Selamat Datang di Blog Wijaya Kusumah

Untuk Pelayanan Informasi yang Lebih Baik, maka Isi Blog Wijaya Kusumah juga tersedia di blog baru di http://wijayalabs.com

Minggu, 31 Agustus 2025

Pesan Presiden Prabowo Subianto

Pesan presiden yang wajib disimak!

Presiden Prabowo: Aspirasi Rakyat Harus Didengar, Anarkisme Tidak Bisa Ditoleransi

Tanggal 31 Agustus 2025 menjadi hari yang menandai sikap tegas Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dalam merespons dinamika politik dan sosial yang terjadi belakangan ini. Dalam keterangan pers yang disampaikan langsung dari Istana, Presiden hadir didampingi para Ketua Umum Partai Politik, Ketua DPR RI, dan Ketua MPR RI. Kehadirannya bukan sekadar formalitas, melainkan menunjukkan keseriusan negara dalam merespons keresahan masyarakat.

Aspirasi Rakyat Adalah Hak Konstitusional

Presiden membuka pernyataannya dengan menegaskan bahwa negara menghormati kebebasan berpendapat. Hal ini selaras dengan Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia, serta UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Prabowo menekankan bahwa aspirasi murni rakyat, baik berupa kritik, saran, maupun tuntutan, adalah bagian dari demokrasi yang sehat. “Hak untuk berkumpul secara damai harus dihormati dan dilindungi,” ujar Presiden.

Namun, ia juga memberi garis tegas: aspirasi yang disampaikan harus tetap dalam koridor hukum. Ketika penyampaian pendapat berubah menjadi anarkisme—merusak fasilitas umum, menjarah, hingga memakan korban jiwa—maka negara berkewajiban hadir dan bertindak tegas.

Tindakan Tegas terhadap Pelanggaran Aparat

Presiden tidak menutup mata terhadap fakta bahwa ada aparat yang diduga melakukan pelanggaran saat mengawal aksi massa. Ia menyatakan bahwa Kepolisian RI tengah melakukan proses pemeriksaan secara cepat, transparan, dan terbuka untuk publik. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan rakyat bahwa negara tidak berpihak buta kepada aparat, melainkan berpihak pada kebenaran dan keadilan.

Sikap ini memperlihatkan upaya Prabowo menjaga keseimbangan: di satu sisi, melindungi hak rakyat; di sisi lain, menegakkan aturan agar aparat tetap profesional.

DPR Didesak Lakukan Perubahan

Salah satu poin penting dari pernyataan Presiden adalah kritik keras terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ia menyebut telah mendapat laporan bahwa para Ketua Umum Partai Politik mengambil langkah tegas terhadap anggotanya yang mengeluarkan pernyataan keliru, bahkan hingga mencabut keanggotaan mereka dari DPR.

Selain itu, pimpinan DPR juga sepakat untuk mencabut sejumlah kebijakan tidak populer, antara lain:

1. Pengurangan besaran tunjangan anggota DPR.

2. Moratorium kunjungan kerja ke luar negeri.

Langkah ini dinilai sebagai jawaban atas kemarahan publik yang belakangan semakin gencar menyoroti gaya hidup mewah sebagian wakil rakyat. Prabowo menegaskan, anggota DPR harus selalu peka dan berpihak pada kepentingan rakyat, bukan sekadar mewakili partai atau kelompok tertentu.

Negara Harus Tegas terhadap Anarkisme

Presiden menekankan bahwa unjuk rasa damai adalah hal yang wajar, bahkan sehat bagi demokrasi. Tetapi ketika muncul indikasi makar, terorisme, atau upaya mengacaukan stabilitas negara, maka TNI dan Polri diperintahkan untuk bertindak tegas.

“Jika ada perusakan fasilitas umum, penjarahan rumah individu, maupun pusat ekonomi, maka itu pelanggaran hukum dan negara wajib hadir,” tegasnya.

Sikap ini menunjukkan keseimbangan antara perlindungan demokrasi dan penegakan ketertiban umum. Negara tidak boleh membiarkan aksi-aksi kekerasan merusak tatanan sosial, apalagi jika sampai menimbulkan korban jiwa.

Dialog Sebagai Jalan Keluar

Untuk meredam ketegangan, Presiden meminta DPR mengundang tokoh masyarakat dan mahasiswa untuk berdialog langsung. Ia menekankan bahwa masukan rakyat harus didengar dan ditindaklanjuti, bukan diabaikan.

Bahkan, ia juga memerintahkan kementerian dan lembaga pemerintah (KL) agar lebih terbuka terhadap kritik dan koreksi. Pesan ini jelas: pemerintahan Prabowo ingin membangun hubungan timbal balik yang sehat antara rakyat dan negara.

Menjaga Persatuan Nasional

Di tengah gejolak politik dan aksi massa, Prabowo mengingatkan pentingnya menjaga persatuan nasional. Ia mengajak seluruh elemen bangsa untuk tidak terprovokasi pihak-pihak yang ingin mengadu domba.

“Indonesia di ambang kebangkitan. Jangan mau kita diadu domba. Suarakan aspirasi dengan damai, tanpa kerusuhan, tanpa penjarahan, tanpa merusak fasilitas umum,” katanya.

Prabowo mengingatkan bahwa setiap fasilitas umum yang dirusak sejatinya adalah uang rakyat yang terbuang sia-sia. Dengan kata lain, merusak fasilitas negara sama dengan merugikan diri sendiri.

Ancaman Intervensi Asing

Pernyataan Presiden juga menyinggung adanya indikasi campur tangan kelompok atau pihak luar yang tidak menginginkan Indonesia sejahtera. Menurutnya, bangsa Indonesia harus waspada terhadap intervensi asing yang berusaha memecah belah persatuan.

Ia mengingatkan kembali semangat nenek moyang bangsa: gotong royong. Dengan bekerja sama, rakyat Indonesia akan mampu menjaga lingkungan, keluarga, dan negara dari ancaman internal maupun eksternal.

Makna Politik dari Pernyataan Presiden

Pernyataan ini bukan sekadar respons atas unjuk rasa yang terjadi, tetapi juga mengandung makna politik yang mendalam:

1. Pesan kepada rakyat: Aspirasi sah selama disampaikan dengan damai.

2. Pesan kepada DPR: Jangan bermain-main dengan kepercayaan rakyat.

3. Pesan kepada aparat: Bertugaslah secara profesional dan jangan menyalahgunakan wewenang.

4. Pesan kepada lawan politik: Pemerintah serius menjaga stabilitas dan tidak akan ragu bertindak terhadap upaya makar.

Dengan langkah ini, Prabowo berusaha mengokohkan posisinya sebagai Presiden yang tegas, adil, sekaligus dekat dengan rakyat.

Belajar dari Revolusi dan Sejarah

Sejarah dunia menunjukkan bahwa ketidakadilan sosial dan arogansi penguasa bisa berujung pada revolusi besar, seperti Revolusi Prancis pada 1789. Kala itu, rakyat bangkit karena merasa diperas pajak, sementara bangsawan hidup berfoya-foya.

Prabowo tampaknya ingin mencegah hal serupa terjadi di Indonesia. Dengan menekan DPR agar mengurangi tunjangan dan menahan kunjungan kerja ke luar negeri, ia menunjukkan kepedulian terhadap keresahan rakyat.

Langkah ini penting agar jurang ketidakpercayaan antara rakyat dan wakilnya tidak semakin melebar.

Penutup: Indonesia di Ambang Kebangkitan

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto pada 31 Agustus 2025 menjadi titik balik penting dalam dinamika politik Indonesia. Dengan menegaskan komitmen pada demokrasi, menuntut DPR berbenah, menindak aparat yang melanggar, dan melawan anarkisme, ia berusaha menjaga keseimbangan antara kebebasan rakyat dan ketertiban negara.

Di balik ketegasan itu, ada pesan yang lebih dalam: Indonesia sedang berada di ambang kebangkitan. Persatuan dan gotong royong menjadi kunci agar bangsa ini tidak mudah diintervensi atau dipecah belah.

Rakyat berhak menyuarakan aspirasi, dan pemerintah wajib mendengarnya. Namun, aspirasi harus disampaikan dengan damai, tanpa merusak, tanpa menjarah, dan tanpa mengorbankan sesama.

Seperti pesan Prabowo, “Kalau merusak fasilitas umum, artinya menghamburkan uang rakyat.”

Kini, tugas seluruh elemen bangsa adalah memastikan bahwa aspirasi murni benar-benar menjadi energi positif untuk membangun Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia
Blog https://wijayalabs.com

Kisah Omjay

Guru Bukan Beban Negara dan Pajak Naik Tapi Gaji DPR Semakin Naik Lalu Sahroni Bilang Orang Tolol yang Berani Membubarkan DPR

Artikel kisah omjay dengan judul sbb:

Guru Beban Negara, Pajak Naik, dan Sahroni Bilang Tolol: Bubarkan DPR?

Guru Beban, DPR Beban?

Guru katanya beban negara. Padahal gaji mereka kadang cuma Rp400 ribu. Sementara DPR tiap bulan bisa kantongi lebih dari Rp100 juta. Kalau ada yang pantas disebut beban, rakyat jadi bingung: guru yang bikin anak bangsa bisa baca tulis, atau DPR yang bikin rakyat naik tensi?

---

Pajak Naik, Rakyat Teriak

PPN naik jadi 12%, tarif tol merayap naik, sembako makin mahal. Rakyat disuruh sabar, katanya demi pembangunan. Tapi pembangunan apa? Jalan mulus ke kantong DPR, atau jalan buntu buat rakyat kecil?

---

Sahroni: Tolol Sedunia

Ahmad Sahroni bilang:

> “Orang yang bilang bubarin DPR itu tolol sedunia.”

Pak Sahroni, hati-hati. Di zaman Raja Louis XVI dulu, rakyat Prancis juga dibilang remeh. Pajak dinaikkan, rakyat lapar, sementara bangsawan pesta pora. Hasilnya? Revolusi Prancis 1789.

---

Belajar dari Revolusi Prancis

Sedikit kilas balik:

Bangsawan hidup mewah di Versailles, rakyat makan roti keras.

Pajak terus dinaikkan, sementara raja dan elit pesta anggur.

Rakyat marah, menyerbu penjara Bastille, lalu lahirlah Revolusi.

Slogan yang lahir: “Liberté, Égalité, Fraternité” (Kebebasan, Persamaan, Persaudaraan).

Pelajarannya jelas: kalau rakyat terus ditekan, kritik dibungkam, pajak dinaikkan, dan pejabat pesta tunjangan—rakyat bisa marah. Sejarah mengajarkan, ketika kesabaran habis, yang runtuh bukan guru, tapi singgasana para penguasa.

---

Satir Penutup: Bastille ala Senayan?

Kita tentu tak mau Indonesia mengulang sejarah berdarah. Tapi suara rakyat jangan dianggap angin lalu. Kalau rakyat teriak “Bubarkan DPR!”, itu tanda bahaya. Bukan berarti rakyat tolol, tapi mungkin DPR yang terlalu pintar membodohi rakyat.

Sejarah sudah menulis: dari Versailles ke Bastille, jaraknya cuma kesabaran rakyat. Dari Senayan ke “Revolusi”, jaraknya juga bisa cuma satu kata: cukup!

Maka sebelum rakyat benar-benar marah, lebih baik DPR bercermin. Jangan sampai anak-anak guru honorer yang lapar hari ini, besok tumbuh jadi generasi yang meneriakkan revolusi.

Karena kalau guru dianggap beban, rakyat dianggap tolol, pajak terus naik, jangan salahkan rakyat kalau belajar dari Revolusi Prancis: membuang beban adalah langkah awal menuju kemerdekaan.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia
Blog https://wijayalabs.com

Rabu, 27 Agustus 2025

Perjuangan PGRI Sampai Kancah International

Perjuangan PGRI Sampai ke Kancah Internasional: Mengurangi Beban Kerja Guru dan Meningkatkan Kesejahteraan

Oleh: Dr. Wijaya Kusumah , M.Pd Sekjen Ikatan Guru Informatika PGRI. 

