3. Karena sebagian pihak ingin membangun organisasi baru sebagai kendaraan politik.
Dan PGRI dianggap “menghalangi” ambisi itu.

4. Karena PGRI selalu kritis terhadap kebijakan yang merugikan guru.
Kritik ini tidak disukai oleh sebagian pejabat.

5. Karena PGRI berdiri di atas konstitusi dan tidak mudah diintervensi.
Maka jalan termudah adalah memecah kekuatan dari dalam.

Guru Indonesia Tidak Boleh Diam

Jika benar ada upaya memecah belah PGRI, maka guru tidak boleh diam.

Guru harus kembali kepada akar sejarah.
Kembali kepada prinsip perjuangan.
Kembali kepada rumah besar yang telah menjaga profesi guru selama hampir 80 tahun.

Guru harus sadar bahwa organisasi baru boleh saja ada — tetapi tidak boleh dibangun untuk meruntuhkan organisasi lama.

Jika guru terpecah, maka kebijakan pendidikan akan mudah diarahkan oleh kepentingan individu atau kelompok tertentu.

Persatuan Guru Adalah Benteng Bangsa

PGRI bukan sekadar organisasi formal.
Ia adalah simbol persatuan guru seluruh Indonesia.

Selama guru masih setia, PGRI tidak akan pernah runtuh.
Selama guru memahami sejarah, tidak akan mudah dipengaruhi oleh propaganda.
Selama guru paham bahwa masa depan bangsa ada di tangan mereka, maka PGRI akan selalu menjadi rumah terbaik bagi para pendidik.

Penutup: Rumah Ini Tidak Akan Runtuh

Rumah bernama PGRI ini telah melewati zaman revolusi, masa Orde Lama, tekanan Orde Baru, hingga badai reformasi.

Rumah ini pernah diterjang konflik, perpecahan, tuduhan, dan tekanan politik — tetapi tetap berdiri.
Mengapa?
Karena guru Indonesia selalu kembali kepada rumahnya.

Hari ini, ketika ada upaya memecah belah, guru tidak boleh panik.
Kita justru harus semakin erat, semakin kuat, dan semakin menjaga martabat profesi guru.

Dan seperti kata Prof. Unifah:

“Kuasa itu tidak lama. Tapi kalau ada masalah, arus utama kita yang dicari.”

Selama guru tetap tegak,
Selama guru tetap bersatu,
Selama guru tetap setia pada perjuangan,

PGRI tidak akan pernah bisa dihabisi.
Tidak sekarang, tidak besok, tidak selama guru Indonesia masih berjuang.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Minggu, 23 November 2025

jalan santai keluarga di podomoro park buah batu bandung

Jalan Santai Keluarga di Podomoro Park Buah Batu Bandung:
Merasakan Kebahagiaan Sederhana Bersama Orang-Orang Tercinta
Oleh: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd

Jalan santai selalu menjadi cara paling mudah namun penuh makna untuk menjaga kesehatan dan kebahagiaan. Udara pagi yang sejuk, langkah kaki yang teratur, dan perbincangan ringan bersama keluarga sering kali menjadi anugerah yang tak bisa dibeli. Itulah yang Omjay rasakan ketika menikmati jalan santai bersama keluarga di kawasan Podomoro Park Buah Batu Bandung, sebuah area hunian dan rekreasi yang semakin populer karena memadukan keindahan alam dengan desain modern yang ramah keluarga.

Hari itu, cuaca Bandung sedang bersahabat. Udara pagi mengalir lembut, tidak terlalu dingin, tetapi cukup sejuk untuk membuat tubuh terasa segar. Omjay berangkat bersama istri tercinta, Kakak Ipar, serta dua saudara yang selalu memberi warna dalam kehidupan keluarga: Mang Asep dan Bi Ucu. Kehadiran mereka membuat suasana semakin hangat. Jalan-jalan kali ini bukan sekadar bergerak kaki, tetapi merayakan kebersamaan.

Pesona Podomoro Park yang Menenangkan

Setiba di Podomoro Park, suasana langsung terasa berbeda. Kawasan ini memang dirancang untuk memberikan ruang hijau yang luas, pepohonan rindang, dan hamparan danau buatan yang sangat menenangkan mata. Jalur pedestrian dibuat rapi, bersih, dan sangat nyaman untuk dipakai berjalan santai.

Di antara rimbunnya pohon dan tanaman hias, keluarga Omjay melangkah perlahan sambil menikmati pemandangan. Sesekali, angin bertiup membawa aroma dedaunan basah yang menambah kesan alami. Banyak pula warga Bandung lain yang sedang berolahraga: ada yang jogging, ada yang bersepeda, ada pula keluarga yang membawa anak kecil berjalan sambil tertawa riang.

Podomoro Park memang bukan sekadar kawasan hunian. Tempat ini seakan menjadi ruang publik baru bagi warga Buah Batu dan sekitarnya untuk menikmati hidup sehat dengan cara yang sederhana.

Kebahagiaan yang Hadir dari Percakapan Sederhana

Selama berjalan santai, Omjay dan keluarga banyak berbagi cerita. Ada kisah lucu dari Mang Asep yang selalu berhasil membuat semua tertawa. Ada pula nasihat-nasihat lembut dari Bi Ucu yang membuat suasana terasa penuh kasih.

Jalan santai di sini bukan hanya membuat tubuh bergerak, tetapi juga menggerakkan hati. Kadang-kadang, dalam kesibukan sehari-hari, kita lupa bahwa kebahagiaan sering hadir dalam bentuk sederhana: berbincang sambil berjalan, saling mendengarkan, dan menikmati kehadiran satu sama lain.

