Ketika Gelar Tinggi Tak Selalu Berbanding Lurus dengan Penghargaan
Di negeri ini, banyak cerita yang kadang terasa ironis. Ada orang yang sekolah setinggi langit, menempuh pendidikan hingga S3, dengan pengorbanan luar biasa: waktu, biaya, tenaga, bahkan keluarga yang harus ikut menanggung konsekuensinya. Namun, ketika kembali ke dunia kerja—khususnya di dunia pendidikan dasar dan menengah—realitas yang dihadapi tidak jauh berbeda dengan mereka yang “cukup” berbekal S1.
Tidak ada kenaikan signifikan, baik dari segi penghasilan maupun penghargaan.
Karier pun berjalan stagnan, seolah gelar yang diperoleh hanyalah selembar kertas.
Sementara di sisi lain, mereka yang mungkin hanya berbekal ijazah SMA atau bahkan tidak tamat kuliah, bisa duduk manis di kursi empuk DPR dengan gaji fantastis dan fasilitas mewah. Perbandingan ini tentu menimbulkan rasa getir di hati para pendidik yang setiap hari berjuang mencerdaskan bangsa.
---
Gelar Tinggi, Harapan Tinggi
Ketika seorang guru melanjutkan studi ke S2 atau S3, tentu ada cita-cita besar yang mendorongnya. Bukan semata-mata mengejar gelar, melainkan ingin meningkatkan kualitas diri dan memberikan kontribusi nyata bagi pendidikan Indonesia.
Ada keyakinan bahwa dengan pendidikan lebih tinggi, akan lahir penghargaan yang lebih besar. Namun sayangnya, sistem di negeri ini belum sepenuhnya berpihak. Guru bergelar doktor tetap saja berdiri di depan kelas dengan status dan gaji yang tidak jauh berbeda dengan rekan-rekan mereka yang bergelar sarjana muda.
Padahal, jika logika sederhana kita gunakan: semakin tinggi ilmu seseorang, semakin besar pula seharusnya ruang untuk mengabdi dan diberdayakan. Sayangnya, logika itu tidak berlaku di banyak sekolah negeri.
---
Indonesia dan Tantangan Menghargai Ilmu
Jika kita jujur, bangsa ini belum sepenuhnya memberikan tempat yang layak bagi orang berpendidikan tinggi. Gelar akademik sering hanya dilihat sebagai formalitas, bukan sebagai investasi negara dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Contoh paling nyata ada di bidang pendidikan. Guru cukup diwajibkan S1. Untuk naik pangkat, syarat administratif lebih diutamakan ketimbang kualitas akademik. Seorang guru S3 tetap saja berada di level yang sama dengan guru S1. Tidak ada perlakuan khusus, tidak ada ruang lebih luas untuk mengembangkan diri.
Bandingkan dengan dunia akademik di perguruan tinggi. Seorang dosen yang meraih gelar doktor memiliki jalan lebih lapang untuk melangkah ke jabatan fungsional lebih tinggi, bahkan hingga mencapai profesor. Di sana, pendidikan tinggi dihargai dan diberi ruang untuk tumbuh.
Mungkin inilah sebabnya banyak guru yang akhirnya memilih “menyebrang” menjadi dosen. Jalan menjadi guru besar terbuka, meski tentu saja tidak semua orang memiliki kesempatan atau keberuntungan ke arah itu.
---
Ironi Sosial: DPR vs Guru
Mari kita tarik sedikit perbandingan yang lebih tajam. Seorang anggota DPR, dengan latar belakang pendidikan seadanya, bisa memperoleh gaji dan tunjangan puluhan juta rupiah, ditambah fasilitas mobil dinas, rumah dinas, perjalanan dinas, hingga pensiun.
Di sisi lain, seorang guru bergelar doktor, dengan dedikasi tanpa batas, masih harus menghitung hari untuk gajian, masih berjuang mencari tambahan penghasilan dari menulis, mengajar les, atau bahkan membuka usaha kecil-kecilan.
Bukankah ini ironi?
Bukankah ini luka yang dalam bagi dunia pendidikan kita?
Namun, inilah realitas yang mau tidak mau harus diterima. Karena jika tidak, mungkin banyak guru yang akan berhenti melangkah.
---
Tetap Bersyukur, Meski Perih
Di balik semua rasa getir itu, ada hal yang selalu menjadi penyangga: rasa syukur.
Meski penghasilan tidak sepadan dengan perjuangan, guru tetap menjadi sosok yang disegani murid-muridnya. Meski jabatan stagnan, masih ada rasa bangga ketika melihat anak-anak didik berhasil. Meski penghargaan negara belum setara, ada penghargaan dari hati kecil siswa yang terus mengingat jasa gurunya.
Gaji mungkin tidak bisa membeli kemewahan, tetapi kebahagiaan seorang guru sering datang dari sumber yang sederhana: ucapan terima kasih, senyum murid yang berhasil, atau sekadar sapaan dari alumni yang kini sudah sukses.
---
Harapan untuk Pemberdayaan Guru S3
Meski saat ini guru bergelar doktor belum sepenuhnya mendapat penghargaan yang layak, harapan tetap ada. Pemerintah perlu memikirkan wadah khusus untuk memberdayakan guru S3.
Mengapa tidak membentuk forum nasional guru bergelar doktor? Mengapa tidak ada regulasi khusus yang memberi ruang bagi mereka untuk melakukan riset, menulis buku, atau mengembangkan inovasi pembelajaran yang bisa diadopsi secara nasional?
Bukankah lebih baik negara memanfaatkan sumber daya berilmu tinggi daripada membiarkannya tenggelam dalam rutinitas administratif di sekolah?
---
Omjay dan Jalan Menuju Guru Besar
Sosok seperti Omjay (Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd) adalah contoh nyata bahwa jalan lain sebenarnya terbuka. Dengan portofolio yang kaya—aktif menulis, menjadi pembicara, dan berjejaring luas—Omjay punya peluang besar jika melangkah ke perguruan tinggi swasta (PTS) dan melanjutkan ke jenjang guru besar.
Mengapa tidak?
Mengapa seorang guru S3 tidak diberi kesempatan itu?
Bukankah justru PTS membutuhkan figur yang kaya pengalaman lapangan seperti Omjay?
Bahkan, bukan hanya Omjay. Banyak guru bergelar doktor di Indonesia yang seharusnya diberi kesempatan serupa.
---
Penutup: Jalan Panjang yang Belum Usai
Kita boleh merasa pahit melihat kenyataan. Gelar tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan penghargaan. Namun perjalanan seorang guru sejatinya bukan soal gaji dan jabatan semata.
Guru adalah panggilan jiwa.
Meski negara belum sepenuhnya adil, meski masyarakat kadang tak menghargai, tetap ada cahaya kecil di hati seorang guru: keyakinan bahwa apa yang ia lakukan adalah ibadah, adalah warisan abadi yang tidak akan pernah hilang.
Suatu saat, mungkin tidak sekarang, Indonesia akan belajar bahwa menghargai ilmu adalah menghargai masa depan bangsa. Dan ketika saat itu tiba, guru-guru bergelar doktor akan berdiri di garis depan, bukan hanya sebagai pendidik, tetapi juga sebagai pelita yang menerangi jalan generasi baru.
---
✍️ Artikel ini bukan hanya tentang kekecewaan, tetapi juga tentang harapan, syukur, dan keyakinan bahwa ilmu tidak pernah sia-sia.
Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay
Guru blogger Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar pada blog ini, dan mohon untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan yang benar.