Selamat Datang di Blog Wijaya Kusumah

Untuk Pelayanan Informasi yang Lebih Baik, maka Isi Blog Wijaya Kusumah juga tersedia di blog baru di http://wijayalabs.com

Sabtu, 01 Desember 2007

PERUMUSAN MASALAH DAN PENENTUAN METODE PENELITIAN

PERUMUSAN MASALAH DAN PENENTUAN METODE PENELITIAN
( © Prof. Dr. I Made Putrawan, April 17, 2007 )

Salah satu komponen yang sangat penting dan menentukan kualitas sebuah penelitian ilmiah adalah rumusan masalah. Dalam hal ini yang dimaksud masalah adalah masalah ilmiah penelitian (scientific research problems). Masalah penelitian inilah yang akan dipecahkan atau dicarikan solusinya melalui suatu proses penelitian ilmiah. Berbeda dengan rumusan-rumusan masalah pada umumnya, seperti laporan-laporan proyek, dalam penelitian ilmiah dituntut untuk memenuhi beberapa kriteria, antara lain masalah dirumuskan dengan kalimat tanya, sebaiknya hindari kata tanya “sejauh manakah” atau “seberapa besarkah”, dsb. Kriteria lain adalah setiap rumusan masalah minimal terdapat dua faktor atau variabel yang dihubungkan atau dibedakan, dan terakhir adalah variabel-variabel tersebut harus dapat diukur dan di-manage (measurable and managable).
Agar dapat diukur maka variabel-variabel tersebut harus konseptual, artinya variabel tersebut harus didukung oleh teori-teori sehingga akan lebih mudah mengukurnya karena indikator-indikatornya jelas dideskripsikan dalam teori-teori yang relevan. Variabel dapat di-manage artinya data dengan mudah dapat dikumpulkan dan tersedianya atau bersedianya responden sebagai unit analisis untuk mengisi instrumen penelitian.
Hal lain yang perlu diperhatikan peneliti adalah dalam menentukan atau memilih variabel. Berdasarkan namanya, variabel memiliki ciri harus bervariasi. Insentif disuatu perusahaan atau institusi untuk golongan yang sama bukan variabel, tetapi fakta karena besarnya sama untuk golongan atau jenjang (level of job) yang sama. Kinerja (performances) adalah variabel karena setiap orang memiliki level of perfomances yang berbeda, demikian juga motivasi kerja atau kepuasan kerja, jelas dapat dipakai sebagai variabel karena tiap orang memiliki variabel tersebut yang bervariasi.
Namun ada juga peneliti kadang keliru menyebut misalnya kebijakan sebagai variabel sebab kebijakan disuatu perusahaan atau lembaga tidak akan dan tidak pernah bervariasi. Jadi dalam hal ini para peneliti harus secara logis menentukan berkaitan dengan apa yang hendak diukur terhadap kata kebijakan tersebut atau apa yang bervariasi terhadap kebijakan itu, seperti mungkin persepsi karyawan terhadap kebijakan atau penilaian atau pemahaman karyawan, jadi dalam hal ini yang bervariasi tentu persepsinya, penilaiannya atau pemahamannya terhadap kebijakan tersebut.
Oleh karena itu, apabila ditanya apa variabelnya maka jawabannya adalah persepsi atau pemahaman, sehingga peneliti dituntut untuk mencari teori-teori tentang persepsi atau pemahaman terhadap kebijakan. Jadi variabelnya bukan kebijakan, karena kebijakan tidak bervariasi. Faktor the naming variable sangat mempengaruhi peneliti dalam menentukan teori-teori yang akan diterapkan dalam sebuah karya ilmiah baik itu skripsi, tesis bahkan disertasi. Demikian juga contoh-contoh lain seperti budaya organisasi, iklim organisasi, konpensasi, rekrutmen, gaji, pemberdayaan, dsb.
Dalam penelitian ilmiah, variabel pada umumnya ada dua yaitu variabel bebas (independent variable) yang dapat mempengaruhi atau lebih dulu terjadi terhadap variabel lain yang disebut variabel terikat (dependent variable). Variabel terikat inilah yang menentukan the main topic seorang peneliti yang mencerminkan spesialisasinya.
