Bulan Guru, Bulannya PGRI: Dari Sejarah Menuju Pengabdian Tanpa Batas
Setiap bulan November, suasana haru dan bangga terasa di kalangan pendidik di seluruh Indonesia. Bulan ini dikenal sebagai bulan guru, sekaligus bulan lahirnya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Dua momentum besar itu berpadu dalam satu tanggal bersejarah — 25 November.
Tanggal inilah yang menjadi tonggak lahirnya organisasi guru terbesar di Indonesia, sekaligus diperingati sebagai Hari Guru Nasional.
Kongres Guru Indonesia 1945: Lahirnya PGRI di Surakarta
Tiga bulan setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya 24–25 November 1945, sebanyak 90 organisasi guru yang tersebar di seluruh Indonesia berkumpul di Surakarta, Jawa Tengah.
Mereka datang dengan satu semangat: menyatukan langkah dan hati demi Indonesia merdeka.
Di masa penjajahan Belanda dan Jepang, para guru tergabung dalam berbagai organisasi yang terkotak-kotak oleh latar belakang suku, agama, dan status sekolah. Namun, semangat kemerdekaan membuat mereka sadar bahwa pendidikan tidak boleh lagi terpecah.
Dalam kongres yang diadakan di Gedung Balai Guru Surakarta (sekarang menjadi Gedung PGRI Surakarta) itu, mereka sepakat melebur seluruh organisasi menjadi satu wadah tunggal:
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Tiga tekad lahir dari kongres bersejarah tersebut:
1. Mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia.
2. Memajukan pendidikan nasional.
3. Memperjuangkan hak dan martabat guru.
Kongres itulah yang kemudian menjadi dasar ditetapkannya 25 November sebagai Hari Lahir PGRI, dan kemudian oleh pemerintah diperingati sebagai Hari Guru Nasional.
> “PGRI lahir dari rahim perjuangan kemerdekaan. Ia bukan sekadar organisasi profesi, tapi gerakan kebangsaan yang mengabdikan diri untuk pendidikan Indonesia,”
— (Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd – Ketua Umum PB PGRI).
Guru: Pelita Bangsa yang Tak Pernah Padam
Sejak masa perjuangan hingga kini, guru selalu menjadi pelita yang menerangi jalan bangsa. Di kelas-kelas sederhana, di sekolah pelosok hingga perkotaan, mereka mendidik dengan hati — menanamkan nilai, pengetahuan, dan semangat kebangsaan.
Namun, perjuangan guru tak selalu mudah. Banyak di antara mereka masih bergulat dengan keterbatasan fasilitas, kesejahteraan yang belum merata, dan beban administrasi yang berat.
PGRI hadir sebagai rumah perjuangan, tempat guru bersuara, berorganisasi, dan memperjuangkan nasibnya dengan bermartabat.
Sebagai organisasi profesi tertua di Indonesia, PGRI telah menjadi saksi sejarah perjalanan pendidikan nasional — dari masa kolonial, masa orde baru, hingga kini di era digital dan kecerdasan buatan.
Refleksi Omjay: Guru Harus Menulis dan Terus Belajar
Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay), salah satu tokoh literasi guru Indonesia, sering mengatakan bahwa menjadi guru adalah panggilan hati.
> “Guru sejati bukan hanya mengajar, tetapi juga belajar tanpa henti. Ia menulis bukan untuk terkenal, tapi agar pengalaman dan ilmunya tak hilang dimakan waktu.”
Omjay telah berkeliling ke berbagai daerah, menginspirasi ribuan guru untuk menulis, berbagi, dan berkembang bersama. Ia percaya bahwa menulis adalah bentuk pengabdian abadi — karena dari tulisan, guru meninggalkan jejak pemikiran yang tak lekang oleh zaman.
---
Bulan November: Momentum Bersyukur dan Berbenah
Bulan November mengingatkan kita untuk bersyukur atas profesi guru yang mulia. Namun juga menjadi momentum untuk berbenah.
Dunia pendidikan tengah berubah cepat. Teknologi, kecerdasan buatan, dan digitalisasi membawa tantangan baru bagi dunia sekolah. Namun satu hal yang tak boleh berubah adalah sentuhan kemanusiaan seorang guru.
Teknologi bisa menggantikan papan tulis, tetapi tak akan pernah menggantikan hati guru dalam menumbuhkan karakter muridnya.
PGRI menyadari hal itu. Karena itulah, organisasi ini terus mendorong transformasi kompetensi guru agar siap menghadapi perubahan zaman tanpa kehilangan nilai luhur pendidikan.
PGRI di Usia 80 Tahun: Terus Berkarya, Tak Pernah Lelah
Kini, PGRI telah berusia 80 tahun (1945–2025).
Usia yang panjang bagi sebuah organisasi, tapi semangatnya tetap muda.
PGRI terus berinovasi — dari advokasi kesejahteraan hingga peningkatan profesionalisme. Di era modern ini, PGRI aktif menggelar pelatihan digital, seminar pendidikan, hingga program literasi nasional.
PGRI juga menjadi jembatan antargenerasi guru — dari yang senior hingga guru milenial — agar saling berbagi pengalaman dan memperkuat solidaritas profesi.
---
Penutup: Jayalah Guru Indonesia, Jayalah PGRI
Bulan November bukan hanya sekadar peringatan. Ia adalah bulan refleksi dan apresiasi bagi para pahlawan tanpa tanda jasa.
Mari kita kenang para guru yang telah berjuang tanpa pamrih, dan terus dukung guru-guru yang kini berjuang di garis depan pendidikan.
Guru adalah jantung bangsa, dan PGRI adalah nadinya.
Tanpa guru, ilmu tak akan mengalir. Tanpa PGRI, suara guru tak akan lantang.
Selamat Hari Guru Nasional dan HUT ke-80 PGRI.
Jayalah selalu guru Indonesia, jayalah PGRI — pengabdi tanpa pamrih, pelita sepanjang masa, dan penjaga moral bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar pada blog ini, dan mohon untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan yang benar.