Selamat Datang di Blog Wijaya Kusumah

Untuk Pelayanan Informasi yang Lebih Baik, maka Isi Blog Wijaya Kusumah juga tersedia di blog baru di http://wijayalabs.com

Selasa, 26 Agustus 2025

Menulislah Dengan Hati dan Bukan Dengan AI

Menulislah dengan Hati, Bukan dengan AI

Pendahuluan: AI di Era Menulis tanpa kertas dan pensil atau ballpoint

Sekarang ini zamannya kecerdasan buatan dengan berbagai aplikasi. Kita hidup di zaman yang serba cepat. 

Teknologi hadir bak ombak besar yang menggulung semua lini kehidupan, termasuk dunia kepenulisan. 

Artificial Intelligence (AI) kini sudah menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari, mulai dari sekadar mencari ide, menyusun jadwal, hingga menuliskan artikel panjang dalam hitungan menit. 

Namun di sinilah letak persoalan: banyak orang mulai salah menempatkan AI.

AI dianggap bisa menggantikan manusia dalam menulis. Padahal, sesungguhnya AI hanyalah alat. AI tidak punya otak dan manusia punya.

Sama seperti pena, mesin tik, atau komputer. Ia tidak memiliki hati, tidak punya perasaan, apalagi pengalaman batin. Sementara menulis sejatinya adalah kerja otak dan hati, pekerjaan yang sangat manusiawi.

Tulisan yang lahir dari hati akan berbeda rasanya dibandingkan tulisan yang lahir dari mesin. Ia akan lebih jujur, lebih menyentuh, dan lebih bermakna.

Menulis sebagai Jejak Kemanusiaan

Sejak ribuan tahun lalu, menulis menjadi cara manusia meninggalkan jejak pemikiran. Para cendekiawan di masa lalu menulis bukan karena ingin viral, bukan pula karena ingin terkenal. Mereka menulis karena merasa terpanggil untuk berbagi ilmu, gagasan, dan hikmah hidup.

Lihatlah Imam Al-Ghazali, yang karya monumentalnya Ihya Ulumuddin masih dipelajari hingga kini. Atau Buya Hamka, yang menulis dengan penuh ketulusan, melahirkan tafsir Al-Azhar meski sempat berada di balik jeruji penjara. Mereka menulis tanpa bantuan teknologi modern, tanpa jaminan akan dibaca banyak orang, namun karyanya abadi lintas zaman.

Pesannya jelas: menulis adalah tugas kemanusiaan. MENULIS ADALAH PEKERJAAN SEMUA ORANG KARENA SEMUA ORANG MENULIS.

Tantangan Menulis di Era Digital

Hari ini, kita menghadapi tantangan yang berbeda. Dunia digital membuat segalanya cepat berubah. Google, misalnya, dengan algoritma yang terus diperbarui. Apa yang hari ini dianggap “baik untuk SEO”, bisa jadi besok sudah usang.

Namun penulis sejati tidak boleh kehilangan arah. Tantangan itu harus dihadapi dengan strategi. Bukan dengan menyerah pada mesin, tetapi dengan terus menulis artikel yang mampu menarik hati pembaca.

Jumlah pembaca memang bisa menurun, karena orang lebih suka menonton video pendek atau scroll media sosial. Tapi itu bukan alasan untuk berhenti menulis. Justru inilah ujian sejati seorang penulis: apakah ia tetap menulis meski tidak ada jaminan pembaca?

Omjay: Guru Blogger yang Terus Menulis

Mari kita ambil contoh nyata dari seorang penulis sekaligus pendidik: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd, yang akrab disapa Omjay. Sekjen IKATAN GURU TIK PGRI .

Sejak awal tahun 2000-an, Omjay konsisten menulis di blog pribadinya. Hampir setiap hari ada saja tulisan yang ia lahirkan, meski sering kali jumlah pembacanya tidak seberapa. Namun bagi Omjay, itu bukan masalah. Ia meyakini menulis adalah ibadah, menulis adalah berbagi.

Ketika orang lain sibuk mengejar popularitas, Omjay justru sibuk menanam jejak digital yang bermanfaat. Berkat konsistensinya, Omjay kemudian dikenal luas sebagai Guru Blogger Indonesia. 