Berdasarkan pengalaman membimbing mahasiswa, khususnya mahasiswa program doktor, banyak ditemukan adanya ketidakkonsistenan antara rumusan masalah dengan penentuan metode penelitian. Sebagai contoh, bagaimanakah hubungan antara motivasi kerja dengan produktivitas kerja karyawan? Ternyata metode yang dipilih peneliti survei dengan analisis regresi korelasi, jadi jenis penelitiannya kuantitatif padahal penelitian merumuskan masalah menggunakan kata tanya bagaimanakah yang mencerminkan adanya suatu proses yang ingin dipecahkan peneliti. Dalam hal ini jenis penelitian yang tepat adalah kualitatif.
Apabila kata tanya bagaimanakah diganti dengan apakah sehingga menjadi apakah terdapat hubungan antara motivasi kerja dengan produktivitas kerja karyawan, maka jenis penelitiannya kuantitatif dengan metode survei dan analisisnya regresi korelasi yang bersifat non kausal.
Contoh lain sebagai berikut:
1. Bagaimanakah mengembangkan model instruksional dalam rangka meningkatkan pemahaman konsep-konsep matematika untuk anak SD kelas IV? Jenis penelitian ini dapat berupa developmental research atau R and D yang dilanjutkan dengan pengujian keefektifan model yang telah dikembangkan tersebut melalui eksperimen.
2. Bagaimanakah cultural cohesiveness dapat mempengaruhi dalam proses pengambilan keputusan di institusi X? Jenis penelitian yang dipilih adalah kualitatif dengan langkah-langkah yang lengkap termasuk triangulasi dengan menekankan pada observasi yang unobtrusive, sampai ditemukan sesuatu yang unique. Tanpa uniqeness dan observasi terhadap proses maka penelitian kualitatif hanya sebuah ilusi.
3. Apakah komitmen berpengaruh langsung terhadap efektivitas organisasi? Contoh ini berkaitan dengan studi kausal non eksperimen dengan jenis penelitian kuantitatif, metode survei dengan analisis jalur (path analysis) untuk menguji model.
4. Apakah terdapat perbedaan hasil belajar genetika antara yang diajar dengan alat peraga dan siswa lain yang diajar dengan ceramah, apabila motivasi belajar siswa dikontrol? Masalah seperti ini harus dipecahkan melalui penelitian kuantitatif dengan metode eksperimen. Apabila the main effect memiliki dua level demikian juga simple effect dengan dua level, maka disain ekespeimennya adalah 2 x 2 factorial. Eksperimen yang dipilih karena variabel bebasnya dapat dimanipulasi menjadi beberapa level, sehingga memungkinkan peneliti melakukan treatment. Analisnya menggunakan ANOVA two way.
HAKIKAT HIPOTESIS DALAM PENELITIAN KUANTITATIF
Filed under: Metodologi Penelitian — putrawan at 10:03 am on Monday, April 23, 2007
( © Prof. Dr. I Made Putrawan, April 22, 2007 )
Pada hakikatnya setiap penelitian kuantitatif dalam ilmu-ilmu sosial menerapkan filosofi yang disebut deducto hipothetico verifikatif artinya, masalah penelitian dipecahkan dengan bantuan cara berpikir deduktif melalui pengajuan hipotesis yang dideduksi dari teori-teori yang bersifat universal dan umum, sehingga kesimpulan dalam bentuk hipotesis inilah yang akan diverifikasi secara empiris melalui cara berpikir induktif dengan bantuan statistika inferensial.
Jadi, hipotesis yang diajukan peneliti, setelah membaca teori-teori yang relevan merupakan jawaban sementara terhadap masalah yang diajukan. Oleh karena itu, penggunaan kata tanya dalam perumusan masalah harus juga diperhatikan dengan mempertimbangkan jawaban yang logis dalam hipotesis, sehingga tidak mungkin peneliti dapat mengajukan hipotesis manakala kata tanya yang digunakan dalam perumusan masalah ilmiah adalah kata tanya seperti “sejauh manakah” atau “seberapa besarkah,” karena jawabannya sejauh itu atau sebesar itu.
