Info Komunitas Guru TIK dan KKPI dan inilah kisah Omjay guru blogger Indonesia.
Benarkah PGRI Akan Dipecah Belah? Suara Hati Guru Indonesia yang Tak Bisa Dibungkam
Ketika berbicara tentang pendidikan, orang sering membayangkan kurikulum, metode pembelajaran, teknologi digital, atau capaian literasi. Namun ada satu hal yang sering terlupakan: batin para guru. Batin yang setiap hari berhadapan dengan anak-anak bangsa, batin yang menjadi pondasi moral sekolah, dan batin yang sering menyimpan kegelisahan dalam diam.
Beberapa waktu terakhir, kegelisahan itu kembali memuncak. Bukan karena perubahan kurikulum, bukan karena penilaian baru, dan bukan karena tumpukan administrasi. Melainkan karena sebuah isu besar yang menyentuh jantung profesi guru: benarkah PGRI sedang dipecah belah?
Isu ini muncul bukan tanpa sebab. Ada dinamika kebijakan, munculnya berbagai organisasi baru, serta gelombang regulasi yang terkesan tumpang tindih dan membingungkan para pendidik. Guru bertanya-tanya: ada apa sebenarnya?
Di tengah kerisauan itu, muncul pesan-pesan dari Ketua Umum PB PGRI, Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd, yang disampaikan tanpa topeng, tanpa basa-basi, dan tanpa kepentingan politik. Pesan itu menyatu dalam percakapan hangat, tetapi justru terasa lebih jujur daripada pidato di panggung manapun.
Dan di sanalah para guru mulai memahami bahwa ada sesuatu yang sedang mengintai PGRI — rumah besar perjuangan para guru Indonesia sejak 1945.
PGRI: Rumah yang Dibangun oleh Air Mata dan Perjuangan
Ketika PGRI didirikan pada 25 November 1945, situasi bangsa belum stabil. Indonesia baru merdeka, belum sepenuhnya diakui dunia, dan para guru kala itu tidak memiliki apa-apa selain tekad. Mereka bukan sekadar mengajar; mereka ikut berjuang mempertahankan republik ini.
Karena itu PGRI bukan sekadar organisasi.
Ia adalah rumah sejarah, rumah yang dibangun dari idealisme, keringat, dan air mata guru.
Dan rumah seperti ini tidak boleh diganggu, apalagi dirusak oleh kepentingan jangka pendek.
“Saya lebih memilih dengan guru…” — Suara Seorang Ibu untuk Para Pendidik
Dalam sebuah percakapan pada 24 November 2025, Prof. Unifah menyampaikan kalimat yang menyejukkan sekaligus menyentak:
> “Monggo pak, saya lebih memilih dengan guru daripada berpolitik tidak jelas. Kenapa tidak sekalian ribuan kok hanya 77? Hem… semakin dipecah belah semakin kuat. Kalau Anda bangga di sana silakan. Saya bangga dengan teman-teman yang setia…”
Kalimat itu sederhana, tetapi terasa sangat dalam.
Beliau menegaskan dirinya memilih bersama guru — bukan bersama kepentingan politik, bukan bersama kegaduhan yang dibuat-buat, dan bukan bersama organisasi dadakan yang tidak jelas pijakannya.
Kata “setia” di kalimat itu bukan sembarang kata.
Ia adalah penanda bahwa di tubuh PGRI, loyalitas bukan diarahkan kepada individu, tetapi kepada perjuangan guru itu sendiri.
Badai Baru: 77 Organisasi yang Mengundang Tanda Tanya
Baru-baru ini Kemdikdasmen mengundang puluhan organisasi guru — disebut berjumlah 77. Undangan ini menyisakan tanya mendalam:
Apakah benar semuanya mewakili guru?
Mengapa begitu banyak?
Mengapa muncul dalam waktu bersamaan?
Dan apakah ini bukan strategi politik untuk memecah kekuatan guru?
Guru bukan tidak boleh berorganisasi.
Tetapi ketika jumlah organisasi tiba-tiba membengkak, wajar jika muncul rasa curiga.
Sebuah bangsa yang kuat dibangun oleh organisasi profesi yang kuat.
Dan organisasi profesi yang kuat hanya bisa ada jika anggotanya bersatu, bukan tercerai-berai.
“Ada yang senang hingar bingar, ada yang senang menepi…” — Peringatan dari Seorang Pemimpin
Masih di percakapan yang sama, Prof. Unifah menyampaikan kalimat yang lebih tajam:
> “Ada yang senang hingar bingar, ada yang senang menepi. Ingat ya… dia perusak utama dan setelah pensiun ingin masuk kita. Mari kita ramai-ramai menolak atas dasar konstitusi kita. Jangan biarkan pecundang merusak rumah kita.”
Dalam kalimat ini, beliau ingin para guru memahami bahwa ada pihak tertentu yang selama menjabat justru merusak sistem, membuat kekacauan, dan memperlemah struktur organisasi. Namun ketika masa jabatannya habis, orang itu ingin masuk ke PGRI seolah-olah pahlawan.
Inilah yang disebut oleh Prof. Unifah sebagai perusak utama.
Dalam organisasi sebesar PGRI, ancaman paling berbahaya bukan berasal dari luar, tetapi dari mereka yang pernah punya kekuasaan, kemudian ingin memanfaatkan nama besar PGRI untuk kepentingannya sendiri.