Perjalanan panjang Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tidak pernah lepas dari denyut nadi perjuangan para pendidik di tanah air. Sejak awal berdirinya pada 25 November 1945, PGRI telah mengemban amanah untuk memperjuangkan hak-hak guru, meningkatkan mutu pendidikan, sekaligus mengokohkan martabat profesi pendidik di mata bangsa. 

Kini, setelah hampir delapan dekade berkiprah, langkah PGRI semakin menjejak di panggung dunia. Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd ketua umum PB PGRI diundang untuk bicara mengenai kesejahteraan dan perlindungan guru.

Salah satu bukti nyata pengakuan internasional atas kiprah PGRI terlihat dengan ditunjuknya Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd, Ketua Umum PB PGRI, sebagai pembicara di forum internasional World Teachers’ Summit UNESCO di Santiago, Chili pada 29 Agustus 2025. 

Kehadiran beliau di kancah global bukan hanya membawa nama pribadi, tetapi juga mewakili suara jutaan guru Indonesia yang setiap hari berjuang di ruang-ruang kelas dengan penuh dedikasi.

Beban Kerja Guru: Antara Tugas Mulia dan Administrasi yang Menjerat

Selama ini, guru dikenal sebagai sosok yang bekerja dengan hati. Mereka tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik, membimbing, dan membentuk karakter generasi bangsa. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan beban kerja guru semakin berat.

Selain mengajar, guru sering disibukkan dengan berbagai urusan administratif: laporan, asesmen, pengisian aplikasi, hingga tuntutan-tuntutan birokrasi yang kadang jauh dari esensi pembelajaran. Hal ini membuat waktu guru untuk berinteraksi dengan murid kian tergerus.

PGRI hadir sebagai garda terdepan yang menyuarakan perlunya pengurangan beban kerja administratif. Guru harus dikembalikan pada tugas utama mereka, yakni mendidik dengan sepenuh hati. Administrasi memang penting, tetapi jangan sampai membuat guru kehilangan energi terbaiknya untuk anak didik.

Kesejahteraan Guru: Pilar Kemajuan Pendidikan

Selain beban kerja, isu kesejahteraan juga menjadi agenda utama perjuangan PGRI. Tidak dapat dipungkiri, masih banyak guru di Indonesia, terutama guru honorer, yang menerima gaji jauh dari kata layak. Padahal mereka memikul tanggung jawab besar dalam mencerdaskan anak bangsa.

PGRI berulang kali memperjuangkan agar kesejahteraan guru menjadi prioritas dalam kebijakan pendidikan nasional. Melalui dialog, advokasi, dan lobi politik, PGRI mendorong pemerintah agar memperhatikan tunjangan, gaji, dan jaminan sosial bagi para pendidik. Kesejahteraan yang meningkat bukan hanya soal angka, tetapi juga soal penghargaan terhadap profesi guru sebagai pekerjaan yang mulia.

“Ketika guru sejahtera, maka pendidikan akan bermartabat,” demikian sering ditegaskan Prof. Unifah Rosyidi dalam berbagai kesempatan.

Dari Nasional Menuju Internasional: Suara Guru Indonesia di Panggung Dunia

Ditunjuknya Prof. Unifah sebagai pembicara internasional di Chili adalah capaian yang membanggakan. Forum ini mempertemukan para pemimpin pendidikan, pakar, dan perwakilan guru dari seluruh dunia. Indonesia, melalui PGRI, hadir untuk menyampaikan pengalaman dan perjuangan nyata di lapangan: bagaimana guru menghadapi beban kerja, bagaimana kesejahteraan terus diperjuangkan, dan bagaimana guru tetap teguh mengajar meski dalam keterbatasan.

Prof. Unifah tidak hanya membawa aspirasi, tetapi juga gagasan inovatif bahwa pendidikan berkualitas hanya bisa dicapai jika guru diberdayakan, didukung, dan diberi ruang untuk berkembang. Kehadiran beliau menjadi bukti bahwa suara guru Indonesia kini tidak lagi terbatas pada lingkup nasional, melainkan turut berkontribusi dalam percakapan global.

Suara Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd: Guru Adalah Fondasi Peradaban

Sebagai Ketua Umum PB PGRI, Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd adalah sosok yang dikenal teguh memperjuangkan hak guru di Indonesia. Dalam berbagai forum nasional maupun internasional, beliau senantiasa menekankan bahwa guru bukan sekadar pekerja pendidikan, melainkan fondasi peradaban bangsa.

“Kalau guru diberdayakan dan dihormati, maka seluruh bangsa akan terangkat martabatnya,” ujar Prof. Unifah dalam satu kesempatan. Kalimat itu bukan hanya sekadar semboyan, tetapi telah beliau wujudkan dalam langkah nyata melalui advokasi, dialog, dan kerja sama dengan pemerintah maupun lembaga internasional.

Mengurangi Beban Administratif Guru

Salah satu isu yang paling sering beliau soroti adalah beratnya beban administratif guru. Menurutnya, terlalu banyak energi guru tersita untuk urusan administrasi dibandingkan esensi mengajar. Guru seharusnya lebih banyak berinteraksi dengan peserta didik, bukan berhadapan dengan tumpukan laporan.

“Guru harus kembali ke tugas utamanya, yakni mendidik, membimbing, dan menginspirasi. Administrasi itu penting, tetapi jangan sampai membelenggu kreativitas guru,” tegasnya. Karena itu, PGRI di bawah kepemimpinannya terus mendorong adanya kebijakan yang memangkas birokrasi yang tidak relevan dengan proses belajar mengajar.

Kesejahteraan sebagai Pilar Mutu Pendidikan

Selain soal beban kerja, Prof. Unifah juga konsisten memperjuangkan kesejahteraan guru. Baginya, kesejahteraan bukan hanya persoalan ekonomi, melainkan persoalan penghormatan terhadap profesi guru.

“Tidak mungkin kita bicara pendidikan bermutu kalau gurunya masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasar hidupnya,” ujarnya dengan penuh keyakinan. Oleh sebab itu, PGRI tak henti-hentinya mengawal isu pengangkatan guru honorer, peningkatan gaji, serta penyediaan jaminan sosial dan pensiun yang layak.

Beliau percaya, ketika kesejahteraan guru meningkat, maka motivasi dan profesionalisme juga akan ikut tumbuh. Hasil akhirnya adalah pendidikan yang lebih berkualitas dan murid-murid yang lebih terlayani dengan baik.

Kiprah Internasional: Membawa Suara Guru Indonesia

Ditunjuknya Prof. Unifah sebagai pembicara di World Teachers’ Summit UNESCO di Santiago, Chili, menjadi momentum bersejarah. Dalam forum itu, beliau tidak hanya memaparkan tantangan yang dihadapi guru Indonesia, tetapi juga menawarkan solusi berbasis pengalaman nyata di lapangan.

“Kami di Indonesia belajar bahwa guru yang sejahtera akan lebih fokus mengajar, guru yang bebas dari beban administratif akan lebih kreatif, dan guru yang dihormati akan lebih percaya diri menghadapi dunia,” ucapnya di hadapan forum internasional.

Pesan itu menjadi cermin perjuangan PGRI yang telah berlangsung puluhan tahun. Kehadiran Prof. Unifah di forum internasional sekaligus menunjukkan bahwa isu-isu guru Indonesia sejatinya juga menjadi isu global. Hampir di semua negara, guru menghadapi tantangan serupa: kesejahteraan, beban kerja, dan penghargaan profesi.

Optimisme untuk Masa Depan

Meski tantangan masih banyak, Prof. Unifah selalu menekankan pentingnya optimisme. Guru tidak boleh menyerah pada keadaan. Dengan solidaritas, kebersamaan, dan semangat perjuangan, ia percaya nasib guru Indonesia akan semakin baik ke depan.

“Perjuangan ini belum selesai. Tetapi kita tidak boleh lelah. Selama kita berjuang bersama, suara kita akan terdengar, dan perubahan pasti akan datang,” tuturnya penuh harapan.

Bagi beliau, PGRI bukan hanya organisasi profesi, tetapi rumah besar tempat semua guru bersatu. Di rumah besar itulah, perjuangan untuk mengurangi beban kerja dan meningkatkan kesejahteraan terus digelorakan, bukan hanya untuk guru di Indonesia, tetapi juga untuk guru di seluruh dunia.

Harapan untuk Masa Depan Guru Indonesia

Perjuangan PGRI belum selesai. Masih banyak PR besar yang harus dituntaskan, mulai dari pemerataan kesejahteraan, pengurangan beban administratif, hingga peningkatan kompetensi guru di era digital. Namun langkah menuju kancah internasional adalah momentum penting yang memberi harapan baru.

Ketika dunia mendengar suara PGRI di Chili, itu berarti perjuangan guru Indonesia diakui dan dihargai. Itu berarti dunia percaya bahwa guru Indonesia punya kontribusi besar bagi peradaban global.

Penutup

Perjuangan guru bukan sekadar cerita tentang ruang kelas, papan tulis, dan kapur putih. Ini adalah kisah panjang tentang dedikasi, pengorbanan, dan cinta tanpa batas pada generasi penerus bangsa.

PGRI, dengan segala keterbatasannya, terus melangkah memperjuangkan nasib guru. Kini, dengan tampilnya Prof. Dr. Unifah Rosyidi di forum internasional, kita patut berbangga: suara guru Indonesia tidak lagi bergema di tanah air semata, melainkan juga menggema di dunia.

Karena sejatinya, ketika guru dihargai, bangsa pun akan bermartabat. Hidup guru. Hidup PGRI. Solidaritas yes!

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia
Blog https://wijayalabs.com

warisan terbaik

Warisan Terbaik Adalah Pendidikan

"Tidak ada kekayaan yang lebih utama daripada akal, tidak ada keadaan yang paling menyedihkan daripada kebodohan, dan tidak ada warisan yang lebih baik daripada pendidikan."
(Ali Bin Abi Thalib)

Kata-kata bijak dari Ali Bin Abi Thalib ini melampaui zamannya. Meski diucapkan lebih dari seribu tahun yang lalu, pesan ini tetap relevan bahkan semakin mendesak di era modern sekarang. Kalimat tersebut bukan hanya sebuah untaian indah, tetapi sebuah panduan hidup, pengingat tentang hakikat manusia, dan penegasan mengenai pentingnya pendidikan sebagai fondasi utama dalam membangun peradaban.

Akal: Kekayaan Paling Utama

Setiap manusia tentu mendambakan kekayaan. Namun, sering kali kekayaan dipersempit maknanya hanya pada harta benda: uang, rumah mewah, kendaraan, dan segala bentuk kepemilikan duniawi. Ali Bin Abi Thalib dengan tegas menegaskan bahwa kekayaan yang paling utama bukanlah materi, melainkan akal.

Mengapa akal disebut kekayaan? Karena dengan akal, manusia dapat mengelola, mencipta, dan melahirkan peradaban. Kekayaan materi bisa habis dalam sekejap, tetapi kekayaan akal akan terus hidup, bahkan setelah pemiliknya tiada.

Kita bisa melihat bagaimana para ilmuwan, ulama, dan pemikir besar meninggalkan warisan berupa gagasan, penemuan, dan ilmu pengetahuan. Akal mereka menjadi sumber kekayaan yang diwariskan kepada generasi setelahnya.