Ribuan bahkan jutaan guru kini terinspirasi untuk menulis karena melihat ketekunan beliau. Bukan hanya guru Indonesia saja yang kagum kepadanya. Tapi juga guru dari dunia internasional. Terakhir beliau pergi ke istambul turki dan berbagi pengalamannya menulis kepada guru-guru di sana.

Ada satu kalimat Omjay yang sudah menjadi buku best seller dimana orang selalu teringat:

*“Menulislah setiap hari, dan buktikan apa yang terjadi.”*

Kalimat sederhana ini seakan menjadi mantra bagi banyak guru. Menulis memang butuh kebiasaan. Ia tidak akan lahir dari mesin, melainkan dari latihan, ketekunan, dan keikhlasan hati.

Menulis Itu Perjalanan, Bukan Perlombaan

Banyak orang kini terjebak pada angka: berapa banyak yang membaca, berapa yang memberi komentar, berapa yang membagikan tulisan. Padahal menulis sejatinya bukan perlombaan. Menulis adalah perjalanan panjang.

Belajarlah dari almarhum buya hamka. Walaupun sudah 100 tahun lebih neliau meninggal, namun karya tulisnya tetap abadi sepanjang hayat.

Seorang penulis yang baik tidak akan kehilangan semangat hanya karena pembacanya menurun. Semakin menurun semakin kuat semangat menulisnya.

 Justru ia akan melihatnya sebagai tantangan. “Kalau pembaca berkurang, mungkin saya harus memperbaiki cara bercerita, atau mencari topik yang lebih relevan,” begitu kira-kira pikirannya.

Di sinilah bedanya penulis sejati dengan penulis musiman. Penulis sejati tidak bergantung pada suasana, tidak pula menunggu mood. 

Dia akan terus menulis meski hanya sedikit yang membaca. Karena ia percaya, suatu hari nanti akan ada orang yang membutuhkan tulisannya. Vepat atau lambat akan ada yang membaca tulisannya lewat blog pribadinya.

Omjay menuliskan di blog sebagai alat rekam yang ajaib di https://wijayalabs.blogspot.com.

AI: Alat Bantu, Bukan Pengganti

Bukan berarti AI tidak boleh digunakan sama sekali. AI tetaplah teknologi yang bisa membantu kita. Ia bisa dipakai untuk mencari referensi, merapikan struktur, atau bahkan memberi inspirasi. Tapi ingat, AI hanya alat bantu, bukan pengganti.

Ibarat seorang koki, AI bisa menyiapkan bahan, tapi cita rasa masakan hanya bisa ditentukan oleh tangan koki itu sendiri. Demikian pula dalam menulis, AI bisa menyusun kata, tapi rasa tulisan hanya bisa lahir dari hati penulis.

Strategi Bertahan sebagai Penulis di Era AI

1. Menulis dengan hati – biarkan pengalaman hidup, perasaan, dan pemikiran jujur hadir dalam tulisan.

2. Konsisten berkarya – tulislah setiap hari meski hanya satu paragraf.

3. Menerima tantangan zaman – jangan takut dengan algoritma Google, hadapi dengan strategi.

4. Berjejaring dengan pembaca – bangun komunitas, bukan sekadar mengejar angka.

5. Belajar dari tokoh inspiratif – seperti Omjay yang terus menulis meski badai tantangan datang.

Penutup: Jejak Abadi dari Hati

Pada akhirnya, menulis adalah cara kita meninggalkan jejak. Bukan sekadar jejak digital, tetapi jejak hati. Tulisan yang lahir dari hati akan selalu menemukan jalannya, meski algoritma berubah, meski pembaca menurun, meski AI semakin canggih.

Jangan biarkan AI merampas kemanusiaan kita. Gunakan ia sebagai alat, bukan pengganti. Karena hanya manusia yang bisa menulis dengan rasa, dengan cinta, dengan kejujuran.

Maka, mari terus menulis setiap hari seperti omjay. Mari jadikan tantangan sebagai sahabat, bukan penghalang. Seperti kata Omjay, “menulislah setiap hari, dan buktikan apa yang terjadi.” Karena siapa tahu, dari satu tulisan kecil yang lahir dari hati, akan lahir perubahan besar bagi dunia.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Blog https://wijayalabs.com

1 komentar:

  1. Imam Al Ghazali mengatakan pada tulisannya yang about Tazkiyatun Nafs.

    Bahwa ada Adab antara guru dan murid.

    BalasHapus

Silahkan memberikan komentar pada blog ini, dan mohon untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan yang benar.