Selamat Datang di Blog Wijaya Kusumah

Untuk Pelayanan Informasi yang Lebih Baik, maka Isi Blog Wijaya Kusumah juga tersedia di blog baru di http://wijayalabs.com

Selasa, 30 September 2025

cahaya Labschool UNJ

Dari Labschool UNJ, Cahaya Pendidikan untuk Indonesia dan Dunia

Oleh: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay) – Guru Blogger Indonesia

Rabu, 9 Juli 2025 – Di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, digelar Sarasehan Kependidikan Labschool UNJ yang mempertemukan para tokoh penting pendidikan nasional. Hadir dalam acara ini Mendikdasmen Prof. Dr. Abdul Mu’ti, Rektor UNJ Prof. Dr. Komarudin, Penasehat Labschool UNJ Prof. Dr. Arief Rachman, M.Pd, serta para pemimpin dari Labschool Jakarta, Kebayoran, Cibubur, Cirendeu, Bintaro, dan Ciracas.

Dengan semangat membangun pendidikan bermutu untuk semua, Labschool UNJ meneguhkan perannya sebagai cahaya pendidikan yang memancarkan nilai, pengetahuan, dan keteladanan untuk Indonesia dan dunia.

---

Menanam Nilai, Menyalakan Cahaya

Labschool UNJ dikenal sebagai sekolah berbasis nilai. Tujuh nilai dasar yang terus diinternalisasikan kepada siswa dan guru adalah:

1. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

2. Berintegritas tinggi

3. Berdaya juang kuat

4. Berkepribadian utuh dan seimbang

5. Berbudi pekerti luhur

6. Mandiri

7. Berintelektual tinggi

---

Pola Pikir Bertumbuh dan Pembelajaran Mendalam

Dalam sesi pemantapan mutu pendidikan, Prof. Dinn Wahyudin menyampaikan bahwa salah satu fondasi penting dalam pengembangan pendidikan di era kini adalah growth mindset (pola pikir bertumbuh) dan deep learning (pembelajaran mendalam).

> “Siswa jangan hanya diajak tahu, tetapi diajak paham. Kita harus membentuk generasi yang tidak takut salah, terus belajar, dan berani mencoba ulang. Di sinilah growth mindset menjadi penting.”

Menurut beliau, pendidikan modern harus membangun kemampuan berpikir kritis, reflektif, dan mendalam, bukan sekadar hafalan atau keterampilan mekanis. Guru harus menciptakan ekosistem belajar yang menantang dan memerdekakan, agar siswa tumbuh menjadi pembelajar sejati.

---

Guru Abad 21: Tangguh, Digital, dan Humanis

Labschool UNJ mendorong lahirnya Guru Tangguh Berhati Cahaya, dengan keterampilan abad 21 sebagai berikut:

Literasi teknologi dan media digital

Berpikir kritis dan pemecahan masalah

Kolaborasi dan komunikasi global

Etika digital dan empati sosial

Komitmen belajar sepanjang hayat

Guru juga dituntut memiliki 7 Elemen Profesionalisme, yakni:

1. Kompetensi pedagogik

2. Kompetensi kepribadian

3. Kompetensi sosial

4. Kompetensi profesional

5. Komitmen etik profesi

6. Kepemimpinan pembelajaran

7. Pengembangan diri berkelanjutan

---

Tes Akademik: Mencerminkan Pertumbuhan Belajar

Pentingnya tes kemampuan akademik siswa juga disorot sebagai bagian dari pembelajaran mendalam. Tes bukan sekadar alat penilaian, tapi sebagai:

Cermin pertumbuhan kognitif siswa

Diagnosa kekuatan dan kelemahan belajar

Dasar untuk strategi pembelajaran diferensiatif

Ukuran obyektif keadilan akademik

> “Tes yang baik seharusnya mendorong siswa untuk terus belajar, bukan sekadar mengejar angka,” ujar Omjay.

---

Cahaya dari Para Tokoh Pendidikan

Prof. Dr. Abdul Mu’ti, Mendikdasmen:

> “Pendidikan bermutu adalah hak semua anak. Banyak kebijakan kami dilahirkan bersama UNJ dan Labschool. Presiden Prabowo menegaskan, pendidikan adalah amanat konstitusi.”

Prof. Dr. Komarudin, Rektor UNJ:

> “Guru Labschool itu berkarakter. Mereka membangun budaya 5S: Senyum, Salam, Sopan, Sabar, dan Syukur. Mereka menjadi tempat curhat, bukan sekadar pengajar.”

Prof. Dr. Arief Rachman, M.Pd, Penasehat Labschool UNJ:

> “Profesi guru dibangun dari iman, ilmu, dan amal. Itulah yang menjadikan pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi transformasi nilai.”

---

Menyiapkan Generasi Tangguh dan Global

Sarasehan ini menegaskan bahwa pendidikan yang baik akan:

Membangun pelajar bertakwa dan berkepribadian matang

Mendorong ilmu pengetahuan dan prestasi tinggi

Membentuk rasa kebangsaan dan wawasan global

---

Penutup: Cahaya yang Tak Pernah Padam

Dari Labschool UNJ, cahaya pendidikan tak hanya menerangi ruang kelas, tetapi juga menghangatkan jiwa bangsa dan menyinari jalan masa depan. Dengan kekuatan nilai, ilmu, dan keteladanan, Labschool mengajak kita semua untuk terus menyalakan lentera harapan dalam dunia pendidikan.

> Dari Labschool, cahaya pendidikan bersinar untuk Indonesia dan dunia.

---

#LabschoolUntukIndonesia
#LabschoolUntukDunia
#GrowthMindset
#DeepLearning
#GuruTangguhBerhatiCahaya
#SarasehanKependidikan2025
#PendidikanBermutu
#7NilaiDasarLabschool
#OmjayGuruBlogger
#ImanIlmuAmal
#Karakter5S

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Shalat DHUHA Sedekah Ringan yang Menghidupkqn Jiwa

Kisah Omjay:

Shalat Dhuha: Sedekah Ringan yang Menghidupkan Jiwa

Setiap manusia yang lahir ke dunia ini membawa amanah besar dari Allah Swt. Tubuh kita terdiri dari ratusan sendi dan tulang yang setiap hari digunakan untuk beraktivitas. Menariknya, dalam Islam ada tuntunan khusus untuk "membayar" syukur atas karunia tubuh ini. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits sahih riwayat Imam Muslim, Imam Ahmad, dan Imam Abu Dawud:

"Setiap pagi, tiap-tiap sendi tubuh kalian wajib dikeluarkan sedekahnya. Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, amar makruf adalah sedekah, nahi mungkar adalah sedekah. Semua itu bisa diwakili atau diganti dengan dua rakaat shalat Dhuha."

Hadits ini begitu indah sekaligus menenangkan. Betapa Allah Swt tidak pernah membebani hamba-Nya di luar kemampuan. Sedekah yang diwajibkan bagi setiap sendi tidak harus selalu berupa harta. Cukup dengan melafalkan kalimat thayyibah seperti tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir, itu sudah bernilai sedekah. Bahkan, dua rakaat shalat Dhuha bisa menjadi pengganti seluruh sedekah itu.

Makna Spiritual Shalat Dhuha

Shalat Dhuha dikerjakan pada waktu pagi setelah matahari naik setinggi tombak, kira-kira pukul 07.00 hingga menjelang waktu Zuhur. Inilah waktu di mana kebanyakan orang sedang sibuk dengan urusan duniawi: bekerja, berdagang, belajar, atau mengurus rumah tangga. Di tengah kesibukan itulah Allah Swt memanggil hamba-Nya untuk sejenak kembali mengingat-Nya.

Secara spiritual, shalat Dhuha bukan hanya ritual tambahan, melainkan latihan untuk mengasah rasa syukur. Kita diajak merenung: siapa yang menggerakkan tangan kita? Siapa yang membuat kaki ini mampu melangkah? Siapa yang menjaga kesehatan tubuh agar bisa bekerja? Semua itu adalah karunia dari Allah Swt. Dua rakaat shalat Dhuha menjadi tanda bahwa kita tidak lupa pada Sang Pemberi nikmat.

Rezeki dan Keberkahan

Banyak ulama menyebutkan bahwa shalat Dhuha adalah salah satu pintu rezeki. Bahkan, sebagian orang menyebutnya sebagai "shalat pembuka pintu keberkahan". Hal ini sesuai dengan hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, di mana Allah Swt berfirman:

"Wahai anak Adam, rukuklah (shalatlah) untuk-Ku empat rakaat pada permulaan siang, niscaya Aku cukupkan (keperluanmu) hingga sore hari."

Hadits ini menjadi motivasi besar bahwa shalat Dhuha bukan hanya ibadah ritual, tetapi juga sarana spiritual untuk mendatangkan kecukupan hidup. Rezeki yang dijanjikan bukan hanya berbentuk materi, melainkan juga ketenangan jiwa, kesehatan, dan keberkahan waktu.

Keringanan dari Allah

Bayangkan, manusia punya 360 sendi yang semuanya wajib dizakati setiap hari. Jika dihitung-hitung, tentu sulit bagi kita untuk melakukannya secara penuh. Namun, kasih sayang Allah begitu luas. Dengan dua rakaat shalat Dhuha saja, semua kewajiban itu bisa terpenuhi.

Di sinilah terlihat betapa agama Islam penuh dengan kemudahan. Allah Swt tidak ingin membebani, tetapi justru memberikan jalan agar manusia semakin dekat kepada-Nya. Maka tidak heran jika banyak ulama dan salafus shalih yang sangat menjaga shalat Dhuha dalam keseharian mereka.

Kisah Omjay dengan Shalat Dhuha

Omjay, Guru Blogger Indonesia, punya pengalaman pribadi yang erat dengan shalat Dhuha. Beliau sering memulai hari di Labschool Jakarta dengan melaksanakan shalat Dhuha di mushola sekolah sebelum masuk kelas.

"Pernah suatu pagi saya merasa letih karena semalam menulis hingga larut," kenang Omjay. "Namun setelah melaksanakan shalat Dhuha dua rakaat, tubuh saya terasa lebih segar dan semangat mengajar kembali muncul. Bahkan ide-ide untuk menulis buku pun sering hadir setelah shalat ini."

Omjay juga bercerita, saat menulis buku solo maupun antologi bersama guru-guru lain, ia selalu mengawalinya dengan shalat Dhuha. Menurutnya, shalat itu seperti kunci pembuka inspirasi. Banyak tulisan yang mengalir lancar setelah ia menyempatkan diri bersujud di waktu pagi.

Bahkan ketika menghadapi kesulitan, seperti masalah keluarga atau pekerjaan, Omjay sering menemukan jalan keluar setelah menenangkan hati dengan shalat Dhuha. "Saya yakin rezeki dan kemudahan itu bukan karena kemampuan saya, melainkan karena pertolongan Allah melalui shalat ini," tuturnya.

Komentar Omjay

"Banyak rezeki yang datang tak terduga setelah saya istiqamah shalat Dhuha. Rezeki itu bukan selalu dalam bentuk uang, tetapi juga berupa kesempatan, kesehatan, ide menulis, dan murid-murid yang semakin berprestasi. Shalat Dhuha membuat hati tenang, pikiran jernih, dan langkah terasa ringan. Bagi saya, dua rakaat shalat Dhuha adalah investasi besar untuk hidup dunia dan akhirat."