Bayangkan jika Thomas Alva Edison tidak menggunakan akalnya untuk mencari cahaya dari kegelapan, mungkin kita masih bergantung pada lampu minyak hingga hari ini. Bayangkan jika Ibnu Sina tidak mengabadikan ilmu kedokterannya, mungkin dunia kesehatan tidak akan secepat ini berkembang. Kekayaan akal telah membuat manusia bisa bertahan, berkembang, dan menaklukkan tantangan zaman.

Kebodohan: Keadaan yang Paling Menyedihkan

Di sisi lain, kebodohan adalah musibah yang paling menyedihkan. Ia tidak hanya menjerumuskan individu, tetapi juga menghancurkan suatu bangsa. Kebodohan membuat manusia mudah ditipu, diperdaya, dan diperbudak oleh hawa nafsu maupun orang lain.

Kebodohan bagaikan kegelapan. Orang yang hidup dalam kebodohan berjalan tanpa arah, mudah tersandung, bahkan bisa tersesat. Lebih dari itu, kebodohan melahirkan ketidakadilan, kemiskinan, dan keterbelakangan.

Sejarah telah mencatat bahwa bangsa yang terpuruk dalam kebodohan akan mudah dijajah. Bangsa Indonesia pernah merasakannya. Selama lebih dari tiga abad, kita berada di bawah bayang-bayang penjajah. Salah satu penyebab utamanya adalah kebodohan yang ditanamkan oleh penjajah, dengan cara membatasi akses pendidikan bagi rakyat. Hanya kalangan tertentu yang boleh mengenyam bangku sekolah, sementara rakyat jelata dibiarkan buta huruf.

Kebodohan juga bisa membuat seseorang meremehkan akhlak, menolak kebenaran, bahkan tega melakukan hal-hal yang merusak kemanusiaan. Maka, pantaslah jika Ali Bin Abi Thalib menyebut kebodohan sebagai keadaan yang paling menyedihkan. Karena kebodohan bukan hanya soal tidak tahu, tetapi juga tentang tidak mau belajar dan enggan memperbaiki diri.

Pendidikan: Warisan yang Paling Berharga

Bagian terakhir dari kutipan ini menyentuh hati: "Tidak ada warisan yang lebih baik daripada pendidikan."

Setiap orang tua tentu ingin meninggalkan warisan bagi anak-anaknya. Ada yang meninggalkan rumah, tanah, tabungan, atau bisnis keluarga. Semua itu memang bermanfaat, tetapi sifatnya sementara. Harta bisa habis, tanah bisa dijual, bisnis bisa bangkrut. Namun pendidikan adalah warisan yang tidak pernah lekang oleh waktu.

Orang tua yang meninggalkan pendidikan sejatinya memberikan bekal yang akan membuat anak-anaknya mandiri, tangguh, dan mampu menghadapi berbagai tantangan. Pendidikan bukan hanya membuka jalan menuju kehidupan yang lebih baik secara ekonomi, tetapi juga membentuk karakter, akhlak, dan cara pandang seseorang.

Kita bisa belajar dari kisah para tokoh besar. Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan harta melimpah bagi umatnya, tetapi meninggalkan ajaran, ilmu, dan teladan. Para ulama besar, pahlawan nasional, hingga pendiri bangsa kita tidak meninggalkan istana megah atau harta berlimpah, melainkan warisan berupa gagasan, nilai perjuangan, dan semangat belajar.

Inilah warisan yang sejatinya lebih bernilai dari segalanya. Karena pendidikan akan mengangkat derajat manusia. Bahkan dalam Al-Qur’an ditegaskan, “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11).

Relevansi dalam Kehidupan Kita

Kutipan ini semakin terasa relevan di tengah dunia yang serba digital dan kompetitif. Akal yang cerdas, terbebas dari kebodohan, serta pendidikan yang memadai adalah syarat mutlak agar bangsa ini bisa bertahan dan maju.

Namun, realitasnya kita masih dihadapkan pada berbagai persoalan. Masih banyak anak-anak bangsa yang tidak mendapat akses pendidikan layak. Masih ada orang tua yang berpikir bahwa harta jauh lebih penting daripada pendidikan. Masih banyak generasi muda yang kehilangan semangat belajar, terlena oleh kemudahan teknologi tanpa memanfaatkannya secara bijak.

Kita sering mendengar kasus putus sekolah karena keterbatasan ekonomi. Padahal jika pendidikan ditempatkan sebagai warisan utama, orang tua akan berjuang mati-matian agar anak-anaknya tetap bisa sekolah.

Di era globalisasi, perang bukan lagi soal senjata, tetapi soal ilmu pengetahuan dan teknologi. Bangsa yang berilmu akan memimpin, sementara bangsa yang bodoh akan tertinggal. Maka tidak salah jika Ali Bin Abi Thalib menekankan pentingnya pendidikan sebagai warisan terbaik.

Peran Guru, Orang Tua, dan Masyarakat

Untuk menjadikan pendidikan sebagai warisan terbaik, semua pihak harus mengambil peran. Guru adalah garda terdepan yang menyalakan api pengetahuan. Orang tua adalah madrasah pertama yang menanamkan nilai-nilai. Masyarakat dan pemerintah adalah penopang yang harus memastikan akses pendidikan terbuka untuk semua.

Seorang guru mungkin tidak bisa memberikan harta berlimpah kepada murid-muridnya, tetapi ia memberikan warisan yang tak ternilai: ilmu. Begitu juga orang tua, meski tidak kaya raya, tetapi jika mampu memastikan anak-anaknya belajar dan bersekolah, maka ia telah memberikan warisan terbaik.

Masyarakat pun demikian, tidak boleh abai terhadap pentingnya pendidikan. Setiap anak yang terabaikan pendidikannya adalah kerugian bersama. Karena masa depan bangsa bukan hanya ditentukan oleh segelintir orang pintar, melainkan oleh kualitas pendidikan seluruh rakyatnya.

Penutup

Pesan Ali Bin Abi Thalib adalah pengingat yang seharusnya terus kita pegang:

Jangan mengukur kekayaan hanya dari materi, karena akal adalah harta paling utama.

Jangan biarkan diri dan generasi kita jatuh dalam kebodohan, karena itu adalah keadaan paling menyedihkan.

Jangan hanya sibuk mengumpulkan harta untuk diwariskan, tetapi pastikan pendidikanlah yang kita tinggalkan.

Jika kita mampu memaknai dan mengamalkan pesan bijak ini, maka bukan hanya kehidupan pribadi kita yang akan lebih baik, tetapi juga peradaban bangsa akan terangkat derajatnya.

Warisan terbaik bukanlah emas atau perhiasan, melainkan ilmu pengetahuan yang mengalir dari hati ke hati, dari generasi ke generasi. Karena dengan pendidikanlah, manusia bisa benar-benar merdeka.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Selasa, 26 Agustus 2025

Ajaib Orang Ini Masih Bisa Menulis Walaupun Sakit

Ajaib, Orang Ini Masih Bisa Menulis Walaupun Sakit

Ada sebuah kisah yang ajaib, yang mungkin sulit dipercaya bagi sebagian orang. Tentang seorang manusia yang tetap menulis, bahkan ketika tubuhnya sedang sakit dan lemah. Saat kebanyakan orang memilih berhenti dari rutinitas, beristirahat total, atau sekadar menyerah pada rasa perih di tubuh, orang ini justru tetap setia dengan pena dan kata-katanya. Seakan-akan, menulis sudah menjadi bagian dari darah yang mengalir di nadinya.

Bagi banyak orang, sakit adalah alasan untuk berhenti. Namun baginya, sakit justru menjadi alasan untuk lebih banyak menulis. Ada kekuatan misterius yang membuat jari-jarinya tetap bergerak di atas papan ketik, meskipun rasa lelah tak henti menghampiri. Seperti ada energi ajaib yang menjaga semangat itu agar tak padam.

---

Menulis Sebagai Nafas Kehidupan

Ajaibnya, menulis bukan sekadar hobi baginya. Menulis adalah nafas kehidupan. Ia selalu mengatakan bahwa menulis membuatnya merasa hidup, sekalipun tubuh melemah karena sakit. Ketika orang lain lebih memilih diam dan menghindari aktivitas, ia justru merasa tidak bisa berhenti. Baginya, berhenti menulis sama saja dengan berhenti bernapas.

Sakit membuat tubuhnya terbaring, tetapi pikirannya tetap bekerja. Ia menyalurkan seluruh energi yang tersisa ke dalam tulisan. Di saat jari-jarinya mengetik, rasa sakit seakan berkurang. Kata demi kata yang lahir justru menjadi obat bagi jiwa. Inilah yang membuat kisahnya terasa begitu ajaib: menulis bukan hanya pekerjaan, melainkan terapi jiwa.

---

Kisah Nyata Omjay: Menulis di Tengah Sakit

Sosok itu nyata, bukan sekadar dongeng. Namanya Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd, atau akrab disapa Omjay, seorang guru, blogger, sekaligus penggerak literasi di Indonesia.

Beberapa waktu lalu, Omjay jatuh sakit dan sempat dirawat di rumah sakit selama lima hari. Tubuhnya lemah, nafasnya pendek, bahkan langkahnya pun tak lagi sekuat dulu. Namun, sesuatu yang ajaib terjadi: Omjay tetap menulis.

Dari ruang perawatan rumah sakit, ia masih menyempatkan diri menulis catatan harian, berbagi pengalaman, bahkan menyapa para sahabatnya di dunia maya. Ia bercerita bagaimana dokter memberi perawatan, bagaimana rasa sakit itu datang silih berganti, dan bagaimana ia tetap bersyukur meskipun diuji.

Ketika akhirnya pulang dari rumah sakit dan harus kontrol kesehatan ke RS Mas Mitra Bekasi, ia tidak berhenti. Meski tubuhnya masih dalam masa pemulihan, tangannya tak pernah berhenti menari di atas papan ketik. Ia menulis, seakan-akan kata-kata adalah sumber energi yang membuatnya tetap hidup.

Banyak orang tertegun membaca tulisannya. Bagaimana mungkin seorang yang sedang sakit masih bisa begitu konsisten menulis? Jawabannya sederhana: karena menulis sudah menjadi bagian dari jiwanya.

---

Sakit Tak Pernah Menjadi Alasan

Omjay sering berkata, “Sakit boleh menghentikan langkah kaki, tapi tidak boleh menghentikan aliran kata.” Ucapan itu bukan sekadar motivasi kosong, melainkan nyata dijalankan. Ia membuktikan bahwa konsistensi adalah kunci seorang penulis sejati.

Ketika orang lain mungkin memilih rebah, Omjay justru memilih menulis. Ketika orang lain mungkin hanya bisa mengeluh, ia memilih berbagi inspirasi. Inilah yang membuat kisahnya begitu menyentuh.

---

Menulis dengan Hati, Bukan Sekadar Kata

Ada yang istimewa dari tulisan Omjay ketika sakit: ia lebih jujur, lebih tulus, lebih dalam. Ia menulis tentang kesabaran, tentang perjuangan, tentang rasa syukur di tengah ujian. Kata-katanya menyentuh banyak orang, karena ditulis dari hati yang benar-benar merasakan getirnya sakit.

Tulisan itu mengalir, seakan-akan pembaca bisa merasakan denyut jantungnya yang lemah, sekaligus semangatnya yang berkobar. Omjay menulis bukan untuk mengeluh, melainkan untuk menguatkan dirinya sendiri dan orang lain.

---

Inspirasi Bagi Banyak Orang

Kisah nyata Omjay menyebar dengan cepat. Banyak guru, siswa, bahkan masyarakat umum yang membaca tulisannya lalu merasa malu. Mereka sehat, bugar, tetapi sering menunda menulis. Mereka selalu punya alasan untuk tidak berkarya.

Sementara Omjay, dengan tubuh yang sakit, masih bisa menghasilkan tulisan-tulisan yang bermanfaat. Itulah keajaiban sejati.

Omjay mengajarkan kita bahwa menulis bukan hanya soal waktu luang, tetapi soal kemauan. Bukan soal kesehatan fisik semata, tetapi soal kekuatan batin.

