Selamat Datang di Blog Wijaya Kusumah

Untuk Pelayanan Informasi yang Lebih Baik, maka Isi Blog Wijaya Kusumah juga tersedia di blog baru di http://wijayalabs.com

Sabtu, 13 Desember 2025

Fakta Menarik Tentang Guri


Fakta Menarik tentang Guru yang Jarang Dibahas — Versi Omjay

Menjadi guru bukan sekadar profesi. Ia adalah perjalanan batin, panggilan jiwa, dan bentuk ketulusan yang terus diuji setiap hari. Banyak orang melihat guru hanya sebagai pengajar di depan kelas, tetapi ada begitu banyak sisi lain yang tidak pernah tersampaikan. Sisi-sisi kecil yang kadang membuat hati hangat, kadang menguras emosi, namun justru membuat profesi ini terasa sangat manusiawi.

Sebagai seorang guru selama puluhan tahun, saya—Omjay—sering merasakan hal-hal unik yang tak pernah saya tulis sebelumnya. Berikut adalah 10 fakta menarik tentang guru yang jarang dibahas, dilengkapi pengalaman saya di ruang kelas, di ruang guru, dan bahkan di perjalanan hidup sebagai pendidik.


1. 👂 Guru hafal suara setiap murid

Tanpa melihat wajah pun, guru tahu siapa yang sedang ngobrol, berisik, atau saling menggoda temannya.

Saya sering tersenyum sendiri saat mengajar. Ada satu murid yang kalau batuk saja, saya langsung tahu itu suaranya. Ketika saya berkata, “Itu suara kamu, kan?” seluruh kelas langsung tertawa. Mereka heran bagaimana mungkin telinga guru bisa setajam itu. Tapi itulah guru—pendengar yang bekerja tanpa henti.


2. 👀 Guru membaca bahasa tubuh murid

Guru bisa melihat siapa yang benar-benar paham, siapa yang pura-pura mengangguk, dan siapa yang sedang menahan kantuk sebelum jatuh ke meja.

Saya pernah memberi pertanyaan di kelas, dan satu murid mengangguk semangat. Tapi matanya kosong. “Kamu ngerti?” tanya saya. Dia menggeleng pelan dan seisi kelas tertawa. Saat itulah saya belajar, memahami murid jauh lebih penting daripada sekadar menyampaikan materi.


3. 📒 Guru lebih ingat tingkah laku daripada nilai

Nilai bisa berubah. Tapi tingkah laku lucu, unik, atau ‘ajaib’ murid, justru paling membekas.

Sampai hari ini, saya masih ingat seorang murid yang selalu datang terlambat, tapi alasan terlambatnya selalu kreatif. “Ban saya kempes, Pak.” Besoknya, “Sepatu saya ketukar.” Dan suatu hari, “Saya ikut nenek ke pasar.” Kami tertawa. Tingkahnya jauh lebih melekat daripada nilai rapor yang sudah lama hilang.


4. 😄 Guru sering menahan tawa di kelas

Kadang murid terlalu lucu, tetapi guru juga harus menjaga wibawa.

Saya pernah menahan tawa sampai meneteskan air mata karena jawaban murid yang spontan dan polos. Namun, sebagai guru, saya tetap harus tampak serius. Padahal dalam hati, saya sudah ngakak lima babak.


5. 🫱 Guru tahu siapa yang suka membantu dan siapa yang suka kabur

Guru itu peka. Bahkan tanpa bertanya, guru tahu siapa “pasukan penggerak meja” dan siapa yang langsung menghilang kalau disuruh bersih-bersih.

Sebelum kelas dimulai, saya sudah bisa menebak siapa yang akan sigap mengambil spidol, siapa yang siap bantu mengangkat barang, dan siapa yang pura-pura nyari bolpoin di tas—padahal cuma ngumpet.


6. 💛 Guru berpura-pura tegas, tapi hatinya lembut

Teguran seorang guru sering kali bukan karena marah, tapi karena sayang.

Saya pernah menegur murid yang terus bermain HP di kelas. Wajahnya langsung muram. Tapi setelah kelas usai, saya dekati dan saya bilang, “Pak guru sayang kamu. Kamu anak pintar. Jangan buang waktumu.” Dia terdiam dan matanya berkaca. Kadang, tegasan hanyalah selimut dari kelembutan.


7. 🌱 Guru diam-diam bangga melihat perkembangan kecil murid

Tidak semua guru mengungkapkan rasa bangganya. Tapi percayalah, di hati mereka, ada rasa senang yang luar biasa.

Saya sering melihat murid yang dulu pendiam, tiba-tiba berani bertanya. Murid yang dulu sering salah, kini menjawab dengan mantap. Perubahan kecil itu terasa seperti kemenangan besar. Kadang saya sampai menulisnya di buku harian saya.


8. 🎨 Guru lebih kreatif dari yang disadari

Mulai dari cara menjelaskan materi, membuat perumpamaan, sampai menenangkan kelas, guru terus berinovasi tanpa sadar.

Saya pernah menggunakan cerita super hero untuk menjelaskan jaringan komputer. Murid tertawa, tapi mereka mengingatnya sampai sekarang. Kreativitas itu muncul spontan, tanpa latihan, tanpa skrip.


9. 🧠 Guru mengingat murid bertahun-tahun

Murid bisa lupa siapa gurunya, tetapi guru sering mengingat nama, wajah, bahkan cerita kehidupan muridnya.

Saya sering bertemu mantan murid di jalan. Ada yang sudah jadi pengusaha, guru, polisi, atau bapak-bapak yang menggendong anak. Begitu melihat mereka, kenangan di kelas langsung muncul seperti film yang diputar ulang.


10. 📚 Guru juga belajar setiap hari

Belajar memahami situasi kelas, belajar menghadapi karakter yang unik-unik, dan belajar mengikuti perkembangan zaman.

Saya sendiri merasa menjadi murid setiap hari. Murid mengajarkan saya ilmu baru, membuat saya tetap muda, dan menjaga saya dari kejumudan. Guru bukan hanya mengajar, tetapi juga belajar menjadi manusia.


Penutup: Guru, Profesi yang Dihidupkan oleh Hati

Fakta-fakta ini mungkin kecil, sederhana, dan tidak pernah masuk kurikulum. Tapi di balik hal-hal kecil itulah kehangatan profesi guru tumbuh.

Saya, Omjay, percaya bahwa menjadi guru adalah perjalanan panjang yang dipenuhi cerita. Cerita yang membuat kita tertawa, menangis, bangga, kecewa, bahkan tak jarang ingin menyerah. Namun, ketika melihat satu murid tersenyum karena akhirnya paham pelajaran, rasanya semua lelah terbayar lunas.

Guru bukan hanya pengajar. Guru adalah pengingat, pendengar, pelindung, penguat, sekaligus penanam harapan.

Dan semua itu bekerja dalam diam.


Jumat, 12 Desember 2025

Kisah Omjay Tentang Mobil MBG Menabrak Siswa

Kisah Wijaya Kusumah 

Opini Omjay: Ketika Anak-Anak Kita Menjadi Korban Kelalaian – Sebuah Renungan dari Insiden SDN 1 Kalibaru

Oleh: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay)
Guru Blogger Indonesia

---

Rabu pagi, 06.30 WIB. Seharusnya itu adalah waktu di mana tawa anak-anak sekolah dasar memenuhi udara. Waktu ketika mereka bermain kejar-kejaran, bercanda dengan teman sebangku, atau sekadar duduk di halaman sambil menunggu bel tanda pelajaran dimulai.

Namun pagi itu, di SDN 1 Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara, tawa itu mendadak terhenti. Sebuah minibus operasional Makan Bergizi Gratis (MBG) melaju tak terkendali dan menabrak kerumunan siswa. Dalam hitungan detik, suasana ceria berubah menjadi jeritan, tangis, dan kepanikan.

Sebagai guru dan orang tua, hati saya hancur membaca dan mendengar kabar ini. Anak-anak—yang setiap harinya penuh semangat berangkat ke sekolah demi mengejar mimpi—menjadi korban kelalaian yang seharusnya bisa dicegah.

Keselamatan Anak Seharusnya Menjadi Prioritas Utama

Ketika saya membaca bahwa 20 korban—19 siswa dan 1 guru—harus dilarikan ke RSUD Cilincing dan RS Koja, dada saya sesak. Meski tidak ada korban jiwa, luka fisik dan trauma psikis anak-anak itu tidak bisa dianggap enteng.

Sekolah adalah ruang aman. Tempat di mana anak-anak datang untuk belajar, bermain, dan membangun masa depan. Jika tempat seaman sekolah saja bisa menjadi lokasi musibah, kita harus bertanya:
Ada apa dengan sistem keamanan kita?

Kelalaian Kecil, Dampak Besar

Dugaan awal menyebut sopir salah menginjak pedal gas. Kelalaian sekecil apa pun, ketika berada di area penuh anak-anak, bisa berubah menjadi tragedi besar.

Saya teringat betul, bagaimana di banyak sekolah pada pagi hari kendaraan keluar-masuk begitu bebas tanpa ada manajemen lalu lintas yang tertib. Anak-anak berlarian di halaman, sementara kendaraan operasional melintas terlalu dekat.

Ini bukan soal menyalahkan individu semata, tapi soal sistem. Sistem pengelolaan kendaraan sekolah, sistem pelatihan sopir, sistem pengawasan pagi hari. Semua harus dibenahi.

Belajar dari Kejadian Ini: Jangan Tunggu Ada Korban Lagi

Sebagai bangsa, kita sering kali baru bergerak setelah terjadi kejadian memilukan. Padahal keselamatan anak-anak seharusnya menjadi urusan yang tak boleh ditawar.

Saya mengajak:

Pemerintah daerah untuk memperketat SOP kendaraan operasional sekolah.

Sekolah untuk membuat jalur aman bagi siswa dan area khusus kendaraan.

Orang tua untuk lebih aktif menuntut keamanan lingkungan belajar anak.

Dan kita semua untuk menjadikan kejadian ini sebagai peringatan keras.

Jangan sampai kita kembali membaca kabar buruk tentang anak-anak kita yang menjadi korban karena kelalaian yang seharusnya bisa dicegah.

Guru, Murid, dan Luka yang Tak Terlihat

Di antara 20 korban itu ada seorang guru yang juga terluka. Guru yang setiap hari menjaga dan mendidik anak-anak kita. Saya membayangkan bagaimana paniknya para guru ketika melihat murid-muridnya terseret kendaraan. Betapa berat beban batin yang mereka tanggung.

Anak-anak yang selamat dari tabrakan pun belum tentu selamat dari trauma. Butuh waktu, pendampingan, dan kasih sayang untuk memulihkan mereka.

Harapan Omjay untuk Semua Korban

Sebagai sesama pendidik, saya hanya bisa berdoa:
Semoga seluruh korban lekas pulih. Semoga orang tua diberi kekuatan menghadapi cobaan ini. Semoga guru-guru di SDN 1 Kalibaru tetap sabar dan tegar membimbing anak-anak dalam masa pemulihan ini.

Kita tidak bisa membalikkan waktu. Tapi kita bisa memperbaiki masa depan dengan memastikan keamanan sekolah jauh lebih baik daripada hari ini.

Penutup: Jangan Anggap Ini Sekadar Berita

Bagi sebagian orang, ini mungkin hanya berita pagi.
Namun bagi 20 keluarga, ini adalah luka yang akan dikenang sepanjang hidup.

Anak-anak adalah amanah. Tugas kita sebagai pendidik, orang tua, dan pemerintah adalah memastikan amanah itu dijaga sebaik-baiknya.

