Selamat Datang di Blog Wijaya Kusumah

Untuk Pelayanan Informasi yang Lebih Baik, maka Isi Blog Wijaya Kusumah juga tersedia di blog baru di http://wijayalabs.com

Rabu, 10 September 2025

Tuduhan Terhadap Sekolah dan Guru Zaman Sekarang

Seorang kawan memberikan video tentang isu di bawah ini.

Tuduhan terhadap Sekolah dan Guru Zaman Sekarang: Antara Kenyataan dan Kesalahpahaman

Pengantar

Sekolah dan guru sejak dulu menjadi ujung tombak pendidikan bangsa. Dari tangan guru lahir para pemimpin, ilmuwan, seniman, dan warga negara yang berkontribusi untuk negeri. Namun, di era sekarang, profesi guru tidak lagi semata dihormati. Justru, banyak tuduhan diarahkan kepada mereka. Mulai dari cara mengajar, kedisiplinan, hingga aktivitas di luar kelas, semua bisa menjadi bahan kritik bahkan cibiran.

Pertanyaannya, apakah benar semua tuduhan itu sepenuhnya salah guru? Atau ada faktor lain yang luput dari perhatian publik?

Ragam Tuduhan terhadap Guru dan Sekolah

1. Guru Dituntut Sempurna

Guru kerap dianggap sebagai sosok yang harus tahu segalanya. Jika murid gagal ujian, guru langsung disalahkan. Jika murid nakal, guru dianggap tidak mendidik. Padahal, pendidikan adalah tanggung jawab bersama: sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Seorang guru pernah berkata, “Kami hanya bisa membuka jalan. Yang berjalan adalah murid itu sendiri.” Sayangnya, pandangan ini sering diabaikan.

2. Sekolah Hanya Mengejar Nilai

Banyak yang menuduh sekolah terlalu fokus pada angka, ranking, dan ujian. Tuduhan ini tidak sepenuhnya salah, sebab sistem pendidikan kita memang masih menekankan hasil akademik. Guru pun sering kali sekadar menjadi pelaksana kebijakan, bukan penentu arah.

3. Biaya Pendidikan yang Mahal

Pungutan di sekolah sering dianggap sebagai bentuk pemerasan. Uang gedung, seragam, hingga study tour dipandang sebagai beban orang tua. Padahal, sekolah juga punya kebutuhan operasional. Jika negara belum sepenuhnya menanggung, sekolah terpaksa mencari cara agar kegiatan tetap berjalan.

4. Guru Gaptek

Era digital membuat guru dituduh gagap teknologi. Saat pandemi, tuduhan ini semakin santer: guru dianggap hanya bisa memberi tugas tanpa pendampingan. Namun kenyataannya, banyak guru justru belajar mati-matian menguasai aplikasi belajar daring, meski dengan keterbatasan kuota, perangkat, dan pelatihan.

Omjay, Guru Blogger Indonesia, menegaskan: “Kalau guru tidak mau belajar, ia akan tergilas zaman. Tetapi kalau guru mau membuka diri, teknologi akan menjadi sahabatnya, bukan lawannya.”

5. Disiplin Disebut Bullying

Ketika guru memotong rambut siswa yang gondrong, menyita ponsel saat pelajaran, atau menegur siswa yang malas, muncul tuduhan bahwa guru membully. Akibatnya, banyak guru takut menegur karena khawatir diviralkan. Padahal, tanpa kedisiplinan, karakter siswa sulit terbentuk.

6. Dapat Hadiah Disebut Gratifikasi

Budaya memberi hadiah kepada guru sebenarnya bentuk penghormatan. Tetapi kini, hadiah kecil sekalipun bisa dituding sebagai gratifikasi. Guru jadi serba salah: menerima salah, menolak pun bisa melukai perasaan orang tua.

7. Kasih Tugas Dianggap Memberatkan

Pemberian tugas rumah sering dipandang sebagai beban. Ada orang tua yang mengeluh, “Guru enak saja kasih PR, yang repot orang tua di rumah.” Padahal, tugas adalah bagian dari pembelajaran mandiri. Jika tidak ada PR, murid justru lebih sibuk bermain gadget.

8. Study Tour Disebut Numpang Liburan

Kegiatan study tour sering kali dipandang sebelah mata. Banyak yang menuduh guru hanya numpang jalan-jalan gratis. Faktanya, guru justru menanggung beban besar: menjaga ratusan siswa, memastikan keamanan, mengurus konsumsi, hingga bertanggung jawab jika ada masalah. Bukannya santai, guru justru pulang dalam keadaan lelah luar biasa.

9. Olah Nilai Disebut Sedekah Nilai

Ada kalanya guru mempertimbangkan faktor non-akademik, seperti kehadiran, sikap, dan usaha siswa. Nilai pun diolah agar tidak terlalu kaku. Namun, tindakan ini dituduh sebagai “sedekah nilai.” Seolah-olah guru bermurah hati tanpa alasan, padahal itu bagian dari kebijakan pedagogis untuk memberi kesempatan.