Omjay juga mengajak para guru dan siswa agar membiasakan shalat Dhuha, baik di rumah maupun di sekolah. Sebab, di balik kesibukan belajar dan mengajar, kita tetap perlu menanamkan rasa syukur. Jika tubuh ini diberi kekuatan untuk bergerak, maka minimal sekali dalam sehari kita sempatkan waktu untuk bersujud kepada Allah Swt.

Penutup

Shalat Dhuha adalah ibadah ringan yang mengandung makna sangat dalam. Ia bukan hanya sekadar ritual tambahan, melainkan sedekah yang menghidupkan jiwa dan mengingatkan kita pada Sang Pencipta. Dua rakaat sederhana itu bisa menjadi penyeimbang antara urusan dunia dan akhirat.

Maka, mari kita jadikan shalat Dhuha sebagai bagian dari rutinitas harian. Sebagaimana nasihat Omjay, "Jangan remehkan shalat Dhuha. Dua rakaat ini bisa membuka pintu keberkahan dan menguatkan langkah kita dalam menghadapi kehidupan."

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia
Blog https://wijayalabs.com

Mengenang Kembali Sejarah Gerakan 30 September PKI yang Gagal Kudeta

Kisah Omjay

Gerakan Pengkhianatan PKI 30 September 1965: Sejarah Kelam yang Tak Terlupakan

Tanggal 30 September 1965 menjadi salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah Indonesia. Peristiwa yang dikenal dengan Gerakan 30 September (G30S/PKI) bukan hanya soal perebutan kekuasaan, tetapi juga tragedi kemanusiaan yang meninggalkan luka mendalam. Hingga kini, bayang-bayang pengkhianatan itu tetap menjadi peringatan bagi bangsa Indonesia untuk tidak lengah terhadap ideologi yang ingin meruntuhkan Pancasila.

Awal Mula G30S/PKI

Pada dekade 1960-an, Partai Komunis Indonesia (PKI) berkembang menjadi partai komunis terbesar di luar Uni Soviet dan Tiongkok. Dengan jumlah anggota yang mencapai jutaan orang, PKI semakin berani menunjukkan ambisinya untuk menjadi kekuatan politik dominan. Melalui propaganda, infiltrasi ke berbagai organisasi massa, hingga upaya masuk ke tubuh militer, PKI berusaha memperluas pengaruhnya.

Namun, kekuatan PKI menimbulkan kecurigaan dan ketegangan dengan kalangan militer, khususnya TNI Angkatan Darat. Para jenderal dianggap sebagai penghalang utama cita-cita mereka. Maka, dirancanglah sebuah gerakan yang pada akhirnya menjadi catatan hitam: Gerakan 30 September 1965.

Malam Kelam Penculikan dan Pembunuhan

Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, pasukan bersenjata yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September” bergerak. Mereka menculik tujuh perwira tinggi Angkatan Darat:

Jenderal Ahmad Yani

Letjen Suprapto

Letjen MT Haryono

Letjen S Parman

Mayjen D.I. Panjaitan

Mayjen Sutoyo Siswomiharjo

Kapten Pierre Tendean (perwira muda yang ikut menjadi korban karena menggantikan Jenderal Nasution yang berhasil melarikan diri).

Para jenderal itu dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur, lalu dibunuh dengan cara yang kejam. Jenazah mereka ditemukan dalam keadaan mengenaskan. Peristiwa ini mengejutkan seluruh bangsa Indonesia.

Dampak Sosial dan Politik

Kabar pembunuhan para jenderal menyebar cepat. Presiden Soekarno ketika itu berada dalam posisi sulit, namun Mayjen Soeharto segera mengambil kendali keadaan. Ia menggerakkan pasukan untuk menumpas pemberontakan, dan pada hari-hari berikutnya, PKI dituding sebagai dalang utama.

Sejak saat itu, PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia, dan paham komunisme tidak boleh lagi hidup di bumi Pertiwi. Namun, dampak sosial yang ditimbulkan begitu besar. Terjadi konflik horizontal, pembantaian massal, dan banyak masyarakat yang menjadi korban karena dicurigai sebagai simpatisan PKI.

Tragedi ini bukan hanya meninggalkan luka politik, tetapi juga luka sosial yang panjang. Hingga kini, pembahasan tentang peristiwa 1965 sering memunculkan perdebatan. Namun satu hal yang pasti: peristiwa itu adalah pengkhianatan terhadap bangsa dan ideologi Pancasila.

Sejarah dalam Dunia Pendidikan

Generasi 1970-an hingga 1990-an sangat akrab dengan film “Pengkhianatan G30S/PKI” karya Arifin C. Noer yang diputar setiap tanggal 30 September malam di TVRI. Film itu menggambarkan kekejaman yang dilakukan oleh pasukan PKI terhadap para jenderal.

Selain melalui film, sekolah-sekolah juga menekankan pentingnya memahami peristiwa ini sebagai bagian dari pelajaran sejarah nasional. Pesannya jelas: jangan pernah melupakan sejarah kelam bangsa, karena dari sanalah kita belajar untuk tidak mengulang kesalahan yang sama.

Kisah Nyata Omjay Saat Masih Sekolah

Omjay, yang kini dikenal sebagai Guru Blogger Indonesia, masih menyimpan ingatan kuat tentang bagaimana ia belajar sejarah G30S/PKI semasa sekolah.

> “Saya masih ingat jelas ketika duduk di bangku SD hingga SMP. Setiap akhir September, guru sejarah kami selalu bercerita tentang pengkhianatan PKI. Bahkan, kami diwajibkan menonton film G30S/PKI di televisi nasional. Saya menontonnya bersama orang tua. Suasana rumah mendadak hening, hanya suara TV yang terdengar. Sebagai anak kecil, saya merasa ngeri sekaligus sedih melihat para jenderal disiksa. Saya masih ingat gambar Lubang Buaya yang begitu kelam.”

Pengalaman itu menanamkan kesadaran mendalam dalam diri Omjay kecil. Ia mengerti bahwa sejarah bukan sekadar catatan di buku, tetapi kenyataan pahit yang pernah dialami bangsa. Kini, sebagai guru, Omjay berusaha menyampaikan kisah itu kepada murid-muridnya dengan cara yang lebih humanis, melalui cerita, tulisan blog, hingga diskusi kelas.

Komentar Omjay, Guru Blogger Indonesia

Sebagai seorang pendidik dan penulis aktif di dunia digital, Omjay selalu menekankan pentingnya menuliskan kembali sejarah agar generasi muda tetap ingat.

> “Sejarah adalah guru terbaik. Sebagai guru blogger, saya ingin mengingatkan para siswa dan pembaca bahwa peristiwa kelam 30 September 1965 harus menjadi bahan renungan kita semua. Jangan pernah melupakan sejarah, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Kita boleh berbeda pendapat, tetapi jangan sampai terjebak pada ideologi yang ingin menghancurkan bangsa sendiri. Menulis tentang sejarah ini di blog atau media sosial adalah salah satu cara agar generasi muda tetap melek sejarah. Jangan biarkan lupa membuat kita lengah.”

Menurut Omjay, dunia digital saat ini bisa menjadi media untuk melawan lupa. Melalui tulisan, podcast, vlog, atau diskusi daring, generasi muda bisa terus diajak memahami sejarah. Dengan begitu, mereka tidak hanya tahu, tetapi juga sadar akan pentingnya menjaga persatuan bangsa.

Pelajaran untuk Generasi Muda

Peristiwa G30S/PKI mengajarkan kita beberapa hal penting:

1. Bahaya Ideologi yang Bertentangan dengan Pancasila
Komunisme yang menolak agama dan mengedepankan kekerasan jelas tidak sejalan dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

2. Pentingnya Persatuan
Perpecahan akan memudahkan pihak luar maupun dalam negeri untuk menguasai bangsa ini.

3. Sejarah sebagai Guru
Generasi muda harus belajar dari masa lalu agar tidak mudah terprovokasi oleh ideologi transnasional yang berbahaya.

Penutup

Gerakan Pengkhianatan PKI 30 September 1965 adalah tragedi yang tak terlupakan dalam perjalanan bangsa Indonesia. Dari peristiwa ini, kita belajar bahwa menjaga Pancasila dan persatuan bangsa adalah hal mutlak.

Bangsa ini harus terus mewariskan nilai-nilai perjuangan kepada generasi penerus, bukan hanya lewat buku teks, tetapi juga melalui cerita yang menyentuh hati. Sejarah kelam ini adalah pengingat bahwa kebersamaan, persatuan, dan kesetiaan pada Pancasila adalah benteng kokoh bangsa Indonesia.

Seperti kata Bung Karno: “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” Dan seperti kata Omjay: “Sejarah bisa kita hidupkan kembali lewat tulisan, karena menulis adalah cara terbaik agar generasi muda tak pernah lupa.”

Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Goes to Yogya Hari Pertama Invita SMP Labschool Jakarta

Kisah Omjay:

Serunya Perjalanan Siswa SMP Labschool Jakarta: Dari Stasiun Gambir ke Tugu Yogyakarta

Jakarta selalu punya cerita, termasuk pagi yang riuh di Stasiun Gambir pada Senin, 29 September 2025. Sejak pukul 19.00 WIB, suasana peron kereta api tampak lebih ramai dari biasanya. Ada puluhan siswa berseragam SMP Labschool Jakarta yang tampak sumringah, membawa koper, ransel, dan semangat membara. Mereka bukan sekadar bepergian, tapi hendak melaksanakan kegiatan Invita (Industry Visit and Tafakur Alam) ke Yogyakarta.

Bagi anak kelas 8, perjalanan ini adalah pengalaman berharga. Tak hanya belajar di kelas, mereka akan melihat langsung dunia industri, mengunjungi tempat-tempat edukatif, sekaligus merenung dalam kebersamaan di alam terbuka. Tak heran, wajah mereka dipenuhi tawa dan rasa ingin tahu.

Riuh di Stasiun Gambir

Orang tua siswa ikut hadir, mengantar anak-anak tercinta sambil menyelipkan pesan terakhir. Ada yang berpesan jangan lupa sholat, ada pula yang sibuk mengingatkan agar jangan jajan sembarangan. Suasana menjadi heboh ketika para guru pembimbing memanggil siswa untuk berbaris rapi. Satu per satu nama dipanggil, koper ditimbang, dan tiket kereta dicek.

Kereta Eksekutif Taksaka malam menjadi saksi perjalanan panjang menuju Kota Gudeg. Tepat pukul 21.00 WIB, rombongan masuk ke gerbong masing-masing. Gelak tawa, foto-foto selfie, hingga canda ringan terdengar sepanjang perjalanan. Guru pun sesekali mengingatkan agar tetap menjaga ketertiban, meski pada akhirnya ikut larut dalam keceriaan.

Menyusuri Malam di Atas Rel

Bagi sebagian siswa, ini adalah kali pertama naik kereta jarak jauh. Sensasi bergetar, dentuman rel, hingga pemandangan lampu kota yang berkelip dari balik jendela membuat mereka terpesona. Di dalam gerbong, suasana seperti “kelas berjalan”. Ada yang sibuk membuka bekal, ada yang memainkan game di gawai, dan ada pula yang langsung merebahkan kursi untuk tidur.

