Menjaga Martabat Guru Swasta: Menyongsong Aksi Damai Oktober
Prolog: Suara yang Tertahan
Guru adalah pilar utama pendidikan. Tanpa guru, sekolah hanyalah bangunan kosong. Namun, ironisnya, masih banyak guru di Indonesia yang hidup dalam keterbatasan, terutama mereka yang mengabdi di sekolah swasta.
Di saat sebagian guru negeri telah mendapatkan perhatian lebih, guru swasta masih berkutat dengan gaji yang jauh dari layak. Tidak sedikit dari mereka yang hanya menerima upah di bawah standar kebutuhan hidup. Padahal, beban kerja dan tanggung jawab mereka sama, bahkan sering kali lebih berat.
Itulah sebabnya, rencana aksi unjuk rasa guru swasta pada bulan Oktober mendatang menjadi isu penting. Aksi ini bukan sekadar turun ke jalan, tetapi jeritan hati yang terlalu lama terpendam.
Ketum GM Pro Demo: Jalan Terakhir
Dalam percakapan singkat dengan Omjay, Ketua Umum GM Pro Demo menyampaikan alasan mengapa aksi ini tetap akan digelar.
> “Terima kasih Omjay atas sarannya. Tapi maaf juga, kami sudah kehabisan cara untuk mencapai hasil yang dituju. Audiensi ke sana-sini tidak membuahkan hasil. Terlalu banyak hal yang menjadi penghambat katanya. Dari mulai peraturan, kondisi keuangan daerah, Pemda yang tidak meminta adanya tambahan guru, dan lainnya,” ungkapnya.
Pernyataan ini memperlihatkan betapa peliknya persoalan guru swasta. Sudah berkali-kali ditempuh jalan dialog, namun hasilnya nihil. Regulasi yang berbelit, keterbatasan anggaran, hingga kebijakan daerah yang kurang berpihak membuat aspirasi guru swasta seperti terperangkap di ruang hampa.
Karena itu, aksi damai menjadi pilihan terakhir.
> “Insya Allah kami punya cara untuk mengatasi adanya perusuh dan penyusup yang masuk di tengah aksi unjuk rasa nantinya,” tambah Ketum GM Pro Demo.
Langkah antisipatif ini penting. Sebab, perjuangan guru harus tetap bersih dari tindakan anarkis dan provokatif yang justru akan merugikan mereka sendiri.
Suara Omjay: Guru Jangan Tergelincir
Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd atau Omjay, seorang guru blogger dan tokoh pendidikan, memberikan pandangan bijak terkait rencana aksi tersebut.
“Guru swasta sebaiknya jangan demo ke DPR, sebab masih banyak penyusup di dalam demo. Sebaiknya temui langsung anggota DPR di Senayan. Saat ini masih rawan penyusup, dan kita tidak pernah tahu kalau demo tersebut disusupi oleh para perusuh yang sengaja membuat onar,” ujar Omjay.
Meski begitu, Omjay juga memahami bahwa ketika pintu dialog sudah terlalu lama tertutup, demo menjadi satu-satunya cara untuk mengetuk hati pemerintah. Pesannya jelas: aksi boleh, tapi harus damai, tertib, dan menjaga martabat guru.
Peran PGRI: Menyatukan Suara Guru
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sejak lama menjadi wadah perjuangan guru. Organisasi ini berulang kali menekankan pentingnya guru bersatu agar suaranya lebih kuat didengar.
PGRI menilai, masalah guru swasta tidak bisa dianggap sepele. Mereka adalah bagian besar dari tenaga pendidik di Indonesia. Data Kemdikbudristek tahun 2024 mencatat, lebih dari 35% guru di Indonesia bekerja di sekolah swasta. Artinya, jika guru swasta diabaikan, kualitas pendidikan nasional juga akan terganggu.
Dengan kekuatan organisasi dan jaringan yang luas, PGRI diharapkan dapat menjadi jembatan antara aspirasi guru swasta dan pemerintah. Bukan hanya soal kesejahteraan, tetapi juga tentang perlindungan profesi dan kepastian hukum bagi mereka.
Belajar dari Demo Sebelumnya
Demo guru bukan hal baru di Indonesia. Beberapa tahun lalu, aksi guru honorer sempat memadati jalanan ibu kota. Mereka menuntut kepastian status dan gaji yang lebih manusiawi. Sayangnya, tidak semua aksi berjalan mulus. Ada yang berakhir ricuh karena disusupi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Inilah yang membuat sebagian kalangan khawatir dengan aksi Oktober nanti. Jangan sampai guru swasta yang sebenarnya berjuang dengan tulus, justru dicederai dengan stigma anarkis.
Pelajaran dari masa lalu harus menjadi pegangan. Demonstrasi bisa menjadi sarana menyuarakan aspirasi, tetapi jangan sampai kehilangan arah. Guru harus tetap menjadi teladan, bahkan di jalanan.
Harapan dari Aksi Oktober
Ada beberapa hal yang diharapkan dari aksi Oktober nanti:
1. Perhatian Pemerintah Pusat
Pemerintah pusat harus mendengar langsung aspirasi guru swasta. Tidak boleh lagi ada alasan keterbatasan anggaran. Konstitusi sudah jelas menegaskan bahwa pendidikan adalah hak seluruh warga negara.
2. Peran Aktif Pemerintah Daerah
Pemda sering berdalih tidak meminta tambahan guru. Padahal, realitas di lapangan, banyak sekolah swasta kekurangan tenaga pengajar yang layak. Pemda harus berani membuka ruang dialog dengan yayasan dan guru swasta di wilayahnya.
3. Kebijakan yang Lebih Berpihak
Regulasi harus dirancang dengan memikirkan kondisi guru swasta. Misalnya, insentif khusus atau tunjangan tambahan yang tidak bergantung pada kemampuan yayasan semata.
4. Aksi Damai yang Bermartabat
Aksi Oktober nanti diharapkan benar-benar menjadi momentum damai, tanpa ricuh, tanpa provokasi. Jika guru bisa menunjukkan kedisiplinan dalam berdemo, pesan mereka akan lebih kuat didengar.
Penutup: Suara Guru, Suara Pendidikan
Guru adalah jantung pendidikan. Tidak akan ada masa depan bangsa tanpa mereka. Karena itu, perjuangan guru swasta bukan hanya tentang gaji, tetapi tentang keberlangsungan pendidikan Indonesia.
Jika aksi Oktober nanti benar-benar digelar, mari pastikan ia berjalan dengan damai, tertib, dan bermartabat. Jangan biarkan ada pihak-pihak yang menunggangi perjuangan guru untuk kepentingan politik sesaat.
Guru adalah teladan, bahkan ketika berada di jalanan. Dan suara mereka adalah suara pendidikan yang harus kita dengarkan bersama.
Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay
Guru blogger Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar pada blog ini, dan mohon untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan yang benar.