Pada umumnya, dalam penelitian sosial terdapat dua macam rumusan masalah yaitu yang menghubung-hubungkan dan membedakan antar variabel. Dalam hal ini, menghubungkan dalam kaitannya dengan studi korelasional, merupakan studi non kausal artinya variabel bebas hanya mampu menentukan (to determine), dalam bentuk persentase. Apabila peneliti memiliki teori yang kuat tentang hubungan antar variabel, maka dapat dilakukan penelitian kausal melalui hubungan dengan menguji model pengaruh (path model) antar variabel yaitu melalui studi kausal yang bersifat non eksperimen. Analisisnya dapat berupa path anlysis atau linear structural relation (lisrel) bila model bersifat non-recursive.
Jenis lain yaitu penelitian kausal melalui eksperimen atau ex post facto bila tidak dapat dilakukan treatment karena variabel bebas tidak dapat dimanipulasi mengingat variabel tersebut sudah after the fact artinya sudah terjadi sebelumnya seperti perbedaan jenis kelamin atau jenis pekerjaan.
Namun apapun bentuk penelitiannya, pada umumnya hipotesis ada dua yaitu hipotesis penelitian yang dirumuskan dengan kata-kata verbal, apakah berkaitan dengan hubungan atau perbedaan dan hipotesis statistik yang ditulis dengan notasi-notasi parameter yang dapat diuji dan memiliki dua macam hipotesis yaitu hipotesis nol dan hipotesis 1 atau alternatif. Hanya hipotesis inilah yang dapat diuji dengan statistika inferensial.
Misalnya dalam penelitian kuantitatif dirumuskan masalah sebagai berikut, apakah terdapat hubungan antara motivasi kerja dengan produktivitas kerja karyawan, maka rumusan hipotesis penelitiannya adalah terdapat hubungan antara motivasi kerja dengan produktivitas kerja karyawan. Namun hipotesis penelitian ini masih ngambang karena tidak secara tegas menyatakan hubungan apa, positif atau berbanding lurus ataukah negatif atau berbanding terbalik, tergantung teorinya. Kalau teorinya menemukan bahwa makin kuat motivasi kerja karyawan maka makin tinggi produktivitasnya maka hipotesis dinyatakan “terdapat hubungan positif, kecuali variabel bebas yang dipilih adalah stress, sehingga bentuk hubungannya menjadi hubungan berbanding terbalik dengan produktivitas karyawan.
Demikian juga bila masalah yang dirumuskan seperti apakah kecerdasan emosional berpengaruh langsung terhadap kepemimpinan, sehingga hipotesisnya menjadi kecerdasan emosional berpengaruh langsung terhadap kepemimpinan.
Contoh lain dalam eksperimen dengan disain faktorial 2 x 2, masalah utamanya adalah apakah secara keseluruhan terdapat perbedaan kemampuan daya saing (competitiveness) antara manager yang dilatih dengan metode sensitivity training (ST) dengan kelompok lain yang dilatih dengan cara konvensional bila motivasi kerja mereka dikontrol? Hipotesis penelitiannya “terdapat perbedaan kemampuan daya saing dengan variabel-variabel yang sama seperti di atas, namun peneliti yang memiliki teori-teori yang kuat tidak akan mengajukan hipotesis seperti itu karena mengundang pertanyaan tentang metode mana yang lebih unggul, jadi hipotesis penelitiannya harus secara tegas dan apriori dinyatakan seperti berikut “kemampuan daya saing manager yang dilatih dengan ST lebih tinggi dari pada yang dilatih dengan cara konvensional bila motivasi kerjanya dikontrol.”
Hipotesis penelitian jenis terakhir ini yang menentukan macam pengujiannya apakah one tailed test atau two tailed test. One tailed test diindikasikan dengan notasi > atau <> dan ujung kiri bila notasi <. Hal yang sama juga berlaku bagi hipotesis yang berkaitan dengan studi korelasional atau path analisis.
Apabila two tailed test yang dicirikan oleh tanda tidak sama dengan yang dipilih, maka konsekuensinya adalah taraf signifikansinya harus dibagi dua karena letak pengujian dikedua ujung distribusi sampling. Jadi apabila alpha (taraf signifikansi) yang dipakai 0,05 maka alpha yang dilihat pada tabel distribusi sampling adalah pada 0,025 denga n derajat kebebasan tertentu sesuai denga besar sampel.