---

Menulis Sebagai Warisan Abadi

Omjay percaya, tulisan akan abadi. Ia sering mengingatkan murid-muridnya, “Tinggalkan jejak melalui tulisan, maka namamu akan tetap hidup meski jasadmu tiada.”

Itulah sebabnya, meski sakit, ia tidak pernah berhenti. Justru sakit membuatnya semakin sadar bahwa waktu manusia terbatas. Maka setiap detik harus diisi dengan sesuatu yang bermanfaat. Menulis adalah jalan yang ia pilih, sebagai warisan abadi untuk generasi berikutnya.

---

Pelajaran untuk Kita Semua

Dari kisah ajaib ini, kita seharusnya bercermin. Kita yang sehat, sering menyia-nyiakan waktu dengan hal-hal remeh. Kita sering menunda menulis, mencari alasan untuk tidak berkarya. Padahal ada seorang Omjay, yang dengan tubuh lemah masih terus menulis tanpa henti.

Kita yang sehat seharusnya bisa lebih giat, lebih produktif, lebih bersyukur. Jangan sampai kita kalah semangat oleh seorang guru yang sedang sakit, tetapi semangat menulisnya tidak pernah padam.

---

Penutup: Ajaibnya Tulisan dalam Sakit

Kisah Omjay mengajarkan kita bahwa menulis bukanlah soal fisik semata. Menulis adalah soal hati, soal semangat, soal keberanian untuk melawan rasa sakit dan rasa putus asa.

Ajaib, sungguh ajaib. Ada orang yang masih bisa menulis meskipun sakit. Dari sakit lahirlah tulisan-tulisan yang menyembuhkan. Dari kelemahan lahir kekuatan yang menginspirasi.

Omjay adalah bukti hidup bahwa kata-kata bisa lebih kuat daripada rasa sakit. Dan melalui kisahnya, kita semua diingatkan untuk terus menulis, apa pun keadaan kita.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Kisah Perjalanan Omjay Kembali Sehat

Perjalanan Sehat Omjay: Dari Puskesmas ke Rumah Sakit, Dari Ranjang Pasien ke Semangat Baru

Hidup sering kali menghadirkan kejutan yang tak terduga. Kadang kita begitu sibuk dengan aktivitas sehari-hari, hingga lupa bahwa tubuh punya batas. Itulah yang baru saja dialami oleh Omjay, sosok guru blogger yang selama ini tak pernah lelah berbagi ilmu, inspirasi, dan cerita. Dalam beberapa hari terakhir, kesehatan Omjay diuji. Dari puskesmas ke rumah sakit, dari ranjang pasien hingga kini kontrol di RS Mas Mitra Bekasi, perjalanan ini menjadi pengingat betapa berharganya kesehatan dan betapa besar kasih sayang yang mengalir dari orang-orang terdekat.

Awal Cerita: Rasa Lelah yang Tak Biasa

Omjay dikenal sebagai pribadi yang energik. Meski usianya tak lagi muda, semangatnya mengalahkan anak muda yang baru belajar menulis. Setiap hari ada saja tulisan yang lahir dari tangannya. Namun, beberapa hari lalu tubuhnya memberi sinyal. Lelah yang biasanya bisa hilang setelah istirahat, kali ini tak kunjung reda. Tubuh mulai melemah, aktivitas terganggu, dan akhirnya harus menyerah pada kenyataan: Omjay jatuh sakit.

Saat itu keluarga segera membawanya ke Puskesmas Jatibening, tempat pelayanan kesehatan terdekat. Di sana dokter memeriksa kondisi tubuhnya. Setelah menimbang keadaan, dokter menyarankan rujukan ke rumah sakit yang lebih lengkap. Dari sinilah perjalanan menuju kesembuhan Omjay dimulai.

Lima Hari di Rumah Sakit Antan Medika

Tak ada yang suka dirawat di rumah sakit. Tempat itu identik dengan bau obat, suara mesin medis, dan suasana hening yang kadang menegangkan. Namun, terkadang kita harus menerimanya dengan lapang dada. Begitu pula Omjay, yang akhirnya harus menjalani perawatan di RS Antan Medika.

Selama lima hari ia dirawat. Lima hari yang penuh doa, harapan, sekaligus introspeksi. Di ruang rawat itu, Omjay belajar kembali tentang arti kesabaran. Bagaimana tidak, biasanya ia terbiasa sibuk menulis, mengajar, menghadiri undangan, dan menyemangati banyak orang. Kini, semua aktivitas itu terhenti. Tubuhnya meminta haknya: istirahat total.

Namun, Omjay tak sepenuhnya diam. Meski terbaring di ranjang, pikirannya tetap aktif. Pena digitalnya tetap bergerak. Ia menulis dengan jari-jarinya, membagikan kabar dan refleksi di media sosial. Sakit tak membuatnya berhenti berkarya, justru menjadi bahan renungan yang kemudian ia tuliskan dengan jujur dan menyentuh hati.

Pulang ke Rumah: Antara Lega dan Waspada

Setelah lima hari, kondisi Omjay berangsur membaik. Dokter akhirnya memperbolehkan pulang. Ada rasa lega bisa kembali ke rumah, bertemu keluarga, dan menikmati suasana yang lebih hangat. Rumah selalu menjadi tempat terbaik untuk memulihkan diri. Namun, pulang bukan berarti sembuh total. Masih ada kontrol kesehatan yang harus dijalani, obat-obatan yang harus diminum, dan pola hidup sehat yang wajib dijaga.

Di sinilah sering kali muncul godaan. Banyak pasien merasa sudah sehat lalu mengabaikan anjuran dokter. Untungnya, Omjay paham betul bahwa perjalanan menuju sehat itu proses, bukan garis finish yang bisa diraih dalam sehari. Ia tahu harus tetap disiplin menjalani pengobatan, demi bisa kembali beraktivitas normal.

Kontrol di RS Mas Mitra Bekasi

Hari ini, Omjay melanjutkan perjalanannya dengan kontrol kesehatan di RS Mas Mitra Bekasi. Rumah sakit ini menjadi pilihan karena fasilitasnya lebih lengkap. Dari puskesmas, Omjay mendapat rujukan ke sini agar penanganan lebih terarah.

Di ruang tunggu rumah sakit, Omjay duduk dengan tenang. Wajahnya terlihat lebih segar meski masih ada sisa lemah. Dalam hati ia merenung, betapa kesehatan adalah karunia terbesar dari Allah SWT. Kadang kita baru sadar ketika kehilangan sebagian darinya.

Di RS Mas Mitra Bekasi, dokter melakukan pemeriksaan lanjutan. Setiap detail kondisi tubuh dicatat, setiap gejala diperhatikan. Tak hanya soal medis, tetapi juga soal pola hidup. Dokter memberi arahan agar Omjay menjaga makan, cukup istirahat, dan tidak terlalu memforsir diri. Sebuah nasihat sederhana namun sering dilupakan banyak orang.

Pelajaran dari Sakit

Apa yang bisa kita pelajari dari kisah sakitnya Omjay? Pertama, tubuh punya hak untuk istirahat. Sebagai guru, penulis, dan aktivis pendidikan, Omjay terbiasa sibuk. Namun, tubuh tetaplah manusiawi, ada batas yang tak boleh dilampaui.

Kedua, jangan sepelekan layanan kesehatan tingkat dasar. Puskesmas mungkin terlihat sederhana, tetapi menjadi pintu pertama untuk menyelamatkan banyak nyawa. Dari Puskesmas Jatibening lah Omjay akhirnya mendapat rujukan yang tepat.

Ketiga, sakit membuat kita semakin dekat dengan Tuhan. Saat terbaring di ranjang, kita sadar betapa rapuhnya diri ini. Hanya doa dan pertolongan Allah yang bisa menguatkan. Omjay sendiri mengaku, selama sakit, ia lebih banyak berzikir dan merenung. Sakit menjadi jalan untuk lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta.

Keempat, keluarga adalah obat terbaik. Dukungan istri, anak, dan sahabat membuat semangat pulih lebih cepat. Kasih sayang yang tulus tak bisa digantikan dengan obat apa pun.

Semangat yang Tak Pernah Padam

Meski sempat sakit, Omjay tak pernah kehilangan semangatnya. Ia tetap menulis, tetap berbagi inspirasi, dan tetap menyemangati orang lain. Justru, sakit ini membuat tulisannya semakin menyentuh. Karena ia menulis dari pengalaman pribadi, dari hati yang benar-benar merasakan rapuhnya tubuh.

Ia selalu percaya bahwa setiap ujian punya hikmah. Sakit kali ini mungkin cara Allah untuk mengingatkan agar lebih menjaga diri, agar lebih menghargai waktu, dan agar lebih selektif dalam memilih aktivitas. Hidup bukan sekadar tentang produktivitas, tapi juga tentang keseimbangan.

Penutup: Doa untuk Kesembuhan

Perjalanan kesehatan Omjay belum selesai. Masih ada kontrol-kontrol berikutnya, masih ada proses pemulihan yang harus dijalani. Namun, satu hal yang pasti, semangatnya tak pernah padam.

Kita semua, sahabat, murid, dan pembaca setianya, tentu mendoakan agar Omjay segera pulih total. Semoga Allah SWT memberi kesembuhan yang paripurna, menghapus segala sakit, dan menggantinya dengan kesehatan yang prima.

Bagi kita semua, kisah ini menjadi pengingat berharga. Jangan tunggu sakit untuk menyadari betapa pentingnya menjaga tubuh. Jangan tunggu dirawat di rumah sakit untuk memahami betapa nikmatnya bisa bernafas lega, berjalan tanpa lelah, dan tersenyum tanpa rasa sakit.

Omjay sudah melewati satu fase sulit. Kini ia melangkah dengan hati yang lebih tenang, pikiran yang lebih bijak, dan tubuh yang semakin kuat. Semoga perjalanan ini menginspirasi kita semua untuk lebih menjaga kesehatan, lebih mendekat pada Tuhan, dan lebih menghargai setiap detik kehidupan.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Full Day School

Full Day School dan Pendangkalan Akidah

Oleh: Akhmad Sururi (Wakil Ketua DPW FKDT Jawa Tengah)

Isu full day school atau sekolah lima hari kembali meramaikan jagat pendidikan di Jawa Tengah. Seolah menjadi bola panas, kebijakan ini memantik diskusi panjang, audiensi, bahkan demonstrasi penolakan di beberapa daerah. Walaupun belum serentak di semua kabupaten dan kota, gelombang penolakan tetap terasa nyata.

Yang paling keras menyuarakan keberatan tentu saja datang dari komunitas pendidikan keagamaan nonformal: Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ). Wajar jika mereka resah. Bagaimana tidak? Kehidupan mereka, dedikasi mereka, dan masa depan keberlangsungan pendidikan keagamaan amat bergantung pada jam belajar anak-anak di sore hari. Dan full day school jelas berpotensi menggerus ruang itu.

Kegelisahan ini bukan hal baru. Setahun lalu, demonstrasi besar pernah pecah di Simpang Lima Semarang. Aksi itu digerakkan oleh PWNU, ormas Islam, serta FKDT Jawa Tengah. Suaranya lantang: jangan sampai kebijakan lima hari sekolah mematikan madrasah sore, yang sudah menjadi denyut nadi pendidikan akhlak bangsa. Namun hari ini, kebijakan itu muncul lagi, seolah menutup mata terhadap jeritan para guru madin dan TPQ yang rela berkorban demi mendidik anak bangsa tanpa banyak menuntut balas jasa.

Pendidikan Agama: Pondasi yang Tak Boleh Rapuh

Sebagai orang yang bergelut di dunia MDT, saya merasa terpanggil untuk ikut bersuara. MDT bukan sekadar lembaga pinggiran, bukan pula tempat belajar tambahan yang bisa digantikan oleh lembaga lain. MDT dan TPQ adalah bagian integral dari sistem pendidikan nasional, meski sering kali luput dari perhatian negara.

