Selamat Datang di Blog Wijaya Kusumah

Untuk Pelayanan Informasi yang Lebih Baik, maka Isi Blog Wijaya Kusumah juga tersedia di blog baru di http://wijayalabs.com

Rabu, 19 November 2025

ppg semakin sulit hqti guru pai banyak yang terluka

Inilah artikel yang menyentuh hati pembaca—khususnya menggambarkan keresahan guru PAI yang merasa proses PPG makin rumit dan melelahkan. Silakan dibaca, dan semoga segera ada solusinya.

---

PPG Semakin Sulit, Hati Guru PAI Makin Terluka: Suara yang Perlu Didengar

“Bu, Pak… kapan saya bisa ikut PPG? Kok persyaratannya makin banyak, dan prosesnya makin rumit?”
Pertanyaan itu bukan hanya keluar dari satu dua guru PAI. Tapi dari ribuan guru yang mengabdikan diri setiap hari, menanamkan akhlak, menuntun iman, sekaligus mendidik generasi. Guru-guru yang, ironisnya, justru sering menjadi yang paling sulit mendapatkan kejelasan dalam perjalanan profesinya.

PPG—Program Pendidikan Profesi Guru—seharusnya menjadi jalan terang untuk meningkatkan kompetensi dan karier guru. Tapi beberapa waktu terakhir, banyak guru PAI merasa jalan itu semakin kabur, berliku, bahkan terasa seperti gerbang yang terbuka hanya sebentar, lalu tertutup kembali sebelum banyak orang sempat melangkah.

Persyaratan yang menumpuk. Pengecekan provinsi yang begitu lama. Tidak adanya masa perbaikan. Pendaftaran yang hanya dibuka beberapa hari.

Semuanya membuat hati sebagian guru PAI runtuh pelan-pelan.

---

Mereka Guru, Bukan Administrator

Guru PAI bukan ahli mengisi dokumen digital. Mereka bukan petugas administrasi yang setiap hari bekerja mengolah berkas, mengunggah dokumen, atau menyesuaikan format. Mereka adalah pendidik hati.

Di kelas mereka mengajarkan kesabaran, kejujuran, dan cinta tanah air.
Di sekolah mereka membimbing anak-anak agar punya akhlak yang baik.
Di rumah mereka menyiapkan materi untuk esok hari, memikirkan murid yang butuh perhatian lebih, atau mempersiapkan nilai dan laporan.

Tetapi ketika PPG dibuka, mereka harus berjibaku dengan syarat yang kadang tidak masuk akal:
file harus JPG, bukan PDF; ukuran tak boleh lebih dari sekian; harus stempel tahun tertentu; harus sinkron dengan data yang kadang tidak bisa mereka ubah sendiri.

Dan saat mereka bertanya, “Boleh diperbaiki tidak?”
Jawabannya hanya satu: Tidak ada masa perbaikan.

Bagaimana mungkin seorang guru tidak diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan teknis?
Bagaimana mungkin program peningkatan kompetensi justru membuat guru merasa tidak dihargai?

---

Ketika Harapan Guru PAI Seolah Dijeda

Yang paling membuat hati perih adalah lamanya pengecekan provinsi.
Ada yang menunggu berminggu-minggu. Ada yang tiap hari membuka portal, berharap status berubah.
Ada yang sudah siap dengan semua persyaratan, tetapi akhirnya harus menerima kenyataan: “Tidak lolos administrasi.”

Dan lebih menyakitkan lagi, pendaftaran PPG hanya dibuka beberapa hari.
Guru yang sedang mengajar, pelatihan, atau sedang kegiatan sekolah tidak sempat mengunggah.
Guru di daerah dengan jaringan terbatas harus naik bukit, ke warnet, ke sekolah lain, hanya untuk mengejar waktu yang tidak manusiawi.

Semua itu membuat mereka merasa seperti penonton dalam nasib mereka sendiri.
Padahal, mereka ingin ikut PPG bukan untuk gaya-gayaan.
Mereka ingin mengabdi lebih baik, ingin punya kepastian karier, dan ingin masa depan yang lebih tenang untuk keluarga.

---

Guru PAI Tidak Minta Dipermudah. Mereka Hanya Minta Dimanusiakan.

Guru PAI tidak meminta prosedur yang longgar.
Mereka tidak minta aturan diturunkan.
Mereka hanya ingin keadilan dan keterbukaan.

Mereka ingin masa perbaikan—karena setiap manusia pasti bisa salah.
Mereka ingin waktu pendaftaran yang wajar—karena mereka sedang mengabdi di kelas, bukan di meja admin.
Mereka ingin sistem yang transparan—karena tidak ada yang lebih menyakitkan daripada menunggu tanpa kepastian.
Mereka ingin pemerintah mendengar, bukan hanya mengatur dari jauh.

PPG seharusnya membuat guru bersemangat, bukan merasa disisihkan.

---

Guru PAI: Pahlawan yang Tetap Tersenyum Meski Terluka

Meski semuanya terasa semakin sulit, guru PAI tetap mengajar dengan sabar.
Tetap menyampaikan salam, doa, dan pesan moral dengan senyum.
Tetap menjadi tempat curhat murid-murid yang kehilangan arah.
Tetap menenangkan anak-anak yang sedang tumbuh dan mencari jati diri.

Mereka tetap menjadi pelita, meski pelita itu mulai meredup karena angin kebijakan yang makin kencang.

Dan itulah alasan mengapa suara mereka perlu didengar—bukan untuk mengurangi kualitas pendidikan, tetapi untuk menguatkan pondasinya.
Karena tanpa guru yang dihargai, pendidikan tidak akan pernah maju.

---

Saatnya Pemerintah dan Pemangku Kebijakan Membuka Mata dan Hati

Artikel ini bukan keluhan.
Ini adalah suara hati.
Suara guru-guru PAI yang ingin terus mengabdi, tetapi terhambat administrasi yang tidak manusiawi.

Pemerintah perlu melakukan evaluasi.
Perlu memperbaiki mekanisme.
Perlu memberikan ruang perbaikan.
Perlu membuka pendaftaran lebih lama.
Perlu melakukan verifikasi lebih cepat dan transparan.

Karena ketika fasilitas disulitkan, justru guru-guru terbaiklah yang akhirnya patah semangat.
Dan itu bukan hanya kerugian guru—tapi kerugian bangsa.

---

Akhir Kata: Dengarkan Kami, Guru PAI Juga Ingin Maju

Guru PAI hanya ingin satu hal:
kesempatan yang adil untuk berkembang.

Mereka ingin mendapatkan PPG, bukan sebagai beban, tetapi sebagai jalan meningkatkan kualitas pendidikan Islam di Indonesia.

Semoga artikel ini menjadi jembatan suara hati.
Semoga ada kebijakan yang lebih manusiawi.
Dan semoga para guru PAI tetap kuat, tetap sabar, dan tetap menjadi cahaya bagi murid-muridnya, meski dunia kadang tidak ramah kepada mereka.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar pada blog ini, dan mohon untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan yang benar.