Namun, kelompok siswa yang duduk di dekat jendela tak berhenti bercerita. “Eh, besok kita ke mana dulu ya? Kalau bisa ke Malioboro, aku mau beli batik sama gelang kayu,” celetuk salah satu siswa. Yang lain menimpali dengan cerita tentang gudeg legendaris, bakpia, hingga rencana belanja oleh-oleh.

Sementara itu, guru pembimbing duduk sambil tersenyum, sesekali memotret tingkah polah siswa. Bagi mereka, momen seperti ini tak ternilai. Pendidikan sesungguhnya bukan hanya soal buku pelajaran, melainkan juga perjalanan dan pengalaman hidup.

Tiba di Yogyakarta Pukul 03.45 WIB

Waktu terasa cepat berlalu. Pukul 03.45 WIB, suara pengeras suara mengabarkan bahwa kereta Taksaka akan segera memasuki Stasiun Tugu Yogyakarta. Suasana mendadak riuh. Siswa yang tadi terlelap langsung bangun, buru-buru membereskan barang bawaan. Ada yang masih mengucek mata, ada pula yang langsung semangat karena sadar mereka sudah sampai di tujuan.

Begitu pintu kereta terbuka, hawa sejuk Jogja menyambut. Rombongan berjejer menuruni tangga stasiun, sebagian langsung berfoto dengan latar belakang tulisan ikonik “Stasiun Yogyakarta”. Walau masih dini hari, semangat mereka tak luntur. Justru semakin membara karena sadar petualangan baru saja dimulai.

Mengapa Perjalanan Ini Berarti?

Invita bukan sekadar wisata biasa. Siswa akan belajar banyak hal dari kunjungan ke industri, memahami bagaimana proses kerja nyata berjalan. Mereka juga akan diajak tafakur alam, merenungkan kebesaran Tuhan lewat kegiatan outdoor. Perjalanan ini adalah kombinasi dari pembelajaran akademis, spiritual, dan sosial.

Dari Gambir hingga Tugu, perjalanan kereta kali ini bukan hanya menghubungkan dua kota, tapi juga menghubungkan rasa kebersamaan, semangat belajar, dan pengalaman hidup yang akan dikenang selamanya.

Penutup

Stasiun Gambir menjadi titik awal, dan Stasiun Tugu menjadi pintu gerbang menuju seribu cerita di Yogyakarta. Bagi siswa kelas 8 SMP Labschool Jakarta, perjalanan Invita ini akan menjadi kenangan manis yang kelak mereka ceritakan kembali dengan penuh tawa.

Karena pada akhirnya, pendidikan terbaik bukan hanya di dalam kelas, melainkan juga di perjalanan yang penuh pengalaman. Dan malam itu, kereta Taksaka telah membawa mereka menuju babak baru: belajar dengan cara yang lebih hidup.

Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Senin, 29 September 2025

MBG Makan Bergizi Gratis dan Keracunan yang Datang Kepada Siswa

Kisah Omjay:

MBG – Gizi Belum Dapat tapi Keracunan Sudah Datang: Apa yang Salah?

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) lahir dengan cita-cita mulia. Pemerintah ingin memastikan anak-anak Indonesia mendapatkan asupan gizi yang sehat, seimbang, dan terjangkau. Harapannya, program ini menjadi jawaban atas masalah gizi buruk, stunting, hingga ketimpangan asupan makanan di sekolah-sekolah.

Namun, niat baik itu berbelok arah. Alih-alih menyehatkan, justru keracunan massal muncul lebih dulu sebelum manfaat gizi bisa dirasakan. Data hingga akhir September 2025 mencatat 8.649 anak menjadi korban keracunan setelah mengonsumsi makanan dari program MBG. Lonjakan terbesar terjadi dalam dua pekan terakhir dengan tambahan 3.289 kasus baru. Kabupaten Bandung Barat bahkan disebut-sebut sebagai episentrum dengan lebih dari 1.300 korban keracunan.

Apa yang Salah?

Pertanyaan ini menggema di masyarakat. Bagaimana mungkin program besar yang melibatkan banyak pihak justru menimbulkan masalah serius? Pemerintah sendiri sudah menggelar rapat koordinasi lintas kementerian. Hasilnya, sejumlah langkah strategis diputuskan: dapur MBG yang bermasalah ditutup sementara, disiplin juru masak dievaluasi, kualitas bahan pangan diperketat, sanitasi dan pengelolaan air diperbaiki, hingga mewajibkan semua dapur MBG memiliki sertifikasi laik higiene.

Langkah ini tentu penting, namun masyarakat bertanya: mengapa semua ini tidak disiapkan sejak awal? Apakah terlalu terburu-buru demi mengejar target politik tanpa memastikan fondasi pelaksanaan yang kuat?

Suara Ahli Kesehatan

Dalam Webinar Hati Pena #174 yang akan digelar Kamis, 2 Oktober 2025, hadir Dr. Andi Khomeini Takdir Haruni — dokter, penulis, dan pengamat kesehatan masyarakat yang dikenal kritis menyoroti kebijakan publik. Dengan pengalamannya, Dr. Andi diyakini mampu mengajak publik untuk menelisik lebih dalam akar persoalan MBG. Baginya, program gizi bukan sekadar soal membagikan makanan, melainkan bagaimana memastikan rantai penyediaan, pengolahan, hingga distribusi pangan berjalan sesuai standar kesehatan.

Dr. Andi menegaskan, "Satu kesalahan dalam penanganan makanan bisa berakibat fatal. Keracunan massal bukan hanya soal dapur, tapi soal sistem yang tidak disiapkan dengan benar."

Komentar Omjay: Guru Harus Bicara

Sebagai seorang pendidik sekaligus Sekjen Ikatan Guru Informatika PGRI, saya, Omjay (Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd.), merasa terpanggil untuk menanggapi fenomena ini. Saya melihat langsung bagaimana anak-anak di sekolah sangat antusias ketika program makan bergizi diluncurkan. Mereka merasa diperhatikan. Namun, kegembiraan itu sirna ketika kasus keracunan justru menimpa teman-teman mereka.

Program sebesar MBG seharusnya tidak hanya menjadi janji politik, tetapi harus benar-benar berpihak pada anak-anak. Guru di sekolah bisa menjadi garda terdepan dalam memantau kualitas makanan yang disajikan, namun tentu guru tidak bisa bekerja sendirian. Diperlukan sinergi antara pemerintah, sekolah, tenaga kesehatan, dan masyarakat.

Saya sering mengingatkan, teknologi seharusnya bisa membantu. Dengan sistem informasi yang baik, pengawasan kualitas makanan bisa dilakukan lebih cepat dan transparan. Dari pengadaan bahan baku hingga distribusi, semuanya bisa dilacak. Jangan sampai kasus keracunan berulang hanya karena lemahnya koordinasi dan kontrol.

Menjaga Kepercayaan Publik

Keracunan massal dalam program MBG telah menimbulkan krisis kepercayaan. Orang tua mulai khawatir, guru cemas, anak-anak takut. Padahal, jika dijalankan dengan benar, MBG bisa menjadi salah satu terobosan besar untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia sejak dini.

Ke depan, pemerintah harus menjadikan peristiwa ini sebagai pelajaran berharga. Jangan menutup mata atau sekadar menyalahkan teknis di lapangan. Justru dari sinilah kesempatan untuk memperbaiki sistem agar lebih kokoh.

Masyarakat tentu masih ingin percaya pada program ini. Namun kepercayaan itu hanya bisa kembali jika pemerintah berani melakukan evaluasi menyeluruh, transparan, dan berbasis data. Anak-anak kita berhak mendapatkan makanan bergizi — bukan keracunan yang merampas masa depan mereka.

Salam blogger persahabatan
Omjay
Guru blogger Indonesia
Blog https://wijayalabs.com

Olimpiade TIK dan Informatika Nasional (OTN) Akan Digelar Kembali di ICE BSD Serpong 23-26 Oktober 2025




Olimpiade TIK dan Informatika Nasional 2025 Digelar di ICE BSD Bersama Indocomtech Banyak Siswa yang Akan Hadir dan Mendaftarkan Diri Ikut OTN 2025

https://www.melintas.id/news/346633662/olimpiade-tik-dan-informatika-nasional-2025-digelar-di-ice-bsd-bersama-indocomtech-banyak-siswa-yang-akan-hadir-dan-mendaftarkan-diri-ikut-otn-2025




Salam Blogger Persahabatan 
Omjay 
http://wijayalabs.com 
Menulislah Terus setiap hari, dan buktikan apa yang terjadi

Olimpiade TIK - Informatika Nasional: Olimpiade TIK-Informatika 2025 Terkurasi Resmi ole...

Olimpiade TIK - Informatika Nasional: Olimpiade TIK-Informatika 2025 Terkurasi Resmi ole...: Olimpiade TIK-Informatika 2025 hadir sebagai ajang prestisius yang menjadi panggung aktualisasi bagi generasi muda Indonesia untuk menunjukk...

Minggu, 28 September 2025

Mengapa OTN Dilaksanakan Tidak Berjenjang.

Breaking news otn 2025

Mengapa OTN Tidak Diselenggarakan Secara Berjenjang dari Kota ke Provinsi?

Efisiensi, Mandiri, dan Semangat Gotong Royong Menjadi Kunci

Pendaftaran Olimpiade TIK dan Informatika Nasional (OTN) 2025 kini telah dibuka. Ajang ini menjadi kesempatan emas bagi siswa — dari SD, SMP, SMA, dan SMK — untuk menunjukkan kecakapan di bidang teknologi, pemrograman, dan informatika. Dan lebih dari itu: ini adalah momentum agar sekolah Anda menunjukkan siapa juaranya tahun ini!

Namun, muncul pertanyaan strategis: mengapa OTN tidak diadakan secara berjenjang mulai dari tingkat kota → kabupaten → provinsi → nasional? Padahal banyak kompetisi akademis lain menerapkan sistem berjenjang tersebut. Dalam konteks penyelenggaraan OTN yang “mandiri” dan bersumber dana dari pendaftaran peserta (bukan APBN atau APBD), ada beberapa alasan penting di balik keputusan ini — yang sebenarnya mencerminkan visi efisiensi, kemerdekaan, dan semangat gotong royong.

---

Sejarah Singkat OTN – Menapak Menuju Gelaran Nasional

Menurut catatan Melintas, OTN pertama kali diselenggarakan sekitar tujuh tahun lalu oleh komunitas guru TIK dan KKPI bekerja sama dengan Ikatan Guru TIK dan Informatika PGRI. 

Semula, OTN “naik panggung” langsung di level nasional dengan peserta dari berbagai daerah. Dari jumlah ratusan di awal, kini telah berkembang menjadi ribuan siswa dari jenjang SD hingga SMA/SMK.  Cakupan materi pun makin kaya — tidak lagi sebatas pengolahan kata, spreadsheet, dan presentasi, melainkan juga kompetensi seperti algoritma/pemrograman, keamanan siber, desain aplikasi, game, dan literasi digital. 

Memasuki 2025, OTN akan digelar sebagai penyelenggaraan ke-7 dan bertempat di ICE BSD Serpong, Tangerang pada tanggal 22–26 Oktober 2025. 