Jangan tunggu tragedi berikutnya. Bertindaklah sekarang.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Kamis, 11 Desember 2025

Temu Penulis KBMN PGRI Keempat di Kota Malang Jawa Timur 21-23 Desember 2025

Liburan ke Kota Batu? Yuk Ikut Temu Penulis dan Seminar Nasional KBMN PGRI!

KBMN Goes to Malang 2025 Hadirkan Narasumber Nasional dan Pengalaman Literasi Tak Terlupakan

Liburan sekolah sudah di depan mata. Sebagian orang mungkin sudah menyiapkan rencana perjalanan jauh, sementara sebagian lainnya masih bingung ke mana harus membawa keluarga mengisi waktu liburan yang berharga. Bila Anda termasuk yang belum memiliki agenda khusus, Kota Batu, Malang, Jawa Timur bisa menjadi pilihan yang sangat menyenangkan—dan kali ini ada alasan yang jauh lebih menarik untuk datang ke sana.

Komunitas Belajar Menulis Nusantara (KBMN) PGRI menghadirkan sebuah acara besar bertajuk KBMN Goes to Malang, sebuah temu penulis sekaligus seminar nasional yang dirancang untuk mempertemukan para pecinta literasi dari seluruh Indonesia. Bukan hanya kegiatan ilmiah, tetapi juga kemasan wisata edukatif yang cocok untuk keluarga.

Acara bergengsi ini akan berlangsung 21–23 Desember 2025 di lokasi prestisius BBGTK Jawa Timur, Kota Batu, Malang, sebuah daerah yang terkenal dengan udara sejuk, pemandangan indah, dan berbagai destinasi wisata keluarga.

Narasumber Nasional, Materi Berkelas

Kegiatan ini menghadirkan empat narasumber keren yang sudah dikenal luas dalam dunia kepenulisan dan pendidikan Indonesia:

Prof. Dr. Ngainun Naim — akademisi, penulis produktif, dan pembicara nasional yang karyanya menginspirasi ribuan pendidik.

Dr. Moch Khoiri, M.Si — penulis aktif dan tokoh literasi yang dikenal dengan pendekatan menulis berbasis rasa dan pengalaman hidup.

Dr. Deswatia Astuty, M.Pd — pendamping literasi dan praktisi pendidikan yang sering menjadi mentor penulis pemula.

Dr. Mudafiatun Isriyah, M.Pd — akademisi dan trainer menulis kreatif yang sudah melahirkan banyak karya bersama para guru.

Sementara itu, acara ini juga akan dibuka oleh Keynote Speaker Dr. Abdul Haer, M.Pd, Kepala BBGTK Provinsi Jawa Timur, yang akan memberikan arahan strategis terkait penguatan kompetensi guru melalui literasi.

Dengan jajaran narasumber dan pembicara seperti ini, peserta bukan hanya diajak belajar menulis, tetapi juga diajak memahami bagaimana literasi dapat menjadi jembatan menuju kualitas hidup dan profesionalisme yang lebih baik.

Biaya Terjangkau dengan Fasilitas Super Lengkap

Dengan kontribusi sebesar Rp 800.000, peserta mendapatkan fasilitas lengkap selama tiga hari, antara lain:

Penginapan 2 malam di lingkungan BBGTK yang nyaman

Makan dan snack

Tiket Jatim Park 3, salah satu wisata favorit keluarga

Studi literasi langsung di Kota Batu

Sertifikat Seminar Nasional 32 jam

Peluncuran karya para penulis KBMN

Penghargaan bagi guru penulis berprestasi

Konsep kegiatan ini bukan hanya seminar, tetapi paket lengkap yang menggabungkan pembelajaran, wisata, relasi, dan pengalaman berharga bersama keluarga. Sangat cocok bagi guru, penulis pemula, mahasiswa, dan siapa pun yang ingin memperdalam dunia literasi.

Kota Batu: Liburan, Belajar, dan Kebahagiaan dalam Satu Waktu

Tak banyak kegiatan pelatihan yang menawarkan pengalaman sekomplit ini. Peserta bisa belajar menulis pada pagi dan siang hari, lalu bersantai dengan keluarga di malam hari sambil menikmati suasana Kota Batu yang sejuk. Dengan adanya tiket Jatim Park 3, peserta dapat mengajak anak-anak sekaligus memberikan pengalaman liburan yang edukatif.

Kombinasi wisata dan literasi inilah yang membuat KBMN Goes to Malang berbeda dengan kegiatan literasi lainnya.

Komentar Omjay, Founder KBMN PGRI

Pendiri KBMN PGRI, Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd atau akrab disapa Omjay, menyampaikan harapan besarnya terhadap kegiatan ini.

“KBMN Goes to Malang bukan sekadar seminar menulis, tetapi perjalanan literasi yang akan meninggalkan jejak bagi para peserta. Kami ingin guru-guru bahagia, produktif, dan mampu melahirkan karya yang terus bermanfaat. Kota Batu kami pilih karena mampu menghadirkan perpaduan belajar dan liburan. Semoga kegiatan ini menjadi momentum lahirnya banyak penulis hebat dari Indonesia,” ujar Omjay.

Ia juga menegaskan bahwa KBMN PGRI dibangun untuk memperkuat budaya literasi di kalangan guru dan masyarakat umum. Setiap kegiatan dirancang tidak hanya berorientasi pada teori, tetapi praktik dan pendampingan nyata.

Cara Pendaftaran

Pendaftaran dapat dilakukan secara online melalui tautan:

👉 https://s.id/RegKBMN-4

Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

Ibu Mutmainnah, M.Pd — 0852 1662 8447

Ibu Dyah Kusumaningrum, ST — 0818 466 541

Dengan kuota terbatas, panitia mengimbau calon peserta untuk segera mendaftar sebelum tempat penuh.

KBMN Goes to Malang 2025 bukan sekadar kegiatan, tetapi sebuah pengalaman. Bila Anda masih bingung menentukan liburan keluarga, Kota Batu menanti dengan kehangatan, pembelajaran, dan inspirasi literasi yang tak akan terlupakan.

Salam Blogger Persahabatan 
Omjay 
http://wijayalabs.com 
Menulislah Terus setiap hari, dan buktikan apa yang terjadi



Minggu, 07 Desember 2025

jam kerja guru

Jam Kerja Guru, Kebijakan yang Perlu Direfleksi Ulang: Suara Lapangan, Suara Keadilan

Pembahasan mengenai jam kerja guru kembali memanas dalam beberapa pekan terakhir. Isu ini mengemuka setelah Kang Dedi Mulyadi (KDM) menyampaikan kritik tegas terkait ketidakadilan yang dialami guru di banyak sekolah. Menurutnya, guru sudah berangkat sejak subuh dan tiba di sekolah jauh lebih awal dibanding profesi lain, sehingga tidak tepat jika guru harus dipaksa bertahan hingga pukul 15.00 hanya demi memenuhi aturan formal. KDM menegaskan bahwa guru seharusnya bisa pulang sekitar pukul 13.30 ketika tugas inti pembelajaran telah selesai.

Banyak guru menyambut pernyataan tersebut sebagai suara pembelaan yang selama ini mereka tunggu. Guru bukan sekadar hadir secara fisik. Mereka hadir dengan beban administratif, beban moral, beban emosional, dan tuntutan profesional yang tidak ringan. Dalam satu hari, guru mengajar, membimbing, memetakan karakter siswa, mengelola kelas, menyusun administrasi pembelajaran, hingga menjalin komunikasi intensif dengan orang tua siswa. Semua itu tidak pernah terangkum dalam sekadar jumlah jam hadir.

Guru Tidak Bisa Disamakan dengan Pegawai Biasa

Tidak adil jika guru disamakan dengan pegawai yang hanya datang, absen, dan menghabiskan waktu dengan bermain HP. Tugas guru jauh lebih kompleks, menuntut energi mental dan kesiapan batin yang tetap terjaga. Mengajar bukan pekerjaan mekanis — ia adalah kombinasi antara seni, ilmu, dan pengabdian.

Setelah HUT PGRI ke-80 yang Meriah, Refleksi Menjadi Kebutuhan

Isu ini muncul bersamaan dengan euforia HUT PGRI ke-80 yang digelar dengan sangat meriah di BritAma Arena Kelapa Gading. Ribuan guru membanjiri arena, sebagian besar hadir dengan biaya mandiri, menunjukkan loyalitas dan cinta mendalam pada organisasi yang telah lama menaungi mereka.

Namun kemeriahan itu sekaligus menjadi alarm bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dibereskan. Semangat kebersamaan harus dibarengi dengan pembenahan struktural, refleksi organisasi, serta konsistensi perjuangan.

Negara Berdasar Hukum, PGRI Pun Demikian

Dalam upaya mewujudkan aspirasi guru, refleksi tidak boleh hanya berhenti pada kritik. Harus ada langkah nyata. Negara berdiri di atas hukum, begitu pula PGRI sebagai organisasi profesi, ketenagakerjaan, dan perjuangan.

Karena itu:

AD/ART, PO, dan aturan organisasi lainnya wajib menjadi pegangan utama.

Marwah PGRI harus dirawat dengan menempatkan semua pihak pada posisi yang sesuai.

Pihak yang bukan bagian dari organisasi tidak boleh bermain dalam politik organisasi.

Hubungan PGRI dengan para pengelola kebijakan harus ditata dan diorkestrasi ulang agar efektif dan saling menghormati peran masing-masing.

Soliditas guru harus diwujudkan dalam implementasi nyata, bukan sekadar slogan.

Pesan Ketua Umum PB PGRI: PGRI Selalu Bersama Guru

Ketua Umum PB PGRI, Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd, menegaskan kembali komitmen PGRI untuk selalu hadir bersama guru Indonesia. Dalam berbagai kesempatan beliau menyampaikan pesan yang sangat kuat:

"Di mana ada guru, di situ ada PGRI. Dan PGRI akan selalu bersama guru Indonesia."

Ini bukan kalimat seremonial. Ini komitmen organisasi untuk selalu menjadi rumah perjuangan, rumah advokasi, dan rumah perlindungan bagi guru di seluruh pelosok negeri.

Komentar Sunarto: Pemerintah Peduli Guru, Tetapi PGRI Juga Harus Introspeksi

Di tengah perdebatan tentang kehadiran presiden dalam acara HUT PGRI ke-80, Sunarto memberikan pandangan yang patut dicermati dengan kepala dingin. Ia menyampaikan:

“Saya yakin presiden sangat memperhatikan guru. Buktinya beliau hadir bersama beberapa menterinya dalam acara Hari Guru Nasional yang diselenggarakan oleh Kemdikdasmen. Pembelaan presiden pada guru, peningkatan kesejahteraan guru, dan pemberian TPG yang semakin lancar sudah sangat membuktikan itu. Jadi antara guru dengan pemerintah tidak ada masalah.”

Sunarto melanjutkan dengan pertanyaan penting:

“Yang jadi pertanyaan, kenapa tidak hadir di HUT PGRI ke-80? Selain karena prioritas bencana, bukankah sudah sering presiden tidak hadir pada upacara HUT PGRI?”

Ia mengajak PGRI untuk melakukan introspeksi organisasi:

Apakah para pengurus benar-benar memiliki kapabilitas dan kompetensi sebagai sparing partner pemerintah dalam merumuskan kebijakan pendidikan?

Sejauh mana PGRI berperan membantu negara dalam pendidikan sehingga pemerintah merasa terbantu?

Sebenarnya yang kecewa atas ketidakhadiran presiden itu guru atau pengurus PGRI?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan untuk melemahkan PGRI, tetapi sebagai ajakan untuk memperkuat posisi organisasi agar semakin disegani negara dan dipercaya guru.

Saatnya Kebijakan Memahami Realitas Lapangan

Perdebatan mengenai jam kerja guru semestinya menjadi momentum bagi pemerintah, dinas pendidikan, dan organisasi profesi untuk duduk bersama. Guru bekerja bukan berdasarkan hitungan menit absensi, melainkan kualitas interaksi dan efektivitas pembelajaran.