Istri Omjay beberapa kali berhenti untuk mengabadikan momen. Pohon-pohon besar, jembatan kayu, dan danau yang tenang menjadi latar foto yang sempurna. Kakak Ipar pun ikut tersenyum bahagia, merasakan bahwa kebersamaan seperti ini adalah momen langka yang patut disimpan dalam ingatan.

Menghirup Udara Segar, Mengusir Penat

Selain indah, Podomoro Park memiliki jalur yang cukup luas dan datar sehingga sangat nyaman bagi siapa saja, baik usia muda maupun orang tua. Setiap langkah terasa ringan. Tubuh pun perlahan mengeluarkan keringat, tanda bahwa aktivitas ini memberikan manfaat kesehatan.

Berjalan santai setidaknya 30–45 menit setiap pagi dapat:

meningkatkan stamina

memperbaiki kualitas tidur

mengurangi stres

membantu menjaga berat badan

memperbaiki suasana hati

Dan itulah yang keluarga Omjay rasakan. Penat yang menumpuk selama hari-hari sebelumnya seperti luruh bersama udara pagi. Semua terasa lebih tenang, lebih damai.

Menikmati Pemandangan Danau Buatan

Salah satu spot favorit di Podomoro Park adalah kawasan danau buatannya. Air yang jernih memantulkan cahaya matahari pagi, menciptakan pemandangan yang indah. Di tepi danau terdapat jalur pedestrian yang membuat pengunjung bisa berjalan mengelilingi area sambil menikmati pemandangan air yang menenangkan.

Di salah satu sudut, keluarga Omjay berhenti sejenak. Mang Asep duduk di bangku taman sambil tersenyum ceria, Bi Ucu menikmati angin pagi, dan istri Omjay sibuk mengambil foto pemandangan. Omjay sendiri hanya berdiri sambil memandangi air dan pepohonan yang bergerak pelan karena angin. Rasanya seperti rehat dari hiruk-pikuk kehidupan.

Mengabadikan Momen, Mengikat Kenangan

Saat berjalan kembali menuju area parkir, keluarga Omjay beberapa kali berhenti untuk berfoto bersama. Kebahagiaan itu terlihat jelas di setiap senyum. Tidak ada yang dibuat-buat. Semua mengalir dengan alami.

Keluarga seperti ini adalah tempat pulang terbaik. Mereka membuat setiap perjalanan sederhana menjadi berarti. Mereka membuat langkah kaki terasa lebih ringan.

Kesehatan, Kebersamaan, dan Kebahagiaan

Jalan santai keluarga di Podomoro Park hari itu mengajarkan satu hal penting: bahwa kesehatan dan kebahagiaan sering berada hanya beberapa langkah dari diri kita. Tidak perlu biaya mahal, tidak perlu peralatan canggih. Cukup keluarkan waktu, hadir di momen itu, dan nikmati kebersamaan.

Keluarga Omjay pulang dengan hati penuh syukur. Udara segar sudah dihirup, tubuh sudah bergerak, dan kebersamaan sudah diperkuat. Ini bukan hanya olahraga pagi, tetapi ritual menyegarkan jiwa.

Podomoro Park bukan hanya ruang hijau, tetapi juga ruang untuk merayakan hidup. Dan hari itu, Omjay dan keluarga merayakannya dengan penuh bahagia.

Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Guru Pilar yang Menyangga Negeri

Guru: Pilar yang Menyangga Negeri, Namun Masih Berdiri di Atas Ketidakpastian

Di balik kemajuan sebuah bangsa, selalu ada para guru yang bekerja dalam senyap. Mereka hadir setiap pagi ketika banyak orang masih terlelap, dan pulang ketika hampir semua pekerjaan lain telah usai. Mereka menghabiskan tenaga, waktu, dan air mata untuk memastikan setiap anak Indonesia mendapat masa depan yang lebih baik.

Namun di balik dedikasi itu, masih terdapat kegelisahan yang belum juga menemukan jawaban: ketidakpastian status, karier, dan kesejahteraan guru.

Antara PNS dan PPPK: Dua Jalur, Satu Pengabdian

Secara regulasi, ASN terbagi menjadi dua: PNS dan PPPK. Namun di lapangan, keduanya sama-sama mengajar, sama-sama berdiri di depan kelas, sama-sama memikul amanah mencerdaskan kehidupan bangsa.

Perbedaannya?

PNS memiliki kepastian status hingga masa pensiun. Ada rasa tenang bagi keluarganya, ada jaminan hari tua yang jelas.

PPPK berada dalam sistem kontrak pemerintah daerah. Masa depan kariernya masih seperti langit berawan: terlihat terang, namun setiap saat dapat berubah. Hak pensiun pun belum sekuat PNS, meski proses seleksinya sama sulitnya.

Di ruang-ruang guru, sering terdengar keluhan lirih dari mereka yang bertahun-tahun mengabdi, tetapi masih berada di persimpangan status. Mereka bertanya dalam hati:

> “Mengapa ketika tugas dan tanggung jawab kami sama, hak dan masa depan kami berbeda?”

Pertanyaan itu mungkin sederhana, tetapi menyimpan luka yang tidak kecil.

Guru Honorer: Mereka yang Tak Pernah Tercatat Namun Selalu Hadir

Undang-undang dan peraturan pemerintah sebenarnya menegaskan bahwa guru honorer daerah tidak seharusnya ada. Namun realitas berkata lain.

