Oleh: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay) – Guru Blogger Indonesia
Tanggal 25 November selalu menjadi hari yang tak terlupakan bagi dunia pendidikan Indonesia. Namun ironinya, justru pada hari yang penuh penghormatan ini, ada sesuatu yang pelan-pelan terlupakan: Hari Ulang Tahun PGRI, rumah besar guru yang telah berjuang sejak 1945.
Hampir seluruh masyarakat hanya mengucapkan Selamat Hari Guru Nasional (HGN). Foto-foto memenuhi media sosial. Ucapan selamat bergema di mana-mana. Sementara itu, HUT PGRI—yang seharusnya menjadi pusat dari peringatan 25 November—nyaris tenggelam dalam kesibukan simbolik.
Mengapa demikian?
Mengapa “anak”-nya dirayakan, sementara “ibunya” dilupakan?
---
1. HGN Lebih Diutamakan Karena Dianggap sebagai Gawai Pemerintah
Banyak yang lebih mengingat HGN daripada HUT PGRI karena HGN dianggap sebagai agenda resmi pemerintah. Guru berada dalam struktur birokrasi yang secara otomatis menempatkan HGN sebagai peringatan yang “wajib dihargai”.
Sebaliknya, HUT PGRI dianggap sebagai milik salah satu organisasi guru saja—padahal ini keliru besar. Namun anggapan keliru ini diperkuat oleh kenyataan bahwa organisasi guru kini pecah menjadi 77 organisasi yang begitu beragam, sebagian hanyalah komunitas belajar sejenis.
Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota akhirnya cenderung mengambil posisi “aman”: menghormati HGN, tetapi tidak memprioritaskan HUT PGRI, karena tampil seolah netral terhadap semua organisasi guru.
Inilah titik awal kelupaan kita pada akar sejarah.
---
2. Batang Dihargai, Akar Dilupakan
Saya sering mengatakan:
> “Batang dihargai, akar dilupakan.”
Ungkapan yang sederhana tetapi sarat makna. Karena faktanya:
HGN adalah batang.
PGRI adalah akar.
Tanpa akar, batang tak mungkin tumbuh.
Tanpa PGRI, tidak mungkin ada HGN.
Namun kini, akar itu seperti tak dianggap.
HGT dipuja, HUT PGRI terlupa.
Sebagian guru bahkan pura-pura lupa karena terbelenggu rasa ingin bersaing dengan PGRI.
Betapa ironis.
---
3. Guru Tua Masih Ingat Sejarah, Guru Muda Banyak yang Tidak Dikenalkan
Bagi guru-guru tua yang masih merasakan romantika perjuangan 1945 hingga masa sulit tahun-tahun berikutnya, HUT PGRI adalah ruh perjuangan. Mereka memahami sejarah itu, merasakannya, dan menjaganya.
Sebagian guru muda yang belajar sejarah PGRI pun paham betapa mulianya organisasi ini.
Namun banyak guru lain, terutama generasi baru, tidak pernah diperkenalkan pada sejarah ini. Mereka hanya mengetahui HGN sebagai “hari nasional yang sudah biasa dirayakan”.
Padahal, asal usul HGN berada tepat di pangkuan PGRI.
---
4. Pemerintah Masa Presiden Soeharto Sangat Menghargai Guru
Perlu kita akui:
Pemerintah pada era Presiden Soeharto sangat menghargai sejarah perjuangan guru. Hal itu terlihat ketika beliau menetapkan:
Keppres Nomor 78 Tahun 1994
yang mengukuhkan 25 November (HUT PGRI) sebagai Hari Guru Nasional.
Ini adalah pengakuan negara bahwa PGRI adalah ibu kandung dari HGN.
Sayangnya, seiring berganti rezim, banyak hal berubah. Banyak pihak yang kemudian menolak ingat—bukan menolak lupa—bahwa embrio HGN berasal dari rahim PGRI. HGN hanya mungkin lahir karena ada perjuangan panjang PGRI dalam perjalanan bangsa.
---
5. Apakah Kita Akan Menjadi Malin Kundang?
Kisah Malin Kundang menjadi metafor yang menyakitkan tetapi tepat.