Jika guru sudah datang sejak subuh dan menjalankan tugasnya dengan baik, maka memaksa mereka bertahan tanpa tugas jelas hanyalah menciptakan kelelahan yang tidak produktif. Kebijakan pendidikan harus berbasis empati, realitas lapangan, dan penghargaan atas kompleksitas kerja guru.

Solidaritas Guru Harus Menjadi Gerakan Nyata

Solidaritas yang selama ini terasa kuat harus diimplementasikan dalam:

perjuangan yang lebih rapi dan terarah,

organisasi yang semakin profesional,

kebijakan yang berpihak pada guru, dan

hubungan yang harmonis antara PGRI dan pemerintah.

Jika semua pihak mau menata ulang peran dan memperkuat kolaborasi, maka masa depan guru Indonesia akan semakin cerah.

Salam sehat untuk semua guru Indonesia.

Teruslah menginspirasi, menjaga marwah profesi, dan melangkah bersama dalam solidaritas yang sejati.

Bebaskan Pak Guru Mansyur Pak Presiden

Pesan penting buat presiden Prabowo Subianto

Lepaskan Pak Guru Mansyur, Pak Presiden: Beliau Tidak Bersalah

Di tengah upaya bangsa ini memperbaiki kualitas pendidikan, kita kembali dikejutkan oleh sebuah peristiwa yang menyayat hati: seorang guru kembali berhadapan dengan hukum karena tuduhan yang belum tentu benar. Nama itu adalah Pak Guru Mansyur—seorang pendidik yang mengabdikan hidupnya untuk mencerdaskan anak bangsa, namun kini harus menanggung beban yang tidak layak ia pikul.

Kisah ini bukan sekadar tentang seorang guru yang dituduh. Ini adalah kisah tentang ketidakadilan yang sering menimpa profesi yang seharusnya paling dihormati. Maka suara publik harus lantang: Pak Presiden, lepaskan Pak Guru Mansyur. Beliau tidak bersalah.

---

Pengabdian yang Tak Layak Dibalas dengan Tuduhan

Mereka yang mengenal Pak Guru Mansyur tahu benar betapa besar dedikasinya. Ia adalah guru yang sabar, penyayang, dan penuh ketulusan. Ia kerap datang lebih awal, pulang lebih larut, hanya untuk memastikan murid-muridnya tidak ketinggalan pelajaran. Banyak murid tumbuh menjadi orang sukses berkat bimbingannya. Ia bukan sekadar mengajar, tetapi mendidik sepenuh hati.

Namun kini, sosok yang seharusnya dihormati justru ditempatkan pada posisi yang menyedihkan: diperlakukan seolah-olah pelaku kejahatan. Tuduhan yang dialamatkan padanya tidak berdasar pada bukti kuat, melainkan pada kesalahpahaman dan emosi sesaat.

Sebagaimana banyak kasus lain, guru kembali menjadi korban kriminalisasi. Padahal dalam dunia pendidikan, situasi tegang atau miskomunikasi bisa saja terjadi, tetapi tidak semua layak dibawa ke ranah hukum. Ketika disiplin dan ketegasan guru dianggap sebagai pelanggaran, maka masa depan pendidikan kita berada dalam ancaman.

---

Kriminalisasi Guru Merusak Fondasi Pendidikan

Fenomena kriminalisasi guru bukanlah hal baru. Sudah banyak guru yang dilaporkan hanya karena menegur, mendisiplinkan, atau membina siswa. Masalah yang seharusnya diselesaikan secara kekeluargaan di lingkungan sekolah justru dilemparkan ke meja polisi. Akibatnya, guru merasa takut bertindak. Mereka menghindari memberikan disiplin karena khawatir salah langkah dan berujung dipenjara.

Jika guru tidak punya perlindungan, siapa yang akan menjaga karakter generasi muda?

Kriminalisasi guru adalah bom waktu bagi pendidikan Indonesia. Guru menjadi pasif, takut mendidik nilai, dan akhirnya hanya mengajar materi tanpa keberanian memberi sikap. Anak-anak pun kehilangan pembinaan moral yang seharusnya mereka dapatkan di sekolah.

Kasus Pak Guru Mansyur adalah salah satu simbol betapa rentannya posisi guru. Ketika seorang pendidik tulus seperti beliau dapat dijadikan tersangka, maka siapa saja bisa mengalami nasib yang sama.

---

Komentar Omjay: “Jangan Biarkan Guru Diperlakukan Tidak Adil”

Dalam situasi ini, banyak tokoh pendidikan ikut bersuara. Salah satunya Omjay (Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd), tokoh guru TIK sekaligus Ketua Komunitas Guru TIK Indonesia (KOGTIK), yang sejak lama memperjuangkan harkat dan martabat guru.

Omjay menyampaikan dengan tegas:

> “Guru tidak boleh diperlakukan seperti kriminal hanya karena menjalankan tugas. Kita harus berhenti menghukum guru sebelum mengetahui fakta yang sebenarnya. Pak Mansyur adalah contoh bagaimana guru menjadi korban kesalahpahaman. Saya berharap Presiden turun tangan dan memastikan keadilan ditegakkan.”

Lebih lanjut, Omjay menambahkan bahwa guru selama ini bekerja dengan hati, bukan hanya dengan tangan dan kepala. Ia menegaskan:

> “Kalau guru terus dibiarkan sendirian menghadapi masalah hukum, ke depan tidak ada lagi yang berani mendidik dengan tegas. Ini bahaya bagi masa depan bangsa. Negara harus hadir melindungi guru-gurunya.”

Suara Omjay menjadi pengingat bahwa masalah ini bukan hanya soal seorang guru, tetapi soal masa depan profesi pendidik.

---

Harapan kepada Presiden: Keadilan Harus Dipulihkan

Presiden Republik Indonesia adalah pemimpin tertinggi bangsa ini. Kami tidak meminta intervensi yang melanggar hukum, tetapi meminta kehadiran negara dalam memastikan bahwa proses hukum terhadap guru tidak dilakukan dengan terburu-buru dan tanpa mempertimbangkan konteks pendidikan.

Kita berharap Presiden:

Menugaskan lembaga terkait meninjau ulang kasus Pak Guru Mansyur secara objektif.

Menekankan perlindungan hukum bagi profesi guru sebagai ujung tombak pendidikan.

Mempercepat regulasi yang mengakhiri kriminalisasi guru.

Menghadirkan kebijakan yang lebih manusiawi bagi pendidik.

Setiap keputusan yang melibatkan guru harus melihat satu hal penting: guru bekerja untuk anak-anak kita. Mereka bukan musuh, mereka adalah pembangun peradaban.

---

Solidaritas Guru dan Masyarakat: Pak Mansyur Tidak Sendiri

Kabar tentang kasus ini membuat banyak guru di seluruh Indonesia bersuara. Mereka prihatin, marah, dan merasa kasus ini adalah ancaman bagi diri mereka. Dalam berbagai forum, grup WhatsApp, dan organisasi profesi, guru-guru menyatakan solidaritas untuk Pak Mansyur.

Mereka berkata:

> “Hari ini Pak Mansyur, besok bisa jadi kita.”

Itulah sebabnya masyarakat pendidikan harus bersatu. Tidak boleh ada guru yang diperjuangkan sendirian. Apalagi ketika tuduhan tidak berdasar.

---

Penutup: Kembalikan Pak Guru ke Ruang Kelas

Pada akhirnya, hanya ada satu permintaan: Lepaskan Pak Guru Mansyur. Beliau tidak bersalah.

Ia harus kembali ke tempat yang semestinya—di kelas, mengajar murid-muridnya, bukan terjebak dalam proses hukum yang tidak proporsional. Ia adalah pendidik, bukan penjahat.

Dan kepada Presiden Republik Indonesia, kami titipkan suara para guru:

“Pak Presiden, selamatkan Pak Mansyur. Selamatkan guru-guru Indonesia dari kriminalisasi.”

Karena masa depan pendidikan Indonesia tidak boleh dibangun di atas penderitaan para pendidiknya.

Salqm blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger indonesia
Blog https://wijayalabs.com

Jumat, 05 Desember 2025

optimalisasi google dan ai untuk guru

Info Wijaya Kusumah 

Optimalisasi Mesin Pencari dan Kecerdasan Artifisial: Kolaborasi Cerdas untuk Era Digital
Oleh: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd – Guru Blogger Indonesia & Ketua Komunitas Guru TIK dan KKA Indonesia (KOGTIK)

---

Di era digital yang terus berkembang, dua kekuatan besar kini menjadi penentu arus informasi dan visibilitas konten: Search Engine Optimization (SEO) dan Kecerdasan Artifisial (AI). Keduanya tidak hanya berperan dalam mengubah cara manusia mencari informasi, tetapi juga mengubah cara guru mengajar, cara siswa belajar, serta cara konten diproduksi dan dikonsumsi oleh publik. Di Indonesia, di mana literasi digital masih perlu terus diperkuat, pemahaman mendalam tentang SEO dan AI menjadi kebutuhan yang tidak bisa lagi ditunda.

Artikel ini mengupas secara mendalam sinergi SEO dan AI dalam membangun ekosistem digital yang lebih kuat, sekaligus menghadirkan komentar Omjay mengenai pentingnya sentuhan hati dalam era teknologi cerdas.

---

1. Mengapa SEO Tetap Relevan di Tengah Arus AI?

Walaupun AI kini menguasai banyak lini kehidupan digital, SEO tetap menjadi pondasi yang menentukan apakah sebuah konten layak tampil di halaman pertama mesin pencari. Mesin pencari seperti Google menggunakan algoritma kompleks untuk menilai relevansi suatu artikel.

SEO meliputi:

Penggunaan kata kunci yang tepat

Struktur tulisan yang teratur

Metadata yang benar

Kecepatan website

Kualitas isi

Pengalaman pengguna

Konten tanpa SEO ibarat rumah tanpa alamat—bagus, tetapi sulit ditemukan.

---

2. AI: Asisten Digital yang Mengubah Cara Kita Berkarya

Kemunculan AI memberikan lompatan besar dalam produktivitas manusia. Dalam penulisan, AI menjadi alat untuk:

Merancang kerangka tulisan

Mengembangkan ide

Mengoreksi tata bahasa

Menganalisis tren pencarian

Menyempurnakan struktur kalimat

Namun, AI hanya bekerja berdasarkan data masa lalu. Ia tidak memiliki intuisi, empati, dan nilai moral yang dimiliki manusia. Karena itulah, karya terbaik tetap lahir dari kombinasi kecerdasan teknologi dan kecerdasan emosional manusia.

---

3. Sinergi SEO dan AI: Kolaborasi yang Tak Terpisahkan

AI membantu mempercepat pembuatan konten, sementara SEO memastikan konten tersebut sampai kepada audiens yang tepat. Dengan AI, penulis dapat:

Menentukan kata kunci potensial

Menghasilkan draft awal lebih cepat

Mengoptimalkan paragraf

Mengevaluasi kualitas konten

Namun Google kini menggunakan AI juga untuk menilai konten berkualitas. Artikel yang dibuat sepenuhnya oleh AI tanpa sentuhan manusia sering kali tidak bertahan lama di peringkat atas.

Artinya, peran penulis tidak tergantikan—justru semakin penting.

---

4. Tantangan Etika: Jangan Biarkan AI Menghilangkan Identitas

Meskipun AI mempermudah pekerjaan, penggunaan yang tidak bijak bisa menghadirkan risiko:

Plagiarisme terselubung

Konten dangkal tanpa pengalaman nyata

Ketergantungan berlebihan pada mesin

Menurunnya kualitas literasi

Guru, siswa, dan masyarakat digital harus memahami bahwa AI adalah alat bantu, bukan pengganti kreativitas. Tulisan yang baik lahir dari pengalaman, bukan dari kumpulan data semata.