Di pelosok-pelosok negeri, guru honorer masih berdiri tegak, mengabdi dengan gaji yang kadang jauh di bawah standar layak.
Ada yang hanya menerima ratusan ribu rupiah per bulan, namun tetap mengajar dengan senyum yang tidak pernah padam.

Mereka tidak pernah menuntut banyak.
Mereka hanya ingin diakui dan diberikan kepastian.

Guru Swasta: Penjaga Mutu yang Sering Terlupa

Di balik gedung-gedung sekolah swasta, ada pendidik yang juga bekerja tanpa lelah. Mereka bukan ASN, bukan honorer, bukan PPPK. Mereka adalah guru swasta—yang sering berada di antara idealisme dan keterbatasan.

Padahal tanpa mereka, jutaan anak Indonesia tak akan mendapatkan akses pendidikan yang layak. Namun kesejahteraan mereka masih perlu ditingkatkan, baik melalui insentif, subsidi, maupun perlindungan tenaga kerja.

Satu Pengabdian, Maka Seharusnya Satu Kepastian

Kondisi-kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar dalam dunia pendidikan:
Mengapa pendidik yang menjalankan tugas dan beban kerja yang sama, justru diterima dengan status dan perlakuan yang berbeda?

Untuk itu, dengan penuh hormat, aspirasi berikut perlu dipertimbangkan demi masa depan pendidikan Indonesia:

1. Menyatukan jalur ASN menjadi satu status: PNS.

Agar tidak ada lagi jurang perbedaan bagi mereka yang menjalankan tugas mulia yang sama.

2. Jika jalur PPPK tetap diperlukan, beri jalan menjadi PNS.

Terutama bagi guru-guru yang telah mengabdi puluhan tahun, memiliki rekam jejak baik, dan terbukti layak.

3. Guru honorer yang tersisa perlu diikutsertakan seleksi PNS secara terstruktur dan adil.

Bersama dengan guru swasta agar semua pendidik punya kesempatan menuju status yang pasti.

4. Kesejahteraan guru swasta perlu menjadi agenda penting negara.

Karena mereka bagian tak terpisahkan dari ekosistem pendidikan nasional.

5. Perbaikan dan pemerataan fasilitas sekolah.

Baik negeri maupun swasta berhak memiliki ruang belajar yang aman, nyaman, dan ramah anak.

Jika Guru adalah Pilar, Maka Negara Harus Menjadi Payungnya

Bangsa ini dibangun oleh doa, kerja keras, dan keikhlasan para guru. Namun kita tidak bisa terus membiarkan mereka berdiri di atas ketidakpastian.

Guru membutuhkan status yang jelas, pengakuan yang layak, dan masa depan yang terjamin—sebagaimana anak-anak kita membutuhkan mereka setiap hari.

Jika negara benar-benar menganggap guru sebagai pilar pendidikan, maka sudah sewajarnya negara juga memberikan:

Kepastian karier

Perlindungan kerja

Kesejahteraan yang sepadan

Fasilitas pendukung yang memadai

Aspirasi ini bukan sekadar permintaan.
Ini adalah suara hati dari mereka yang setiap hari berada di barisan terdepan perjuangan intelektual bangsa.

Penutup: Untuk Indonesia yang Lebih Adil dan Bermartabat

Kami menyampaikan aspirasi ini dengan penuh hormat dan kecintaan terhadap dunia pendidikan. Semoga pemerintah dan pemangku kebijakan dapat mendengar dan mempertimbangkan harapan para pendidik di seluruh negeri.

Karena ketika guru merasa dihargai, maka anak-anak bangsa akan tumbuh dalam pendidikan yang lebih manusiawi.
Dan ketika pendidik mendapatkan kepastian hidup, maka Indonesia akan melangkah menuju masa depan yang lebih kuat, adil, dan bermartabat.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Sabtu, 22 November 2025

Kami Berharap Presiden Prabowo Hadir di HUT PGRI KE 80

Guru Se-Indonesia Berharap Presiden Prabowo Hadir di HUT PGRI ke-80: Sebuah Seruan dari Hati para Pendidik

Oleh Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd
(Pengurus APKS Pusat PGRI / Ketua Umum KOGTIK)

---

Ada satu harapan yang hari-hari ini menggema dari Sabang sampai Merauke, dari ruang guru di kota besar hingga kelas-kelas sederhana di pedalaman nusantara. Harapan itu sederhana, namun penuh makna: guru-guru Indonesia ingin Presiden Prabowo Subianto hadir dalam peringatan HUT PGRI ke-80 di Jakarta.

Mengapa harapan ini begitu kuat? Karena bagi guru, kehadiran seorang presiden bukan sekadar simbol. Ia adalah tanda penghargaan, tanda hubungan batin, dan pengakuan bahwa negara berdiri bersama para pendidik yang setiap hari mengabdi tanpa pamrih.

---

Delapan Puluh Tahun Perjuangan, Delapan Puluh Tahun Kesetiaan Guru

Organisasi PGRI telah berdiri sejak 1945—organisasi yang lahir bahkan sebelum Republik ini benar-benar kukuh berdiri. Selama 80 tahun, guru berdiri di garis terdepan, menjaga akal dan karakter bangsa, meski sering kali hidup dalam tekanan, keterbatasan, dan kebijakan yang berubah-ubah.

Tahun 2025 adalah tahun yang istimewa:
PGRI mencapai usia 80 tahun, usia yang tidak hanya panjang, tetapi menjadi bukti daya tahan perjuangan para pendidik.