Lembaga inilah yang dengan sabar mendidik generasi bangsa untuk mengenal Al-Qur’an, menanamkan akidah, serta membiasakan akhlak mulia. Jika pendidikan formal lebih menekankan aspek kognitif, maka MDT dan TPQ menyempurnakan dengan aspek afektif dan spiritual. Dua hal yang seringkali diabaikan, padahal justru menjadi pondasi kokoh bagi lahirnya generasi Indonesia emas.

KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, pernah menegaskan:
"Jika kalian ingin melihat kejayaan suatu bangsa, maka lihatlah akhlak generasinya. Jika akhlaknya baik, maka baiklah bangsa itu; jika akhlaknya rusak, maka rusaklah bangsa itu."

Tanpa pendidikan agama yang kuat, generasi kita akan mudah goyah. Tawuran pelajar, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, hingga tindak kriminal yang dilakukan remaja, sebagian besar berakar dari rapuhnya akhlak. Dan akhlak tak mungkin tumbuh subur bila akidah mereka dangkal.

Inilah yang saya khawatirkan dari full day school. Bukan sekadar soal durasi anak-anak di sekolah, tetapi soal tergerusnya ruang untuk memperdalam agama. Jika kebijakan ini terus dipaksakan, maka kita sedang membuka jalan bagi pendangkalan akidah generasi bangsa.

Lima Hari Sekolah: Alasan Yuridis yang Tidak Bijak

Saya memahami bahwa salah satu alasan munculnya wacana lima hari sekolah adalah penyesuaian dengan aturan lima hari kerja bagi PNS. Guru yang berstatus PNS merasa tidak adil jika harus bekerja enam hari, sementara pegawai kantor hanya lima hari.

Namun, apakah keadilan administratif ini sebanding dengan kerugian besar yang akan ditanggung bangsa? Apakah demi rasa "setara" itu, kita rela mengorbankan pendidikan agama anak-anak kita?

Pendidikan bukan sekadar urusan jam kerja, bukan pula hanya soal hak pegawai. Pendidikan adalah soal masa depan. Maka kebijakan apa pun seharusnya berpihak pada kepentingan jangka panjang bangsa, bukan kepentingan sesaat birokrasi.

KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, pernah berkata:
"Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah."

Ungkapan ini bisa ditarik relevansinya ke dunia pendidikan. Bahwa mendidik bukan soal mencari kemudahan bagi guru atau birokrasi, melainkan soal menghidupkan dan menyelamatkan generasi.

Akidah yang Dangkal, Bahaya yang Nyata

Mari kita jujur, persoalan moral anak bangsa hari ini sudah cukup memprihatinkan. Tayangan media dan berita kriminal setiap hari menyajikan bukti betapa akidah dan akhlak sebagian generasi kita kian menipis.

Jika pendidikan agama semakin dikurangi, bukankah itu sama saja menambah bahan bakar dalam bara api masalah moral ini? Kedangkalan akidah bukan persoalan ringan. Ia bisa menjelma menjadi krisis identitas, hilangnya arah hidup, bahkan mudahnya anak-anak kita dipengaruhi paham menyimpang atau radikalisme.

Karena itulah, hadirnya MDT dan TPQ menjadi mutlak. Mereka adalah benteng terakhir untuk memperkuat keyakinan, menjaga iman, serta menanamkan cinta beragama yang moderat. Tanpa itu, generasi emas Indonesia hanya akan menjadi slogan tanpa makna.

Seorang tokoh pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara, pernah menekankan:
"Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya."

Bagaimana mungkin keselamatan dan kebahagiaan itu tercapai bila akidah sebagai pondasi kehidupan justru dikorbankan?

Sinergi, Bukan Eliminasi

Kita tidak menolak inovasi pendidikan. Kita juga tidak alergi dengan program pemerintah. Tetapi, kebijakan yang menyangkut masa depan anak bangsa haruslah melalui kajian matang, bukan sekadar meniru pola kerja birokrat.

MDT dan TPQ bukan pesaing sekolah formal. Justru keduanya adalah mitra strategis. Sekolah formal membekali ilmu pengetahuan, sementara madrasah sore menguatkan iman dan ibadah. Keduanya harus berjalan beriringan, bukan saling meniadakan.

Bayangkan, jika anak-anak hanya mengandalkan pelajaran agama di sekolah formal yang jamnya sangat terbatas, apakah cukup? Tentu tidak. Maka MDT hadir untuk melengkapi. Dan ini sudah menjadi tradisi panjang bangsa kita.

Sejarah mencatat, para pendiri bangsa banyak lahir dari rahim pendidikan pesantren, madrasah, dan surau. Mereka bukan hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia. Mengapa hari ini kita justru tega mengabaikan warisan emas itu?

Jalan Tengah untuk Kemaslahatan

Oleh karena itu, program lima hari sekolah sebaiknya dikaji ulang dengan jernih. Pemerintah daerah, ormas, guru, dan masyarakat harus duduk bersama mencari jalan terbaik. Jangan sampai kebijakan yang dimaksudkan untuk efisiensi birokrasi justru mengorbankan pendidikan keagamaan.

Prinsip maslahat harus menjadi pijakan. Apalagi, Kemendikbud juga pernah menggulirkan gagasan tujuh kebiasaan anak Indonesia hebat. Salah satunya adalah membiasakan anak beribadah. Pertanyaannya: bagaimana mungkin kebiasaan itu terwujud bila ruang ibadah di lembaga nonformal justru dipersempit?

Maka, mari kita dorong sinergi. Biarkan sekolah formal berjalan sesuai kurikulumnya, dan biarkan MDT serta TPQ tetap eksis memberi penguatan agama. Bukankah tujuan akhir kita sama, yaitu mencetak generasi berilmu, berakhlak, dan berkarakter?

Penutup: Menyelamatkan Generasi

Pendidikan bukan hanya tentang mencetak orang pintar, tetapi juga manusia yang beriman dan bertakwa. Itulah yang diajarkan konstitusi kita, itulah yang diamanahkan para pendiri bangsa.

Full day school boleh jadi tampak modern dan praktis di mata sebagian orang, tetapi jangan lupa, di balik itu ada harga mahal yang harus dibayar: tergesernya pendidikan agama yang sudah terbukti menjaga moral generasi.

Jika kita abai, pendangkalan akidah hanya tinggal menunggu waktu. Dan ketika itu terjadi, penyesalan tidak lagi berguna.

Mari bersama menjaga MDT dan TPQ. Mari rawat pendidikan agama agar tetap menjadi pondasi kuat bangsa. Karena hanya dengan iman yang kokoh, ilmu yang luas, dan akhlak yang mulia, kita bisa benar-benar mewujudkan Indonesia emas 2045.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

menulis dengan hati dan bukan ai bagaimana caranya?

Menulislah dengan Hati, Bukan dengan AI

Pendahuluan: AI di Era Menulis

Teknologi kecerdasan sudah muncul dengan brrbagai aplikasi. Kita hidup di zaman yang serba cepat. Teknologi hadir bak ombak besar yang menggulung semua lini kehidupan, termasuk dunia kepenulisan. 

Artificial Intelligence (AI) kini sudah menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari, mulai dari sekadar mencari ide, menyusun jadwal, hingga menuliskan artikel panjang dalam hitungan menit. Namun di sinilah letak persoalan: banyak orang mulai salah menempatkan AI.

AI dianggap bisa menggantikan manusia dalam menulis. Padahal, sesungguhnya AI hanyalah alat. Sama seperti pena, mesin tik, atau komputer. Ia tidak memiliki hati, tidak punya perasaan, apalagi pengalaman batin. Sementara menulis sejatinya adalah kerja otak dan hati, pekerjaan yang sangat manusiawi.

Tulisan yang lahir dari hati akan berbeda rasanya dibandingkan tulisan yang lahir dari mesin. Ia akan lebih jujur, lebih menyentuh, dan lebih bermakna.

Menulis sebagai Jejak Kemanusiaan

Sejak ribuan tahun lalu, menulis menjadi cara manusia meninggalkan jejak pemikiran. Para cendekiawan di masa lalu menulis bukan karena ingin viral, bukan pula karena ingin terkenal. Mereka menulis karena merasa terpanggil untuk berbagi ilmu, gagasan, dan hikmah hidup.

Lihatlah Imam Al-Ghazali, yang karya monumentalnya Ihya Ulumuddin masih dipelajari hingga kini. Atau Buya Hamka, yang menulis dengan penuh ketulusan, melahirkan tafsir Al-Azhar meski sempat berada di balik jeruji penjara. Mereka menulis tanpa bantuan teknologi modern, tanpa jaminan akan dibaca banyak orang, namun karyanya abadi lintas zaman.

Pesannya jelas: menulis adalah tugas kemanusiaan.

Tantangan Menulis di Era Digital

Hari ini, kita menghadapi tantangan yang berbeda. Dunia digital membuat segalanya cepat berubah. Google, misalnya, dengan algoritma yang terus diperbarui. Apa yang hari ini dianggap “baik untuk SEO”, bisa jadi besok sudah usang.

Namun penulis sejati tidak boleh kehilangan arah. Tantangan itu harus dihadapi dengan strategi. Bukan dengan menyerah pada mesin, tetapi dengan terus menulis artikel yang mampu menarik hati pembaca.

Jumlah pembaca memang bisa menurun, karena orang lebih suka menonton video pendek atau scroll media sosial. Tapi itu bukan alasan untuk berhenti menulis. Justru inilah ujian sejati seorang penulis: apakah ia tetap menulis meski tidak ada jaminan pembaca?

Omjay: Guru Blogger yang Terus Menulis

Mari kita ambil contoh nyata dari seorang penulis sekaligus pendidik: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd, yang akrab disapa Omjay.

Sejak awal tahun 2000-an, Omjay konsisten menulis di blog pribadinya. Hampir setiap hari ada saja tulisan yang ia lahirkan, meski sering kali jumlah pembacanya tidak seberapa. Namun bagi Omjay, itu bukan masalah. Ia meyakini menulis adalah ibadah, menulis adalah berbagi.

Ketika orang lain sibuk mengejar popularitas, Omjay justru sibuk menanam jejak digital yang bermanfaat. Berkat konsistensinya, Omjay kemudian dikenal luas sebagai Guru Blogger Indonesia. Ribuan guru terinspirasi untuk menulis karena melihat ketekunan beliau.

Ada satu kalimat Omjay yang selalu teringat:

> “Menulislah setiap hari, dan buktikan apa yang terjadi.”

Kalimat sederhana ini seakan menjadi mantra bagi banyak guru. Menulis memang butuh kebiasaan. Ia tidak akan lahir dari mesin, melainkan dari latihan, ketekunan, dan keikhlasan hati.

Pramoedya Ananta Toer: Menulis dalam Penjara

Jika ada sosok yang bisa menunjukkan betapa kuatnya semangat menulis, ia adalah Pramoedya Ananta Toer. Penulis besar Indonesia ini bahkan menulis dalam kondisi terpenjara di Pulau Buru. Tanpa pena, tanpa kertas, ia menyimpan kisah dalam ingatan, lalu menceritakannya kepada sesama tahanan agar tidak hilang.

Karya monumentalnya, Tetralogi Buru, lahir dari keterbatasan itu. Pramoedya pernah berkata:

> “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”

Pesan ini begitu dalam. Menulis adalah cara manusia mengabadikan dirinya. AI mungkin bisa menyalin, menyusun, atau mengolah kata, tapi ia tidak bisa merasakan getirnya pengalaman hidup yang dialami Pramoedya. Tulisan sejati lahir dari pergulatan jiwa.