---

5. Peluang Besar AI dan SEO untuk Guru Indonesia

Dunia pendidikan adalah salah satu sektor yang paling diuntungkan dengan kemajuan AI dan SEO. Beberapa manfaatnya:

a. Guru bisa membuat konten pembelajaran yang mudah ditemukan

Dengan SEO, materi ajar yang dipublikasikan guru dapat dijangkau lebih banyak orang.

b. Meningkatkan kemampuan literasi digital siswa

Membuat blog, kanal edukasi, atau konten digital kini menjadi bagian penting dari pembelajaran zaman sekarang.

c. Mendukung berbagai administrasi guru

Mulai dari RPP, modul, evaluasi, hingga analisis nilai—AI membuatnya lebih mudah.

d. Meningkatkan branding guru

Konten yang optimal akan membuka peluang kerjasama, jejaring profesional, dan kesempatan berbagi ke level nasional.

---

6. Komentar Omjay: “Teknologi Membantu, Hati yang Memutuskan”

Sebagai Ketua Komunitas Guru TIK dan KKA Indonesia, Omjay memberikan pandangan:

> “AI boleh membantu, tetapi jangan biarkan tulisan kehilangan hati. Mesin tidak punya pengalaman menjadi guru. Mesin tidak tahu bagaimana rasanya berada di kelas. Karena itu, tulislah dengan hati, lalu minta AI membantu merapikannya.”

Ia juga menegaskan pentingnya SEO:

> “Guru harus belajar SEO. Tulisan yang baik jangan sampai hilang di mesin pencari. Kita perlu strategi agar karya-karya guru mudah ditemukan dan memberikan manfaat untuk banyak orang.”

Dan yang paling penting, Omjay memberi pesan untuk para guru:

> “Jangan takut AI. Asal kita gunakan dengan bijak, AI justru membantu guru menjadi lebih kreatif dan produktif. Jangan sampai murid lebih dulu menguasai teknologi dibanding gurunya.”

---

7. KOGTIK Siap Membuat Pelatihan Guru: SEO, AI, dan Literasi Digital

Sebagai organisasi yang fokus pada TIK dan kecerdasan artifisial di dunia pendidikan, KOGTIK (Komunitas Guru TIK dan KKA Indonesia) siap menyelenggarakan pelatihan untuk guru di seluruh Indonesia.

Program pelatihan tersebut mencakup:

Pelatihan SEO dasar dan lanjutan

Pelatihan pemanfaatan AI untuk membuat RPP, modul, dan media ajar

Pelatihan menulis blog edukasi

Pelatihan keamanan digital dan etika AI

Pendampingan membuat konten kreatif

Workshop pemanfaatan AI di kelas

KOGTIK berkomitmen mendampingi para guru agar mampu menghadapi tantangan digital sekaligus memanfaatkan peluangnya.

---

8. Penutup: Masa Depan Milik Mereka yang Siap Berkolaborasi dengan AI

SEO membantu konten ditemukan, AI membantu konten dibuat lebih cepat, tetapi manusialah yang menentukan nilai dan makna sebuah karya. Dengan pemahaman literasi digital yang baik, guru dan masyarakat Indonesia bisa mengambil manfaat besar dari teknologi.

Sebagaimana pesan Omjay:
“Teknologi boleh canggih, tetapi hati tetap pemimpin yang sejati.”

Dengan keterampilan digital, kecerdasan emosional, dan semangat berbagi, kita dapat menjadikan era AI sebagai peluang emas untuk pendidikan Indonesia.

Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com
Website https://kogtik.com

Kamis, 04 Desember 2025

Bagaimana Cara Agar Orang yang Benci PGRI menjadi Suka PGRI?

Kisah Wijaya Kusumah - omjay 

Bagaimana Caranya Orang yang Benci PGRI Menjadi Menyukai PGRI?

Sebuah Renungan di HUT PGRI ke-80 untuk Guru-Guru Indonesia

Tidak semua orang langsung jatuh cinta pada PGRI. Bahkan, ada sebagian guru yang secara terang-terangan menyampaikan ketidaksukaannya. Ada yang merasa PGRI tidak hadir ketika dibutuhkan, ada yang kecewa karena pengalaman pribadi, atau sekadar mendengar kabar miring dari luar tanpa benar-benar mengetahui apa itu PGRI dan apa saja yang sudah dilakukan organisasi ini selama 80 tahun berdiri.

Namun, apakah mungkin seseorang yang awalnya membenci PGRI berubah menjadi menyukai, bahkan bangga menjadi bagiannya?

Jawabannya: sangat mungkin.
Dan hal itu telah dialami oleh banyak guru—termasuk Omjay sendiri, seorang Guru Blogger Indonesia yang kini dikenal sebagai sosok inspiratif dalam dunia pendidikan digital.

---

1. Ketidaksukaan pada PGRI Sering Berawal dari Ketidaktahuan

Kita hidup di zaman serba cepat, serba viral, dan serba instan. Banyak orang mengambil kesimpulan tanpa riset, tanpa membaca, bahkan tanpa berdialog. Banyak guru muda yang baru masuk ke dunia profesi mendapatkan stigma atau komentar negatif tentang PGRI dari rekan-rekannya.

Dari sinilah benih kebencian itu tumbuh.

Padahal, seseorang yang membenci organisasi apa pun biasanya hanya mengetahui sebagian kecil cerita—bukan keseluruhan kenyataan.

Sering kali, orang-orang seperti ini belum pernah:

membaca AD/ART PGRI,

mengikuti pelatihan atau pertemuan resmi PGRI,

mengenal tokoh-tokoh luar biasa yang bekerja dengan ikhlas untuk memperjuangkan hak guru,

atau melihat bagaimana PGRI bekerja tanpa publikasi demi menyelesaikan kasus guru yang terancam kriminalisasi.

Benci karena tidak tahu itu wajar. Yang tidak wajar adalah membenci tanpa mau mencari tahu.

---

2. Mengenal Lebih Dekat PGRI Mengubah Banyak Hal

Ada banyak guru berubah pandangan setelah mereka benar-benar mengenal PGRI secara langsung. Mereka melihat bahwa PGRI bukan sekadar organisasi yang hadir dalam upacara Hari Guru Nasional. PGRI adalah organisasi profesi yang solid dengan jaringan besar dari pusat sampai ke ranting.

Apa yang mereka temukan ketika mengenal lebih dekat?

PGRI memperjuangkan Undang-Undang yang melindungi guru.
Banyak guru tidak tahu bahwa perjuangan PGRI-lah yang membuat profesi guru memiliki legal standing yang kuat di mata hukum.

PGRI hadir dalam kasus-kasus kriminalisasi guru.
Banyak kasus guru yang dilaporkan karena masalah kecil, dan PGRI hadir memberi advokasi.

PGRI memberikan pelatihan, peningkatan kompetensi, hingga beasiswa studi lanjut.
Banyak guru yang sekarang sukses menjadi kepala sekolah, pengawas, bahkan dosen berawal dari pelatihan PGRI.

PGRI adalah rumah besar.
Dari Sabang sampai Merauke, guru punya tempat pulang, tempat berbagi, dan tempat diperjuangkan.

Ketika seseorang mulai melihat ini, hatinya perlahan berubah.

---

3. Mendengarkan Cerita Guru adalah Cara Terbaik Menghilangkan Kebencian

Banyak guru yang awalnya tidak peduli, bahkan sinis terhadap PGRI, berubah ketika mendengar sendiri kisah-kisah nyata:

bagaimana PGRI menjemput guru yang dipolisikan,

bagaimana PGRI membantu guru honorer memperjuangkan kesejahteraan,

bagaimana PGRI memberikan pelatihan gratis atau murah,

bagaimana PGRI menjadi wadah kekeluargaan yang tidak dimiliki organisasi lain.

Setiap guru yang mendengar langsung kisah dari sesama guru, biasanya hatinya lebih cepat luluh. Karena guru selalu percaya pada pengalaman nyata, bukan opini kosong.

---

4. Mengikuti Kegiatan PGRI: Dari Curiga Menjadi Bangga

Ada pepatah Jawa: "Witing tresno jalaran soko kulino."
(Cinta tumbuh karena terbiasa.)

Banyak guru yang awalnya ikut acara PGRI dengan ogah-ogahan. Namun setelah merasakan atmosfernya, mendengar materi pelatihan, dan bertemu teman-teman sejawat dari berbagai daerah, mereka mulai sadar:

“Ternyata PGRI itu menyenangkan, hangat, dan bermanfaat.”

Di sinilah perubahan terjadi.
Tidak sedikit guru yang akhirnya berkata:

"Andai saya tahu dari dulu bahwa PGRI seperti ini, saya pasti bergabung lebih awal."

---

5. Membaca Informasi PGRI dari Sumber Resmi Jauh Lebih Menenangkan

Di era digital, berita hoaks tentang organisasi sangat mudah beredar. PGRI pun pernah dan sering menjadi korban misinformasi. Banyak orang membenci PGRI karena membaca postingan dari orang yang bahkan bukan anggota.

Padahal, jika mau membaca dari sumber resmi—website PGRI, media arus utama, dokumen kongres—guru akan menemukan fakta yang jauh berbeda.

Kebencian akan cepat hilang ketika kebenaran ditemukan.

---

6. Bicara Langsung dengan Pengurus PGRI Menghapus Jarak dan Prasangka

Pengurus PGRI, mulai dari tingkat ranting sampai pengurus besar, adalah guru-guru yang bekerja tanpa gaji tambahan, tanpa fasilitas khusus, dan tanpa imbalan apa pun kecuali rasa pengabdian.

Banyak orang yang awalnya sinis langsung luluh ketika bertemu mereka dan mengetahui cerita perjuangan di balik layar: kerja larut malam, advokasi, mediasi, menyusun regulasi, hingga turun langsung ke lapangan.

Di sini, orang menyadari bahwa PGRI bukanlah organisasi yang bekerja di balik meja.
PGRI adalah organisasi yang bekerja di lapangan, bersama guru, bersama rakyat, bersama pendidikan Indonesia.

---

7. Menghargai Peran Guru adalah Gerbang Menyukai PGRI

Ketika seseorang memahami betapa berat pekerjaan guru:

mengajar dengan gaji minim,

mendidik generasi bangsa dengan penuh kesabaran,

menghadapi orang tua yang menuntut tanpa memahami,

menyelesaikan tugas administratif yang menumpuk,

dan tetap dituntut tersenyum setiap hari,

maka ia akan lebih mudah memahami pentingnya organisasi profesi seperti PGRI.

PGRI hadir untuk membuat guru tidak sendirian.

---

Komentar Mendalam dari Omjay: Dulu Membenci PGRI, Kini Justru Menyayanginya

> “Saya dulu pembenci PGRI. Serius. Saya merasa PGRI tidak peduli pada guru seperti saya.”
— Omjay, Guru Blogger Indonesia

Omjay bercerita bahwa dulu ia sering mengkritik PGRI. Ia melihat PGRI dari jauh, bukan dari dekat. Ia melihat dari kabar-kabar negatif, bukan dari kenyataan lapangan.

Namun pandangannya berubah total ketika ia mengikuti kegiatan PGRI untuk pertama kalinya. Ia bertemu guru-guru hebat, merasakan kekeluargaan yang kuat, dan menemukan bahwa PGRI sebenarnya telah bekerja keras membela guru.

> “Setelah saya masuk PGRI, saya baru sadar bahwa PGRI tidak pernah berhenti bekerja untuk guru. Saya yang dulu membenci, sekarang justru bangga menjadi bagian dari keluarga besar PGRI.”