Dengan latar tersebut, mari kita kupas alasan di balik absennya sistem berjenjang dalam OTN.

---

1. Biaya Operasional dan Logistik: Beban Ganda Jika Berjenjang

Jika OTN menerapkan seleksi berjenjang (kota → kabupaten → provinsi → nasional), maka setiap tingkatan akan memerlukan:

1. Koordinasi lokal (tempat ujian, pengawas, sarana alat, sistem IT)

2. Biaya moderasi, koreksi, dan validasi data

3. Transportasi dan akomodasi untuk panitia pusat ke daerah

4. Pengawasan mutu dan standarisasi soal di banyak tempat

Karena OTN tidak mengandalkan anggaran negara (APBN/APBD) tetapi dana dari pendaftaran peserta secara gotong royong, maka setiap lapisan tambahan akan menambah beban logistik dan administratif yang signifikan. Dalam situasi di mana dana terbatas dan sumbernya bersifat kolektif dari peserta, setiap lapisan seleksi bisa menggerus efisiensi dan kelengkapan pelaksanaan.

Dengan langsung ke tahap nasional, pelaksana (panitia pusat) dapat lebih tersentralisasi dalam persiapan sarana ujian online maupun offline, distribusi soal, pengawasan teknis, dan koreksi hasil. Sistem terpusat ini meminimalkan duplikasi tugas dan memperkecil risiko disparitas mutu di tiap kota/provinsi.

---

2. Skala Nasional “Dari Awal” Memacu Semangat Nasionalisme dan Persaingan Seimbang

Dengan membuka akses langsung ke level nasional, peserta dari daerah terpencil pun diberi kesempatan yang setara untuk bersaing tanpa harus melewati mekanisme berjenjang yang bisa saja “tercekik” karena keterbatasan dukungan lokal. Konsep ini memupuk semangat bahwa setiap siswa dari Sabang sampai Merauke punya hak yang sama untuk tampil di panggung nasional — tanpa “filter” provinsi dulu.

Selain itu, pendekatan ini menyederhanakan komunikasi dan sosialisasi. Panitia pusat bisa langsung mengumumkan panduan, soal simulasi, dan teknis ke semua peserta di seluruh nusantara tanpa harus melalui rantai birokrasi provinsi yang berlapis.

---

3. Standarisasi dan Integritas Soal: Risiko Kebocoran Dapat Dikurangi

Salah satu tantangan terbesar dalam sistem berjenjang adalah potensi kebocoran soal atau manipulasi data ketika soal berpindah dari tingkat nasional ke provinsi, dari provinsi ke kabupaten, dan seterusnya. Semakin banyak distribusi dan duplikasi, semakin tinggi risiko kebocoran atau kecurangan.

Dengan langsung menggunakan platform tersentralisasi, seluruh peserta mengakses materi dan sistem yang sama dari pusat, sehingga standarisasi keamanan soal lebih terjaga. Aturan teknis seperti enkripsi data, sistem ujian daring, dan validasi server bisa dikontrol langsung dari pusat. Model ini memperkuat integritas kompetisi.

---

4. Efisiensi Waktu: Tak Perlu Banyak Tahapan yang Memakan Lama

Sistem berjenjang umumnya butuh waktu yang panjang — membuka pendaftaran di kota, seleksi, pengumuman, kemudian pendaftaran ulang di tingkat provinsi, dan seterusnya. Hal ini bisa memakan waktu berbulan-bulan, mengurangi momentum kompetisi dan menimbulkan “jeda” terlalu besar antara tahap.

OTN, dengan model langsung ke nasional, bisa menyelaraskan jadwal dengan lebih ringkas: pendaftaran, seleksi (jika diperlukan seleksi awal daring), dan babak nasional dalam satu rangkaian. Teknis ini cocok untuk sistem yang mengutamakan kecepatan pelaksanaan dan pengendalian fokus panitia pusat.

---

5. Semangat Mandiri dan Gotong Royong Panitia & Peserta

Sebagai kompetisi yang tidak bergantung pada dana negara, OTN tumbuh atas semangat kolektif dari guru, sekolah, dan peserta. Jadwal, regulasi, dan tata kelola kompetisi sebagian besar ditanggung oleh panitia pusat dan kerjasama komunitas guru TIK nasional.

Jika ditambah dengan tahap provinsi dan kota, beban koordinasi dan pembebanan biaya akan berlipat. Dalam sistem yang sudah berjalan solid sekarang, model langsung ke nasional menjadi pilihan praktis untuk menjaga agar OTN tetap “bersih” dari ketergantungan dana publik, dan tetap efisien dalam skala nasional.

---

Ajakan: Daftarkan Sekolah Anda Sekarang—Jangan Sampai Ketinggalan!

OTN 2025 akan diselenggarakan 22–26 Oktober di ICE BSD Serpong, Tangerang.  Pendaftaran sudah dibuka, dan kesempatan masih ada untuk mengikutsertakan putra-putri Anda dari jenjang SD, SMP, SMA/SMK.

IKAN SEPAT IKAN GABUS, LEBIH CEPAT DAFTAR LEBIH BAGUS!
Jangan menunggu: semakin awal mendaftar, semakin matang persiapan sekolah Anda dalam membentuk tim, simulasi, persiapan teknis, dan strategi lomba.

Pastikan sekolah Anda — baik di kota besar maupun di pelosok — ikut serta dan jangan biarkan potensi terbaik siswa terlewat begitu saja. Mari tunjukkan bahwa sekolah Anda punya juara OTN 2025 — ambil kesempatan ini sekarang juga!

Klik https://www.otn.or.id

Bermalam di Springhill Yume Lagoon Cisauk Tangerang

Bermalam di Springhill Yume Lagoon: Menyapa Kehidupan dengan Kesederhanaan
Oleh: Omjay Guru blogger Indonesia 

Malam itu, langit masih bertabur bintang ketika saya tiba di Springhill Yume Lagoon, sebuah kawasan perumahan modern yang nyaman dan asri. Di sanalah cucu saya tinggal bersama keluarganya. Suasana tenang, udara yang bersih, serta deretan rumah yang tertata rapi membuat hati terasa damai. Rasanya seperti menemukan oase di tengah hiruk pikuk kehidupan kota.

Bermalam di rumah cucu selalu menjadi pengalaman yang menyenangkan. Ada tawa kecil yang menyapa, ada canda ringan yang menyejukkan, dan tentu saja ada rasa syukur yang tak henti-hentinya kepada Allah SWT karena masih diberi kesempatan menikmati kebersamaan keluarga. Di ruang tamu sederhana itu, kami berbincang tentang banyak hal; dari sekolah cucu, perkembangan teknologi, hingga cerita masa lalu ketika saya masih menjadi guru muda yang penuh semangat.

Pagi yang Menyejukkan

Keesokan harinya, selepas subuh, udara pagi terasa begitu segar. Pepohonan di sekitar perumahan seolah ikut menghembuskan oksigen terbaiknya. Saya mengajak kakak ipar saya, Abah Didin, untuk berjalan kaki mengitari lingkungan Springhill Yume Lagoon. Beliau menyambut ajakan itu dengan penuh semangat.

Langkah kami pelan namun pasti, menyusuri jalanan yang bersih dan nyaman. Sesekali kami melihat tetangga lain yang juga sedang berolahraga pagi: ada yang berlari kecil, ada yang bersepeda, dan ada pula yang hanya sekadar berjalan santai seperti kami. Inilah salah satu nikmat tinggal di kawasan perumahan yang terjaga kebersihannya.

Sambil berjalan, kami berbincang ringan. Abah Didin bercerita tentang pengalamannya mendampingi keluarga, saya menambahkan cerita tentang dunia pendidikan yang terus berubah. Percakapan itu membuat langkah kami semakin ringan, seolah lelah tidak pernah singgah.

Singgah di Masjid Yaumil Akmaltu

Tak terasa, kami tiba di Masjid Yaumil Akmaltu, sebuah masjid indah yang berdiri megah di kawasan perumahan ini. Masjid itu bukan hanya sekadar tempat ibadah, tetapi juga pusat kegiatan warga. Arsitekturnya sederhana namun memancarkan keagungan. Kubah yang berkilau diterpa sinar matahari pagi membuat hati ini bergetar.

Kami pun memutuskan untuk melaksanakan shalat dhuha di sana. Shalat dhuha selalu memberi ketenangan tersendiri. Saat dahi ini menyentuh lantai masjid, ada rasa syukur yang mendalam karena masih diberi kesempatan untuk beribadah, masih diberi kesehatan untuk melangkah, dan masih diberi waktu untuk menikmati kebersamaan dengan keluarga.

Setelah shalat, kami duduk sejenak di serambi masjid. Angin pagi berhembus lembut, membawa aroma rerumputan yang basah oleh embun. Saya memandang sekitar, melihat wajah-wajah jamaah lain yang juga tersenyum penuh kebahagiaan. Saat itu saya menyadari, hidup sederhana dengan hati yang selalu dekat kepada Allah adalah kunci kebahagiaan sejati.

Refleksi Pendidikan ala Omjay

Dari perjalanan kecil ini, saya kembali merenungi dunia pendidikan. Seorang guru sejatinya tidak hanya mengajarkan ilmu di ruang kelas, tetapi juga memberi teladan dalam keseharian. Berjalan kaki di pagi hari bisa menjadi simbol pentingnya menjaga kesehatan. Guru yang sehat akan lebih mudah memberi energi positif kepada murid-muridnya.

Kemudian, kebersamaan keluarga yang saya alami di Springhill Yume Lagoon menjadi pengingat bahwa pendidikan sejati bermula dari rumah. Anak-anak yang tumbuh dengan kasih sayang dan perhatian keluarga akan lebih siap menyerap ilmu di sekolah. Guru hanya melanjutkan apa yang sudah ditanamkan orang tua.

Sementara itu, shalat dhuha di masjid mengingatkan saya pada pentingnya spiritualitas dalam pendidikan. Ilmu tanpa iman akan terasa hampa. Sebagai guru, saya selalu berusaha menanamkan kepada murid bahwa belajar bukan hanya soal nilai akademik, tetapi juga membentuk akhlak mulia.

Dari sinilah saya memahami bahwa perjalanan pagi sederhana bersama Abah Didin dan singgah di Masjid Yaumil Akmaltu bisa menjadi sebuah “kelas kehidupan.” Guru harus pandai mengambil hikmah dari pengalaman sehari-hari, lalu membagikannya kepada murid agar mereka belajar melihat dunia dengan mata hati, bukan sekadar mata kepala.

Menikmati Kehidupan dengan Syukur

Perjalanan singkat mengelilingi Springhill Yume Lagoon pagi itu memberi banyak pelajaran. Betapa pentingnya menjaga kesehatan dengan berjalan kaki, betapa berharganya kebersamaan keluarga, dan betapa indahnya rasa syukur saat kita menyempatkan diri singgah di rumah Allah.

Ketika kembali ke rumah cucu, saya disambut dengan suara tawa kecil yang ceria. Cucuku berlari memeluk saya sambil berkata, “Kakek, ayo sarapan!” Sungguh, itulah hadiah terindah setelah perjalanan pagi yang penuh makna.

