Selamat Datang di Blog Wijaya Kusumah

Untuk Pelayanan Informasi yang Lebih Baik, maka Isi Blog Wijaya Kusumah juga tersedia di blog baru di http://wijayalabs.com

Sabtu, 06 September 2025

guru bukan pedagang

Guru Bukan Pedagang

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar ungkapan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Ungkapan itu begitu indah, namun di balik keindahannya tersimpan kenyataan pahit yang kerap dialami para pendidik di negeri ini. Guru sering ditempatkan dalam posisi dilematis: dihormati karena profesinya yang mulia, tetapi di sisi lain diperlakukan seolah-olah tenaga murah yang bisa dieksploitasi.

Masalah muncul ketika sebagian pihak mulai melihat guru bukan lagi sebagai pendidik, melainkan seperti pedagang yang harus mengejar keuntungan. Ada sekolah yang menuntut guru untuk mencari murid layaknya pelanggan, ada pula kebijakan yang membuat guru sibuk mengurus laporan administrasi ketimbang fokus mendidik. Padahal, sejatinya guru tidak lahir untuk berjualan jasa pendidikan. Guru lahir untuk membimbing, mendidik, dan menginspirasi generasi bangsa.

Guru dan Nilai Kemuliaan Profesi

Profesi guru berbeda dengan profesi lain. Seorang pedagang berfokus pada untung-rugi dalam hitungan angka, sementara guru bekerja dengan nilai kemanusiaan. Guru membentuk karakter, membangun akhlak, dan menanamkan ilmu pengetahuan. Nilai pekerjaan guru tidak bisa diukur dengan timbangan uang semata.

Seorang pedagang bisa memilih barang apa yang ingin dijual, kapan membuka toko, dan kepada siapa ia menjual dagangannya. Namun, guru tidak demikian. Ia harus mendidik siapa pun murid yang datang kepadanya, tanpa membedakan latar belakang ekonomi, suku, atau agama. Guru melayani dengan hati, bukan dengan kalkulasi untung-rugi.

Di sinilah letak perbedaan yang hakiki. Guru bukan pedagang, dan tidak boleh diperlakukan seperti pedagang.

Realitas Pahit di Lapangan

Namun sayangnya, realitas di lapangan sering berbicara lain. Banyak guru honorer yang gajinya masih jauh di bawah upah minimum. Mereka terpaksa mencari pekerjaan sampingan untuk bertahan hidup: ada yang berjualan makanan, menjadi ojek online, hingga berdagang kecil-kecilan. Ironisnya, sebagian masyarakat lalu menilai guru itu “pedagang” karena mereka terpaksa mencari nafkah tambahan di luar jam mengajar.

Padahal, jika negara benar-benar menyejahterakan guru, tentu mereka tidak perlu lagi berjualan di luar profesinya. Seorang guru idealnya cukup fokus pada tugas utamanya: mendidik dan mencerdaskan bangsa. Namun kenyataannya, banyak guru justru harus mengorbankan waktu, tenaga, bahkan harga dirinya untuk sekadar bertahan hidup.

Pandangan Omjay

Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd, atau yang akrab disapa Omjay, seorang guru blogger Indonesia, pernah menegaskan:

> “Guru itu bukan pedagang. Tugas utama guru adalah mendidik. Kalau masih ada guru yang harus berjualan untuk menutup kebutuhan hidupnya, itu tandanya negara belum sepenuhnya hadir untuk menyejahterakan guru. Guru itu perlu dihargai sebagai profesi, bukan sekadar tenaga kerja murah.”

Komentar Omjay ini menjadi tamparan keras bagi kita semua. Guru adalah aset bangsa, bukan pekerja yang bisa diperlakukan seenaknya. Jika guru dipaksa untuk terus berjuang mencari tambahan nafkah di luar kelas, maka wajar bila kualitas pendidikan ikut terganggu. Bagaimana mungkin guru bisa totalitas mendidik kalau pikirannya terus terbebani masalah ekonomi?

Guru dan Tugas Mulia

Menjadi guru bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan jiwa. Guru adalah sosok yang rela mengorbankan waktu dan tenaga demi anak didiknya. Seorang pedagang bisa kecewa jika barang dagangannya tidak laku, namun seorang guru tidak pernah kecewa meskipun anak didiknya gagal. Ia justru berusaha lebih keras, mencari cara baru, dan tidak pernah lelah memberikan motivasi.

Guru adalah mata air pengetahuan. Ia memberikan ilmunya tanpa pernah habis, bahkan semakin banyak ia memberi, semakin kaya pula dirinya dengan pengalaman. Itulah yang membedakan guru dari pedagang. Guru tidak menjual, melainkan memberi.

Mengembalikan Marwah Guru

Sudah saatnya kita mengembalikan marwah guru. Guru harus ditempatkan sebagai pendidik sejati, bukan sekadar buruh pendidikan. Ada beberapa langkah penting yang perlu dilakukan:

1. Kesejahteraan yang Layak. Negara wajib memastikan gaji guru, baik PNS maupun honorer, sesuai dengan standar kebutuhan hidup. Guru tidak boleh lagi dipaksa berjualan untuk bertahan hidup.

2. Beban Administrasi Dikurangi. Guru harus lebih banyak waktu di kelas, bukan sibuk dengan tumpukan laporan. Pekerjaan administratif sebaiknya didukung tenaga khusus agar guru bisa fokus mendidik.

3. Penghargaan Sosial. Guru perlu dihormati bukan hanya dengan seremoni, tetapi juga dengan kebijakan nyata. Setiap kebijakan pendidikan seharusnya menempatkan guru sebagai subjek utama, bukan objek semata.

4. Perlindungan Profesi. Guru sering berada dalam posisi rentan, terutama ketika menghadapi masalah dengan siswa dan orang tua. Negara harus hadir memberikan perlindungan hukum yang adil.

Refleksi untuk Kita Semua

Jika kita menganggap guru sebagai pedagang, maka pendidikan akan kehilangan ruhnya. Pendidikan akan berubah menjadi transaksi ekonomi semata, bukan proses kemanusiaan. Kita tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.

Mari kita renungkan: siapa yang mengajarkan kita membaca? Siapa yang pertama kali mengajari kita menulis? Siapa yang dengan sabar membimbing kita memahami angka dan huruf? Semua itu adalah jasa guru. Kalau hari ini kita bisa berdiri sebagai orang terdidik, itu semua berkat guru.

Karena itu, kita tidak boleh menganggap guru sebagai pedagang. Guru adalah penerang dalam kegelapan, pelita yang membimbing kita menuju masa depan.

Penutup

Guru bukan pedagang. Guru adalah pendidik yang mulia, yang bekerja dengan hati, bukan dengan kalkulasi keuntungan. Jika ada guru yang terpaksa berjualan, itu bukan pilihan mereka, melainkan karena keadaan yang memaksa.

Seperti yang diingatkan Omjay, guru harus dihargai sebagai profesi, bukan diperlakukan seperti tenaga kerja murah. Sudah saatnya negara benar-benar hadir untuk menyejahterakan guru, agar mereka bisa fokus menjalankan tugas mulianya: mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sebab tanpa guru, tidak akan ada dokter, insinyur, pejabat, bahkan presiden sekalipun. Semua berawal dari tangan guru. Maka jangan pernah menempatkan guru di posisi pedagang. Hargai guru sebagaimana mestinya, karena di tangan merekalah masa depan bangsa ini dibentuk.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar pada blog ini, dan mohon untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan yang benar.