Karena itu, ketika para guru menyampaikan harapan agar Presiden Prabowo hadir di acara puncak HUT PGRI ke-80 di Britama Arena, Kelapa Gading, Jakarta, itu bukan sekadar undangan seremonial.
Itu adalah panggilan dari hati.

---

Prabowo dan Guru: Hubungan yang Sudah Terjalin Sejak Awal

Sejak masa kampanye hingga setelah dilantik, Presiden Prabowo berulang kali menegaskan bahwa ia ingin meningkatkan kesejahteraan guru, memperbaiki kualitas pendidikan, dan memberi perhatian lebih besar pada profesi pendidik.

Pernyataan itu seperti angin segar bagi para guru, apalagi di tengah berbagai masalah seperti:

carut-marut status honorer,

linieritas yang membingungkan,

kesejahteraan guru swasta yang masih rendah,

serta beban administrasi yang tak kunjung ringan.

Maka ketika guru berharap Presiden hadir, ini bukan sekadar formalitas.
Ini adalah bentuk keyakinan bahwa Prabowo adalah pemimpin yang mau hadir dan mendengar.

---

Sebuah Momen yang Dinanti: Presiden di Hadapan Seratus Ribu Guru

Bayangkan suasana 29 November 2025 nanti.
Britama Arena yang megah dipenuhi guru dari berbagai daerah. Ada yang datang naik pesawat, ada yang menempuh perjalanan darat dua hari penuh, ada pula yang patungan ongkos hanya demi hadir pada hari bersejarah itu.

Lalu di tengah lautan guru itu, Presiden Prabowo berdiri di panggung memberi sambutan.

Panggilan “Bapak Presiden” menggema, bukan karena formalitas, tetapi karena rasa hormat.

Kalau momen ini benar-benar terjadi, ia akan menjadi salah satu penanda sejarah:
Pertemuan Presiden Indonesia dengan para guru di HUT PGRI ke-80.
Momen yang akan selalu dikenang dan menjadi catatan emas di dunia pendidikan.

---

Mengapa Kehadiran Presiden Begitu Penting?

1. Simbol penghargaan negara kepada guru

Guru sering merasa menjadi garda terdepan yang tidak terlihat. Dengan Presiden hadir, guru merasa negara benar-benar ada untuk mereka.

2. Membangkitkan moral dan semangat guru

Setelah pandemi, digitalisasi, kurikulum baru, dan berbagai tekanan, guru sangat membutuhkan momentum penyemangat.

3. Memberi sinyal kuat bahwa pendidikan adalah prioritas nasional

Kehadiran presiden akan menjadi bukti bahwa pemerintah menjadikan pendidikan sebagai wajah perubahan Indonesia.

4. Menegaskan kembali komitmen perbaikan kesejahteraan guru

Guru honorer, guru swasta, guru di daerah 3T, semua berharap didengar langsung oleh pemimpin negaranya.

---

Viral di Media Sosial: Suara Guru Makin Bergema

Dalam beberapa hari terakhir, unggahan video di Kompasiana berjudul
“Seluruh Guru dan Anggota PGRI Berharap Presiden Prabowo Subianto Hadir di HUT PGRI yang ke-80 di Jakarta”
telah beredar luas. Para guru membagikannya di WhatsApp, Facebook, Instagram, bahkan TikTok.

Hashtag seperti:

#PrabowoDiHUTPGRI80

#GuruMengundangPresiden

#PGRI80Tahun

mulai berseliweran di media sosial para pendidik.

Ini bukan gerakan politik. Ini bukan kampanye.
Ini adalah aspirasi murni dari para pendidik Indonesia.

---

Pesan Para Guru untuk Presiden Prabowo

Jika digambarkan dengan kata-kata yang paling sederhana, harapan guru adalah:

> “Datanglah, Pak Presiden. Kami ingin Bapak hadir di tengah kami.
Kami ingin didengar. Kami ingin dihargai. Kami ingin menunjukkan bahwa guru Indonesia tetap setia menjaga masa depan bangsa.”

Tidak ada tuntutan berlebihan.
Tidak ada agenda tersembunyi.
Hanya sebuah harapan, sederhana namun tulus.

---

Apakah Presiden Akan Datang?

Kita semua berharap demikian.
PGRI sudah menyampaikan undangan resmi.
Pengurus dari pusat hingga daerah mendukung penuh.
Guru-guru terus menyuarakan harapan mereka.

Jika Presiden Prabowo hadir, itu akan menjadi sejarah besar.
Jika beliau tidak hadir, guru tentu tetap menghormati.
Namun, jika kehadiran itu terwujud…

Indonesia akan melihat bahwa Presiden bersama para guru — bukan hanya dalam janji, tetapi dalam kenyataan.

---

Penutup: Suara Guru Adalah Suara Masa Depan Bangsa

Saya menulis artikel ini bukan untuk kepentingan pribadi, bukan pula untuk kepentingan politik. Saya menulis sebagai seorang guru, seorang pendidik, dan anggota PGRI yang telah 80 tahun menjaga marwah profesi ini.

Dan saya ingin menyampaikan satu pesan sederhana:

“Pak Presiden, datanglah.
Guru-guru Indonesia menunggu Bapak.”

Jika Anda membaca artikel ini, mari bantu sebarkan.
Bagikan di media sosial Anda.
Sampaikan dengan sopan, penuh hormat, dan penuh harapan.

Karena suara guru adalah suara masa depan bangsa.
Dan masa depan Indonesia akan lebih kuat jika pemimpinnya hadir untuk mereka.

Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Rabu, 19 November 2025

Asyiknya Menulis Bagi Guru yang Mencerahkan

Kisah omjay guru blogger indonesia:

Asyiknya Menulis: Menjadikan Kelas Bersinar dan Guru Tetap Tangguh Berhati Cahaya

Di tengah hiruk-pikuk dunia pendidikan yang semakin kompleks, salah satu keterampilan yang sering terlupakan namun memiliki kekuatan luar biasa adalah menulis. Padahal, menulis bukan hanya aktivitas menuangkan kata-kata, tetapi sebuah proses menyelami makna, memperjelas pikiran, dan membangun jembatan antara pengalaman dan pengetahuan.

Bagi seorang guru, menulis dapat menjadi cahaya—penerang dalam perjalanan panjang pengabdian yang kadang melelahkan, kadang membahagiakan, namun selalu bermakna. Melalui tulisan, seorang guru dapat menemukan versi terbaik dari dirinya: reflektif, peka, kreatif, dan terus berkembang.

Tidak heran bila guru yang terbiasa menulis sering terlihat lebih bijak dalam mengambil keputusan, lebih sabar menghadapi dinamika kelas, dan lebih mampu melihat hal-hal kecil yang kerap luput dari orang lain. Menulis menjadikan guru bukan hanya pengajar, tetapi juga penjaga api pengetahuan, pelestari pengalaman, serta pengabdi ilmu yang berhati terang.

Menulis Sebagai Cahaya Batin Guru

Menulis dapat menjadi refleksi harian yang membantu guru memahami apa yang terjadi di kelas. Setiap pembelajaran membawa cerita. Ada tawa, ada tanya, bahkan ada air mata. Semua itu sering berlalu tanpa sempat dipahami secara mendalam. Padahal di balik setiap kejadian ada hikmah dan pelajaran.

Ketika seorang guru menulis catatan harian pembelajaran, ia sesungguhnya sedang melakukan dialog batin dengan dirinya sendiri: Apa yang berhasil hari ini? Mengapa aktivitas tertentu berjalan lancar? Mengapa ada siswa yang tampak tidak semangat? Apa yang bisa diperbaiki esok hari?

Dari sinilah cahaya muncul. Guru mulai menyadari bahwa tidak ada hari yang benar-benar buruk. Setiap hari selalu menyimpan hal baik yang dapat dicatat, dipahami, dan diambil manfaatnya. Menulis menjadikan guru lebih tangguh, karena ia terbiasa melihat sisi terang dalam setiap situasi.

Asyiknya Menulis di Kelas: Ketika Siswa Menemukan Suaranya

Menulis bukan hanya untuk guru. Kelas yang aktif menulis adalah kelas yang hidup. Di dalamnya, siswa tidak sekadar menerima pengetahuan, tetapi juga mengolah dan mengekspresikan apa yang mereka pahami. Guru yang membiasakan siswanya menulis akan melihat perubahan besar: siswa menjadi lebih percaya diri, lebih jujur terhadap dirinya sendiri, dan lebih terampil mengkomunikasikan ide.

Menulis memberi ruang bagi siswa untuk memiliki “suara”. Bahkan siswa yang pendiam sekalipun akan menemukan keberanian ketika ia diberi kesempatan mengekspresikan pikirannya melalui tulisan. Kadang tulisan menjadi cara terbaik bagi siswa untuk menyampaikan emosi yang tidak bisa mereka ucapkan.

Kelas pun menjadi tempat yang lebih manusiawi, lebih penuh empati, lebih kaya makna.

Tips dan Trik Implementasi Menulis yang Mencerahkan di Kelas

Agar kegiatan menulis dapat membawa cahaya dalam pembelajaran, beberapa langkah sederhana dapat dilakukan oleh guru di satuan pendidikan mana pun.

1. Mulai dengan Catatan Harian Singkat (5–7 menit di awal atau akhir pelajaran)

Ajak siswa menulis refleksi pendek:

Apa hal paling menarik hari ini?

Apa yang kamu pahami?

Apa hal yang ingin kamu tanyakan?

Apa perasaanmu selama belajar?

Latihan singkat ini melatih kepekaan, memperkuat memori belajar, dan memperbaiki proses berpikir siswa.

2. Gunakan Free Writing Tanpa Takut Salah

Berikan 3–5 menit bagi siswa untuk menulis apa saja tanpa berhenti. Tidak perlu terlalu memikirkan ejaan atau tata bahasa. Tujuannya adalah membebaskan pikiran dan membiasakan mereka menulis dari hati. Ini sangat efektif untuk membangun keberanian.

3. Buat “Pojok Cahaya Tulisan” di Kelas

Pajang karya-karya terbaik siswa di dinding kelas. Dengan begitu, siswa merasa dihargai dan terdorong untuk menghasilkan tulisan yang lebih baik. Guru bisa memberi judul:
“Cahaya Karya Kita” sebagai simbol bahwa setiap tulisan memiliki sinarnya masing-masing.

4. Gunakan Menulis Sebagai Alat Pemahaman Materi

Misalnya setelah menjelaskan materi, mintalah siswa menulis kembali:

Kesimpulan pelajaran

Contoh nyata di sekitar mereka

Satu pertanyaan yang masih mereka pikirkan

Kegiatan ini meningkatkan pemahaman sekaligus memperkuat kemampuan berpikir kritis.