Namun satu pesan yang perlu disampaikan agar tidak terjadi misleading adalah berkaitan dengan hakikat hipotesis nol dalam hal mana disebutkan bahwa the null hypothesis is no different hypothesis artinya hipotesis nol = hipotesis kesamaan sehingga dalam penulisannya selalu menggunakan tanda = dan bukan > atau <, apapun notasi yang ditulis pada hipotesis satu, semoga bermanfaat.
SEKELUMIT TENTANG LOGIKA PENULISAN DISERTASI KUANTITATIF
Filed under: Metodologi Penelitian — putrawan at 4:22 am on Monday, June 18, 2007
Disertasi merupakan suatu bentuk tugas akhir yang ditulis berdasarkan hasil penelitian ilmiah melalui penerapan berbagai metode penelitian (riset). Disertasi ditulis oleh mahasiswa dalam rangka memenuhi salah satu tugas akademik untuk memperoleh gelar doktor dalam bidangnya. Mengapa harus riset? Karena salah satu tujuan progran doktor yang merupakan gelar akademik tertinggi dari suatu perguruan tinggi adalah untuk menghasilkan seorang peneliti (researcher) dalam bidang ilmunya.
Oleh karena itu, bagi dosen yang tidak bergelar doktor, pada beberapa perguruan tinggi, tidak dapat menjadi profesor. Mengingat salah satu kewenangan seorang profesor adalah layak membimbing disertasi mahasiswa program doktor, maka sebaiknya calon profesor tersebut sudah bergelar doktor agar berpengalaman dan merasakan bagaimana riset untuk disertasi telah pernah dilakukan.
Jenis penelitian disertasi sangat beragam disesuaikan dengan masalah ilmiah yang akan dipecahkan. Jenis penelitian kualitatif dipilih karena mungkin mahasiswa ingin mencari informasi secara verstehen, naturalistik, terhadap suatu proses fenomena psikologis dan sosial dalam setting tertentu dan terdapat keunikan untuk diteliti secara kualitatif. Dalam hal ini, melakukan pengamatan dan pencatatan field notes merupakan salah satu kemampuan yang harus dikuasai oleh peneliti. Demikian peneliti diharapkan juga memiliki kemampuan mengintepretasikan field notes tersebut menjadi sebuah temuan naratif dan di “argue” dengan berbagai teori yang relevan.
Berbeda dengan penelitian kualitatif, riset kuantitatif lebih menekankan pada cara-cara cross-sectional, artinya fokus pada produk dan bukan proses. Riset jenis ini dapat berupa riset non kausal seperti studi korelasional atau riset kausal seperti path analisis, eksperimen atau ex post facto.
Apapun metode yang dipakai, dalam paradigma kuantitatif (baca lagi perbedaan paradigma kualitatif dan kuantitatif di topik lain dalam web ini), logika berpikir tetap mengikuti alur deducto hipothetico verificatif.
Artinya, alur berpikir dalam riset kuantitatif dimulai dengan mencari jawaban terhadap masalah riset yang telah dirumuskan melalui berbagai teori yang relevan. Kemudian, karena teori-teori tersebut bersifat abstrak, umum dan universal, maka dengan menggunakan cara berpikir deduktif dengan bantuan sarana matematika, maka dapat dirumuskan kesimpulan yang bersifat lebih khusus yang disebut hipotesis yakni jawaban sementara terhadap masalah. Hipotesis inilah kemudian diverifikasi secara empiris, inilah hakikat deducto-hipothetico-verificatif. Jadi hipotesis itu didasarkan pada teori-teori, sehingga tidak mungkin seorang peneliti dapat merumuskan hipotesis tanpa terlebih dahulu membaca teori-teori. Kunci utama dalam penulisan disertasi adalah adanya rumusan masalah ilmiah (scientific research problems) yang akan dipecahkan dan tentu masalah yang muncul tersebut harus didahului dengan argumen mengapa masalah tersebut penting untuk diteliti.
