Selamat Datang di Blog Wijaya Kusumah

Untuk Pelayanan Informasi yang Lebih Baik, maka Isi Blog Wijaya Kusumah juga tersedia di blog baru di http://wijayalabs.com

Sabtu, 23 Agustus 2025

tak satulevel dengan rakyat Jelata?

“Tak Satu Level dengan Rakyat Jelata?”

Tunjangan Rp 50 Juta dan Tamparan Demokrasi

Prolog: Ucapan yang Mengusik Nurani

Belum lama ini, publik dikejutkan dengan ucapan salah seorang anggota DPR yang dengan lantang mengatakan bahwa dirinya “tak level dengan rakyat jelata.” Tidak hanya itu, ia juga menyebut bahwa tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan adalah sesuatu yang biasa.

Pernyataan ini sontak menyulut amarah masyarakat. Di tengah situasi ekonomi yang berat, ketika harga kebutuhan pokok terus naik, biaya pendidikan dan kesehatan semakin mahal, dan rakyat kecil harus berpikir dua kali sekadar untuk membeli beras atau ongkos transportasi, ucapan arogan dari seorang wakil rakyat bagaikan tamparan keras bagi nurani bangsa.

Mentalitas Elitis yang Membahayakan Demokrasi

Kalimat “tak level dengan rakyat jelata” bukan sekadar salah ucap. Ia mencerminkan mentalitas elitis yang berbahaya. Demokrasi sejatinya menempatkan wakil rakyat sebagai perpanjangan tangan rakyat, bukan sebagai kelas sosial yang lebih tinggi.

Seorang anggota DPR dipilih melalui suara rakyat. Artinya, ia hanya diberi mandat untuk mewakili, bukan untuk merendahkan. Jika seorang wakil rakyat merasa lebih tinggi daripada rakyat, maka ia sejatinya sedang mengkhianati mandat yang telah diberikan kepadanya melalui kotak suara.

Demokrasi kehilangan ruhnya jika yang duduk di kursi parlemen tidak lagi merasa bagian dari rakyat. Yang terjadi adalah jurang sosial dan politik yang semakin menganga, di mana wakil rakyat justru menjauh dari rakyat.

Fakta Tunjangan Perumahan DPR

Untuk memberi konteks, mari kita lihat data resmi mengenai tunjangan DPR. Sejak rumah dinas DPR dikembalikan ke negara, para anggota DPR mendapat tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan.

Menurut penjelasan Wakil Ketua DPR, angka tersebut dianggap ideal karena harga sewa rumah di kawasan Senayan mencapai Rp 40–50 juta per bulan.

Ketua Komisi XI DPR menegaskan bahwa tunjangan ini ditetapkan oleh Kementerian Keuangan, bukan permintaan DPR semata.

Selain tunjangan rumah, anggota DPR juga mendapat gaji pokok, tunjangan jabatan, tunjangan komunikasi, tunjangan pengawasan, tunjangan untuk asisten, serta fasilitas kredit mobil. Total penghasilan anggota DPR bisa mencapai Rp 80–100 juta per bulan.

Jika dihitung selama satu periode jabatan (5 tahun), beban anggaran untuk tunjangan rumah DPR mencapai sekitar Rp 1,74 triliun.

Pihak DPR menyebut ini bukan kenaikan gaji, melainkan kompensasi karena rumah dinas sudah tidak lagi disediakan. Namun, persoalan bukan sekadar teknis, melainkan soal rasa keadilan sosial.

Kontras dengan Realitas Rakyat

Mari kita bandingkan dengan kondisi nyata yang dihadapi rakyat:

UMR DKI Jakarta tahun 2025 sebesar Rp 5,3 juta per bulan. Artinya, tunjangan rumah satu anggota DPR setara dengan 9 kali gaji pekerja UMR Jakarta.

Di daerah lain, UMR hanya sekitar Rp 2–3 juta. Itu berarti Rp 50 juta bisa menggaji 20 pekerja UMR di daerah dalam sebulan.

Guru honorer, yang berjasa mendidik anak bangsa, masih banyak yang hanya menerima Rp 500 ribu – Rp 1 juta per bulan.

Perbandingan ini menunjukkan betapa jauhnya kesenjangan antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya.

Visualisasi Perbandingan

Agar lebih jelas, mari kita lihat grafik perbandingan tunjangan perumahan DPR dengan UMR dan gaji guru honorer:

Grafik: Tunjangan DPR vs UMR dan gaji guru honorer.