Bermalam di Springhill Yume Lagoon bukan hanya sekadar melewati waktu bersama keluarga, tetapi juga menjadi perjalanan batin yang menenangkan. Ada cinta, ada kebersamaan, ada ibadah, dan ada rasa syukur yang terus mengalir. Semoga setiap langkah yang kami tapaki, setiap doa yang kami panjatkan, dan setiap senyum yang kami tebarkan selalu menjadi jalan menuju keberkahan hidup.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Sabtu, 27 September 2025

Makan Bergizi Gratis Atau Pendidikan Gratis?

Pendidikan Gratis atau Makan Gratis?

Isu pendidikan gratis selalu menjadi bahan diskusi hangat setiap kali bangsa ini bicara soal masa depan. Tak jarang, muncul pula gagasan lain yang menyertainya, seperti program makan bergizi gratis yang belakangan gencar disuarakan pemerintah. Pertanyaan pun muncul: mana yang lebih utama, pendidikan gratis atau makan gratis? Apakah keduanya harus dipertentangkan, atau justru bisa saling melengkapi demi mencerdaskan kehidupan bangsa?

Pendidikan Gratis: Amanah Undang-Undang dan Konstitusi

Jika kita kembali membuka Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 31 ayat (1), jelas tertulis:
"Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan."

Lalu pada ayat (2) ditegaskan:
"Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya."

Dua kalimat itu sederhana, tetapi maknanya sangat besar. Pendidikan bukanlah hadiah dari pemerintah, melainkan hak setiap warga negara yang dijamin konstitusi. Negara tidak boleh berkelit. Pendidikan dasar wajib dibayar oleh negara, bukan oleh orang tua murid, bukan pula oleh masyarakat.

Inilah yang disebut amanah undang-undang dan konstitusi. Pendidikan gratis bukan sekadar slogan politik, melainkan kewajiban konstitusional.

Kenyataan di Lapangan

Mari kita jujur. Meski program pendidikan gratis sudah dicanangkan sejak lama, kenyataan di lapangan masih jauh dari harapan. Memang, untuk sekolah negeri di tingkat dasar dan menengah, ada program BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang membebaskan biaya SPP. Namun, orang tua masih dibebani biaya lain: seragam, buku, kegiatan ekstrakurikuler, bahkan iuran pembangunan.

Di daerah terpencil, akses pendidikan pun masih menjadi masalah. Gedung sekolah banyak yang rusak, guru minim, dan fasilitas seadanya.

Artinya, pendidikan gratis belum benar-benar gratis. Negara masih berhutang janji kepada rakyatnya.

Makan Gratis: Program Baru yang Menggugah

Di sisi lain, pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto menggagas program makan bergizi gratis (MBG) untuk siswa sekolah. Tujuannya jelas: meningkatkan gizi anak-anak Indonesia agar cerdas, sehat, dan kuat. Data menunjukkan masih banyak anak Indonesia yang mengalami stunting dan gizi buruk.

Program ini patut diapresiasi. Seorang anak yang lapar sulit menyerap pelajaran. Dengan makan bergizi gratis, setidaknya siswa bisa fokus belajar tanpa khawatir soal makanan.

Namun, banyak pihak yang mengingatkan agar jangan sampai program makan gratis justru menggeser prioritas utama: pendidikan gratis sebagai amanah konstitusi.

Pengalaman Omjay ke Jepang dan Tiongkok

Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd., atau yang akrab disapa Omjay, pernah berkesempatan mengunjungi sekolah-sekolah di Jepang dan Tiongkok. Dari perjalanan itu, beliau melihat langsung bagaimana kedua negara tersebut mengelola pendidikan dan gizi siswa secara terintegrasi.

Jepang

Di Jepang, pendidikan dasar benar-benar gratis. Sekolah negeri tidak memungut biaya, dan semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk belajar. Namun yang membuat Omjay terkesan adalah bagaimana sekolah mengelola makan siang.

Setiap hari, siswa mendapat makan siang bergizi yang dimasak di dapur sekolah. Menu disusun ahli gizi, terdiri dari nasi, lauk, sayur, buah, dan susu. Menariknya, siswa sendiri yang bergiliran menyajikan makanan kepada teman-temannya, sehingga mereka belajar disiplin, tanggung jawab, dan kebersamaan.

Menurut Omjay, inilah salah satu kunci mengapa anak-anak Jepang tumbuh sehat, kuat, dan pintar. Pendidikan tidak hanya di ruang kelas, tetapi juga di meja makan.

Tiongkok

Pengalaman di Tiongkok juga tak kalah menarik. Omjay menyaksikan bagaimana pemerintah sangat serius membiayai pendidikan hingga ke pelosok. Sekolah negeri benar-benar gratis, dan infrastruktur dibangun merata.

Untuk urusan gizi, siswa di Tiongkok juga mendapat jatah makan bergizi gratis. Bahkan di beberapa sekolah, pemerintah bekerja sama dengan petani lokal untuk memasok sayuran segar. Dengan begitu, selain menyehatkan siswa, program makan gratis juga menyejahterakan masyarakat sekitar.

Omjay mencatat satu hal penting: di Tiongkok, pendidikan dan gizi dianggap investasi, bukan beban anggaran. Pemerintah rela mengalokasikan dana besar karena sadar bahwa kualitas manusia adalah kunci kemajuan bangsa.

Pendidikan atau Makanan: Bukan Pilihan, Tapi Kewajiban

Dari pengalaman Omjay itu, jelas terlihat bahwa pendidikan gratis dan makan bergizi gratis bukan hal yang mustahil. Jepang dan Tiongkok sudah membuktikannya. Maka di Indonesia, keduanya tidak perlu dipertentangkan. Pendidikan adalah hak fundamental, sedangkan pangan adalah kebutuhan dasar.

Dalam kerangka besar pembangunan manusia, pendidikan dan gizi adalah dua sisi mata uang yang saling menguatkan.

Suara Guru dan Pendidikan

Omjay sering mengingatkan: “Negara harus konsisten menjalankan amanah undang-undang. Kalau konstitusi sudah jelas mewajibkan pendidikan gratis, jangan diperdebatkan lagi. Tinggal bagaimana pemerintah serius membiayai dan mengawasi agar tidak ada pungutan liar di sekolah negeri.”

Beliau juga menambahkan, program makan bergizi gratis sangat bagus, tetapi jangan sampai guru dilupakan. Guru adalah ujung tombak pendidikan, sehingga hak-haknya harus dijamin, termasuk tunjangan profesi yang sering terlambat cair.

Harapan ke Depan

Pendidikan gratis bukan lagi wacana. Itu amanah undang-undang. Program makan bergizi gratis adalah tambahan yang baik, tapi tidak boleh mengalihkan fokus utama. Idealnya, keduanya berjalan beriringan.

Sebagaimana kata Bung Karno:
"Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia."
Tapi bagaimana jika 10 pemuda itu tidak sekolah karena biaya? Atau kekurangan gizi sehingga tidak kuat belajar?

Jawabannya jelas: pendidikan gratis dan makan bergizi gratis bukan pilihan, melainkan kewajiban negara.

Penutup

Di tengah gegap gempita program makan bergizi gratis, kita jangan melupakan amanah konstitusi: pendidikan gratis bagi semua warga negara. Pendidikan adalah jalan menuju kemerdekaan sejati, sedangkan gizi adalah bahan bakar agar perjalanan itu bisa ditempuh dengan baik.

Bila Jepang dan Tiongkok bisa, mengapa Indonesia tidak?

Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Jumat, 26 September 2025

Pemikiran Omjay untuk Pendidikan Bermutu bersama PGRI dan Memsukseskan Program Presiden Prabowo

Pendidikan Bermutu untuk Semua: Dari Pemikiran Omjay, Perjuangan PGRI, hingga Program Presiden

Pembukaan

Di setiap ruang kelas di negeri ini, selalu ada cerita perjuangan yang tak pernah tercatat di buku sejarah. Seorang guru yang berangkat dengan gaji pas-pasan, seorang murid yang belajar dengan perut kosong, atau sebuah sekolah sederhana yang tetap berdiri kokoh meski diterpa keterbatasan. Dari sinilah kita belajar bahwa pendidikan bukan sekadar urusan pemerintah, melainkan napas kehidupan bangsa. Pendidikan adalah harapan yang menyala di mata anak-anak, doa yang terucap dari bibir para orang tua, dan tekad yang tak pernah padam dari para guru.

Maka, ketika kita bicara pendidikan bermutu, sejatinya kita sedang bicara tentang masa depan Indonesia. Pendidikan yang bermutu adalah kunci untuk membuka pintu Indonesia Emas 2045—sebuah cita-cita besar yang hanya bisa terwujud jika setiap anak mendapatkan kesempatan belajar yang sama, dengan guru yang profesional, sekolah yang layak, dan dukungan penuh dari pemerintah serta masyarakat.

Pendidikan Bermutu, Hak Setiap Anak

Sejak awal berdirinya Republik ini, pendidikan ditempatkan sebagai salah satu tujuan utama berbangsa. Hal itu jelas tertulis dalam pembukaan UUD 1945, yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Namun dalam kenyataannya, masih banyak anak bangsa yang kesulitan mendapatkan pendidikan bermutu.

Di kota-kota besar, sekolah dengan fasilitas lengkap mudah dijumpai, tetapi di pelosok negeri, masih ada sekolah berdinding bambu dengan guru yang mengajar penuh keterbatasan. Kondisi ini menunjukkan bahwa pendidikan bermutu belum merata. Padahal, setiap anak Indonesia, tanpa terkecuali, berhak mendapatkan layanan pendidikan yang sama.

Pendidikan bermutu bukan sekadar kurikulum yang baik atau fasilitas yang modern. Lebih dari itu, pendidikan bermutu adalah proses yang menghadirkan guru berkualitas, siswa yang sehat, lingkungan belajar yang aman, serta dukungan orang tua dan masyarakat.

Pemikiran Omjay: Guru Harus Menulis dan Berbagi

Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd, atau yang akrab disapa Omjay, merupakan sosok guru yang tak pernah lelah mendorong rekan-rekan sejawatnya untuk terus belajar dan berbagi. Melalui blog pribadinya, ia selalu menulis pengalaman, refleksi, hingga kritik konstruktif tentang dunia pendidikan.

“Guru yang menulis akan abadi,” begitu salah satu kalimat andalan Omjay. Baginya, pendidikan bermutu hanya bisa terwujud bila guru tidak berhenti meningkatkan kompetensi. Menulis adalah salah satu cara agar pengetahuan tidak hanya berhenti pada diri sendiri, tetapi bisa diwariskan untuk generasi berikutnya.

Omjay juga mengingatkan bahwa teknologi hanyalah alat bantu. Yang terpenting adalah hati seorang guru. Pendidikan yang sejati tidak akan pernah digantikan mesin, sebab di dalamnya ada nilai kasih sayang, keteladanan, dan keikhlasan. Pemikiran inilah yang membuat Omjay dipercaya banyak komunitas guru sebagai penggerak literasi.

Perjuangan PGRI untuk Guru dan Pendidikan

Selain peran individu guru seperti Omjay, organisasi profesi juga memegang peranan penting. PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) sejak lama menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan nasib guru.