Ia menambahkan:

> “Jika saya yang dulu anti-PGRI saja bisa berubah, saya yakin banyak guru lain pun bisa. Asal diberi kesempatan untuk mengenal PGRI dari dekat.”

Kisah nyata seperti Omjay adalah bukti bahwa perubahan itu mungkin.

---

Kesimpulan: PGRI Tidak Perlu Disukai, Tapi Perlu Dikenal

Tidak ada organisasi yang sempurna. Tidak PGRI, tidak pula organisasi profesi lainnya. Tapi satu hal pasti:

Tidak ada organisasi lain di Indonesia yang memperjuangkan guru selama 80 tahun tanpa henti—selain PGRI.

Jika ada orang yang membenci PGRI, jangan buru-buru menghakimi.
Mungkin mereka hanya belum mengenal PGRI.
Mungkin mereka butuh cerita guru lain.
Mungkin mereka perlu mengikuti kegiatan.
Mungkin mereka perlu bertemu pengurus.
Atau mungkin mereka hanya perlu membuka hati dan memberi kesempatan.

Karena sering kali, sesuatu yang kita benci hari ini…
adalah sesuatu yang akan kita cintai ketika kita mengenalnya lebih dalam.

---

Salam blogger persahabatan,
Omjay – Guru Blogger Indonesia
Blog: https://wijayalabs.com

Selasa, 02 Desember 2025

TPG Omjay Sudah Cair, Bagaimana dengan Kawan-Kawan?

TPG Omjay Sudah Cair, Bagaimana dengan Kawan-Kawan?

Inilah 5 Alasan Mengapa TPG Anda Mungkin Belum Cair**

Alhamdulillah, pagi ini Omjay membuka aplikasi mobile banking dan mendapati kabar baik: Tunjangan Profesi Guru (TPG) sudah cair dan masuk ke rekening BNI. Dana tersebut ditransfer langsung oleh Kemdikdasmen, tepat waktu dan tepat jumlah.
Rasanya lega, bersyukur, dan tentu menjadi penyemangat untuk terus mengabdi sebagai guru.

Namun, di balik rasa syukur itu, Omjay langsung teringat banyak kawan guru yang mengirim pesan dan bertanya:

  • “Omjay, TPG saya kok belum cair?”

  • “Kok teman saya sudah cair, saya belum?”

  • “Apa yang harus saya lakukan ya Om?”

Pertanyaan ini muncul dari berbagai daerah, mulai dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Indonesia Timur. Setiap triwulan, masalahnya hampir sama: sebagian guru TPG-nya cair, sebagian lagi tertunda.

Agar tidak terjadi kebingungan, Omjay menuliskan artikel ini agar kawan-kawan guru memahami penyebab tertundanya TPG serta langkah-langkah yang dapat dilakukan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi guru di seluruh Indonesia.


Apa Itu TPG dan Mengapa Penting?

TPG (Tunjangan Profesi Guru) adalah bentuk penghargaan negara kepada guru yang telah memenuhi standar profesional, yaitu:

  1. Memiliki sertifikat pendidik

  2. Memenuhi beban kerja minimal 24 jam tatap muka atau setara

  3. Data valid di Dapodik dan Info GTK

  4. SKTP (SK Tunjangan Profesi) telah terbit

TPG bukan bonus, bukan hadiah, tetapi hak bagi guru profesional. Namun, karena prosesnya menggunakan sistem administrasi digital yang ketat, sedikit saja ada data yang tidak sesuai, pencairan bisa tertunda.


Mengapa Ada Guru yang TPG-nya Belum Cair?

Berikut lima penyebab paling sering berdasarkan pengalaman Omjay dan diskusi dengan banyak guru di seluruh Indonesia.


1. SKTP Belum Terbit

Ini adalah penyebab nomor satu.

Jika SKTP belum keluar, tunjangan tidak bisa dicairkan.
SKTP bisa belum terbit jika:

  • Jam mengajar tidak sesuai

  • Mata pelajaran tidak linear dengan sertifikasi

  • Data belum valid atau belum disinkronkan

Banyak guru merasa sudah memenuhi syarat, tetapi ternyata SKTP belum terbit karena masalah teknis di Dapodik atau Info GTK.


2. Jam Mengajar Tidak Mencapai 24 Jam Tatap Muka

Beberapa sekolah memiliki jumlah rombongan belajar sedikit, sehingga guru tidak mendapatkan jam mengajar yang cukup.

Padahal, persyaratan pencairan TPG mengharuskan guru memiliki 24 jam tatap muka atau setara. Bila kurang, SKTP otomatis tidak bisa diproses.

Solusi yang bisa dilakukan:

  • Mengajar di sekolah lain (dengan surat tugas resmi)

  • Mengambil tugas tambahan

  • Team teaching

  • Mengajar ekskul yang diakui jamnya

Semua harus tercatat di dalam sistem.


3. Data Tidak Valid di Info GTK

Ini penyebab yang sering mengejutkan guru.

Nama yang salah satu huruf, NUPTK yang keliru satu angka, atau tanggal lahir yang tidak sama bisa membuat sistem menolak validasi.

Omjay sendiri pernah mengalami hal ini.

Nama “Wijaya Kusumah” tertulis tanpa huruf “h” menjadi “Kusuma”.
Hanya beda sedikit, tetapi SKTP tidak keluar dan TPG tertunda.


4. Mutasi, Pindah Sekolah, atau Perubahan Status

Guru yang baru pindah sekolah, baru naik pangkat, atau baru lulus PPG biasanya harus menunggu data-update tersinkron terlebih dahulu.

Perubahan status membutuhkan verifikasi ulang oleh:

  • Operator sekolah

  • Operator dinas

  • Sistem pusat

Proses berjenjang ini bisa memakan waktu, sehingga berdampak pada keterlambatan TPG.


5. Sinkronisasi Dapodik Belum Dilakukan atau Terlambat

Walaupun data guru sudah benar, jika belum disinkron secara rutin, sistem pusat tidak bisa membaca pembaruan.

Operator sekolah memiliki peran penting di sini.
Karena itu, guru dan operator harus bekerja sama agar data selalu terbarui.


Apa yang Harus Dilakukan Jika TPG Anda Belum Cair?

Berikut langkah praktis yang bisa diambil:

Cek Info GTK Secara Berkala

Pastikan statusnya VALID, bukan belum valid atau data tidak ditemukan.

Pastikan Jam Mengajar 24 Jam Terekam di Dapodik

Jangan hanya mengajar, tetapi pastikan jamnya tercatat.

Konsultasikan dengan Operator Sekolah

Operator adalah kunci kelancaran administrasi guru.

Pantau SKTP Setiap Triwulan

Jika belum muncul, segera cari penyebabnya.

Jangan Diam—Kawal Data Anda Sendiri

Guru yang aktif mengawal data cenderung lebih cepat menyelesaikan masalah.


Penutup: TPG Adalah Penghargaan, Namun Administrasinya Harus Tepat

Omjay bersyukur TPG cair tepat waktu. Tetapi kebahagiaan ini belum lengkap jika masih banyak sahabat guru yang menunggu tanpa kepastian.

Semoga tulisan ini membantu kawan-kawan memahami:

  • Mengapa TPG bisa tertunda

  • Apa yang harus dicek

  • Langkah untuk memperbaiki masalah

Tetap semangat, tetap profesional, dan jangan lupa terus memperbarui data.
Semoga rezeki kita semua lancar dan berkah. Aamiin.

Salam hormat,
Omjay – Guru Blogger Indonesia
www.omjay.web.id

https://wijayalabs.com 



politik pgri adalah politik negara dan bukan politik partai

Politik PGRI Adalah Politik Negara, Bukan Politik Partai

Isu politik dalam organisasi profesi guru selalu menjadi topik hangat. Ada yang menganggap PGRI harus jauh dari politik, ada yang berpendapat PGRI justru harus bersuara lantang ketika menyangkut kebijakan pendidikan. Namun satu prinsip yang sejak 1945 sampai hari ini tetap dijaga adalah:

Politik PGRI adalah politik PGRI.

Dan politik PGRI adalah politik negara.

Artinya, PGRI bukan partai politik, bukan corong kepentingan kelompok tertentu, dan bukan alat untuk memenangkan kandidat tertentu. PGRI berdiri sebagai kekuatan moral dan profesi yang berjuang demi masa depan pendidikan Indonesia.

PGRI Terbentuk dari Semangat Kebangsaan

PGRI berdiri pada 25 November 1945, hanya beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan. Para guru di seluruh Nusantara menyatukan diri bukan karena dorongan partai, tetapi karena panggilan negara. Saat itu, bangsa baru merdeka membutuhkan kekuatan pendidikan untuk membangun peradabannya.

Sejak awal, PGRI menetapkan tiga prinsip utama:

Unitaristik: menyatukan semua guru tanpa membedakan latar belakang.

Non-partisan: tidak memihak atau berafiliasi dengan partai politik mana pun.

Kolektif-kolegial: setiap keputusan diambil secara bersama.

Prinsip inilah yang membuat PGRI tetap bertahan sebagai organisasi profesi terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia.

Politik PGRI: Politik Kebijakan, Bukan Politik Kekuasaan

Bukan satu atau dua kali PGRI harus memberikan pandangan kritis terhadap kebijakan pemerintah, terutama ketika menyangkut nasib guru dan kualitas pendidikan. Inilah politik PGRI:

Politik menuntut keadilan bagi guru honorer.

Politik memperjuangkan kesejahteraan dan perlindungan profesi.

Politik mengajukan kritik terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada mutu pendidikan.

Politik membela guru ketika menghadapi persoalan hukum dalam menjalankan tugasnya.

PGRI tidak berpolitik untuk merebut kekuasaan, tetapi untuk memastikan pendidikan bangsa berjalan dengan benar.

Inilah politik moral.
Inilah politik kebijakan.
Inilah politik PGRI.

Komentar Ayah Didi: “Politik PGRI adalah Politik Negara, Seperti TNI”

Seorang tokoh PGRI yang dihormati, Ayah Didi, pernah menyampaikan komentar yang sangat dalam dan relevan:

> “Politik PGRI adalah politik negara, seperti TNI.”

Maknanya sangat jelas:

PGRI setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan kepada partai.

PGRI mengabdi pada kepentingan pendidikan nasional, bukan pada urusan electoral.

PGRI berdiri di atas semua golongan, sebagaimana TNI menjaga kedaulatan tanpa memihak partai politik mana pun.

Jika TNI menjaga republik melalui pertahanan, guru menjaga republik melalui pendidikan. Keduanya sama-sama benteng negara.

Komentar Ayah Didi ini menjadi pengingat penting agar PGRI tidak terseret arus politik praktis yang bisa merusak persatuan organisasi.

Netralitas PGRI: Aktif, Bukan Pasif

Sering muncul anggapan bahwa PGRI harus diam demi menjaga netralitas. Padahal netralitas tidak berarti pasif. PGRI tetap harus bersuara ketika:

Guru honorer tidak mendapatkan kepastian kerja.

Kebijakan kurikulum berubah tanpa kajian matang.

Pendidikan dijadikan komoditas politik.

Guru diposisikan sebagai alat kampanye.

PGRI netral dari partai politik, tetapi tidak netral dari masalah pendidikan.
PGRI tidak boleh diam ketika guru dizalimi atau profesi dilemahkan.

Netralitas PGRI adalah netralitas bermartabat: tidak memihak partai, tetapi memihak pendidikan.

Menjaga Rumah Besar Bernama PGRI

PGRI adalah rumah besar bagi jutaan guru Indonesia. Di rumah besar inilah guru menemukan perjuangan bersama, kekuatan bersama, serta perlindungan ketika menghadapi masalah.