Buya Hamka: Menulis sebagai Ibadah

Contoh lain datang dari Buya Hamka. Ulama, sastrawan, sekaligus cendekiawan besar Indonesia ini melahirkan puluhan karya monumental. Salah satunya tafsir Al-Azhar, yang justru ia tulis di dalam penjara.

Bayangkan, dalam kondisi terhimpit, terasing, bahkan dipenjara, Hamka tetap menulis. Ia pernah berkata:

> “Jika engkau bukan anak raja dan bukan pula anak ulama besar, maka menulislah.”

Kalimat ini seakan menjadi dorongan bagi siapa saja bahwa menulis adalah jalan untuk meninggalkan nama baik. Menulis bukan semata-mata untuk dunia, melainkan juga sebagai bentuk ibadah dan pengabdian kepada Allah.

Menulis Itu Perjalanan, Bukan Perlombaan

Banyak orang kini terjebak pada angka: berapa banyak yang membaca, berapa yang memberi komentar, berapa yang membagikan tulisan. Padahal menulis sejatinya bukan perlombaan. Menulis adalah perjalanan panjang.

Seorang penulis yang baik tidak akan kehilangan semangat hanya karena pembacanya menurun. Justru ia akan melihatnya sebagai tantangan. “Kalau pembaca berkurang, mungkin saya harus memperbaiki cara bercerita, atau mencari topik yang lebih relevan,” begitu kira-kira pikirannya.

Di sinilah bedanya penulis sejati dengan penulis musiman. Penulis sejati tidak bergantung pada suasana, tidak pula menunggu mood. Ia terus menulis meski hanya sedikit yang membaca. Karena ia percaya, suatu hari nanti akan ada orang yang membutuhkan tulisannya.

AI: Alat Bantu, Bukan Pengganti

Bukan berarti AI tidak boleh digunakan sama sekali. AI tetaplah teknologi yang bisa membantu kita. Ia bisa dipakai untuk mencari referensi, merapikan struktur, atau bahkan memberi inspirasi. Tapi ingat, AI hanya alat bantu, bukan pengganti.

Ibarat seorang koki, AI bisa menyiapkan bahan, tapi cita rasa masakan hanya bisa ditentukan oleh tangan koki itu sendiri. Demikian pula dalam menulis, AI bisa menyusun kata, tapi rasa tulisan hanya bisa lahir dari hati penulis.

Strategi Bertahan sebagai Penulis di Era AI

1. Menulis dengan hati – biarkan pengalaman hidup, perasaan, dan pemikiran jujur hadir dalam tulisan.

2. Konsisten berkarya – tulislah setiap hari meski hanya satu paragraf.

3. Menerima tantangan zaman – jangan takut dengan algoritma Google, hadapi dengan strategi.

4. Berjejaring dengan pembaca – bangun komunitas, bukan sekadar mengejar angka.

5. Belajar dari tokoh inspiratif – seperti Omjay, Pramoedya, dan Buya Hamka yang terus menulis meski badai tantangan datang.

Penutup: Jejak Abadi dari Hati

Pada akhirnya, menulis adalah cara kita meninggalkan jejak. Bukan sekadar jejak digital, tetapi jejak hati. Tulisan yang lahir dari hati akan selalu menemukan jalannya, meski algoritma berubah, meski pembaca menurun, meski AI semakin canggih.

Jangan biarkan AI merampas kemanusiaan kita. Gunakan ia sebagai alat, bukan pengganti. Karena hanya manusia yang bisa menulis dengan rasa, dengan cinta, dengan kejujuran.

Maka, mari terus menulis. Mari jadikan tantangan sebagai sahabat, bukan penghalang. Seperti kata Omjay, “menulislah setiap hari, dan buktikan apa yang terjadi.” Seperti pesan Pramoedya, “menulislah agar tidak hilang dari sejarah.” Dan seperti teladan Buya Hamka, “menulislah sebagai jalan ibadah.”

Karena siapa tahu, dari satu tulisan kecil yang lahir dari hati, akan lahir perubahan besar bagi dunia.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com.

Menulislah Dengan Hati dan Bukan Dengan AI

Menulislah dengan Hati, Bukan dengan AI

Pendahuluan: AI di Era Menulis tanpa kertas dan pensil atau ballpoint

Sekarang ini zamannya kecerdasan buatan dengan berbagai aplikasi. Kita hidup di zaman yang serba cepat. 

Teknologi hadir bak ombak besar yang menggulung semua lini kehidupan, termasuk dunia kepenulisan. 

Artificial Intelligence (AI) kini sudah menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari, mulai dari sekadar mencari ide, menyusun jadwal, hingga menuliskan artikel panjang dalam hitungan menit. 

Namun di sinilah letak persoalan: banyak orang mulai salah menempatkan AI.

AI dianggap bisa menggantikan manusia dalam menulis. Padahal, sesungguhnya AI hanyalah alat. AI tidak punya otak dan manusia punya.

Sama seperti pena, mesin tik, atau komputer. Ia tidak memiliki hati, tidak punya perasaan, apalagi pengalaman batin. Sementara menulis sejatinya adalah kerja otak dan hati, pekerjaan yang sangat manusiawi.

Tulisan yang lahir dari hati akan berbeda rasanya dibandingkan tulisan yang lahir dari mesin. Ia akan lebih jujur, lebih menyentuh, dan lebih bermakna.

Menulis sebagai Jejak Kemanusiaan

Sejak ribuan tahun lalu, menulis menjadi cara manusia meninggalkan jejak pemikiran. Para cendekiawan di masa lalu menulis bukan karena ingin viral, bukan pula karena ingin terkenal. Mereka menulis karena merasa terpanggil untuk berbagi ilmu, gagasan, dan hikmah hidup.

Lihatlah Imam Al-Ghazali, yang karya monumentalnya Ihya Ulumuddin masih dipelajari hingga kini. Atau Buya Hamka, yang menulis dengan penuh ketulusan, melahirkan tafsir Al-Azhar meski sempat berada di balik jeruji penjara. Mereka menulis tanpa bantuan teknologi modern, tanpa jaminan akan dibaca banyak orang, namun karyanya abadi lintas zaman.

Pesannya jelas: menulis adalah tugas kemanusiaan. MENULIS ADALAH PEKERJAAN SEMUA ORANG KARENA SEMUA ORANG MENULIS.

Tantangan Menulis di Era Digital

Hari ini, kita menghadapi tantangan yang berbeda. Dunia digital membuat segalanya cepat berubah. Google, misalnya, dengan algoritma yang terus diperbarui. Apa yang hari ini dianggap “baik untuk SEO”, bisa jadi besok sudah usang.

Namun penulis sejati tidak boleh kehilangan arah. Tantangan itu harus dihadapi dengan strategi. Bukan dengan menyerah pada mesin, tetapi dengan terus menulis artikel yang mampu menarik hati pembaca.

Jumlah pembaca memang bisa menurun, karena orang lebih suka menonton video pendek atau scroll media sosial. Tapi itu bukan alasan untuk berhenti menulis. Justru inilah ujian sejati seorang penulis: apakah ia tetap menulis meski tidak ada jaminan pembaca?

Omjay: Guru Blogger yang Terus Menulis

Mari kita ambil contoh nyata dari seorang penulis sekaligus pendidik: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd, yang akrab disapa Omjay. Sekjen IKATAN GURU TIK PGRI .

Sejak awal tahun 2000-an, Omjay konsisten menulis di blog pribadinya. Hampir setiap hari ada saja tulisan yang ia lahirkan, meski sering kali jumlah pembacanya tidak seberapa. Namun bagi Omjay, itu bukan masalah. Ia meyakini menulis adalah ibadah, menulis adalah berbagi.

Ketika orang lain sibuk mengejar popularitas, Omjay justru sibuk menanam jejak digital yang bermanfaat. Berkat konsistensinya, Omjay kemudian dikenal luas sebagai Guru Blogger Indonesia. 

Ribuan bahkan jutaan guru kini terinspirasi untuk menulis karena melihat ketekunan beliau. Bukan hanya guru Indonesia saja yang kagum kepadanya. Tapi juga guru dari dunia internasional. Terakhir beliau pergi ke istambul turki dan berbagi pengalamannya menulis kepada guru-guru di sana.

Ada satu kalimat Omjay yang sudah menjadi buku best seller dimana orang selalu teringat:

*“Menulislah setiap hari, dan buktikan apa yang terjadi.”*

Kalimat sederhana ini seakan menjadi mantra bagi banyak guru. Menulis memang butuh kebiasaan. Ia tidak akan lahir dari mesin, melainkan dari latihan, ketekunan, dan keikhlasan hati.

Menulis Itu Perjalanan, Bukan Perlombaan

Banyak orang kini terjebak pada angka: berapa banyak yang membaca, berapa yang memberi komentar, berapa yang membagikan tulisan. Padahal menulis sejatinya bukan perlombaan. Menulis adalah perjalanan panjang.

Belajarlah dari almarhum buya hamka. Walaupun sudah 100 tahun lebih neliau meninggal, namun karya tulisnya tetap abadi sepanjang hayat.

Seorang penulis yang baik tidak akan kehilangan semangat hanya karena pembacanya menurun. Semakin menurun semakin kuat semangat menulisnya.

 Justru ia akan melihatnya sebagai tantangan. “Kalau pembaca berkurang, mungkin saya harus memperbaiki cara bercerita, atau mencari topik yang lebih relevan,” begitu kira-kira pikirannya.

Di sinilah bedanya penulis sejati dengan penulis musiman. Penulis sejati tidak bergantung pada suasana, tidak pula menunggu mood. 

Dia akan terus menulis meski hanya sedikit yang membaca. Karena ia percaya, suatu hari nanti akan ada orang yang membutuhkan tulisannya. Vepat atau lambat akan ada yang membaca tulisannya lewat blog pribadinya.

Omjay menuliskan di blog sebagai alat rekam yang ajaib di https://wijayalabs.blogspot.com.

AI: Alat Bantu, Bukan Pengganti

Bukan berarti AI tidak boleh digunakan sama sekali. AI tetaplah teknologi yang bisa membantu kita. Ia bisa dipakai untuk mencari referensi, merapikan struktur, atau bahkan memberi inspirasi. Tapi ingat, AI hanya alat bantu, bukan pengganti.

Ibarat seorang koki, AI bisa menyiapkan bahan, tapi cita rasa masakan hanya bisa ditentukan oleh tangan koki itu sendiri. Demikian pula dalam menulis, AI bisa menyusun kata, tapi rasa tulisan hanya bisa lahir dari hati penulis.

Strategi Bertahan sebagai Penulis di Era AI

1. Menulis dengan hati – biarkan pengalaman hidup, perasaan, dan pemikiran jujur hadir dalam tulisan.

2. Konsisten berkarya – tulislah setiap hari meski hanya satu paragraf.

3. Menerima tantangan zaman – jangan takut dengan algoritma Google, hadapi dengan strategi.

4. Berjejaring dengan pembaca – bangun komunitas, bukan sekadar mengejar angka.

5. Belajar dari tokoh inspiratif – seperti Omjay yang terus menulis meski badai tantangan datang.

Penutup: Jejak Abadi dari Hati

Pada akhirnya, menulis adalah cara kita meninggalkan jejak. Bukan sekadar jejak digital, tetapi jejak hati. Tulisan yang lahir dari hati akan selalu menemukan jalannya, meski algoritma berubah, meski pembaca menurun, meski AI semakin canggih.

Jangan biarkan AI merampas kemanusiaan kita. Gunakan ia sebagai alat, bukan pengganti. Karena hanya manusia yang bisa menulis dengan rasa, dengan cinta, dengan kejujuran.

