Berikut artikel versi panjang dan menyentuh hati berdasarkan tulisan Omjay berjudul “Menulislah dengan Hati, Bukan dengan Teknologi”, lengkap dengan komentar dari para sahabat guru dan pembaca setia Omjay.
Menulislah dengan Hati, Bukan dengan Teknologi
Oleh Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay)
Di era digital seperti sekarang, ketika kecerdasan buatan dan teknologi semakin canggih, menulis menjadi semakin mudah dilakukan oleh siapa saja. Cukup ketik satu kalimat perintah, maka muncul rangkaian kata yang indah dan rapi. Namun, di tengah kemudahan itu, saya sering bertanya pada diri sendiri: apakah tulisan yang lahir dari mesin mampu menandingi keikhlasan hati manusia?
Sebagai seorang guru dan penulis yang telah menulis ribuan artikel di blog dan berbagai media, saya menemukan satu kebenaran sederhana: tulisan yang paling berharga bukanlah yang paling sempurna, tetapi yang paling jujur.
Saya menulis bukan karena ingin terkenal atau dipuji, tetapi karena ingin berbagi. Bagi saya, menulis adalah ibadah. Ia menjadi cara saya untuk berterima kasih kepada ilmu, kepada guru-guru saya, dan kepada setiap murid yang telah mengajarkan makna kesabaran.
Setiap kali saya menulis di blog pribadi atau di Kompasiana, saya merasa seperti sedang berbicara dengan hati sendiri. Tidak ada jarak, tidak ada topeng. Yang ada hanyalah keinginan tulus untuk berbagi pengalaman agar orang lain bisa belajar tanpa harus jatuh di lubang yang sama.
“Teknologi boleh membantu, tapi hati harus tetap memimpin.”
Itu prinsip saya.
ChatGPT, AI, dan berbagai alat bantu memang bisa membantu mempercepat proses menulis. Tapi yang tidak bisa digantikan adalah sentuhan rasa. Tulisan yang menyentuh lahir dari pengalaman hidup, dari air mata dan tawa, dari perjuangan seorang guru di ruang kelas yang kadang penuh tantangan namun juga penuh cinta.
Menulis Itu Melatih Keikhlasan
Banyak guru yang berkata kepada saya, “Omjay, saya ingin menulis tapi takut salah.”
Saya selalu menjawab dengan senyum, “Tulislah dulu. Jangan takut salah. Dari kesalahan, kita belajar untuk menjadi lebih baik.”
Menulis bukan tentang benar atau salah. Menulis adalah tentang melatih keikhlasan.
Ketika kita menulis dengan hati, tulisan itu akan menemukan pembacanya sendiri.
Tidak perlu promosi besar-besaran, karena kejujuran selalu punya cara untuk sampai ke hati orang lain.
Saya menulis setiap hari, tidak peduli sibuk atau lelah. Kadang tulisan itu sederhana saja — catatan tentang kegiatan guru, refleksi harian, atau kisah kecil di sekolah. Tapi dari hal-hal kecil itulah saya menemukan kebahagiaan yang besar.
Tulisan adalah cermin jiwa.
Jika hati kita tulus, maka tulisan pun akan tulus.
Dan ketika seseorang membaca tulisan kita dengan hati yang terbuka, di situlah terjadi pertemuan batin antara penulis dan pembaca.
Komentar Para Sahabat Omjay
💬 Susan Solihah, Pengawas Sekolah:
“Omjay mengingatkan kami bahwa menulis bukan soal kemampuan, tapi kemauan. Saya dulu ragu menulis karena takut dikritik. Tapi setelah membaca tulisan beliau, saya mulai berani. Ternyata menulis dengan hati itu menyembuhkan.”
💬 Dr. Umedi, Kepala Sekolah:
“Teknologi hanyalah kendaraan, tapi penulis yang baik adalah pengemudinya. Omjay mengajarkan bagaimana menulis dengan rasa syukur, bukan dengan ambisi. Itu pelajaran yang langka di zaman serba instan ini.”
💬 Dewi, Guru Muda dari NTT:
“Saya membaca tulisan Omjay setiap pagi sebelum mengajar. Rasanya seperti mendapatkan semangat baru. Kata-kata beliau sederhana, tapi mengandung kekuatan besar — mengingatkan saya bahwa mengajar dan menulis sama-sama pekerjaan hati.”
💬 M. Yusuf, Siswa SMA yang gemar menulis:
“Dari Omjay saya belajar bahwa menulis itu bukan untuk orang lain dulu, tapi untuk diri sendiri. Ketika tulisan datang dari hati, orang lain pasti akan merasakannya.”
Hati Lebih Kuat dari Teknologi
Saya tidak menolak kemajuan teknologi. Justru saya menggunakannya sebagai alat bantu agar lebih produktif. Tapi saya selalu percaya, mesin tidak punya hati.
AI tidak bisa merasakan bagaimana getirnya perjuangan guru di pelosok yang tetap mengajar dengan semangat meski fasilitas terbatas. AI tidak tahu rasanya melihat murid yang dulu sering tidur di kelas, kini sukses berterima kasih karena pernah diberi motivasi.
Hanya hati manusia yang mampu menulis kisah seperti itu.
Dan hanya tulisan dari hati yang mampu menembus hati.
Menulis dengan Hati, Bukan dengan ChatGPT
Saya pernah menulis kalimat sederhana:
“Menulislah dengan hati, bukan dengan ChatGPT.”
Kalimat ini bukan untuk menolak teknologi, tapi untuk mengingatkan kita agar tidak kehilangan ruh kemanusiaan dalam setiap tulisan.
Gunakan teknologi sebagai pena, tapi biarkan hati menjadi tintanya.
Saya percaya, selama penulis masih menulis dengan cinta, dunia akan tetap memiliki harapan.
Penutup: Buktikan Apa yang Terjadi
Bagi Anda yang membaca tulisan ini, saya punya satu pesan:
Tulislah setiap hari. Jangan berhenti.
Tulisan Anda mungkin tidak langsung dibaca banyak orang, tapi percayalah — setiap kata yang ditulis dengan keikhlasan akan menemukan takdirnya sendiri.
Sebagaimana yang selalu saya katakan,
“Menulislah terus setiap hari, dan buktikan apa yang terjadi.”
📖 Klik di sini untuk membaca lebih banyak tulisan Omjay:
👉 https://kompasiana.com/wijayalabs
Apakah Anda ingin saya bantu buatkan versi siap unggah ke Kompasiana (dengan format paragraf rapi, meta deskripsi, dan tag relevan seperti #GuruMenulis #Omjay #MotivasiMenulis)?
S3pakat sekali dwngan omjay
BalasHapusM2nulislah dwngan hati bukan dwnan teknologi apalagi chatgpt
BalasHapusMakasih omjay tulisannya sangat menginspirasi p3mbaca
BalasHapus*"Mengapa Saya Menulis di Kompasiana?"*
BalasHapushttps://video.kompasiana.com/sitirokayah6095/6904d180ed64157257189222/mengapa-saya-menulis-di-kompasiana?utm_source=Whatsapp&utm_medium=Refferal&utm_campaign=Sharing_Mobile