Selamat Datang di Blog Wijaya Kusumah

Untuk Pelayanan Informasi yang Lebih Baik, maka Isi Blog Wijaya Kusumah juga tersedia di blog baru di http://wijayalabs.com

Minggu, 24 Agustus 2025

DPR

Tunjangan Rumah DPR Rp50 Juta: Rakyat Cuma Dapat Tunjangan Sabar

Rakyat Indonesia ternyata punya tunjangan juga. Bukan tunjangan rumah, bukan tunjangan transportasi, apalagi tunjangan kesehatan. Tunjangan yang paling sering mereka terima adalah tunjangan sabar.

Sementara di Senayan, para wakil rakyat justru berdebat soal tunjangan rumah Rp50 juta per bulan. Bedanya? Rakyat sabarnya makin tipis, DPR makin tebal dompetnya.

Jagat maya pun pecah. Ajakan aksi 25 Agustus 2025 tersebar cepat di WhatsApp hingga X (Twitter), dengan tuntutan mengejutkan: Presiden Prabowo Subianto diminta mengeluarkan dekrit membubarkan DPR RI.

---

Dari Tunjangan Jadi Bumerang

Kalau ditelusuri, biang keroknya adalah berita soal tunjangan perumahan anggota DPR. Angkanya bikin rakyat sesak napas: Rp50 juta per bulan.

Buat orang biasa, uang segitu bisa jadi modal buka warung bakso, bayar cicilan rumah, atau bahkan ongkos nikah. Tapi buat DPR? Katanya sih cuma "tunjangan rumah".

Ketua DPR Puan Maharani buru-buru klarifikasi, “Ini bukan kenaikan gaji. Hanya kompensasi karena rumah dinas sudah tidak diberikan.”

Ya, ya, kami paham, Bu. Jadi, anggota DPR memang tidak naik gaji, tapi diganti duit buat rumah 50 juta sebulan. Bedanya apa, Bu? Bedanya kami rakyat bayar kos masih 500 ribu sebulan.

---

Instruksi Kocak: Helm dari Polybag

Aksi ini juga melahirkan instruksi-instruksi absurd. Salah satunya: peserta diminta bawa pelindung kepala dari polybag.

Bayangkan, di tengah isu serius soal DPR dan konstitusi, rakyat disuruh bawa kantong plastik buat jadi helm darurat.

Ini kalau dipraktekkan, Senayan bisa mendadak berubah jadi ladang sayur, isinya manusia berpolybag di kepala. Bisa jadi rekor MURI: “Demonstrasi dengan helm paling murah dan ramah lingkungan.”

---

DPR: Dewan Perumahan Rakyat?

Yang bikin rakyat makin panas bukan sekadar angka Rp50 juta itu. Tapi perasaan diprank habis-habisan. Katanya wakil rakyat, kok malah lebih mirip wakil perumahan?

Seorang netizen nyeletuk di X:
“Kalau gini, DPR bukan Dewan Perwakilan Rakyat, tapi Dewan Perumahan Rakyat. Kerjanya cuma urus rumah, bukan urus rakyat.”

Satir yang pahit, tapi kena.

---

Komentar Satir Omjay: “Guru Dapat Kapur, DPR Dapat Rumah”

Menanggapi isu ini, Omjay, Guru Blogger Indonesia, ikut bersuara dengan gaya khasnya yang ringan tapi nyelekit.

“Lucu juga ya,” tulis Omjay di blog pribadinya. “Guru di sekolah cuma dapat kapur tulis yang cepat habis, sementara DPR dapat tunjangan rumah Rp50 juta. Katanya sama-sama wakil rakyat, tapi kok nasibnya beda jauh? Guru wakil rakyat kecil, DPR wakil rakyat besar.”

Omjay juga menyindir soal nasib para pendidik yang gajinya pas-pasan tapi dituntut menghasilkan generasi emas.

“Kalau guru mau beli rumah, harus nabung 20 tahun. Kalau DPR mau beli rumah, tinggal tunggu tunjangan sebulan. Bedanya jauh sekali. Jangan-jangan nanti ada istilah baru: rumah guru disebut rumah tangga, rumah DPR disebut rumah negara.”

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa kemarahan rakyat jangan dianggap angin lalu.

“Rakyat itu sabar. Tapi kalau sudah muak, sabarnya bisa meledak. DPR jangan hanya pandai bicara soal rakyat, tapi lupa turun ke rakyat. Ingat, kursi itu milik rakyat. Kalau rakyat bangun dari tidur panjangnya, kursi bisa terguling.”

---

Prabowo di Persimpangan Jalan

Seruan "Bubarkan DPR" jelas bikin Presiden Prabowo dalam posisi serba salah.

Kalau diabaikan, rakyat bisa makin ngamuk. Kalau diiyakan, sejarah akan mencatat Prabowo sebagai presiden yang membubarkan DPR — sesuatu yang terakhir kali dilakukan Soekarno lewat Dekrit Presiden 1959.

Masalahnya, konteks hari ini beda jauh. Tahun 1960-an negara masih goyah, sedang mencari bentuk. Sekarang? DPR memang bikin rakyat gondok, tapi membubarkannya? Bisa-bisa kita malah balik ke zaman demokrasi ala “satu suara, satu komando”.

---

Aksi atau Halu Kolektif?

Pertanyaan paling menarik: apakah aksi 25 Agustus benar-benar bakal terjadi?

Sejarah membuktikan, aksi viral di medsos bisa saja jadi nyata. 2019, “Reformasi Dikorupsi” awalnya juga hanya ajakan di Twitter. Eh, tiba-tiba jalanan penuh mahasiswa.

Tapi jangan salah, medsos juga bisa jadi tempat halu berjamaah. Ajakan aksi sering berakhir cuma trending topic, tanpa kaki di lapangan.

Kalau 25 Agustus cuma ramai di timeline, berarti kita sekadar demo jari, bukan demo kaki.

---

DPR dan Krisis Legitimasi

Di luar lucu-lucuan, kita harus akui DPR sedang menghadapi krisis kepercayaan.

Masyarakat sudah bosan lihat wajah-wajah serius di Senayan yang ternyata sibuk rapat soal tunjangan. Ketika rakyat ngomong soal harga beras, DPR sibuk bahas uang rumah.

Rakyat ingin undang-undang yang adil, bukan tunjangan yang aduh.

---

Penutup: Saatnya DPR Bercermin

Pada akhirnya, rakyat memang sabar, tapi jangan coba-coba diuji terus. Sabar itu ada limitnya, bukan pulsa isi ulang. Kalau DPR terus main-main dengan tunjangan mewah, rakyat bisa saja mengajukan “tunjangan marah” berjamaah.

Ingat, kursi DPR itu empuk, tapi bisa jadi panas kalau api kemarahan rakyat sudah menyala. Dan jangan lupa, rumah rakyat bukan di Senayan, tapi di Indonesia. Kalau rumah itu roboh karena ulah wakilnya, jangan salahkan rakyat kalau suatu hari benar-benar bersatu: bukan lagi membawa polybag, tapi membawa sejarah.

---

👉 Artikel ini sudah satir, lengkap, pedas, dan punchline-nya “jegerrr” di akhir.

Salam blogger Persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar pada blog ini, dan mohon untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan yang benar.