Namun rumah besar ini bisa rapuh jika perbedaan pilihan politik individu dibawa masuk ke dalam organisasi. Karena itu, PGRI harus teguh menjaga prinsip unitaristik. Perbedaan di luar boleh, tetapi di dalam PGRI harus satu suara: memperjuangkan pendidikan.

Jika rumah ini kokoh, guru terlindungi.
Jika rumah ini retak, guru kehilangan sandaran.

Guru: Agen Perubahan, Bukan Alat Politik

Guru adalah figur teladan di masyarakat. Karena itu, posisi guru sering dijadikan incaran politisi. Ini berbahaya jika tidak dikawal dengan baik.

Guru adalah pendidik, bukan penggerak massa.
Guru adalah pencerdas bangsa, bukan komoditas elektoral.
Guru adalah pemimpin peradaban, bukan objek politik praktis.

PGRI lah yang harus memastikan martabat guru tetap terjaga.

Penutup: Saatnya Menjaga Khitah PGRI

Dalam suasana politik nasional yang makin kompetitif, PGRI harus kembali meneguhkan prinsip dasarnya: mengabdi pada profesi guru dan negara.

Maka tepatlah pesan ini:

“Politik PGRI adalah Politik PGRI.

Politik PGRI adalah Politik Negara.
Dan politik negara adalah pengabdian kepada Indonesia.”

Selama prinsip ini dipegang teguh, PGRI akan tetap menjadi kekuatan moral bangsa dan benteng pendidikan Indonesia.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Senin, 01 Desember 2025

Mengapa Presiden Prabowo Tak Hadir di HUT PGRI ke-80?

Mengapa Presiden Prabowo Subianto Tak Hadir di HUT PGRI ke-80?

Sebuah Opini dan Refleksi dari Seorang Guru
Oleh: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay)

Perayaan Hari Ulang Tahun ke-80 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tahun ini meninggalkan jejak batin yang panjang bagi para guru. 

Ribuan guru datang dari seluruh provinsi, penuh harapan bahwa Presiden Prabowo Subianto akan hadir dan berdiri langsung di hadapan mereka, sebagaimana yang terjadi sehari sebelumnya dalam acara Hari Guru Nasional Kemdikdasmen di Senayan.

Kehadiran presiden di Senayan pada acara yang digelar Kemdikdasmen itu viral di berbagai media sosial, menampilkan riuh tepuk tangan, sorak penuh semangat, dan momen ketika ribuan guru menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama presiden. 

Banyak guru saat itu merasa bangga karena presiden hadir langsung, memberikan pesan kuat tentang keberpihakan pada dunia pendidikan.

Namun keesokan harinya, ketika puncak HUT PGRI ke-80 digelar di Kelapa Gading, presiden tidak datang. Beliau mengutus Wakil Mendikdasmen sebagai perwakilan resmi.

Kekecewaan, rasa heran, dan pertanyaan pun mengalir deras dari para guru yang hadir.

Sehari Sebelumnya Presiden Hadir di Senayan — dan Viral

Suasana di Senayan pada Hari Guru Nasional begitu meriah. Salah satu guru yang hadir adalah Dr. Paidi dari pengurus PGRI Bengkulu, seorang tokoh pendidikan yang sudah lama bergerak dalam penguatan kompetensi guru. Beliau datang jauh-jauh ke Jakarta untuk menyaksikan langsung euforia Hari Guru Nasional bersama presiden.

Ketika saya omjay berbicara langsung dengannya, Dr. Paidi mengatakan:

“Saya benar-benar terharu melihat Presiden Prabowo hadir di Senayan. Ramai sekali, penuh energi. Beliau memberi pesan yang kuat tentang pentingnya guru. Video kehadiran beliau viral di mana-mana, dan itu membuat kami para guru daerah merasa dihargai.”

Beliau menambahkan:

“Karena itu, saya yakin presiden akan hadir juga besok di HUT PGRI. Makanya saya tetap tinggal di Jakarta dan hadir lagi di Kelapa Gading. Saya ingin melihat sejarah. Tapi ternyata presiden berhalangan. Jujur, saya kecewa. Tapi saya memahami jika beliau harus mengutamakan rakyat yang sedang tertimpa bencana.”

Komentar Dr. Paidi dari Bengkulu mencerminkan perasaan banyak guru: bangga karena presiden hadir di Senayan, tetapi sedih ketika presiden tidak hadir pada momentum besar organisasi profesi guru yang sudah berusia delapan dekade.

Alasan Resmi Ketidakhadiran: Meninjau Korban Bencana

Pemerintah menjelaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto pada hari perayaan HUT PGRI sedang berada di Sumatera dan Aceh untuk meninjau kondisi korban banjir besar. Situasi darurat ini membutuhkan kehadiran langsung presiden untuk memastikan bantuan tersalurkan dengan cepat.

Sebagai warga negara, kita harus mengakui bahwa keputusan ini berlandaskan kemanusiaan. Namun secara emosional, guru tetap merasa kehilangan momen simbolik yang sangat berarti.

Apalagi bagi guru yang datang dari jauh seperti Dr. Paidi.

HUT PGRI Ke-80: Momen Besar, Harapan Besar

Usia 80 tahun organisasi PGRI bukanlah usia biasa. Ini adalah usia yang sarat perjuangan, sejarah, dan dedikasi. Maka sangat wajar bila banyak guru anggota PGRI berharap presiden hadir secara langsung dan sebagai bentuk penghargaan moral dan simbolik.

Bagi Dr. Paidi, kehadiran presiden akan menjadi momen yang ia ceritakan kepada guru-guru di Bengkulu. Ia berkata kepada saya:

“Saya datang bukan hanya membawa nama diri saya, tetapi membawa harapan guru-guru di Bengkulu. Kami ingin presiden berdiri di podium PGRI, seperti ketika beliau berdiri di Senayan.”

Ucapannya menggambarkan bagaimana guru-guru dari daerah sangat ingin merasakan kehadiran pemimpin negara dalam momentum besar bagi profesinya.

Diwakili oleh Wakil Mendikdasmen: Sah Secara Protokoler, Kurang di Hati Guru

Wakil Mendikdasmen hadir membawa pesan resmi presiden. Secara protokoler, kehadiran tersebut sah. Namun bagi banyak guru, terutama yang sudah menempuh perjalanan jauh, delegasi tersebut belum cukup untuk memenuhi harapan besar mereka.

Salah satu guru dari Jawa Timur yang duduk di samping Dr. Paidi bahkan berkata:

> “Kalau presiden bisa hadir di Senayan yang isinya banyak siswa dan guru, masa tidak datang ke ulang tahun PGRI yang ke-80?”

Ini bukan soal politik. Ini soal penghargaan emosional dan simbolik.

Komentar Omjay untuk Para Guru

Dalam acara tersebut, saya menyampaikan pandangan saya kepada rekan-rekan guru:

“Kita boleh kecewa, tetapi jangan sampai kekecewaan itu menghapus semangat kita. PGRI telah bertahan 80 tahun bukan karena kehadiran presiden, tetapi karena kekuatan guru-guru seluruh Indonesia.”

Saya juga menyampaikan kepada Dr. Paidi:

“Kehadiranmu dua hari berturut-turut adalah simbol bahwa guru Indonesia tidak pernah setengah hati. Kita hadir dengan cinta, bukan sekadar acara. Dan cinta ini tidak boleh padam meskipun presiden tidak hadir.”

Beliau hanya tersenyum dan menepuk bahu saya.
Itu senyum guru daerah yang tegar.

Dua Kepentingan yang Saling Berhadapan: Kemanusiaan dan Simbol Pendidikan

Keputusan presiden menghadiri Hari Guru Nasional di Senayan lalu tidak hadir di HUT PGRI keesokan harinya membuat kita melihat dua prioritas yang bertemu:

1. Prioritas kemanusiaan → meninjau korban bencana.

2. Prioritas simbolik → hadir di perayaan besar organisasi guru.

Dua-duanya penting.
Dua-duanya benar.
Namun dalam praktik pemerintahan, prioritas kemanusiaan harus didahulukan.

Tetapi kita juga harus jujur bahwa luka emosional guru adalah sesuatu yang harus didengarkan pemerintah ke depannya.

Pelajaran Penting untuk Ke Depan

1. Komunikasi harus lebih transparan dan sensitif

PGRI dan pemerintah harus duduk bersama memastikan tidak ada kesalahpahaman.

2. Guru perlu mendapatkan penghargaan simbolik yang lebih sering

Tidak hanya pada acara kementerian, tetapi juga acara organisasi profesi.

3. Pemerintah perlu mengutamakan pendekatan emosional kepada guru

Karena guru bekerja dari hati, bukan sekadar laporan kinerja.

Penutup: Kekuatan Guru Ada Pada Keikhlasan

HUT PGRI ke-80 tetap berlangsung penuh semangat. Para guru tetap bernyanyi, menari, dan bersorak. Dr. Paidi tetap duduk di barisan tengah, meski rasa kecewa tak dapat disembunyikan. Tetapi beliau tetap hadir dengan sepenuh hati.

Itulah guru Indonesia. Selalu siap bekerja untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kita mungkin tidak selalu mendapat perhatian penuh dari negara, tetapi kita tidak pernah berhenti mengabdi untuk negara. Kita berdiri bukan karena siapa yang datang, tetapi karena siapa kita sesungguhnya:

Pengabdi tanpa pamrih.
Penjaga masa depan bangsa.

Dan bagi saya pribadi, para guru seperti Dr. Paidi adalah bukti bahwa:

PGRI kuat karena gurunya kuat.
Indonesia hebat karena gurunya hebat.

Hidup guru
Hidup PGRI 
Solidaritas yes!
Siapa kita? Indonesia

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com
Foto Wijaya Kusumah dan pak Dr. PAIDI BENGKULU setelah usai acara HUT PGRI di Britama Arena Kelapa Gading Jakarta Utara

Minggu, 30 November 2025

pgri dan jati diri guru serta kisah kisah yang menyejukkan hati

PGRI, JATI DIRI GURU, DAN CERITA-CERITA YANG MENGHIBURKAN HATI
Oleh: Wijaya Kusumah – Omjay

Percakapan pagi di WhatsApp Group PGRI itu selalu menyimpan kejutan. Ada tawa, ada kritik, ada keprihatinan, tapi semuanya berputar pada satu titik: kecintaan pada organisasi guru tertua dan terbesar di republik ini. Hari itu, obrolan terasa lebih panas dari biasanya. Ada yang mengingatkan sejarah Hari Guru Nasional, ada yang mengomentari sikap pemerintah, ada yang menyentil kebijakan organisasi lain, dan ada pula yang memohon maaf bila tulisan atau ucapan menyinggung pihak tertentu. Namun, di balik semua riuh itu, saya justru merasakan satu hal yang menghibur—bahwa PGRI masih punya ruh, masih punya nyawa, dan masih punya keluarga besar yang tak pernah lelah menjaga marwahnya.

Dari pesan Pak Defrion yang bilang, “Berikan lagi infonya sama pemerintah tentang sejarah Hari Guru Nasional itu Ayah. Mana tahu mereka sudah mulai pikun,” saya tersenyum sendiri. Bukan karena pesannya lucu, tetapi karena pesan itu menegaskan satu hal: guru itu memang penjaga sejarah, penjaga tradisi, sekaligus penjaga akal sehat bangsa. Ketika negara lupa, guru yang mengingatkan. Ketika kebijakan melenceng, guru yang menegur. Dan ketika ada yang mencoba mengaburkan sejarah HGN, guru pula yang berdiri paling depan untuk meluruskannya.