Maka, mari terus menulis setiap hari seperti omjay. Mari jadikan tantangan sebagai sahabat, bukan penghalang. Seperti kata Omjay, “menulislah setiap hari, dan buktikan apa yang terjadi.” Karena siapa tahu, dari satu tulisan kecil yang lahir dari hati, akan lahir perubahan besar bagi dunia.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Blog https://wijayalabs.com

Inilah Pepatah Sunda yang Wajib Diikuti

Panca Waluya: Lima Jalan Hidup Mulia untuk Peserta Didik

Orang Sunda kaya akan budaya, bahasa, dan falsafah hidup yang diwariskan turun-temurun. Salah satu ajaran luhur dalam kehidupan masyarakat Sunda adalah Panca Waluya.

Kata Panca berarti lima, sedangkan Waluya berarti sehat, selamat, atau sejahtera. Jadi, Panca Waluya adalah lima nilai kehidupan yang harus dijalankan agar manusia tumbuh menjadi pribadi yang utuh dan mulia.

Kelima nilai itu adalah: Cageur (sehat), Bageur (baik), Bener (jujur), Pinter (cerdas), dan Singer (cekatan).

Tulisan ini akan membahas betapa pentingnya Panca Waluya bagi peserta didik, baik di sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari, agar menjadi generasi yang kuat, berakhlak, dan cerdas.

---

1. Cageur – Sehat jasmani dan rohani

Ada pepatah Sunda yang berbunyi:
"Kalau tubuh sehat, pikiran pun akan jernih."

Cageur berarti sehat. Bukan hanya sehat fisik, tetapi juga sehat jiwa. Seorang pelajar yang tubuhnya sehat akan lebih mudah belajar dan berprestasi. Karena itu, menjaga kesehatan sangat penting, antara lain dengan cara:

Tidur cukup dan teratur.

Makan makanan yang bergizi.

Rajin berolahraga.

Menjauhi rokok, narkoba, dan kebiasaan buruk lainnya.

Namun kesehatan tidak hanya fisik. Sehat juga berarti jiwa yang bersih. Pelajar yang sehat jiwanya tidak mudah iri, benci, atau dengki. Dengan demikian, cageur adalah modal utama agar hidup bisa berjalan dengan baik.

---

2. Bageur – Baik kepada sesama

Orang Sunda sering mengingatkan:
"Jangan lupa berbuat baik, karena kebaikan membuat hidup lebih tenang."

Bageur artinya baik hati. Pelajar yang bageur akan disukai teman-temannya, disayangi guru, dan dihormati orang tua. Sifat ini bisa ditunjukkan dengan cara:

Suka menolong teman yang kesulitan.

Hormat kepada guru dan orang tua.

Tidak menyakiti perasaan orang lain.

Selalu ramah dan sopan santun.

Orang yang baik akan selalu dikenang dan dirindukan kehadirannya. Bagi masyarakat Sunda, bageur adalah wujud nyata dari silih asih, silih asah, dan silih asuh (saling mengasihi, saling mengingatkan, dan saling menjaga).

---

3. Bener – Jujur dalam ucapan dan perbuatan

Pepatah mengatakan:
"Kejujuran adalah dasar dari sebuah kepercayaan."

Bener artinya jujur. Seorang pelajar yang bener tidak akan mencontek saat ujian, tidak berbohong kepada guru, dan tidak menipu orang tuanya.

Kejujuran membuat seseorang dipercaya orang lain. Kepercayaan jauh lebih berharga daripada emas. Sekali seseorang berbohong, maka kepercayaan akan hilang dan sangat sulit untuk dikembalikan.

Pelajar yang membiasakan diri jujur sejak dini akan tumbuh menjadi pribadi yang dipercaya, disegani, dan dihormati oleh banyak orang.

---

4. Pinter – Cerdas dan berilmu

Ada pepatah Sunda:
"Ilmu itu cahaya, kepintaran adalah pelita hidup."

Pinter berarti cerdas, berpengetahuan, dan memiliki kemampuan berpikir. Tugas utama seorang pelajar adalah belajar. Dengan ilmu, kita bisa meraih cita-cita, membahagiakan orang tua, dan bermanfaat bagi sesama.

Namun kepintaran tidak boleh disalahgunakan. Ada orang yang pintar tetapi menggunakan kepintarannya untuk menipu, berbuat curang, atau menyakiti orang lain. Itu bukan pinter yang sesungguhnya.

Kepintaran sejati adalah kepintaran yang membawa kebaikan dan memberi manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain.

---

5. Singer – Cekatan dan disiplin

Pepatah Sunda mengingatkan:
"Kecakapan membuat hidup tidak tertunda, semua bisa selesai tepat waktu."

Singer berarti cekatan, gesit, dan tidak malas. Pelajar yang singer tidak menunda-nunda pekerjaan, tidak menunggu hingga batas waktu terakhir, tetapi menyelesaikan tugas lebih awal dengan baik.

Kecakapan juga berarti kreatif dan mampu memanfaatkan kesempatan. Orang yang cekatan akan lebih cepat mencapai cita-cita dibandingkan dengan mereka yang malas dan suka beralasan.

Dengan bersikap singer, pelajar akan tumbuh menjadi pribadi yang disiplin, bertanggung jawab, dan bisa diandalkan.

---

Panca Waluya sebagai Bekal Peserta Didik

Jika kelima unsur Panca Waluya ini dipadukan, maka akan terbentuk pribadi yang utuh.

Cageur menjadikan tubuh dan jiwa sehat.

Bageur menjadikan kita disukai dan dihormati orang lain.

Bener membuat kita dipercaya.

Pinter memberi kita bekal ilmu untuk masa depan.

Singer membentuk kita menjadi pribadi yang cekatan dan disiplin.

Seorang pelajar yang mampu menjalankan Panca Waluya akan menjadi pribadi yang unggul, disenangi teman, dibanggakan orang tua, dan bermanfaat bagi bangsa.

---

Kesimpulan

Panca Waluya adalah ajaran hidup yang sangat berharga dari masyarakat Sunda, khususnya untuk pelajar yang sedang menempuh pendidikan. Dengan mengamalkan nilai cageur, bageur, bener, pinter, dan singer, seorang pelajar akan tumbuh menjadi manusia yang sehat, baik, jujur, cerdas, dan cekatan.

Pepatah Sunda berkata:
"Hidup jangan hanya dijalani, tetapi jalani dengan cara yang baik."

Panca Waluya adalah jalan untuk menjalani hidup yang baik, mulia, dan bermanfaat. Jika generasi muda Indonesia memegang teguh nilai-nilai ini, maka mereka akan tumbuh menjadi generasi yang tangguh, berkarakter, dan membawa kebaikan bagi bangsa dan negara.

Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Pena Jannah Omjay Yang Memotivasi

Kisah Omjay:

Pena Janahku yang Memotivasi

Ada satu benda sederhana yang selalu menemaniku dalam perjalanan hidup, sesuatu yang mungkin terlihat sepele di mata orang lain, tetapi justru menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang penuh liku-liku. Benda itu adalah pena. Namun, bukan sembarang pena. Aku menyebutnya Pena Janahku—pena yang bukan hanya menorehkan tinta di atas kertas, melainkan juga mengguratkan semangat, menuliskan mimpi, dan menyulam doa di antara lembar-lembar kehidupan.

Awal Mula: Pena yang Mengubah Hidup

Sejak kecil, aku sudah terbiasa menulis. Kertas dan pena adalah mainan yang lebih aku sukai daripada mobil-mobilan atau gawai canggih. Saat teman-teman lain asyik bermain di luar rumah, aku justru lebih bahagia ketika duduk sendiri di meja belajar, menulis cerita khayalan, mencatat pengalaman sehari-hari, atau sekadar menggambar huruf-huruf yang belum sempurna bentuknya.

Namun, semua berubah ketika aku menemukan sebuah pena istimewa. Pena itu sederhana, tak ada hiasan emas atau teknologi canggih. Tetapi, ada rasa berbeda setiap kali aku menggunakannya. Seolah-olah, pena itu memiliki ruh. Tinta yang mengalir darinya bukan hanya sekadar tinta, melainkan energi yang menggerakkan hati dan pikiran. Dari situlah lahir istilah Pena Janahku. Janah, bagiku, berarti sayap—sayap yang membawaku terbang ke dunia penuh ide, imajinasi, dan inspirasi.

Pena yang Menyimpan Cerita

Setiap goresan Pena Janahku menyimpan cerita. Ada cerita tentang kegagalan, ketika aku menulis diari dengan air mata menetes membasahi halaman. Ada pula cerita tentang kemenangan kecil, saat pena itu menuliskan namaku di lembar sertifikat lomba menulis pertama yang aku menangkan.

Tak jarang, pena ini menjadi tempat curhat yang paling setia. Ia tak pernah menertawakan kelemahanku, tak pernah menghakimi kesalahanku, dan tak pernah bosan mendengarkan kisah-kisahku yang berulang-ulang. Pena ini adalah sahabat yang selalu ada, bahkan ketika manusia di sekitarku sibuk dengan urusan masing-masing.

Menulis untuk Menguatkan Diri

Ada masa ketika aku merasa jatuh, begitu dalam hingga hampir tak mampu bangkit. Dunia terasa gelap, langkah-langkah terasa berat, dan harapan seakan memudar. Pada saat-saat itulah, aku kembali menggenggam Pena Janahku.

Menulis menjadi obat yang menenangkan. Setiap kata yang kutulis seperti terapi jiwa. Aku belajar menuangkan kegelisahan menjadi doa, mengubah rasa sakit menjadi pelajaran, dan menjadikan luka sebagai cerita yang suatu hari nanti akan memberi motivasi bagi orang lain. Pena ini menolongku untuk tidak menyerah. Pena ini membisikkan bahwa dalam setiap kesulitan pasti ada jalan keluar, asal kita mau terus berusaha.

Pena Sebagai Alat Motivasi

Pena Janahku bukan hanya memotivasi diriku sendiri, tetapi juga orang lain. Dari tulisan-tulisan sederhana, aku mulai membagikannya kepada teman-teman. Awalnya mereka hanya tersenyum, lalu mulai bertanya: “Bagaimana caranya menulis dengan sepenuh hati seperti itu?”

Aku pun sadar, tulisan yang keluar dari hati, akan sampai ke hati. Motivasi yang kutulis bukanlah teori kosong, melainkan pengalaman nyata yang kujalani. Orang lain bisa merasakan kejujuran dalam setiap kalimat, merasakan semangat dalam setiap paragraf, dan menemukan harapan dalam setiap cerita.

Pena ini membuatku percaya bahwa kata-kata memiliki kekuatan. Ia bisa menghidupkan semangat, bisa menguatkan jiwa, bahkan bisa mengubah arah hidup seseorang. Kata-kata adalah senjata yang lebih tajam daripada pedang, lebih ampuh daripada teriakan, dan lebih abadi daripada harta benda.

Pena Janahku: Sayap untuk Terbang

Setiap orang memiliki sayap untuk terbang, hanya saja bentuknya berbeda-beda. Ada yang terbang dengan musik, ada yang dengan olahraga, ada pula yang dengan doa. Aku terbang dengan pena.

Pena Janahku membawaku melintasi batas ruang dan waktu. Dengan menulis, aku bisa kembali ke masa kecil, bisa hadir di masa depan, bahkan bisa menjelajahi dunia tanpa harus meninggalkan kursi tempatku duduk. Pena ini juga yang membawaku bertemu dengan banyak orang hebat, membuka pintu kesempatan, dan memperluas cakrawala pikiranku.

Jika aku tak pernah menulis dengan pena ini, mungkin hidupku tak akan pernah berubah sejauh ini. Aku belajar bahwa menulis bukan hanya tentang menghasilkan karya, tetapi juga tentang menemukan diriku sendiri.