Untuk itu, pada bagian awal perlu dideskripsikan berbagai fakta yang mendasari atau melatarbelakangi “why” masalah tersebut ingin dipecahkan. Jadi fakta-fakta sebagai latar belakang rumusan masalah dapat diperoleh dari sumber-sumber informasi seperti majalah, koran, buletin-buletin, dsb atau dapat juga dari text books sehingga akan tampak alasan (reasoning) mengapa masalah itu perlu dan urgent untuk diteliti. Cara penulisannya dapat berupa alur berpikir seperti piramida terbalik, dimana ujungnya merupakan masalah yang akan diteliti.
Setelah latar belakang dirasa cukup kuat maka masalah perlu diidentifikasi, misalnya kinerja manager sebagai aspek utama dalam sebuah disertasi, karena itu faktor-faktor apa saja yang masih diduga menentukan atau mempengaruhi kinerja dapat dijadikan indetifikasi masalah. Karena terbatasnya waktu dan sumber dana, maka perlu masalah-masalah tersebut dibatasi dalam pembatasan masalah.
Semua hal yang telah dibahas di atas ada di bab pendahuluan dan masuk ke bab 2 sudah harus mulai berpikir tentang deskripsi teoretis, kerangka argumentatif, lalu pengajuan hipotesis.
Didalam Bab 2, semua variabel penelitian dideskripsikan teorinya sehingga variabel tersebut konseptual. Berdasarkan deskripsi teori-teori tersebut dapat dirumuskan definisi konseptual setiap variabel penelitian melalui berpikir sintesis, sehingga dapat dengan jelas diketahui dimensi-dimensi dan indikator-indikator variabel tesebut.
Disamping itu juga deskripsi teori-teori tersebut dapat dijadikan dasar untuk merumuskan kerangka berpikir yang bersifat argumentatif tentang mengapa variabel-variabel tersebut berkaitan atau saling berpengaruh. Misalnya peneliti ingin menghubungkan motivasi kerja dengan kinerja, jadi setelah teori-teori kedua variabel tersebut dideskripsikan maka akan tampak adanya hubungan logis antar kedua variabel tersebut berdasarkan kerangka berpikir argumentatif.
Atas dasar kerangka berpikir inilah dapat dibuat kesimpulan tentang dugaan adanya hubungan logis antar kedua variabel tersebut dalam bentuk hipotesis. Apabila peneliti, dalam hal ini, menggunakan cara berpikir silogistik, maka kesimpulan tersebut disebut kesimpulan tautologis setelah terlebih dahulu ditetapkan adanya premis mayor dan minor.
Sampai sejauh ini peneliti baru menggunakan cara berpikir atau logika berpikir deduktif yang berakhir dalam bentuk rumusan hipotesis. Karena itu, untuk membuktikan apakah hipotesis peneliti ditolak atau diterima maka perlu dilakukan verifikasi dengan menggunakan logika berpikir induktif dengan sarana berpikir statistika induktif.
Jadi dalam sebuah riset ilmiah terdapat dua proses yang harus dilakukan yaitu justifikasi (justification) yang merupakan proses dalam men “justify” kesimpulan dalam bentuk hipotesis dan kemudian proses diskoveri (discovery) atau temuan setelah dilakukan analisis statistika inferensial untuk memverifikasi apakah hipotesis ditolak atau diterima.
Mungkin dapat terjadi hipotesis yang diajukan tidak sesuai dengan temuan peneliti, hal ini terjadi apabila hipotesis tidak terbukti secara empiris maka itu berarti temuan penelitian tidak signifikan. Karena ini adalah sebuah temuan maka, signifikan maupun tidak, penelitian tidak perlu diulang. Peneliti hanya dituntut untuk membuat argumentasi teoretik dan statistik mengapa hipotesis yang demikian kuatnya didukung oleh berbagai teori namun pada saat diverifikasi tidak terbukti secara empiris. Dalam hal ini, seorang ilmuwan akan tetap membela hipotesisnya dengan mengatakan bahwa untuk saat ini temuan atau hasil pengujian hipotesis belum mampu membuktikan kebenaran hipotesis secara empiris. Semoga bermanfaat.
(Copyright Prof. I Made Putrawan, 17 June 2007)

1 komentar:

Silahkan memberikan komentar pada blog ini, dan mohon untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan yang benar.