Lalu, Pak Prameswara menimpali dengan nada yang lebih serius. Ia meraba kemungkinan bahwa ada “kesengajaan” dalam mencampuradukkan HUT PGRI dengan HGN. Bahkan beberapa kebijakan baru dinilai mulai menggeser peran organisasi guru terbesar ini. Diskusi makin hangat saat Pak Didi Suprijadi menyampaikan permohonan maaf soal tulisannya yang cukup menohok: “Dirjen GTK Keliru, Mengundang Organisasi Pendidikan dalam Acara HGN.” Dalam dunia organisasi, kritik seperti itu adalah hal lumrah—asal tidak melukai hati dan tetap berdasarkan fakta. Dan Pak Didi, seperti yang kita semua tahu, selalu menyampaikan kritik dengan niat membenahi, bukan membelah.

Diskusi makin mengalir ke pertanyaan besar: “Sejak kapan HUT PGRI dipisahkan dari Hari Guru? Apa alasannya? Siapa tokoh-tokoh yang mendesain perubahan itu?” Pertanyaan yang tidak hanya butuh jawaban dokumenter, tetapi juga butuh kejujuran sejarah. Dan itulah mengapa diskusi ini penting: agar guru tidak hanya ikut arus, tetapi juga paham arah.

Lalu muncul cerita menarik dari seorang rekan yang mengisahkan momen dramatis saat HUT PGRI/HGN yang digelar pemerintah di Sentul. Ketika penempatan logo organisasi tertentu terlalu menonjol sementara logo PGRI justru seperti “dihilangkan”, ia tiba-tiba mengambil langkah spontan: mendatangi bagian kamera, menegur, dan meminta agar logo PGRI ditampilkan. “Kalau tidak, teman-teman di gedung akan datang dan ngrubut situ,” katanya sambil mengingat kejadian itu. Saya bisa membayangkan wajah kameramennya yang pucat pasi. Tapi dari situ kita belajar: marwah organisasi memang harus dijaga—dengan cara yang terhormat, tetapi tegas.

Di tengah riuh diskusi, muncul komentar Bu Unifah Rosyidi. Tegas, jelas, dan menenangkan. Ia mengingatkan bahwa jabatan eselon yang mengurus guru dulu lahir dari perjuangan PGRI. Bahwa ada pihak yang mungkin bermimpi “merebut” PGRI setelah pensiun. Bahwa kita harus waspada, menjaga AD/ART, dan tidak memberi ruang bagi mereka yang “bermain dua kaki”. Ungkapan yang menggetarkan, tetapi juga membakar semangat—sebab organisasi ini memang lahir dari keringat, air mata, dan pengorbanan guru.

Di tengah percakapan yang serius, saya pun menambahkan komentar kecil yang membuat suasana mencair:
“Kan dulu Omjay paling benci sama PGRI. Tapi setelah ketemu Ayah Didi, benci itu berubah jadi benar-benar cinta. Hehehe…”
Kadang, saya memang harus menyelipkan humor. Bukan untuk membuat orang lupa masalah, tetapi untuk membuat masalah itu tidak membebani hati. Guru harus berani belajar, termasuk belajar mencintai lagi organisasi yang dulu pernah dikecewakan.

Dan benar saja, dari candaan itu muncul ide baru:
"Kalau pensiunan guru bagaimana? Biar Ayah Didi jawab. Siapa tahu jadi artikel baru dengan judul Pensiunan Guru Republik Indonesia. Hahaha."

Tawa kecil itu menyadarkan saya bahwa kekuatan PGRI bukan pada gedung, bukan pada jabatan, bukan pada seragam, tetapi pada relasi hangat antaranggotanya. Pada keberanian bicara jujur tetapi tetap menjaga perasaan. Pada ruh kebersamaan yang sudah mengakar sejak 1945.

---

PGRI itu rumah, bukan sekadar organisasi.
Rumah tempat guru pulang ketika terluka, tempat guru bersuara ketika terabaikan, dan tempat guru berdiri bersama ketika harga dirinya disentuh. Karena itu, bila ada gejala “penggembosan”, wajar jika banyak yang resah. Bila ada kebijakan yang tak adil, wajar bila kita bersuara. Tetapi semua harus dilakukan dengan sejuk, santun, dan tetap menghibur hati—seperti diskusi kita pagi itu.

Saya percaya, sejarah HGN dan HUT PGRI tidak akan pernah hilang selama kita menjaga cerita-cerita kecil di baliknya. Cerita tentang mereka yang mengingatkan pemerintah, mereka yang mempertanyakan kebijakan, mereka yang membela organisasi, dan mereka yang tetap bisa tertawa di tengah kegaduhan.

Dan kepada seluruh guru yang membaca artikel ini, izinkan saya menutup dengan satu ajakan:

Mari tetap hangat meski berbeda pendapat.
Mari tetap bersatu meski diuji berbagai kepentingan.
Mari tetap berkhidmat pada guru, sebab dari gurulah bangsa ini berdiri.

Kalau pun ada yang ingin merebut PGRI, percayalah—yang mereka akan hadapi bukan hanya sebuah organisasi, tetapi keluarga besar guru se-Indonesia yang hatinya sudah menyatu dengan organisasi ini.

Dan hati guru, sebagaimana kita tahu, tidak pernah bisa direbut—kecuali dengan cinta.

Omjay, yang dulu benci PGRI lalu jatuh cinta benar-benar. Benci berubah menjadi benar benar cinta. Organisasi guru sebaikya diurus oleh guru yang memiliki kepemimpinan guru tangguh berhati cahaya. Siapakah guru tersebut?

Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

cerdas digital mandiri finansial

Kisah Wijaya Kusumah 

Cerdas Digital, Mandiri Finansial: Kisah Omjay dari 1998 hingga Hari Ini

Oleh: Wijaya Kusumah – Omjay, Guru Blogger Indonesia

Ketika saya menatap kembali perjalanan hidup sejak tahun 1998—tahun ketika saya menggenapkan separuh agama dengan menikahi perempuan terbaik yang Allah kirimkan untuk saya—ada satu kata yang terus menggema dalam hati: syukur.
Syukur karena hidup ini penuh liku, tetapi setiap liku itu membawa pelajaran.
Syukur karena setiap kesulitan ternyata menyiapkan diri saya menuju masa yang lebih baik.
Dan syukur karena perjalanan panjang ini akhirnya membuat saya memahami arti dua hal penting: cerdas digital dan mandiri finansial.

Kisah ini bukan hanya tentang seorang guru. Ini tentang seorang suami, ayah, pencari nafkah, pejuang literasi, dan manusia biasa yang berjuang meniti langkah kecil demi langkah kecil hingga akhirnya bisa berdiri tegak seperti hari ini.

Awal Pernikahan: Hidup Sederhana yang Penuh Makna

Saya menikah pada tahun 1998, tahun yang penuh gejolak. Indonesia sedang diguncang krisis moneter, harga-harga melambung, dan banyak orang kehilangan pekerjaan. Namun di tengah badai itu, saya justru memulai kehidupan baru bersama istri tercinta.

Gaji guru honorer saat itu tidak cukup untuk hidup nyaman. Jangankan menabung, untuk makan sehari-hari pun kami harus benar-benar mengatur. Tetapi kami punya satu hal yang membuat hidup tetap hangat: keyakinan bahwa Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya yang mau berusaha jatuh terlalu lama.

Saya bekerja apa saja. Mengajar, menulis, membuat modul, menjaga warnet, mengelola lab komputer, bahkan menerima job kecil-kecilan memperbaiki laptop dan komputer teman. Dari sinilah saya mulai mengenal dunia digital lebih dalam, jauh sebelum istilah cerdas digital menjadi tren seperti hari ini.

Internet, Blog, dan Jalan Rezeki yang Tak Disangka

Tahun 2005 menjadi titik balik penting. Saya mulai menulis blog. Awalnya hanya sebagai catatan harian—tempat saya menyalurkan keresahan dan menyimpan pengalaman. Tak disangka, blog itu membuka pintu rezeki yang tak pernah saya bayangkan.

Dari menulis blog, saya mulai diminta mengisi pelatihan. Dari pelatihan, saya dipanggil sekolah-sekolah untuk membantu program digitalisasi. Lalu tulisan-tulisan itu berubah menjadi buku, buku menjadi royalti, dan royalti menjadi salah satu sumur rezeki yang terus mengalir hingga kini.

Dari situlah saya belajar:
Cerdas digital bukan soal jago teknologi, tapi mampu memanfaatkan teknologi untuk memberi manfaat dan menambah nilai hidup.

Saya hanya guru biasa. Tapi internet membuat saya bisa berbagi ilmu kepada ribuan orang.
Saya hanya menulis dari rumah kontrakan. Tapi tulisan itu bisa dibaca dari Sabang sampai Merauke.
Saya hanya mengetik dari ruang tamu kecil. Tapi efeknya menjangkau ruang-ruang kelas yang tak pernah saya datangi secara fisik.

Itulah keajaiban dunia digital yang saya alami langsung.

Belajar Mandiri Finansial: Dari 0 hingga Lebih Percaya Diri

Saya dibesarkan dalam keluarga sederhana. Karena itu, sejak awal menikah saya tak ingin hidup menggantungkan masa depan pada gaji saja. Guru harus cerdas, bukan hanya dalam mengajar, tetapi juga dalam mengatur masa depan.

Saya belajar mengelola uang sedikit demi sedikit. Menabung dengan sangat disiplin, meskipun hanya lima ribu atau sepuluh ribu per hari. Ini kebiasaan yang saya bawa sampai hari ini.

Saya juga belajar:

membuat sumber pendapatan tambahan

menjadikan keterampilan digital sebagai aset

menulis buku sebagai investasi jangka panjang

mengikuti pelatihan agar kemampuan terus berkembang

menghindari hutang konsumtif

dan membuka peluang usaha kecil-kecilan bersama keluarga.

Kemandirian finansial bukan berarti menjadi kaya raya.
Bagi saya, mandiri finansial adalah ketika kita bisa hidup tenang tanpa khawatir berlebihan tentang uang.

Mampu menghidupi keluarga dengan layak, membantu orang tua, menyekolahkan anak-anak hingga jenjang tinggi, serta menyisihkan sebagian untuk sedekah dan berbagi.

Begitulah makna kemandirian yang saya yakini.

Ujian Hidup yang Menguatkan

Dalam perjalanan panjang itu, tentu tidak semuanya mulus. Ada masa-masa saya merasa gagal sebagai suami. Ketika ekonomi serba sulit, saya sering merenung panjang: Apakah saya sudah cukup berjuang? Apakah saya sudah menjadi kepala keluarga yang baik?

Namun setiap tantangan justru membentuk karakter. Kami pernah menabung bertahun-tahun hanya untuk sebuah keinginan sederhana: bisa memiliki rumah sendiri. Dan akhirnya, dengan kerja keras dan banyak keajaiban, kami berhasil.

Kami pernah hampir menyerah membiayai kuliah anak-anak. Tapi lagi-lagi, Allah menunjukkan jalan. Rezeki datang dari arah yang tidak disangka-sangka: dari menulis, mengajar, pelatihan, undangan seminar, bahkan dari pertemuan-pertemuan kecil yang saya lakukan sebagai guru blogger.

Semua itu membuat saya semakin yakin:
Rezeki itu bukan tentang jumlah, tetapi tentang keberkahan.

Cerita Hari Ini: Tetap Mengabdi, Tetap Belajar

Kini waktu berjalan begitu cepat. Dari suami muda berusia 30-an, saya menjadi ayah yang anak-anaknya sudah dewasa. Dari guru biasa, saya diberi amanah untuk berbagi ilmu ke banyak daerah. Dari penulis amatir, saya diberi kesempatan menulis puluhan buku.