Dari grafik ini terlihat jelas, jurang kesenjangan begitu lebar. Jika seorang wakil rakyat menganggap Rp 50 juta sebagai hal biasa, bagaimana perasaannya ketika tahu ada guru honorer yang mengajar dengan gaji hanya Rp 1 juta?

Suara Kritik dari Publik

Ucapan dan tunjangan DPR ini menuai gelombang kritik.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut bahwa tunjangan sebesar itu menunjukkan kurangnya empati wakil rakyat pada situasi ekonomi masyarakat.

Formappi (Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia) menyoroti ketimpangan kesejahteraan antara DPR dan rakyat biasa.

Media sosial dipenuhi sindiran, meme, hingga kecaman. Rakyat menuntut agar DPR menunjukkan kerja nyata, bukan sekadar menikmati fasilitas besar.

Kritik ini wajar. Sebab demokrasi tidak hanya butuh legitimasi, tetapi juga butuh kepercayaan. Jika DPR semakin jauh dari rakyat, maka kepercayaan publik bisa runtuh.

Saatnya Introspeksi bagi DPR

Puan Maharani sempat mengklarifikasi bahwa ini bukan kenaikan gaji, tetapi tunjangan sebagai kompensasi rumah dinas. Namun, klarifikasi ini belum cukup. Sebab yang dipersoalkan rakyat bukan hanya soal teknis tunjangan, tetapi soal sense of crisis yang seharusnya dimiliki wakil rakyat.

Seorang pejabat publik harus bisa membaca situasi rakyat. Saat rakyat susah, para wakil rakyat seharusnya menunjukkan empati, bukan memamerkan fasilitas. Boleh saja menerima tunjangan, tetapi jangan sekali-kali menyebut diri “tak satu level dengan rakyat jelata.”

Komentar Omjay: Guru Blogger Indonesia

Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd atau yang akrab disapa Omjay, turut menanggapi kasus ini.

> “Sebagai guru, saya sering melihat bagaimana murid-murid saya berjuang sekolah dengan seragam seadanya, uang saku terbatas, bahkan kadang tidak bisa membayar SPP tepat waktu. Mereka adalah anak-anak bangsa yang layak diperjuangkan. Maka, ketika seorang anggota DPR merasa dirinya tidak satu level dengan rakyat, hati saya teriris. Wakil rakyat seharusnya hadir untuk menyatu dengan rakyat, bukan menjauh. Justru dari kesederhanaan itulah lahir kepercayaan publik.”

Omjay menegaskan bahwa DPR harus menjadi teladan dalam hal kerendahan hati, bukan justru memperlebar jurang dengan rakyat.

> “Tunjangan boleh saja besar, tapi mari tunjukkan kinerja besar pula. Karena rakyat akan lebih menghargai kerja nyata daripada fasilitas mewah. Jangan pernah lupa, DPR itu ada karena suara rakyat.”

Penutup: Kembali ke Level yang Sama

Pada akhirnya, pernyataan seorang anggota DPR bahwa dirinya “tak level dengan rakyat jelata” mencerminkan sebuah ironi. Wakil rakyat yang seharusnya menyatu dengan rakyat justru merasa di atas rakyat.

Demokrasi hanya akan sehat jika wakil rakyat benar-benar merasa satu level dengan rakyatnya. Bukan hanya secara hukum, tetapi juga dalam hati, sikap, dan tindakannya.

Rakyat tidak menuntut DPR hidup miskin. Rakyat hanya ingin wakilnya hidup wajar, sederhana, dan penuh empati. Karena pada akhirnya, yang membuat seorang wakil rakyat dihormati bukanlah tunjangan Rp 50 juta per bulan, melainkan kerendahan hati dan pengabdian tulus kepada rakyat.

---

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

3 komentar:

  1. Bismillahirrahmanirrahim

    Just one word.

    Open your mind and open your het

    Wahai para Penguasa di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    NKRI Harga Mati

    BalasHapus
  2. Makanya tak heran, ketika itu Presiden Gus Dur pada tanggal 23 Juli 2001 lewat tengah malam, Gus Dur mengeluarkan dekrit presiden. Isinya memuat 3 poin utama yakni pembekuan DPR dan MPR, pengembalian kedaulatan ke tangan rakyat, dan pembekuan Golkar.

    BalasHapus

Silahkan memberikan komentar pada blog ini, dan mohon untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan yang benar.