Di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd, PGRI terus menyuarakan isu-isu penting: mulai dari status dan kesejahteraan guru honorer, perlindungan hukum terhadap guru, hingga peningkatan kompetensi tenaga pendidik. PGRI juga aktif mendorong pemerintah agar kebijakan pendidikan benar-benar berpihak pada peningkatan kualitas, bukan hanya angka.

Salah satu perjuangan besar PGRI adalah mengawal sertifikasi guru dan tunjangan profesi agar tepat sasaran. Meski tidak jarang muncul hambatan birokrasi, PGRI tidak berhenti menjadi jembatan antara suara guru dan pemerintah. Karena bagi PGRI, pendidikan bermutu tidak mungkin tercapai jika guru masih dibebani dengan masalah kesejahteraan dan ketidakpastian status kerja.

PGRI pun rajin mengingatkan publik bahwa guru bukan hanya “pahlawan tanpa tanda jasa,” tetapi profesi yang mulia sekaligus harus dihargai secara layak.

Program Presiden Prabowo: Makan Bergizi Gratis

Di tengah perjuangan guru dan organisasi profesi, harapan baru muncul dari kebijakan pemerintah, khususnya program Presiden Prabowo Subianto. Salah satu program andalan yang menyentuh langsung dunia pendidikan adalah Makan Bergizi Gratis (MBG).

Program ini menggantikan istilah lama “makan siang gratis” agar lebih menekankan kualitas gizi daripada sekadar kenyang. Tujuan MBG jelas: memastikan setiap anak Indonesia mendapat asupan gizi yang cukup agar bisa tumbuh sehat, aktif, dan cerdas.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak yang mendapatkan asupan gizi seimbang akan lebih fokus dalam belajar, jarang sakit, dan memiliki prestasi akademik lebih baik. Dengan MBG, pemerintah tidak hanya memberi makan, tetapi juga membangun fondasi generasi emas 2045 yang kuat secara fisik dan mental.

Meski program ini membutuhkan biaya besar dan infrastruktur distribusi yang rapi, semangat di baliknya patut diapresiasi. Pendidikan bermutu tidak bisa dilepaskan dari kesehatan siswa. Dengan tubuh sehat, anak-anak bisa menyerap ilmu dengan maksimal.

Sinergi untuk Indonesia Emas 2045

Jika dilihat lebih dalam, pendidikan bermutu tidak bisa diwujudkan oleh satu pihak saja. Guru yang inspiratif, organisasi profesi yang solid, serta pemerintah yang visioner harus berjalan seiring.

Omjay dengan gerakan literasi dan keteladanannya, PGRI dengan perjuangan kolektifnya, serta Presiden Prabowo dengan program strategisnya, adalah contoh bagaimana peran yang berbeda bisa saling melengkapi.

Masyarakat juga punya tanggung jawab. Orang tua, media, dunia usaha, hingga komunitas harus ikut serta menciptakan ekosistem pendidikan yang sehat. Pendidikan bermutu untuk semua hanya akan berhasil jika seluruh elemen bangsa terlibat.

Penutup

Pembaca yang terhormat, izinkan saya menutup dengan satu keyakinan: pendidikan bermutu untuk semua bukanlah mimpi yang terlalu tinggi, tetapi janji konstitusi yang wajib kita tunaikan. Guru telah berkorban, PGRI terus berjuang, dan pemerintah mulai melangkah dengan program besar seperti Makan Bergizi Gratis. Kini giliran kita semua, sebagai bangsa, untuk memastikan janji itu tidak berhenti di atas kertas.

Bayangkanlah Indonesia tahun 2045, seratus tahun kemerdekaan. Anak-anak yang hari ini duduk di bangku SD sudah menjadi pemimpin, ilmuwan, pengusaha, atau guru bagi generasi berikutnya. Mereka tumbuh dengan tubuh sehat, otak cerdas, dan hati yang penuh empati karena kita bersama-sama memperjuangkan pendidikan bermutu sejak hari ini.

Inilah kesempatan emas kita. Jika guru, PGRI, pemerintah, dan masyarakat bersatu, maka cahaya pendidikan itu akan menyinari setiap sudut negeri. Dan pada saat itu, dunia akan melihat Indonesia bukan lagi sebagai negara berkembang, tetapi sebagai bangsa besar yang benar-benar berdaulat karena telah mencerdaskan seluruh rakyatnya.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Senin, 22 September 2025

Kelas Bicara PGRI

Info kelas bicara pgri 

Kelas Bicara PGRI: Public Speaking for Teacher Bersama Ibu HR Utami

Sahabat guru yang hebat,
PGRI kembali menghadirkan Kelas Bicara/Public Speaking for Teacher yang sudah memasuki pertemuan keempat. Program ini dirancang khusus untuk membantu para pendidik meningkatkan keterampilan berbicara di depan umum, baik di kelas, forum ilmiah, maupun acara resmi.

🎤 Mengapa Public Speaking Penting untuk Guru?
Sebagai pendidik, guru dituntut tidak hanya menguasai materi, tetapi juga mampu menyampaikannya dengan cara yang menarik, jelas, dan penuh percaya diri. Dengan kemampuan public speaking yang baik, guru dapat:

Membangun komunikasi efektif dengan siswa.

Menyampaikan pesan dengan lebih berkesan.

Menjadi teladan dalam keterampilan berbicara.

Membuka peluang berkiprah lebih luas di masyarakat.

✨ Pemateri: Ibu HR Utami
Seorang praktisi dan motivator yang berpengalaman di bidang komunikasi. Beliau akan berbagi tips, strategi, serta praktik langsung agar guru semakin percaya diri saat berbicara di depan publik.

📅 Jadwal Kegiatan

Hari: Setiap Selasa

Waktu: Pukul 19.00 WIB

Media: Zoom Meeting (Online)

🔗 Link Zoom Meeting:
Klik di sini untuk bergabung

📌 Meeting ID: 883 3495 1692
📌 Passcode: 078056

💡 Catat jadwalnya dan ajak rekan guru lainnya untuk ikut bergabung. Jangan lewatkan kesempatan emas ini untuk belajar public speaking secara gratis bersama PGRI.

Mari kita tingkatkan kompetensi guru Indonesia agar semakin profesional, kreatif, dan inspiratif!

Infornasi hubungi
Omjay 08159155515 atau pak Ahmadi yang ada nomor wa di poster promosi

Minggu, 21 September 2025

Perlakuan Guru Swasta untuk Selekai PPPK yang Tak Adil

Pemerintah Didesak Buka Seleksi PPPK Lebih Inklusif dan Hidupkan Kembali Inpassing untuk Kesejahteraan Guru

Isu kesejahteraan guru kembali mencuat menjelang seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahun 2025. Banyak guru, khususnya dari sekolah swasta, menyuarakan harapan agar pemerintah membuka seleksi secara lebih inklusif dan menghidupkan kembali program Inpassing. Aspirasi ini muncul karena adanya ketimpangan yang cukup nyata antara guru negeri dan guru swasta, baik dari sisi kesejahteraan maupun akses terhadap kesempatan menjadi aparatur sipil negara.

Kesenjangan Guru Swasta dan Negeri

Sudah menjadi rahasia umum, perbedaan kesejahteraan guru swasta dan guru negeri bagaikan bumi dan langit. Guru negeri dengan status PNS maupun PPPK relatif lebih aman secara finansial karena adanya gaji tetap dari negara, tunjangan profesi, serta jaminan kesejahteraan lainnya. Sementara itu, guru swasta masih banyak yang menerima gaji jauh di bawah upah minimum regional. Tidak sedikit pula yang harus mengajar di beberapa sekolah sekaligus hanya untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Dalam situasi seperti ini, program Inpassing pernah hadir sebagai angin segar. Program tersebut memungkinkan guru swasta dengan sertifikat pendidik mendapatkan kesetaraan gaji yang lebih layak. Namun, sejak dihentikan beberapa tahun lalu, banyak guru swasta merasa kehilangan harapan untuk bisa mendapatkan penghasilan yang setara dengan guru negeri.

Tuntutan Seleksi PPPK yang Lebih Adil

Selain Inpassing, tuntutan besar lainnya adalah terkait seleksi PPPK. Hingga kini, kebijakan pemerintah masih cenderung lebih mengutamakan lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG) Prajabatan, sementara lulusan PPG Dalam Jabatan (Daljab) atau jalur lain sering kali tersisihkan.

Padahal, semua jalur PPG adalah kebijakan resmi pemerintah. Para guru tidak memiliki pilihan bebas menentukan jalur yang mereka ikuti. Mereka hanya menjalankan kewajiban sesuai aturan yang berlaku pada masanya. Maka, menjadi tidak adil bila hanya satu jalur PPG yang diberi kesempatan mengikuti seleksi PPPK, sementara jalur lainnya terpinggirkan.

Guru-guru mendesak agar pemerintah membuka ruang seleksi PPPK 2025 untuk semua guru bersertifikat pendidik, tanpa memandang jalur PPG yang ditempuh. Prinsipnya jelas: semua guru memiliki hak yang sama untuk memperjuangkan masa depan mereka.

Luka Guru Swasta: Intimidasi dan Diskriminasi

Yang lebih menyedihkan, masih ada laporan intimidasi kepada guru swasta untuk tidak ikut seleksi ASN PPPK pada tahun sebelumnya. Akibatnya, banyak guru yang akhirnya hanya bisa “gigit jari” karena kesempatan emas itu terlewatkan.

Ditambah lagi dengan kebijakan rekrutmen ASN yang kemudian ditempatkan kembali ke sekolah swasta. Ironisnya, guru swasta yang sebelumnya enggan ikut PPPK karena intimidasi kini justru harus menerima kenyataan bahwa sekolah mereka diisi oleh guru ASN yang baru lulus seleksi. Kondisi ini menambah rasa perih dan ketidakadilan bagi guru swasta yang sudah lama mengabdi.

Kisah Nyata: Bu Sari, Guru Swasta yang Bertahan

Ambil contoh kisah Bu Sari, seorang guru swasta di daerah pinggiran Jawa Barat. Selama 15 tahun ia mengajar dengan gaji hanya Rp900 ribu per bulan. Untuk menutupi kebutuhan hidup, ia membuka warung kecil di depan rumahnya.

Ketika ada seleksi PPPK, Bu Sari sebenarnya ingin ikut. Namun ia mengaku mendapat tekanan dari pihak yayasan agar tidak mendaftar karena dianggap “tidak loyal” jika meninggalkan sekolah. Akhirnya, ia mengurungkan niatnya. Kini, sekolah tempatnya mengajar justru kedatangan guru ASN baru hasil seleksi PPPK. Hatinya terasa perih, karena kesempatan itu sudah lewat.

“Kadang saya menangis sendiri, Pak. Rasanya seperti tidak dihargai. Padahal saya juga punya sertifikat pendidik dan sudah lama mengabdi. Saya hanya ingin keadilan, bukan belas kasihan,” ujar Bu Sari lirih.

Kisah Bu Sari hanyalah satu dari ribuan kisah serupa yang dialami guru swasta di berbagai daerah. Mereka loyal, mereka mengabdi, namun sering kali terpinggirkan oleh sistem.