5. Jadikan Menulis Sebagai Rutinitas Mingguan Guru

Guru pun perlu menulis. Bentuknya bisa beragam:

jurnal harian pembelajaran

catatan refleksi

dokumentasi praktik baik

kisah inspiratif

artikel untuk Kompasiana atau blog

Guru yang menulis sesungguhnya sedang mengabadikan perjalanan pengabdian. Suatu saat, catatan itu bukan hanya bermanfaat bagi dirinya, tetapi juga bagi guru-guru lain yang sedang belajar dari pengalamannya.

6. Gunakan Platform Digital untuk Mendukung Budaya Menulis

Di era digital, guru dapat memanfaatkan blog, Google Docs, atau platform edukasi untuk tempat publikasi karya siswa. Mereka akan bangga mengetahui bahwa tulisannya tidak hanya dibaca guru, tetapi juga oleh orang lain.

7. Berikan Umpan Balik yang Menguatkan, Bukan Menghakimi

Dalam menulis, kepercayaan diri adalah kunci. Guru sebaiknya memberi komentar positif terlebih dulu sebelum menyampaikan perbaikan teknis. Dengan begitu, siswa tidak takut mencoba lagi.

Catatan Harian Guru Tangguh Berhati Cahaya

Pada akhirnya, menulis bukan hanya kegiatan akademik. Menulis adalah perjalanan batin. Guru yang menulis setiap hari akan melihat bahwa dirinya perlahan berubah menjadi pribadi yang lebih peka, lebih sabar, dan lebih kuat.

Seorang guru tangguh bukan berarti tidak pernah lelah, tetapi ia selalu menemukan cara untuk menjaga cahayanya tetap menyala. Menulis adalah salah satu cara itu.

Dalam setiap goresan pena, guru meletakkan sepotong jiwanya—catatan demi catatan yang suatu hari bisa menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya. Kelas pun ikut bercahaya ketika gurunya bersinar melalui tulisan.

Karena itu, mari kita hidupkan budaya menulis di sekolah.
Mari jadikan menulis sebagai cahaya.
Cahaya bagi guru.
Cahaya bagi siswa.
Cahaya bagi pendidikan Indonesia.

Salam blogger peraahabatan
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

ppg semakin sulit hqti guru pai banyak yang terluka

Inilah artikel yang menyentuh hati pembaca—khususnya menggambarkan keresahan guru PAI yang merasa proses PPG makin rumit dan melelahkan. Silakan dibaca, dan semoga segera ada solusinya.

---

PPG Semakin Sulit, Hati Guru PAI Makin Terluka: Suara yang Perlu Didengar

“Bu, Pak… kapan saya bisa ikut PPG? Kok persyaratannya makin banyak, dan prosesnya makin rumit?”
Pertanyaan itu bukan hanya keluar dari satu dua guru PAI. Tapi dari ribuan guru yang mengabdikan diri setiap hari, menanamkan akhlak, menuntun iman, sekaligus mendidik generasi. Guru-guru yang, ironisnya, justru sering menjadi yang paling sulit mendapatkan kejelasan dalam perjalanan profesinya.

PPG—Program Pendidikan Profesi Guru—seharusnya menjadi jalan terang untuk meningkatkan kompetensi dan karier guru. Tapi beberapa waktu terakhir, banyak guru PAI merasa jalan itu semakin kabur, berliku, bahkan terasa seperti gerbang yang terbuka hanya sebentar, lalu tertutup kembali sebelum banyak orang sempat melangkah.

Persyaratan yang menumpuk. Pengecekan provinsi yang begitu lama. Tidak adanya masa perbaikan. Pendaftaran yang hanya dibuka beberapa hari.

Semuanya membuat hati sebagian guru PAI runtuh pelan-pelan.

---

Mereka Guru, Bukan Administrator

Guru PAI bukan ahli mengisi dokumen digital. Mereka bukan petugas administrasi yang setiap hari bekerja mengolah berkas, mengunggah dokumen, atau menyesuaikan format. Mereka adalah pendidik hati.

Di kelas mereka mengajarkan kesabaran, kejujuran, dan cinta tanah air.
Di sekolah mereka membimbing anak-anak agar punya akhlak yang baik.
Di rumah mereka menyiapkan materi untuk esok hari, memikirkan murid yang butuh perhatian lebih, atau mempersiapkan nilai dan laporan.

Tetapi ketika PPG dibuka, mereka harus berjibaku dengan syarat yang kadang tidak masuk akal:
file harus JPG, bukan PDF; ukuran tak boleh lebih dari sekian; harus stempel tahun tertentu; harus sinkron dengan data yang kadang tidak bisa mereka ubah sendiri.

Dan saat mereka bertanya, “Boleh diperbaiki tidak?”
Jawabannya hanya satu: Tidak ada masa perbaikan.

Bagaimana mungkin seorang guru tidak diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan teknis?
Bagaimana mungkin program peningkatan kompetensi justru membuat guru merasa tidak dihargai?

---

Ketika Harapan Guru PAI Seolah Dijeda

Yang paling membuat hati perih adalah lamanya pengecekan provinsi.
Ada yang menunggu berminggu-minggu. Ada yang tiap hari membuka portal, berharap status berubah.
Ada yang sudah siap dengan semua persyaratan, tetapi akhirnya harus menerima kenyataan: “Tidak lolos administrasi.”

Dan lebih menyakitkan lagi, pendaftaran PPG hanya dibuka beberapa hari.
Guru yang sedang mengajar, pelatihan, atau sedang kegiatan sekolah tidak sempat mengunggah.
Guru di daerah dengan jaringan terbatas harus naik bukit, ke warnet, ke sekolah lain, hanya untuk mengejar waktu yang tidak manusiawi.

