Selamat Datang di Blog Wijaya Kusumah

Untuk Pelayanan Informasi yang Lebih Baik, maka Isi Blog Wijaya Kusumah juga tersedia di blog baru di http://wijayalabs.com

Selasa, 04 November 2025

jeritan hati supir angkot bekasi

Jeritan Hati Sopir Angkot Bekasi

Di tengah hiruk-pikuk kota Bekasi yang tak pernah sepi, suara mesin angkot masih menjadi latar khas di jalanan. Namun di balik bisingnya klakson dan teriakan kenek yang memanggil penumpang, tersimpan kisah getir para sopir angkot yang perlahan terpinggirkan oleh zaman. Mereka bukan sekadar pengemudi, tapi saksi hidup perubahan kota yang kini kian meninggalkan mereka.

Pagi yang Tak Lagi Ramai

Setiap hari, sejak pukul lima pagi, Pak Darto sudah menyalakan mesin angkot tuanya di garasi sempit pinggiran Rawalumbu. Dengan wajah lelah namun tetap tegar, ia menyiapkan diri menyusuri rute terminal Bekasi hingga Pondok Gede. Dulu, katanya, tak sampai sejam sudah penuh penumpang. Kini? Dua jam berlalu pun bangkunya masih kosong.

“Sekarang semua orang naik ojek online, Nak,” ujarnya lirih sambil menatap kaca spion yang buram. “Dulu saya bisa bawa pulang seratus ribu lebih. Sekarang, lima puluh ribu aja sudah syukur.”

Harga bensin naik, suku cadang mahal, sementara jumlah penumpang turun drastis. Di antara jalanan macet dan panas terik, para sopir angkot berjuang bertahan hidup — bukan hanya melawan waktu, tapi juga melawan ketidakpastian.

Mereka yang Bertahan di Tengah Perubahan

Bekasi yang dulu dikenal dengan deretan angkot warna-warni kini perlahan berubah. Transportasi berbasis aplikasi mengambil alih banyak rute yang dulu dikuasai angkot. Namun, bagi sebagian sopir, angkot bukan sekadar kendaraan, tapi sumber penghidupan yang sudah melekat puluhan tahun.

“Dari muda saya nyopir, sekarang umur sudah lima puluh lebih. Kalau disuruh berhenti, mau kerja apa lagi?” tanya Pak Darto sambil tersenyum pahit.

Ia bukan satu-satunya. Di terminal Kayuringin, puluhan sopir lain duduk menunggu penumpang yang tak kunjung datang. Ada yang iseng merokok, ada yang tidur di dalam mobil, dan ada pula yang hanya memandangi jalan raya — berharap ada satu dua penumpang yang datang.

Di antara mereka, ada cerita kesedihan yang tak pernah terdengar. Anak yang batal kuliah karena uang tak cukup, rumah yang hampir digadaikan, hingga istri yang harus ikut bekerja demi dapur tetap mengepul.

Suara Hati yang Tak Didengar

“Kadang saya iri sama orang-orang yang bisa kerja di tempat adem, gajinya tetap tiap bulan,” ujar Pak Wawan, sopir rute Bekasi Timur–Tambun. “Kami di jalan, panas, hujan, debu, tapi jarang ada yang peduli.”

Jeritan hati para sopir angkot seperti gema yang tak bersahut. Mereka bukan tak ingin berubah, tapi tak semua punya kesempatan untuk beradaptasi. Banyak yang tak paham teknologi, tak punya modal, dan tak punya alternatif pekerjaan lain.

Sebagian sudah mencoba bergabung jadi driver online, tapi tak semua berhasil. Untuk mendaftar saja butuh smartphone dan kendaraan pribadi yang layak. “Angkot saya ini udah tua, siapa mau nerima?” kata Pak Wawan sambil menepuk bodi mobilnya yang berkarat.

Harapan di Tengah Kelesuan

Meski hidup keras, semangat mereka belum padam. Ada kebanggaan tersendiri saat bisa mengantar pelajar ke sekolah, ibu-ibu ke pasar, atau pekerja ke tempat kerja. “Kami ini bagian dari sejarah Bekasi,” ujar seorang sopir dengan nada tegas. “Jangan sampai kami punah begitu saja.”

Beberapa komunitas sopir kini mulai berinisiatif berbenah. Mereka mencoba memperbaiki pelayanan, menjaga kebersihan kendaraan, dan menerapkan sistem setoran yang lebih manusiawi. Ada juga yang bergabung dalam koperasi kecil untuk saling membantu membeli suku cadang dan membayar pajak.

Namun mereka tetap berharap ada perhatian dari pemerintah daerah. “Kalau bisa, bantu kami peremajaan mobil. Atau buat program pelatihan biar kami bisa kerja lain kalau udah gak kuat nyetir,” ujar Pak Darto menutup percakapan dengan mata berkaca-kaca.

Penutup: Jalan Panjang di Ujung Asa

Di antara deru kendaraan dan aroma asap knalpot, jeritan hati sopir angkot Bekasi terus bergema. Mereka bukan pemalas, bukan pula tak mau berubah — mereka hanya butuh ruang dan kesempatan untuk tetap hidup layak di tengah arus modernisasi.

Setiap kali kita melintas di jalan raya Bekasi dan melihat angkot berhenti menunggu penumpang, cobalah sesekali berhenti dan naik. Bukan hanya untuk sampai tujuan, tapi untuk memahami kehidupan dari balik setir tua yang penuh cerita.

Sebab di sana, ada manusia yang sedang berjuang menjaga marwah kerja keras — di tengah dunia yang kian cepat melupakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar pada blog ini, dan mohon untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan yang benar.