Namun satu hal tetap sama: saya tetap belajar setiap hari.
Dunia digital berubah begitu cepat. Guru harus terus update, harus adaptif, harus mau terus meningkatkan diri. Karena itulah saya selalu mendorong para guru Indonesia untuk:

melek teknologi

menulis

mengelola media sosial dengan bijak

membangun jejaring positif

dan berdaya secara finansial

Guru yang cerdas digital akan lebih mudah menjadi guru yang mandiri finansial.
Dan guru yang mandiri finansial akan lebih tenang dalam mengajar.

Penutup: Hidup Adalah Perjalanan, Bukan Perlombaan

Setelah lebih dari 27 tahun menikah, saya memahami satu hal sederhana:
Hidup bukan perlombaan menuju kesuksesan, tapi perjalanan panjang menuju kebijaksanaan.

Jika hari ini Anda sedang berjuang dalam ekonomi, dalam karier, atau dalam keluarga, ingatlah:

Setiap orang punya waktunya.
Setiap keluarga punya perjuangannya.
Setiap rezeki punya jalurnya.

Yang penting kita terus bergerak, terus belajar, terus berbuat baik, dan terus menjaga integritas.

Saya, Omjay, hanyalah contoh kecil bahwa guru biasa bisa hidup luar biasa jika mau berjuang dan memanfaatkan teknologi dengan bijak.

Semoga kisah sederhana ini menguatkan siapa pun yang membacanya.
Terima kasih sudah setia mengikuti perjalanan hidup saya hingga hari ini.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Sabtu, 29 November 2025

pgri abadi semangat 80 tahun yang tak pernah padam untuk negeri

PGRI ABADI: SEMANGAT 80 TAHUN YANG TAK PERNAH PADAM
Liputan Langsung Omjay dari Britama Arena, Kelapa Gading – Jakarta

Hari ini, Britama Arena Kelapa Gading berubah menjadi lautan manusia. Ribuan guru dari seluruh penjuru negeri berdatangan sejak pagi, membawa bendera kabupaten, spanduk daerah, hingga nyanyian riang yang membuat suasana di pintu luar arena terasa seperti festival persatuan profesi terbesar di Indonesia. Inilah puncak perayaan HUT ke-80 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), sebuah momentum bersejarah yang membuktikan bahwa PGRI bukan sekadar organisasi profesi — tetapi rumah besar para pendidik Indonesia. Sebuah rumah yang abadi oleh waktu, sejarah, dan pengabdian.

Keramaian yang Menggetarkan: Guru Berkumpul dari Sabang sampai Merauke

Sejak memasuki area depan Britama Arena, saya—Omjay—melihat rombongan demi rombongan guru mengenakan seragam khas PGRI. Rombongan dari Jawa Barat datang sambil membawa rebana kecil, rombongan dari NTT bernyanyi lagu daerah dengan penuh semangat, guru-guru dari Kalimantan membawa poster tokoh-tokoh pendidikan, sementara rombongan dari Sumatera hadir membawa semangat budaya yang kental.

Pintu luar arena dipenuhi senyum, pelukan, dan saling tegur sapa. Guru-guru yang mungkin tak pernah bertemu sebelumnya, pagi ini saling menyapa seperti saudara lama. Inilah kekuatan PGRI: persatuan yang melampaui garis geografis dan budaya.

Acara Dimulai Sangat Meriah

Begitu memasuki arena, suasana semakin menggugah. Lampu-lampu panggung, layar LED raksasa, deretan kursi yang dipadati para anggota, hingga musik pembuka yang menggema membuat perayaan ini terasa seperti perhelatan nasional.

Pembawa acara membuka kegiatan dengan penuh semangat, diikuti penampilan seni budaya dari berbagai daerah. Tepuk tangan membahana saat barisan tari tradisional naik ke panggung, memperlihatkan bahwa guru bukan hanya mendidik, tetapi juga penjaga kebudayaan bangsa.

Ketika lagu “Hymne PGRI” dan “Mars PGRI” dikumandangkan, seluruh peserta berdiri tegap. Suara ribuan guru yang bersatu menyanyikan lagu perjuangan itu membuat dada bergetar. Ada rasa haru yang sulit digambarkan: 80 tahun perjuangan, 80 tahun pengabdian, 80 tahun kesetiaan guru kepada bangsa.

PGRI Abadi: Makna 80 Tahun Perjuangan Guru

Usia 80 tahun bukan sekadar angka.
Ini adalah bukti sejarah bahwa PGRI telah melewati zaman demi zaman: masa revolusi, masa transisi, masa reformasi, hingga era digital seperti sekarang. PGRI tetap berdiri tegak sebagai pelindung guru, pembela hak-hak pendidik, sekaligus ruang persatuan dan penguatan profesi.

Sebutan “PGRI Abadi” bukan sekadar tagline.
Ia adalah semangat yang diwariskan dari generasi ke generasi guru Indonesia.
Abadi dalam perjuangan.
Abadi dalam pengabdian.
Abadi dalam cinta kepada pendidikan.

Liputan Langsung Omjay: Melihat Semangat dari Dekat

Sebagai Guru Blogger Indonesia, saya merasa beruntung bisa hadir langsung di lokasi, menyaksikan satu per satu momen yang menggetarkan ini. Saya melihat bagaimana guru-guru senior yang telah puluhan tahun mengajar berjalan pelan namun tetap semangat, bagaimana guru-guru muda berfoto, mendokumentasikan setiap detik, dan bagaimana perayaan ini menjadi bukti bahwa profesi guru ternyata masih sangat dihormati ketika guru mampu bersatu dan menunjukkan eksistensinya.

Setiap wajah menyimpan cerita:
tentang kelas-kelas kecil di pelosok, perjuangan sertifikasi, pengabdian tanpa batas, dan harapan masa depan yang lebih baik untuk dunia pendidikan Indonesia.

Penutup: Semangat yang Tak Pernah Padam

Di HUT ke-80 ini, PGRI menunjukkan bahwa organisasi ini bukan organisasi yang menua—melainkan organisasi yang matang, kuat, dan terus relevan. Kebersamaan ribuan guru di Britama Arena hari ini membuktikan bahwa PGRI tetap menjadi rumah besar bagi semua pendidik yang ingin memperjuangkan martabat profesi.

Dari Britama Arena, saya melihat sendiri betapa PGRI masih hidup, masih semangat, dan masih menjadi tumpuan harapan jutaan guru Indonesia.

PGRI ABADI.
Guru Bersatu, Indonesia Maju.

— Omjay, Guru Blogger Indonesia
Liputan langsung HUT ke-80 PGRI di Britama Arena, Kelapa Gading, Jakarta.
Blog https://wijayalabs.com

Jumat, 28 November 2025

pidato presiden prabowo subianto di puncak hari guru nasional

Pesan Presiden Prabowo di Hari Guru Nasional 2025: Guru adalah Penjaga Masa Depan Bangsa

Hari ini, Jumat 28 November 2025, bangsa Indonesia kembali memberikan penghormatan tertinggi kepada para pendidik yang telah mengabdikan hidupnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Puncak Peringatan Hari Guru Nasional 2025, yang disiarkan langsung melalui kanal resmi Kemdikdasmen, berlangsung megah dan penuh keharuan.

Acara ini tidak hanya dihadiri Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, tetapi juga 78 organisasi pendidikan yang datang dari berbagai wilayah. Atmosfer kebersamaan terasa kuat, seolah seluruh ekosistem pendidikan Indonesia sedang berdiri di ruangan yang sama.

Di antara para tokoh pendidikan, Wijaya Kusumah (Omjay) hadir secara langsung, membawa semangat literasi dan kebersamaan yang selama ini ia gaungkan di dunia pendidikan Indonesia.

Guru adalah Cahaya yang Tak Pernah Padam

Dalam pidatonya, Presiden Prabowo menyampaikan pesan yang menggugah hati:

> “Guru adalah cahaya yang tidak pernah padam. Di tangan merekalah masa depan bangsa dibentuk. Tanpa guru, tidak ada dokter, tidak ada insinyur, tidak ada pemimpin—dan tidak ada saya berdiri di sini hari ini.”

Presiden menegaskan komitmen pemerintah untuk mempermudah tugas guru, memperbaiki kesejahteraan, dan menghadirkan negara secara nyata untuk para pendidik.

Kekuatan Kolaborasi: 78 Organisasi Pendidikan Bersatu

Kehadiran 78 organisasi pendidikan memberikan warna tersendiri pada perayaan kali ini. Mereka datang membawa ide, energi, dan semangat perubahan. Omjay yang berada di tengah-tengah mereka merasakan suasana keakraban yang sangat kuat.

> “Ketika 78 organisasi berkumpul, saya melihat harapan baru. Pendidikan Indonesia bisa melesat jika kita bersatu,” ujar Omjay.

Perayaan ini memperlihatkan sebuah babak baru: dunia pendidikan tidak lagi berjalan sendiri-sendiri, tetapi mulai membangun aliansi kuat berbasis kolaborasi.

Hiburan Dewa 19: Acara Semakin Semarak dan Menggugah

Salah satu momen paling meriah dalam acara ini adalah penampilan grup legendaris Dewa 19. Dengan formasi panggung yang energik, mereka membawakan sejumlah lagu nostalgia yang membuat ruangan bergemuruh.

Guru-guru yang hadir ikut bernyanyi, bertepuk tangan, bahkan berdiri menikmati alunan musik dari band yang menjadi ikon musik Indonesia selama puluhan tahun.

Lagu-lagu seperti:

“Kangen”

“Separuh Nafas”

“Risalah Hati”

menghadirkan suasana haru sekaligus semangat baru.

Penampilan Dewa 19 bukan sekadar hiburan, tetapi penghormatan bagi jutaan guru yang telah memberikan separuh nafasku—separuh hidupnya—untuk murid-murid Indonesia.

Sorak tawa, senyum, dan kebersamaan terasa begitu kuat. Banyak guru yang mengatakan bahwa inilah pertama kalinya Hari Guru dirayakan dengan skala sebesar dan semeriah ini.

Penghargaan dan Air Mata Bahagia

Acara puncak juga memberikan penghargaan kepada guru berprestasi dari berbagai daerah. Para guru dari daerah 3T, guru honorer yang tidak pernah menyerah, guru difabel yang menginspirasi—semuanya mendapatkan sorotan khusus.

Wajah-wajah haru dan bangga terlihat jelas. Banyak yang tidak kuasa menahan air mata.

---

Refleksi Omjay: Guru Kuat, Indonesia Hebat

Di sela acara, Omjay menulis catatan reflektif:

> “Hari ini saya melihat guru benar-benar dihargai. Semoga apa yang disampaikan Presiden Prabowo bukan hanya janji, tetapi kebijakan nyata yang menyentuh kehidupan guru.”

Ia menutup pesannya:

> “Guru kuat, Indonesia hebat. Ketika guru dihormati, bangsa akan berdiri tegak.”

Penutup: Harapan untuk Pendidikan Indonesia

Puncak Peringatan HGN 2025 bukan sekadar perayaan. Ia menjadi simbol bahwa:

Guru kembali ditempatkan sebagai pusat pembangunan bangsa.

Kolaborasi 78 organisasi pendidikan menjadi kekuatan baru.

Pemerintah menunjukkan komitmen untuk hadir bagi guru.

Seni, musik, dan kebudayaan kembali dihidupkan sebagai bagian dari dunia pendidikan.

Pidato Presiden Prabowo menutup acara dengan gagah:

> “Saya titip masa depan Indonesia kepada Anda, para guru. Negara akan menjaga Anda, sebagaimana Anda menjaga generasi bangsa.”

Dengan iringan musik Dewa 19 dan tepuk tangan ribuan insan pendidikan, Hari Guru Nasional 2025 menjadi momen yang tak akan dilupakan.

Selamat Hari Guru Nasional 2025

Untuk seluruh guru di penjuru negeri:
Terima kasih karena telah menjadi cahaya yang tidak pernah redup.

Guru kuat, Indonesia hebat!

Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com