Ibu melahirkan anak, membesarkannya, melindunginya, menguatkannya.
Tetapi ketika anak tumbuh besar dan dihormati, ia melupakan ibunya.
Bukankah ini mirip dengan hubungan HGN dan PGRI hari ini?
HGN dirayakan megah,
PGRI dilupakan secara struktural,
sejarahnya pelan-pelan dihapus dari ingatan.
Haruskah menunggu “kutukan” dalam bentuk konflik, perpecahan, atau hilangnya arah perjuangan guru baru kita sadar?
Semoga tidak.
---
6. Politik Penamaan Hari Nasional: Inilah Akar Masalahnya
Tambahan penting:
Mengapa HGN lebih diutamakan daripada HUT PGRI?
Karena penetapan nomenklatur hari nasional di Indonesia berada dalam ruang politik pemerintah yang berkuasa. Pemilihan nama bukan sekadar soal sejarah, tetapi juga landasan:
historis,
filosofis,
sosiologis, dan terutama
politik rezim yang memerintah.
Mari kita lihat tiga contoh berikut:
---
1. Mengapa Dinamakan Hari Kebangkitan Nasional, Bukan Hari Budi Utomo?
Padahal 20 Mei adalah hari lahirnya Budi Utomo.
Mengapa pemerintah tidak menamainya “Hari Budi Utomo”?
Karena pemerintah ingin:
mengangkat semangat kebangkitan nasional,
bukan hanya memuliakan organisasi tertentu,
membangun narasi kebangkitan kolektif,
merangkul seluruh elemen bangsa.
Ini adalah pilihan politik sekaligus sosiologis.
---
2. Mengapa Dinamakan Hari Santri, Bukan Hari Pekik Jihad?
Hari Santri diambil dari peristiwa resolusi jihad 22 Oktober.
Namun pemerintah memilih istilah “Hari Santri”:
lebih inklusif,
lebih mudah diterima masyarakat,
tidak memunculkan sensitivitas kata “jihad”,
mencerminkan identitas, bukan konflik.
Sekali lagi, ini pilihan politik budaya.
---
3. Mengapa Disebut Hari Lahir Pancasila, Bukan Hari Lahir Istilah Pancasila?
Secara historis, Pancasila yang diucapkan Bung Karno pada 1 Juni tidak sama persis dengan rumusan Pancasila dalam konstitusi sekarang. Namun pemerintah modern memilih:
narasi nasional yang menyatukan,
bukan perdebatan versi rumusan,
penekanan pada ideologi negara,
bukan sekadar istilah.
Ini pilihan politik yang mempersatukan bangsa di tengah keragaman sejarah.
---
Kesimpulan: Penetapan Nama Hari Besar Nasional Selalu Bernuansa Politik
Dengan tiga contoh itu, kita memahami bahwa:
**Penetapan nama hari besar nasional bukan keputusan sederhana.
Ini adalah keputusan politik pemerintah yang berkuasa.**
Begitu pula HGN.
Ia dipilih, dikukuhkan, dan diarusutamakan oleh pemerintah.
Dan dalam proses itu, HUT PGRI pelan-pelan tertutup oleh “agenda formal”.
Namun siapapun yang mempelajari akar sejarah akan tahu:
Hari Guru Nasional tidak akan pernah ada tanpa HUT PGRI.
Dan itu fakta.
---
Penutup: Mari Membiasakan yang Benar
Mari kita katakan dengan penuh kesadaran sejarah:
🌿 Selamat Hari Guru Nasional
🌿 Selamat Hari Ulang Tahun ke-80 PGRI
Kita tidak boleh menjadi Malin Kundang.
Kita tidak boleh menunggu kutukan.
Kita harus kembali menghormati akar perjuangan pendidikan di negeri ini.
Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati sejarahnya.
Dan PGRI adalah sejarah itu.
Mari membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa.
Salam blogger persahabatan
Omjay
Guru blogger indonesia
Blog https://wijayalabs.com
[25/11, 21.34] Wijaya Kusumah: Klik https://wijayalabs.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar pada blog ini, dan mohon untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan yang benar.