Semua itu membuat mereka merasa seperti penonton dalam nasib mereka sendiri.
Padahal, mereka ingin ikut PPG bukan untuk gaya-gayaan.
Mereka ingin mengabdi lebih baik, ingin punya kepastian karier, dan ingin masa depan yang lebih tenang untuk keluarga.

---

Guru PAI Tidak Minta Dipermudah. Mereka Hanya Minta Dimanusiakan.

Guru PAI tidak meminta prosedur yang longgar.
Mereka tidak minta aturan diturunkan.
Mereka hanya ingin keadilan dan keterbukaan.

Mereka ingin masa perbaikan—karena setiap manusia pasti bisa salah.
Mereka ingin waktu pendaftaran yang wajar—karena mereka sedang mengabdi di kelas, bukan di meja admin.
Mereka ingin sistem yang transparan—karena tidak ada yang lebih menyakitkan daripada menunggu tanpa kepastian.
Mereka ingin pemerintah mendengar, bukan hanya mengatur dari jauh.

PPG seharusnya membuat guru bersemangat, bukan merasa disisihkan.

---

Guru PAI: Pahlawan yang Tetap Tersenyum Meski Terluka

Meski semuanya terasa semakin sulit, guru PAI tetap mengajar dengan sabar.
Tetap menyampaikan salam, doa, dan pesan moral dengan senyum.
Tetap menjadi tempat curhat murid-murid yang kehilangan arah.
Tetap menenangkan anak-anak yang sedang tumbuh dan mencari jati diri.

Mereka tetap menjadi pelita, meski pelita itu mulai meredup karena angin kebijakan yang makin kencang.

Dan itulah alasan mengapa suara mereka perlu didengar—bukan untuk mengurangi kualitas pendidikan, tetapi untuk menguatkan pondasinya.
Karena tanpa guru yang dihargai, pendidikan tidak akan pernah maju.

---

Saatnya Pemerintah dan Pemangku Kebijakan Membuka Mata dan Hati

Artikel ini bukan keluhan.
Ini adalah suara hati.
Suara guru-guru PAI yang ingin terus mengabdi, tetapi terhambat administrasi yang tidak manusiawi.

Pemerintah perlu melakukan evaluasi.
Perlu memperbaiki mekanisme.
Perlu memberikan ruang perbaikan.
Perlu membuka pendaftaran lebih lama.
Perlu melakukan verifikasi lebih cepat dan transparan.

Karena ketika fasilitas disulitkan, justru guru-guru terbaiklah yang akhirnya patah semangat.
Dan itu bukan hanya kerugian guru—tapi kerugian bangsa.

---

Akhir Kata: Dengarkan Kami, Guru PAI Juga Ingin Maju

Guru PAI hanya ingin satu hal:
kesempatan yang adil untuk berkembang.

Mereka ingin mendapatkan PPG, bukan sebagai beban, tetapi sebagai jalan meningkatkan kualitas pendidikan Islam di Indonesia.

Semoga artikel ini menjadi jembatan suara hati.
Semoga ada kebijakan yang lebih manusiawi.
Dan semoga para guru PAI tetap kuat, tetap sabar, dan tetap menjadi cahaya bagi murid-muridnya, meski dunia kadang tidak ramah kepada mereka.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Kisah omjay naik gojek dan angkutan umum

Omjay dan Perjalanan Pulang Pergi yang Membumi: Naik Gojek, KRL, dan Angkot

Di tengah kesibukannya sebagai pendidik, penulis, sekaligus penggerak komunitas guru di Indonesia, Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd—yang akrab disapa Omjay—tetap memilih hidup sederhana dan membumi. 

Banyak yang mengenalnya sebagai “Guru Blogger Indonesia”, sosok yang kerap tampil di seminar, webinar nasional, hingga undangan berbicara di berbagai sekolah dan kampus. Namun jarang yang tahu bahwa di balik semua aktivitas itu, Omjay masih setia berangkat dan pulang menggunakan angkutan umum.

Pilihan itu bukan sekadar gaya hidup hemat, tetapi cermin kedekatannya dengan realitas masyarakat kota. Dan dari perjalanan-perjalanan itulah, banyak cerita yang kemudian menjadi inspirasi tulisan-tulisannya.

Berangkat Pagi dengan Gojek Motor

Hari kegiatan Omjay keluar rumah biasanya dimulai sejak subuh. Setelah bersiap dan memastikan materi mengajar maupun agenda harian telah siap, barulah ia membuka aplikasi Gojek. Pilihannya hampir selalu sama: Gojek motor.

Mengapa motor? Karena Jakarta punya satu hukum tak tertulis: kalau mau cepat sampai, hindari macet—dan ojek motor adalah salah satu penyelamat terbaik. 

Bukan sekali dua kali Omjay harus mengejar waktu untuk rapat, mengajar, atau menghadiri undangan sebagai narasumber. Dengan naik Gojek motor, ia bisa meluncur lincah di antara padatnya arus kendaraan.

Di perjalanan, Omjay sering mengobrol santai dengan abang ojek. Mulai dari cerita pendapatan harian, kondisi jalanan, sampai harapan hidup mereka — semua menjadi bagian dari realitas yang tak pernah ingin Omjay tinggalkan. 

“Dari mereka saya belajar tentang ketangguhan,” ucapnya suatu ketika. “Mereka bekerja di jalanan setiap hari, tapi tetap ramah, tetap berusaha jujur, dan yang penting tetap berjuang.”

