Opera Jalanan: Saat Mahasiswa, Pelajar, dan Rakyat Menyatu
Hari itu matahari masih malu-malu menampakkan diri. Jalanan ibu kota biasanya dipenuhi suara klakson, tukang ojek online, dan pedagang asongan. Tapi kali ini berbeda. Jalanan berubah menjadi panggung besar. Spanduk berjejer, poster warna-warni diangkat tinggi, dan toa tua memekakkan telinga.
Di tengah kerumunan itu, berdirilah Bima, mahasiswa semester akhir yang sudah lebih lama demo daripada mengerjakan skripsi. Dengan jaket almamater lusuh, ia naik ke bak truk dan berteriak, “Saudara-saudara! Kita tidak bisa diam lagi!”
Sorak sorai massa menjawab. Namun seorang pelajar berseragam putih abu-abu, Siti, nyeletuk dari bawah, “Bang, teriaknya jangan kenceng-kenceng. Saya belum sarapan, takut pingsan. Kalau pingsan malah viral jadi konten kasihan.”
Massa tertawa.
Adegan 1: Mahasiswa yang Kehilangan Panggung
Bima menurunkan toa, lalu menatap kerumunan.
“Saudara-saudara, tahukah kalian kenapa kita di sini? Karena harga kos sudah lebih mahal dari cicilan rumah. Karena gaji orang tua tidak cukup lagi buat beli beras. Karena negeri ini sudah dikuasai janji kosong!”
Poster-poster terangkat tinggi. Ada yang bertuliskan:
“Kami lapar, pejabat tetap pesta.”
“BBM naik, sabar. Pajak naik, sabar. Sabar kami habis!”
“Kami turun ke jalan bukan karena hobi, tapi karena nasi sudah basi.”
Namun Siti kembali menyahut, polos tapi menyakitkan.
“Bang, ngomongnya keren banget. Tapi jangan-jangan habis demo nanti abang balik lagi ke kos, nonton Netflix, terus lupa sama kami rakyat kecil?”
Bima tercekat. Sindiran itu lebih pedas daripada orasi pejabat di TV.
Adegan 2: Pelajar yang Lebih Berani
Siti maju dengan posternya: “Harga bakso lebih mahal dari nilai matematika gue.”
Ia berdiri di atas kursi plastik reyot.
“Kami pelajar juga ikut turun! Jangan kira kami cuma bisa lipsync di TikTok. Kami juga tahu rasanya lapar. Kami tahu harga LKS makin mahal, tapi ilmu makin membingungkan. Kami tahu sekolah full day, tapi masa depan tetap muram!”
Massa bersorak, sebagian tertawa, sebagian bertepuk tangan.
Bima memandang Siti dengan kagum. “Dik, kamu luar biasa. Generasi kamu ini masa depan bangsa.”
Siti menjawab santai, “Masa depan bangsa gimana, Bang? Jadi ketua kelompok belajar aja saya nggak pernah sukses. Semua anggota kelompok lebih sibuk main Mobile Legends.”
Sekali lagi, tawa pecah. Tapi di balik tawa itu, semua sadar: ada kebenaran yang sulit dibantah.
Adegan 3: Rakyat yang Sudah Kehilangan Sabar
Di sisi lain kerumunan, Pak Man, penjual gorengan, berteriak sambil mengangkat poster dari kardus bekas: “Minyak goreng mahal, gorengan jadi kenangan.”
Ia maju ke depan, berdiri sejajar dengan Bima dan Siti.
“Anak muda, saya bangga kalian turun ke jalan. Tapi ingat, rakyat kecil sudah lama di jalan. Bedanya, kami di jalan buat jualan, kalian di jalan buat demo. Sama-sama capek, tapi hasilnya beda.”
Siti menatap penasaran. “Pak, terus apa gunanya kita demo kalau akhirnya sama aja?”
Pak Man menarik napas panjang.