“Semenjak regulasi ini keluar, saya merasa ada yang aneh…” — Kesadaran yang Terlambat Terungkap
Yang membuat banyak guru merenung adalah kalimat jujur berikut ini:
> “Semenjak regulasi ini keluar, saya merasa ada yang aneh. Waktu itu saya tidak suuzon, saya hanya berprasangka bahwa ini dikarenakan ketidakpahaman mereka saja. Tetapi jika sekarang ada paradigma lain, itu sangat dimungkinkan. Karena saya sangat paham dinamika di tatanan birokrasi.”
Kalimat ini seperti membuka tabir.
Bahwa sejak awal, sebenarnya sudah ada tanda-tanda upaya memperlemah PGRI melalui jalur regulasi.
Namun dengan sikap rendah hati, beliau memilih tidak berpikiran buruk. Semua dianggap sebagai ketidaktahuan semata.
Namun kini, ketika banyak hal menjadi terang benderang, beliau menyadari bahwa paradigma yang bergulir tidak lagi sekadar ketidaksengajaan — tetapi bisa jadi memang diarahkan.
Sebagai seorang akademisi dan pemimpin organisasi besar, Prof. Unifah sangat memahami dinamika birokrasi. Beliau tahu kapan sebuah regulasi dibuat secara tulus, dan kapan regulasi dipakai sebagai alat politik.
“Nafsu ingin menghabisi kita…” — Luka Terbesar yang Diungkapkan
Lalu datanglah kalimat paling jujur, paling emosional, dan paling mengguncang:
> “Ya karena nafsu ingin menghabisi kita, pak. Tidak apa-apa, tidak lama kok kuasa itu. Tetap saja kalau ada masalah, arus utama kita yang dicari.”
Kalimat ini seperti tamparan bagi siapa pun yang selama ini meremehkan guru.
Bahwa ada pihak yang dengan sengaja ingin melemahkan PGRI — organisasi yang telah menjadi benteng guru selama hampir delapan dekade.
Namun beliau tetap tenang:
Kekuasaan itu tidak lama.
Jabatan itu tidak kekal.
Dan pada akhirnya, ketika masalah besar muncul, siapa yang dicari? Guru.
Dan ketika butuh solusi, ke mana pemerintah datang? PGRI.
Inilah yang disebut arus utama.
Sebesar apa pun badai politik, akhirnya bangsa tetap kembali kepada guru.
Mengapa Ada yang Ingin Memecah Belah PGRI?
Ada beberapa kemungkinan yang bisa dibaca:
1. Karena PGRI terlalu besar dan terlalu kuat.
Organisasi besar sering dianggap ancaman oleh mereka yang ingin menguasai sistem.
2. Karena suara guru jika bersatu sangat berpengaruh pada kebijakan nasional.
Suara ini ingin dipecah agar mudah dikendalikan.
3. Karena sebagian pihak ingin membangun organisasi baru sebagai kendaraan politik.
Dan PGRI dianggap “menghalangi” ambisi itu.
4. Karena PGRI selalu kritis terhadap kebijakan yang merugikan guru.
Kritik ini tidak disukai oleh sebagian pejabat.
5. Karena PGRI berdiri di atas konstitusi dan tidak mudah diintervensi.
Maka jalan termudah adalah memecah kekuatan dari dalam.
Guru Indonesia Tidak Boleh Diam
Jika benar ada upaya memecah belah PGRI, maka guru tidak boleh diam.
Guru harus kembali kepada akar sejarah.
Kembali kepada prinsip perjuangan.
Kembali kepada rumah besar yang telah menjaga profesi guru selama hampir 80 tahun.
Guru harus sadar bahwa organisasi baru boleh saja ada — tetapi tidak boleh dibangun untuk meruntuhkan organisasi lama.
Jika guru terpecah, maka kebijakan pendidikan akan mudah diarahkan oleh kepentingan individu atau kelompok tertentu.
Persatuan Guru Adalah Benteng Bangsa
PGRI bukan sekadar organisasi formal.
Ia adalah simbol persatuan guru seluruh Indonesia.
Selama guru masih setia, PGRI tidak akan pernah runtuh.
Selama guru memahami sejarah, tidak akan mudah dipengaruhi oleh propaganda.
Selama guru paham bahwa masa depan bangsa ada di tangan mereka, maka PGRI akan selalu menjadi rumah terbaik bagi para pendidik.
Penutup: Rumah Ini Tidak Akan Runtuh
Rumah bernama PGRI ini telah melewati zaman revolusi, masa Orde Lama, tekanan Orde Baru, hingga badai reformasi.
Rumah ini pernah diterjang konflik, perpecahan, tuduhan, dan tekanan politik — tetapi tetap berdiri.
Mengapa?
Karena guru Indonesia selalu kembali kepada rumahnya.
Hari ini, ketika ada upaya memecah belah, guru tidak boleh panik.
Kita justru harus semakin erat, semakin kuat, dan semakin menjaga martabat profesi guru.
Dan seperti kata Prof. Unifah:
“Kuasa itu tidak lama. Tapi kalau ada masalah, arus utama kita yang dicari.”
Selama guru tetap tegak,
Selama guru tetap bersatu,
Selama guru tetap setia pada perjuangan,
PGRI tidak akan pernah bisa dihabisi.
Tidak sekarang, tidak besok, tidak selama guru Indonesia masih berjuang.
Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay
Guru blogger Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar pada blog ini, dan mohon untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan yang benar.