Warisan Pena untuk Generasi Selanjutnya

Aku bermimpi, suatu hari nanti Pena Janahku tidak hanya menjadi milikku, tetapi juga menjadi warisan bagi generasi setelahku. Aku ingin anak-anak muda menyadari bahwa menulis adalah kekuatan. Mereka mungkin tumbuh di era digital, tetapi esensi menulis tidak akan pernah hilang. Pena, meski sederhana, tetap menjadi alat paling sakti untuk melahirkan perubahan.

Bayangkan, satu kalimat motivasi yang kita tulis hari ini bisa menyelamatkan seseorang dari keputusasaan. Satu cerita yang kita goreskan bisa membuka mata orang lain untuk melihat dunia dengan cara yang lebih indah. Satu catatan kecil bisa menjadi sejarah besar yang dikenang hingga puluhan tahun ke depan.

Pena dan Kehidupan yang Mengalir

Hidup ini seperti pena yang menorehkan tinta di atas kertas. Kita tidak bisa menghapus begitu saja apa yang sudah tertulis, tetapi kita bisa menambahkan halaman-halaman baru yang lebih indah. Kadang tinta menetes terlalu deras, kadang macet dan tak keluar sama sekali. Begitu pula dengan hidup, ada masa ketika segalanya mengalir lancar, ada pula masa ketika kita merasa buntu.

Namun, yang terpenting adalah bagaimana kita terus menulis. Jangan biarkan kertas kehidupan kosong tanpa makna. Jangan biarkan pena berhenti hanya karena kita takut salah menulis. Toh, dari kesalahan itulah kita belajar. Dari coretan yang tak sempurna itulah kita menemukan gaya menulis kita sendiri.

Penutup: Pena Janahku, Semangatku

Kini, setiap kali aku menggenggam Pena Janahku, aku selalu berbisik dalam hati: “Tulislah sesuatu yang bermanfaat. Tulislah yang menguatkan, bukan yang melemahkan. Tulislah yang menginspirasi, bukan yang mencemooh. Tulislah dengan hati, karena hati tidak pernah bohong.”

Pena ini adalah cermin jiwaku. Ia menunjukkan siapa aku sebenarnya, apa yang aku rasakan, dan ke mana aku ingin melangkah. Pena ini pula yang selalu memotivasiku untuk tidak menyerah, meski badai kehidupan datang silih berganti.

Pena Janahku mungkin hanyalah sebuah alat kecil, tetapi dampaknya luar biasa. Ia adalah sayap yang membawaku terbang, cahaya yang menuntunku dalam gelap, dan teman setia yang tak pernah meninggalkan aku sendirian.

Dan untuk setiap orang yang membaca tulisan ini, izinkan aku menitipkan pesan: carilah Pena Janahmu sendiri. Temukan hal yang membuatmu semangat, yang memotivasimu, yang menjadikan hidupmu penuh makna. Mungkin bukan pena, mungkin musik, seni, olahraga, atau bahkan doa. Apa pun itu, jadikanlah sebagai sayapmu untuk terbang lebih tinggi, lebih jauh, dan lebih indah.

Sebab hidup bukan hanya tentang berjalan, tetapi juga tentang terbang dengan sayap-sayap yang kita miliki. Dan bagiku, sayap itu bernama Pena Janahku.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com


Klik https://wijayalabs.com/about



Semoga bermanfaat

breaking news kegiatan PGRI

Breaking News PGRI:

PGRI dan APKS PB PGRI Gelar Seri Webinar Pembelajaran Mendalam: Hadirkan Konsep dan Kerangka Kerja Bersama Pakar Pendidikan

Pendidikan Indonesia terus bergerak menuju era baru yang menuntut guru dan tenaga pendidik mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perkembangan zaman. 

Salah satu tantangan besar dalam dunia pendidikan hari ini adalah bagaimana menciptakan proses belajar yang tidak hanya berhenti pada permukaan, tetapi mampu menyentuh lapisan terdalam pemahaman siswa. 

Inilah yang disebut dengan pembelajaran mendalam (deep learning)—sebuah konsep yang kini menjadi perhatian serius oleh para penggerak pendidikan, khususnya di tubuh Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) bersama Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis (APKS PB PGRI).

Untuk menjawab tantangan itu, APKS PB PGRI menggelar Seri Webinar Pembelajaran Mendalam Seri 2 dengan tajuk “Konsep dan Kerangka Kerja Pembelajaran Mendalam”. 

Webinar ini dijadwalkan berlangsung pada Selasa, 26 Agustus 2025 pukul 14.00–15.30 WIB melalui platform Zoom dan siaran langsung YouTube PGRI Official.

Prof. Dr. Unifah Rosyidi: Membumikan Pembelajaran Mendalam di Sekolah

Sebagai Keynote Speaker, hadir sosok yang tidak asing lagi bagi dunia pendidikan Indonesia: Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd., Ketua Umum PB PGRI.

Prof. Unifah dikenal luas sebagai akademisi, pemimpin organisasi, dan pejuang pendidikan yang konsisten memperjuangkan hak-hak guru sekaligus mendorong inovasi pembelajaran. 

Kehadirannya dalam webinar ini menjadi magnet tersendiri, karena beliau diharapkan mampu memberi perspektif strategis tentang bagaimana pembelajaran mendalam dapat dirumuskan sebagai kerangka kerja yang relevan dengan kondisi sekolah di Indonesia.

Menurut Prof. Unifah, pembelajaran mendalam bukan hanya sekadar metode, melainkan paradigma baru. Guru tidak lagi hanya mentransfer ilmu, tetapi memfasilitasi proses berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, serta membangun karakter siswa agar siap menghadapi tantangan global.

“Guru harus mampu menjadi learning designer, bukan sekadar knowledge transmitter,” demikian salah satu pesan yang kerap beliau sampaikan dalam berbagai kesempatan.

Sambutan Inspiratif dari Ketua APKS PB PGRI

Acara akan diawali dengan sambutan dari Dr. Sumardiansyah Perdana Kusuma, M.Pd., Ketua APKS PB PGRI. Beliau adalah tokoh muda yang energik dalam mendorong kualitas profesi guru melalui wadah APKS.

Dalam pandangan bapak Haji Dr. Sumardiansyah, pembelajaran mendalam sejalan dengan semangat PGRI dalam mewujudkan guru pembelajar sepanjang hayat. 

Guru tidak hanya dituntut menguasai materi ajar, tetapi juga harus kreatif mendesain pengalaman belajar yang bermakna. Oleh karena itu, APKS hadir untuk memperkuat kapasitas guru dalam menguasai kompetensi abad 21.

Sambutan beliau diperkirakan akan menekankan pentingnya kolaborasi guru, pemerintah, dan masyarakat dalam menciptakan ekosistem pembelajaran mendalam yang berkelanjutan.

Narasumber Ahli: Praktik dan Konsep Aplikatif

Selain keynote dan sambutan, webinar ini menghadirkan Catur Nurrochman O., M.Pd., yang kini menjabat sebagai Wasekjen PB PGRI sekaligus Wakil Ketua APKS PB PGRI, sebagai narasumber utama.

Sebagai praktisi sekaligus organisatoris, Catur diyakini mampu menguraikan konsep pembelajaran mendalam dalam bentuk kerangka kerja yang dapat langsung diaplikasikan di kelas. 

Para guru peserta webinar nantinya tidak hanya mendapatkan teori, tetapi juga contoh nyata implementasi pembelajaran mendalam dalam berbagai mata pelajaran dan jenjang pendidikan.

Catur menekankan bahwa inti dari pembelajaran mendalam adalah keterlibatan aktif siswa dalam menemukan, mengolah, dan menyimpulkan pengetahuan. 

Guru bertugas menyediakan lingkungan yang kondusif, instruksi yang tepat, serta dukungan yang memfasilitasi siswa berpikir lebih jauh daripada sekadar menghafal.

Moderator yang Menghidupkan Diskusi

Webinar ini akan dipandu oleh Nursandy Alamsyah, M.Pd., Sekretaris Asosiasi Guru Public Speaking PB PGRI. 

Kehadirannya sebagai moderator akan memberikan warna tersendiri, mengingat kemampuan komunikasi publik yang mumpuni menjadi kunci dalam menghidupkan diskusi. 

Dengan gaya interaktifnya, Nursandy diyakini dapat menjaga alur webinar agar tetap segar, fokus, dan penuh inspirasi.

Pembelajaran Mendalam: Kenapa Penting?

Pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah: mengapa pembelajaran mendalam begitu penting untuk dunia pendidikan kita saat ini?

Jawabannya sederhana namun mendasar. Dunia kita berubah dengan cepat. Revolusi teknologi, kecerdasan buatan (AI), dan globalisasi membuat keterampilan abad 21 menjadi kebutuhan mendesak. 

Siswa tidak cukup hanya menguasai rumus, definisi, atau teori. Mereka perlu belajar berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif.

Pembelajaran mendalam memungkinkan siswa memahami konsep secara menyeluruh, mampu mengaitkan pengetahuan dengan kehidupan nyata, dan mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Inilah bekal yang membuat mereka tangguh menghadapi persoalan kehidupan dan dunia kerja.

Fasilitas Menarik: e-Sertifikat untuk Peserta

Sebagai bentuk apresiasi, setiap peserta yang mengikuti webinar akan mendapatkan e-sertifikat. Bagi guru, hal ini tentu penting karena menjadi bagian dari portofolio pengembangan diri dan dapat digunakan sebagai bukti peningkatan kompetensi profesional.

Namun lebih dari sekadar sertifikat, nilai utama dari webinar ini adalah pengetahuan dan inspirasi yang akan diperoleh. Guru yang mengikuti diharapkan mampu membawa pulang ide-ide baru untuk diterapkan di kelas mereka masing-masing.

Terbuka untuk Semua Guru di Indonesia

Kabar baiknya, webinar ini terbuka untuk semua pendidik di seluruh Indonesia. Melalui Zoom maupun siaran langsung di kanal YouTube PGRI Official, guru dari Sabang sampai Merauke dapat bergabung tanpa batasan jarak.

Hal ini sejalan dengan semangat digitalisasi pembelajaran yang tengah digalakkan. PGRI sebagai organisasi guru terbesar di Indonesia berkomitmen untuk menyediakan ruang belajar bagi para pendidik, kapan pun dan di mana pun.

Menuju Guru Pembelajar Sepanjang Hayat

Seri webinar ini bukanlah yang pertama dan terakhir. Sebelumnya, APKS PB PGRI telah memulai rangkaian dengan Seri 1, dan setelah Seri 2 tentu akan berlanjut dengan topik-topik lain yang semakin memperkaya khasanah keilmuan guru.

Melalui kegiatan semacam ini, PGRI ingin menegaskan bahwa guru adalah pembelajar sejati. Seperti dikatakan oleh Prof. Unifah Rosyidi, “Guru yang berhenti belajar, akan kehilangan relevansi di depan muridnya.” Dengan semangat itu, PGRI mendorong agar setiap guru menjadikan belajar sebagai nafas kehidupan, sepanjang hayat.

Penutup: Jangan Lewatkan Kesempatan Berharga Ini

Dengan menghadirkan tokoh-tokoh penting seperti Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd., Dr. Sumardiansyah Perdana Kusuma, M.Pd., dan Catur Nurrochman O., M.Pd., webinar ini menjanjikan sajian materi yang padat, aplikatif, dan inspiratif.

Mari kita jadikan momen ini sebagai kesempatan emas untuk memperkaya wawasan, memperkuat kompetensi, dan mempertegas komitmen kita sebagai guru pembelajar sepanjang hayat.

📅 Selasa, 26 Agustus 2025
🕑 14.00–15.30 WIB
💻 Zoom Meeting & Live YouTube PGRI Official

👉 Link Zoom: Klik di sini
Meeting ID: 841 1044 7955
Passcode: apkspb

Live YouTube: PGRI Official

Jangan lewatkan, mari bersama belajar, berbagi, dan menginspirasi!

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia  
Blog https://wijayalabs.com