“Gunanya banyak, Nak. Demo itu alarm. Biar para pejabat sadar, sabar rakyat ada batasnya. Tapi jangan berhenti di sini. Kalau kalian cuma teriak lalu pulang, itu namanya hiburan. Kalau kalian terus kawal, itu baru perjuangan.”
Bima menunduk. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada kritik dosen pembimbing skripsi.
Adegan 4: Satir Jalanan
Poster-poster terus bermunculan:
“Utang negara naik, utang warung juga naik.”
“Kami tidak butuh janji, kami butuh nasi.”
“Pejabat selfie, rakyat selfie-selepet utang.”
“Belajar sejarah reformasi, ternyata sekarang main sequel.”
Orasi berubah jadi stand up comedy massal. Orang-orang tertawa, tapi dengan perut kosong.
Seorang ibu-ibu maju, membawa bayi di gendongan. Posternya sederhana:
“ASI saya gratis, tapi harga susu formula bikin stres.”
Kerumunan terdiam sejenak. Itu bukan lagi satire, tapi kenyataan paling pahit.
Adegan 5: Pemerintah yang Berakting
Tak jauh dari sana, televisi menyiarkan pejabat yang pura-pura kaget.
“Kami prihatin dengan demo ini,” katanya, sambil tersenyum di depan kamera.
“Kami akan bentuk tim khusus untuk membahas masalah ini,” tambahnya, dengan suara bergetar palsu.
Rakyat yang menonton hanya bisa geleng kepala.
Pak Man berkomentar pedas, “Kalau masalah bisa selesai dengan tim khusus, seharusnya kita sudah jadi negara maju sejak dulu. Lah tiap masalah selalu tim khusus, hasilnya khusus buat pejabat.”
Kerumunan kembali tertawa getir.
Adegan 6: Media Sosial Jadi Medan Tempur
Demo itu tidak hanya berhenti di jalan. Ribuan video viral di TikTok, ribuan thread berseliweran di X, ribuan meme membanjiri Instagram.
Siti sempat live TikTok, dengan caption:
“Ini bukan cosplay reformasi, ini realitas generasi Z!”
Komentar netizen pun bermunculan:
“Keren, akhirnya generasi rebahan turun ke jalan.”
“Semoga nggak cuma viral sehari, lalu hilang kayak tren es kepal Milo.”
“Ingat, revolusi nggak bisa dicicil kayak paylater.”
Adegan 7: Harapan di Tengah Satire
Matahari makin tinggi. Polisi mulai resah, aparat mulai tegang, tapi massa tetap bertahan.
Bima berdiri di atas truk, kali ini tanpa toa. Ia menatap Siti dan Pak Man.
“Kalian benar. Demo ini bukan sekadar teriak. Ini awal. Kita harus terus kawal. Kalau kita berhenti, mereka akan pesta lagi.”
Siti mengangguk.
“Kalau begitu, ayo kita tulis sejarah baru. Biar buku LKS besok punya bab tambahan: ‘Perlawanan Generasi TikTok’.”
Pak Man tersenyum getir.
“Semoga kali ini bukan bab yang hilang dihapus penguasa.”
Massa bersorak, poster melambai, suara tawa bercampur dengan tangis. Opera jalanan itu belum berakhir. Tapi untuk pertama kalinya, mahasiswa, pelajar, dan rakyat benar-benar menyatu.
Epilog: Republik yang Diselamatkan Satire
Hari itu jalanan menjadi panggung. Bima si mahasiswa, Siti si pelajar, dan Pak Man si rakyat kecil jadi simbol.
Mereka bukan pahlawan super, bukan juga politisi karbitan. Mereka hanya manusia biasa yang muak dengan kebohongan.
Dan mungkin, memang satire-lah yang bisa menyelamatkan republik ini. Karena ketika rakyat sudah bisa menertawakan penguasa dengan getir, artinya rakyat sudah tidak takut lagi.
Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay
Guru blogger Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar pada blog ini, dan mohon untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan yang benar.