Fleksibilitas Status PPPK

Selain keadilan dalam seleksi, muncul juga aspirasi tentang fleksibilitas status kepegawaian. Beberapa guru menyatakan bersedia jika SK PPPK tidak langsung penuh waktu. Mereka rela bekerja dengan status paruh waktu asalkan tetap diakui sebagai PPPK. Bagi mereka, yang terpenting adalah adanya kesempatan setara untuk berpartisipasi dalam seleksi.

Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan guru bukan semata soal gaji besar, melainkan juga soal pengakuan negara atas pengabdian mereka di dunia pendidikan.

Komentar Omjay: Guru Harus Diperlakukan Adil

Menanggapi aspirasi para guru, Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay), Guru Blogger Indonesia, menegaskan pentingnya keadilan dalam seleksi ASN.

> “Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang setiap hari berjuang di ruang kelas. Jangan sampai perjuangan mereka dipandang sebelah mata hanya karena jalur PPG yang berbeda. Semua guru yang sudah bersertifikat seharusnya punya kesempatan sama untuk ikut seleksi PPPK. Pemerintah harus mendengar suara ini, sebab tanpa guru, tidak akan ada profesi lain di negeri ini,” ujar Omjay.

Beliau juga menambahkan agar program Inpassing segera dihidupkan kembali.

> “Inpassing adalah bentuk penghargaan kepada guru swasta yang sudah lama mengabdi. Jangan biarkan mereka terus hidup dalam kesenjangan. Jika kita ingin pendidikan maju, kesejahteraan guru harus jadi prioritas. Guru sejahtera, pendidikan pun akan bermutu,” tambahnya.

Suara PGRI: Negara Harus Hadir untuk Semua Guru

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pun angkat bicara. Organisasi profesi guru terbesar di tanah air ini menekankan pentingnya pemerintah mendengar aspirasi dari semua lapisan guru, baik negeri maupun swasta.

Dalam berbagai kesempatan, PGRI selalu menegaskan bahwa guru swasta adalah bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Karena itu, hak-hak mereka tidak boleh diabaikan.

> “Kami di PGRI terus memperjuangkan agar kesejahteraan guru swasta mendapat perhatian serius. Seleksi PPPK harus inklusif dan tidak diskriminatif. Pemerintah tidak boleh membeda-bedakan jalur PPG. Selain itu, kami mendesak agar program Inpassing dihidupkan kembali. Guru swasta sudah lama mengabdi, mereka juga layak disejahterakan,” tegas pengurus PGRI.

Menatap Seleksi 2025 dengan Harapan Baru

Tahun 2025 menjadi momentum penting. Pemerintah dituntut hadir dengan kebijakan yang lebih manusiawi, adil, dan berpihak pada semua guru. Tidak boleh lagi ada diskriminasi antara jalur PPG. Tidak boleh ada intimidasi terhadap guru swasta. Dan yang paling penting, program Inpassing perlu dihidupkan kembali agar kesenjangan kesejahteraan guru dapat diperkecil.

Guru adalah pilar pendidikan bangsa. Mereka berjuang di kelas setiap hari, mendidik generasi penerus tanpa kenal lelah. Sudah selayaknya negara memberikan ruang yang adil bagi mereka untuk memperjuangkan nasib.

Harapan besar kini tertuju pada pemerintah. Akankah suara para guru ini didengar? Ataukah mereka kembali hanya akan menjadi “pahlawan tanpa tanda jasa” yang selalu menunggu kebijakan yang tak kunjung berpihak?

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Demo Guru Swasta Harus Kompak dan Matang

Menjaga Martabat Guru Swasta: Menyongsong Aksi Damai Oktober

Prolog: Suara yang Tertahan

Guru adalah pilar utama pendidikan. Tanpa guru, sekolah hanyalah bangunan kosong. Namun, ironisnya, masih banyak guru di Indonesia yang hidup dalam keterbatasan, terutama mereka yang mengabdi di sekolah swasta.

Di saat sebagian guru negeri telah mendapatkan perhatian lebih, guru swasta masih berkutat dengan gaji yang jauh dari layak. Tidak sedikit dari mereka yang hanya menerima upah di bawah standar kebutuhan hidup. Padahal, beban kerja dan tanggung jawab mereka sama, bahkan sering kali lebih berat.

Itulah sebabnya, rencana aksi unjuk rasa guru swasta pada bulan Oktober mendatang menjadi isu penting. Aksi ini bukan sekadar turun ke jalan, tetapi jeritan hati yang terlalu lama terpendam.

Ketum GM Pro Demo: Jalan Terakhir

Dalam percakapan singkat dengan Omjay, Ketua Umum GM Pro Demo menyampaikan alasan mengapa aksi ini tetap akan digelar.

> “Terima kasih Omjay atas sarannya. Tapi maaf juga, kami sudah kehabisan cara untuk mencapai hasil yang dituju. Audiensi ke sana-sini tidak membuahkan hasil. Terlalu banyak hal yang menjadi penghambat katanya. Dari mulai peraturan, kondisi keuangan daerah, Pemda yang tidak meminta adanya tambahan guru, dan lainnya,” ungkapnya.

Pernyataan ini memperlihatkan betapa peliknya persoalan guru swasta. Sudah berkali-kali ditempuh jalan dialog, namun hasilnya nihil. Regulasi yang berbelit, keterbatasan anggaran, hingga kebijakan daerah yang kurang berpihak membuat aspirasi guru swasta seperti terperangkap di ruang hampa.

Karena itu, aksi damai menjadi pilihan terakhir.

> “Insya Allah kami punya cara untuk mengatasi adanya perusuh dan penyusup yang masuk di tengah aksi unjuk rasa nantinya,” tambah Ketum GM Pro Demo.

Langkah antisipatif ini penting. Sebab, perjuangan guru harus tetap bersih dari tindakan anarkis dan provokatif yang justru akan merugikan mereka sendiri.

Suara Omjay: Guru Jangan Tergelincir

Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd atau Omjay, seorang guru blogger dan tokoh pendidikan, memberikan pandangan bijak terkait rencana aksi tersebut.

“Guru swasta sebaiknya jangan demo ke DPR, sebab masih banyak penyusup di dalam demo. Sebaiknya temui langsung anggota DPR di Senayan. Saat ini masih rawan penyusup, dan kita tidak pernah tahu kalau demo tersebut disusupi oleh para perusuh yang sengaja membuat onar,” ujar Omjay.

Meski begitu, Omjay juga memahami bahwa ketika pintu dialog sudah terlalu lama tertutup, demo menjadi satu-satunya cara untuk mengetuk hati pemerintah. Pesannya jelas: aksi boleh, tapi harus damai, tertib, dan menjaga martabat guru.

Peran PGRI: Menyatukan Suara Guru

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sejak lama menjadi wadah perjuangan guru. Organisasi ini berulang kali menekankan pentingnya guru bersatu agar suaranya lebih kuat didengar.

PGRI menilai, masalah guru swasta tidak bisa dianggap sepele. Mereka adalah bagian besar dari tenaga pendidik di Indonesia. Data Kemdikbudristek tahun 2024 mencatat, lebih dari 35% guru di Indonesia bekerja di sekolah swasta. Artinya, jika guru swasta diabaikan, kualitas pendidikan nasional juga akan terganggu.

Dengan kekuatan organisasi dan jaringan yang luas, PGRI diharapkan dapat menjadi jembatan antara aspirasi guru swasta dan pemerintah. Bukan hanya soal kesejahteraan, tetapi juga tentang perlindungan profesi dan kepastian hukum bagi mereka.

Belajar dari Demo Sebelumnya

Demo guru bukan hal baru di Indonesia. Beberapa tahun lalu, aksi guru honorer sempat memadati jalanan ibu kota. Mereka menuntut kepastian status dan gaji yang lebih manusiawi. Sayangnya, tidak semua aksi berjalan mulus. Ada yang berakhir ricuh karena disusupi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Inilah yang membuat sebagian kalangan khawatir dengan aksi Oktober nanti. Jangan sampai guru swasta yang sebenarnya berjuang dengan tulus, justru dicederai dengan stigma anarkis.

Pelajaran dari masa lalu harus menjadi pegangan. Demonstrasi bisa menjadi sarana menyuarakan aspirasi, tetapi jangan sampai kehilangan arah. Guru harus tetap menjadi teladan, bahkan di jalanan.

Harapan dari Aksi Oktober

Ada beberapa hal yang diharapkan dari aksi Oktober nanti:

1. Perhatian Pemerintah Pusat
Pemerintah pusat harus mendengar langsung aspirasi guru swasta. Tidak boleh lagi ada alasan keterbatasan anggaran. Konstitusi sudah jelas menegaskan bahwa pendidikan adalah hak seluruh warga negara.

2. Peran Aktif Pemerintah Daerah
Pemda sering berdalih tidak meminta tambahan guru. Padahal, realitas di lapangan, banyak sekolah swasta kekurangan tenaga pengajar yang layak. Pemda harus berani membuka ruang dialog dengan yayasan dan guru swasta di wilayahnya.

3. Kebijakan yang Lebih Berpihak
Regulasi harus dirancang dengan memikirkan kondisi guru swasta. Misalnya, insentif khusus atau tunjangan tambahan yang tidak bergantung pada kemampuan yayasan semata.

4. Aksi Damai yang Bermartabat
Aksi Oktober nanti diharapkan benar-benar menjadi momentum damai, tanpa ricuh, tanpa provokasi. Jika guru bisa menunjukkan kedisiplinan dalam berdemo, pesan mereka akan lebih kuat didengar.

Penutup: Suara Guru, Suara Pendidikan

Guru adalah jantung pendidikan. Tidak akan ada masa depan bangsa tanpa mereka. Karena itu, perjuangan guru swasta bukan hanya tentang gaji, tetapi tentang keberlangsungan pendidikan Indonesia.

Jika aksi Oktober nanti benar-benar digelar, mari pastikan ia berjalan dengan damai, tertib, dan bermartabat. Jangan biarkan ada pihak-pihak yang menunggangi perjuangan guru untuk kepentingan politik sesaat.

Guru adalah teladan, bahkan ketika berada di jalanan. Dan suara mereka adalah suara pendidikan yang harus kita dengarkan bersama.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Belajar Dari Vietmam Dalam Mereformasi Pendidikan

Belajar dari Vietnam: Reformasi Guru, Kesejahteraan, dan Harapan Indonesia Emas 2045

Pembukaan

Vietnam, negara yang dulunya dikenal miskin pascaperang, kini muncul sebagai salah satu bintang baru pendidikan di Asia Tenggara. Hasil studi internasional seperti PISA menunjukkan bahwa murid Vietnam mampu bersaing dengan negara-negara maju. Salah satu kunci keberhasilan mereka adalah reformasi pendidikan yang serius, termasuk menaikkan gaji guru dan menempatkan guru sebagai profesi terhormat.

Pertanyaannya: bisakah Indonesia menempuh jalan serupa menjelang 100 tahun kemerdekaan di 2045?

Vietnam: Dari Luka Perang ke Kebangkitan Pendidikan

Vietnam pernah mengalami masa kelam setelah perang panjang melawan Amerika Serikat. Namun, sejak era reformasi ekonomi Đổi Mới tahun 1986, mereka tidak hanya fokus membangun sektor industri dan perdagangan, tetapi juga pendidikan. Pemerintah menyadari bahwa kualitas sumber daya manusia adalah kunci kebangkitan bangsa.