Kadang perjalanan itu justru menjadi ruang refleksi. Angin pagi, kemacetan yang tak berubah, dan kota Jakarta yang mulai ramai sering memunculkan ide-ide tulisan spontan. Banyak artikel Omjay di blog pribadi maupun Kompasiana lahir dari perjalanan pendek di atas jok motor Gojek.

Wijaya Kusumah - omjay Pulang dengan KRL: Antara Lelah, Inspirasi, dan Rasa Syukur

Sore atau malam hari, perjalanan kembali ke rumah punya coraknya sendiri. Alih-alih memilih kendaraan pribadi atau taksi online, Omjay lebih sering memilih KRL (Kereta Rel Listrik). 

Bagi sebagian orang, KRL mungkin identik dengan padat, berdesakan, dan butuh kesabaran ekstra. Namun bagi Omjay, kereta justru menjadi ruang belajar sosial yang sangat nyata.

Di dalam KRL, Omjay melihat berbagai potret masyarakat urban: para pekerja kantoran yang pulang dengan wajah penat, pelajar yang berdiri sambil memegang buku, ibu-ibu yang membawa belanjaan, hingga pedagang kecil yang menawarkan barang seadanya. Semua itu membuat Omjay merasa menjadi bagian dari denyut kehidupan kota.

Tak jarang ada yang mengenalinya. “Omjay ya? Yang suka nulis?” tanya seorang bapak muda suatu sore. Dari pertemuan kecil seperti itu, diskusi hangat pun mengalir—tentang pendidikan, tentang anak-anak yang butuh perhatian lebih, tentang gawai yang membuat interaksi di rumah berubah. KRL menjadi ruang dialog yang tulus.

Selain itu, perjalanan dengan KRL memberikan Omjay waktu untuk menenangkan pikiran setelah seharian beraktivitas. Di sini pula ia sering menuliskan catatan kecil di ponsel, yang nanti berkembang menjadi artikel panjang.

Dari stasiun disambung Angkot: Transportasi Rakyat yang Masih Setia Berjalan

Setelah turun dari stasiun, perjalanan Omjay biasanya belum selesai. Ia masih harus naik angkot, moda transportasi yang meski mulai tergusur modernisasi, tetap bertahan melayani masyarakat hingga hari ini.

Naik angkot memberi sensasi berbeda: lebih pelan, lebih dekat dengan obrolan spontan penumpang lain, dan penuh cerita kehidupan sederhana. Kadang sopirnya memutar lagu dangdut, kadang musik pop tahun 90-an, dan kadang hanya suara mesin yang menemani.

Di angkot, Omjay sering tersenyum sendiri mendengar percakapan antarpenumpang: obrolan tentang harga sembako, tentang sekolah anak, sampai tentang acara televisi semalam. Di sinilah ia benar-benar merasa berada di tengah denyut paling dasar masyarakat.

Bagi Omjay, angkot bukan sekadar transportasi murah. Ia adalah ruang sosial yang jujur, apa adanya, dan penuh pelajaran hidup.

Di Balik Kesederhanaan, Ada Filosofi Hidup

Banyak yang bertanya mengapa seorang tokoh pendidikan, penulis produktif, dan pekerja keras seperti Omjay tidak memilih kendaraan pribadi. Jawabannya sederhana:

Karena hidup harus tetap membumi. Karena guru harus tetap dekat dengan kenyataan.

Menggunakan transportasi umum membuat Omjay tidak melayang dalam kenyamanan pribadi. Ia tetap berada di tengah masyarakat, menyerap dinamika kehidupan yang kelak menjadi sumber inspirasi untuk menulis, mengajar, dan berbagi.

Pilihan naik Gojek motor, KRL, dan angkot bukan sebatas kebutuhan. Itu adalah filosofi. Sebuah cara menjalani hidup yang sederhana, bersahaja, namun penuh makna.

Penutup: Perjalanan yang Menghidupkan Cerita

Setiap hari Omjay pergi-pulang melewati tiga moda transportasi yang sangat Indonesia: ojek motor, kereta, dan angkot. Di sana ia bertemu orang-orang baru, mendengar cerita-cerita kecil, dan menyaksikan kehidupan bergerak apa adanya. 

Perjalanan itu sering melelahkan, tentu saja. Tapi dari sanalah muncul tulisan-tulisan inspiratif yang kita baca di blognya, di Kompasiana, hingga di berbagai buku yang ia terbitkan.

Omjay selalu bilang, “Setiap perjalanan adalah cerita. Tugas kita adalah menangkapnya dengan hati.”

Dan dari angkutan umum itulah, kisah-kisah hebat lahir. Omjay bersyukur bisa kembali naik angkutan umum. Masa sekolah dulu seolah terulang kembali. Terima kasih ya Allah atas segala nikmat yang telah diberikan. 

Naik mobil.pribadi memang terasa lebih nyaman dan cepat. Namun naik angkutan umum jauh lebih nyaman bila kita bersyukur ada skenario Allah yang ada di belakang kita.

Semenjak sakit dan dirawat di tiga rumah sakit, istri melarang omjay bawa mobil sendiri. Pilihan naik angkutan umum adalah pilihan terbaik karena omjay belum bisa membayar gaji supir pribadi. 

Semoga penyakit darah tinggi dan diabetes yang Omjay derita semakin hari semakin membaik dan Omjay bisa kembali mengendarai mobil.pribadi pergi dan pulang. 

Salam blogger persahabatan 
Omjay
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com