10. Guru Lebih Sibuk Administrasi daripada Mengajar

Banyak guru mengeluh harus mengisi laporan, RPP, hingga berlapis-lapis administrasi. Alih-alih fokus mengajar, tenaga habis untuk urusan birokrasi. Tuduhan pun muncul: guru lebih sibuk di depan laptop daripada di depan murid.

Kisah Nyata di Lapangan

a. Guru Diviralkan karena Tegas

Seorang guru di Bekasi menegur muridnya yang melanggar aturan. Sayangnya, teguran itu direkam, lalu disebarkan dengan narasi “guru membully siswa.” Nama baik guru tercoreng, padahal tujuannya mendidik.

b. Study Tour yang Dipersoalkan

Di sebuah SMP di Jawa Tengah, sekolah merencanakan study tour ke museum dan pusat sains. Orang tua menolak dengan alasan “hanya liburan.” Guru akhirnya kecewa karena niat baik memberi pengalaman nyata justru dianggap mencari keuntungan pribadi.

c. Bingkisan Kue Lebaran Jadi Masalah

Seorang wali murid di Surabaya memberikan kue kering saat lebaran kepada guru. Niatnya tulus, tanda terima kasih. Namun, ada orang tua lain yang menuduh guru menerima gratifikasi. Guru jadi sungkan menerima hadiah sekecil apa pun.

d. PR Saat Pandemi

Banyak guru memberi tugas daring agar siswa tetap belajar. Tapi muncul keluhan, “Anak saya stres dengan PR menumpuk.” Di sisi lain, jika guru tidak memberi tugas, mereka dituduh malas mengajar. Guru pun terjebak dalam dilema.

e. Nilai Ditinggikan demi Kelulusan

Seorang guru menaikkan sedikit nilai siswa yang rajin tapi kurang cerdas agar tidak tinggal kelas. Tujuannya baik, tetapi orang tua lain menyebutnya “sedekah nilai.” Akhirnya, guru serba salah: terlalu tegas dicap kejam, terlalu longgar dibilang tidak objektif.

Berbagai Tuduhan, Bagaimana Guru Nyaman Mengajar?

Jika hampir setiap langkah guru selalu dicurigai, bagaimana guru bisa nyaman mengajar?

Tegas salah, lunak pun salah.

Memberi tugas salah, tidak memberi tugas salah.

Menerima hadiah salah, menolak pun salah.

Kenyamanan guru terancam. Padahal, guru yang nyaman akan lebih bersemangat berinovasi. Guru yang dihargai akan mencurahkan tenaga dan pikirannya. Sebaliknya, guru yang selalu dituduh bisa kehilangan motivasi, bahkan takut menjalankan tugas.

Omjay mengingatkan: “Kalau guru tidak lagi dihargai, jangan salahkan kalau pendidikan kita jalan di tempat. Guru butuh dukungan, bukan hanya tuduhan.”

Dampak Tuduhan terhadap Pendidikan

1. Guru Kehilangan Otoritas. Murid menjadi berani melawan karena tahu setiap teguran bisa dianggap salah.

2. Hubungan Guru-Orang Tua Renggang. Bukannya bekerja sama, malah saling curiga.

3. Semangat Mengajar Turun. Guru merasa pekerjaan mereka tidak pernah dihargai.

4. Inovasi Terhambat. Guru takut mencoba hal baru karena khawatir dianggap mencari sensasi.

Solusi agar Guru Tetap Nyaman Mengajar

1. Bangun Kolaborasi dengan Orang Tua. Pendidikan tidak bisa hanya diserahkan pada sekolah. Orang tua harus dilibatkan agar tuduhan bisa dikurangi.

2. Perlindungan Hukum bagi Guru. Negara perlu memberi payung hukum agar guru yang menjalankan tugas profesional tidak mudah dikriminalisasi.

3. Kurangi Administrasi. Biarkan guru fokus pada mengajar, bukan hanya mengisi formulir.

4. Edukasi Publik tentang Peran Guru. Masyarakat perlu memahami bahwa guru bukan malaikat. Mereka manusia biasa yang juga bisa lelah dan salah.

5. Ciptakan Budaya Apresiasi. Sekecil apa pun, penghargaan bisa membuat guru bersemangat.

Penutup

Tuduhan terhadap sekolah dan guru zaman sekarang memang berlapis-lapis. Sebagian benar adanya, sebagian lain lahir dari kesalahpahaman. Namun, kita tidak boleh lupa: guru tetaplah pilar utama pendidikan. Tanpa guru, tidak akan ada generasi penerus bangsa.

Seperti kata Omjay, “Guru bukan malaikat, tapi jangan lupa: tanpa guru, kita tidak akan pernah menjadi siapa-siapa.”

Maka, alih-alih terus menuduh, mari kita dukung guru agar tetap nyaman mengajar. Sebab kenyamanan guru adalah jaminan lahirnya generasi emas Indonesia.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar pada blog ini, dan mohon untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan yang benar.