Reformasi pendidikan di Vietnam mencakup beberapa hal:

1. Pembaruan kurikulum yang menekankan literasi, numerasi, dan keterampilan abad ke-21.

2. Peningkatan pelatihan guru agar mereka siap menghadapi perubahan zaman.

3. Peningkatan kesejahteraan guru melalui gaji dan tunjangan yang lebih layak.

4. Penguatan infrastruktur sekolah, khususnya di daerah terpencil.

Langkah-langkah itu membuat Vietnam melesat. Pada PISA 2022, Vietnam mencatat skor rata-rata math 483, reading 462, science 485 — jauh lebih tinggi dibanding rata-rata Indonesia (math 366, reading 371, science 383). Skor ini mendekati negara-negara maju, padahal Vietnam termasuk negara berpendapatan menengah.

Indonesia: Masih Tertinggal, Tapi Berpotensi

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia punya jumlah guru dan siswa yang jauh lebih besar dibanding Vietnam. Namun, masalah mendasar masih menjerat:

Gaji guru honorer rendah. Banyak guru hanya mendapat Rp300 ribu–Rp1 juta per bulan, jauh dari cukup untuk hidup layak.

Status tidak jelas. Meski ada program PPPK, masih banyak guru honorer yang menunggu kepastian.

Beban administrasi tinggi. Guru lebih banyak mengisi laporan daripada fokus mengajar.

Infrastruktur pendidikan tidak merata. Sekolah di perkotaan jauh lebih maju dibanding di pelosok.

Skor PISA Indonesia masih rendah, menandakan kualitas pendidikan yang belum optimal. Namun, bukan berarti harapan itu hilang. Dengan penduduk muda yang besar dan komitmen anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN, peluang untuk memperbaiki sistem masih terbuka lebar.

Gaji Guru: Kunci Reformasi

Satu pelajaran penting dari Vietnam adalah menyejahterakan guru.

Guru yang sejahtera tidak lagi pusing memikirkan kebutuhan hidup, sehingga mereka bisa mengajar dengan hati yang tenang. Di Vietnam, walau masih ada perbedaan antarwilayah, pemerintah berusaha menaikkan tunjangan dan memberikan tambahan insentif untuk menarik orang-orang terbaik menjadi guru.

Di Indonesia, kondisi sebaliknya masih sering ditemui. Banyak guru honorer mencari pekerjaan sampingan, dari berjualan online hingga menjadi ojek, hanya untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Ironis, mengingat guru adalah aktor utama dalam mencetak generasi emas 2045.

Peran Strategis PGRI

Di sinilah PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) berperan penting.

PGRI bukan hanya organisasi profesi, tapi seharusnya menjadi kekuatan politik moral untuk memperjuangkan guru. PGRI harus konsisten menuntut:

Kenaikan gaji guru yang layak.

Perbaikan status guru honorer.

Pengurangan beban administratif.

Program pelatihan dan sertifikasi yang benar-benar meningkatkan kompetensi, bukan sekadar formalitas.

Jika PGRI hanya diam, guru akan terus menjadi korban kebijakan yang setengah hati.

Komentar Omjay

Menurut Omjay (Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd), Guru Blogger Indonesia, reformasi pendidikan tidak bisa ditunda lagi:

> “Kalau Vietnam bisa, mengapa Indonesia tidak bisa? Semua tergantung pada kemauan politik kita. Guru adalah kunci utama. Naikkan gaji guru, berikan pelatihan berkualitas, dan hargai profesinya. Jangan biarkan guru terus dibebani masalah birokrasi tanpa kejelasan kesejahteraan. Indonesia Emas 2045 hanya bisa tercapai kalau guru diberi tempat terhormat di negeri ini.”

Kata-kata Omjay ini menyentuh, mengingatkan kita bahwa tanpa guru yang sejahtera, mustahil ada murid yang cerdas.

Komentar Pak Rohmani

Pak Rohmani, mantan anggota DPR RI dari PKS, juga menekankan pentingnya keberpihakan politik terhadap guru:

> “Guru itu bukan sekadar profesi, tapi pilar utama bangsa. Kalau kita serius ingin Indonesia menjadi negara maju di 2045, jangan lagi jadikan guru sebagai kelas dua. Pemerintah harus berani seperti Vietnam: berikan gaji layak, perbaiki sistem rekrutmen, dan kurangi beban administratif. Biarkan guru fokus mendidik anak bangsa.”

Komentar ini menegaskan bahwa reformasi pendidikan bukan hanya urusan teknis, melainkan urusan keberanian politik.

Roadmap Menuju 2045

Jika Indonesia ingin mengejar atau bahkan melampaui Vietnam, ada beberapa langkah penting:

1. Meningkatkan anggaran pendidikan secara efektif, bukan hanya besar di atas kertas tapi juga sampai ke sekolah dan guru.

2. Menjamin kesejahteraan guru lewat gaji, tunjangan, dan jaminan sosial.

3. Menguatkan profesionalisme guru lewat pelatihan berkelanjutan dan evaluasi yang adil.

4. Mengurangi birokrasi, agar guru bisa fokus mengajar, bukan mengurus berkas.

5. Membangun kolaborasi antara PGRI, pemerintah, DPR, dan masyarakat untuk bersama-sama mengawal reformasi.

Penutup

Vietnam menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa yang serius mengangkat derajat guru akan menuai hasil nyata. Indonesia punya kesempatan yang sama. Tahun 2045 bukanlah waktu yang lama.

Jika guru terus dipandang sebelah mata, cita-cita Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi jargon. Tetapi jika guru diberi penghargaan setinggi-tingginya, diberi gaji layak, dan dibebaskan dari beban yang tidak perlu, maka Indonesia bisa melahirkan generasi emas yang sesungguhnya.

Guru adalah pelita bangsa, pondasi peradaban, sekaligus arsitek masa depan. Karena itu, reformasi pendidikan harus dimulai dari guru, dan dimulai sekarang juga.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Sabtu, 20 September 2025

pgri di philipina

Sahabat PGRI, Dari Cebu City untuk Dunia Pendidikan

Refleksi Perhelatan ACT+1 ke-39 di Filipina

Oleh: Catur Nur Oktivian Jaxi

Ada semangat yang berbeda ketika ribuan guru dari sepuluh negara ASEAN plus Korea Selatan berkumpul di Cebu City, Filipina. Perhelatan ASEAN Council for Teachers (ACT) +1 yang ke-39 ini menjadi saksi nyata bahwa guru bukan sekadar profesi, melainkan sebuah panggilan hati yang menyatukan lintas bangsa, budaya, dan bahasa.

Acara bergengsi ini berlangsung pada 19–21 September 2025 di Waterfront Cebu City Hotel dengan tema yang begitu relevan, “Educators: Humanizing Education Amidst Rapidly Changing Landscapes.” Tema tersebut mengingatkan kita bahwa di tengah derasnya arus perubahan global, digitalisasi, dan perkembangan teknologi, guru tetaplah garda terdepan dalam memanusiakan pendidikan.

Delegasi Indonesia: 112 Guru Membawa Semangat PGRI

Indonesia hadir dengan kekuatan penuh. Sebanyak 112 orang delegasi PGRI yang terdiri dari Pengurus Besar, Pengurus Provinsi, hingga Pengurus Kabupaten dari berbagai daerah ikut serta memeriahkan forum internasional ini.

Rombongan besar ini dipimpin langsung oleh Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd., Ketua Umum PB PGRI, didampingi jajaran kepengurusan seperti Ketua, Sekjen, Wakil Sekjen, serta Ketua Departemen. Kehadiran mereka bukan hanya membawa nama organisasi guru terbesar di Indonesia, tetapi juga membawa harapan jutaan guru yang ingin kualitas pendidikan di tanah air terus meningkat.

Salah satu momen penting adalah ketika Prof. Dr. Ifan Iskandar, M.Hum., Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat PB PGRI, dipercaya menyampaikan Country Report Indonesia. Paparannya menyoroti pentingnya memanusiakan pendidikan di tengah lanskap perubahan yang begitu cepat. Pesan ini menggema kuat di ruang konferensi, memberi kesadaran bahwa pendidikan bukan sekadar soal kurikulum, melainkan juga soal kemanusiaan.

Ribuan Peserta, Satu Tujuan

ACT+1 ke-39 kali ini dihadiri sekitar 2.000 peserta, termasuk 1.700 guru dari Filipina sebagai tuan rumah. Bayangkan sebuah ruangan besar yang dipenuhi semangat dan ide-ide segar dari para pendidik lintas negara. Di sana, batas geografis seolah hilang, berganti dengan tekad yang sama: bagaimana pendidikan bisa lebih baik untuk generasi mendatang.

Tidak hanya diskusi serius, forum ini juga membuka ruang bagi Parallel Session, di mana para guru bisa saling berbagi praktik baik pendidikan dari negaranya masing-masing. Dari sini, tercipta peluang pertukaran ide, kerja sama, hingga solidaritas antarguru di ASEAN dan Korea Selatan.

Malam Persahabatan: Bahasa Budaya yang Universal

Selain rapat dan diskusi, ada satu acara yang selalu dinanti: Cultural Performance atau Malam Persahabatan. Pada malam itu, setiap negara menampilkan pertunjukan budaya khasnya. Inilah saat di mana para guru tidak hanya bertukar gagasan, tetapi juga saling mengenal lewat tarian, musik, dan seni budaya.

Kegiatan ini menjadi simbol bahwa pendidikan bukan hanya tentang buku dan teori, melainkan juga tentang bagaimana kita menghargai keberagaman dan menjadikannya kekuatan.

Harapan dari Cebu

Pertemuan besar ini membawa pesan mendalam: guru perlu terus bersatu, belajar dari pengalaman antarnegara, dan menjaga semangat solidaritas. Bagi PGRI, keterlibatan dalam ACT+1 bukan hanya sekadar hadir, tetapi juga memberi kontribusi nyata bagi pembangunan pendidikan di kawasan regional.

Dari Cebu City, kita belajar bahwa pendidikan yang memanusiakan manusia adalah jalan menuju masa depan. Guru harus adaptif terhadap perubahan zaman, namun tetap menjadikan nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar.

Sebagaimana pesan yang disuarakan dalam ACT+1 ke-39, kita semua percaya: pendidikan adalah kunci, dan guru adalah pelopornya.

Komentar Omjay

Omjay, yang akrab disebut Guru Blogger Indonesia, memberikan catatan menarik terkait keikutsertaan PGRI dalam ACT+1 ke-39 ini:

"Saya bangga dengan kiprah PGRI yang selalu hadir di forum internasional seperti ACT+1. Di sini kita belajar bahwa guru Indonesia tidak boleh minder, justru harus percaya diri menunjukkan prestasi dan karya. Pertemuan semacam ini penting untuk memperkuat jejaring, saling belajar, dan membawa pulang praktik baik bagi dunia pendidikan di tanah air. Semoga pengalaman di Cebu menjadi energi baru bagi semua guru Indonesia untuk terus berkarya dan berinovasi."

Tagar:

#ACTPlus1 #LovePGRI 🇲🇨😍 #PGRIBerkhidmatUntukGuru #EducationInternational