Seorang kawan alumni ikip jakarta menuliskan pesan di wa group alumni ikip jalarta.
Ingatlah! Di Dalam Hartamu yang Sedikit Itu, Ada Hak Pejabat dan Anggota Dewan yang Terhormat
“Jangan lupa bayar pajak, karena dari situ gaji pejabat dan anggota dewan dibayarkan.”
Kalimat itu terdengar sederhana, tapi menyisakan luka bagi sebagian besar rakyat kecil. Luka yang tak terlihat, tapi terasa dalam kehidupan sehari-hari: di meja makan yang sering kosong, di biaya sekolah anak yang selalu kurang, di obat yang tak terbeli ketika sakit, hingga di dapur yang hanya mengepulkan asap dari kayu bakar tanpa ada lauk yang bisa dimasak.
Ironi ini semakin terasa ketika kita mendengar berita—betapa gaji, tunjangan, dan fasilitas anggota dewan serta pejabat negara begitu “wah”, sementara rakyat yang menjadi penopang utama melalui pajak justru terus dicekik oleh kebutuhan hidup yang tak kunjung reda.
---
Hak Siapa Sebenarnya?
Kita diajarkan sejak kecil bahwa bekerja keras adalah kunci kehidupan. Setiap rupiah yang kita dapatkan dari keringat sendiri adalah hasil yang halal, yang penuh berkah. Tetapi di negeri ini, sebelum sempat menikmati hasil jerih payah itu, sudah ada tangan-tangan tak terlihat yang siap merogoh sebagian isi kantong kita. Pajak dipungut dengan nama kewajiban negara, dan sebagian besar rakyat rela karena percaya: uang itu untuk pembangunan, untuk kesejahteraan bersama.
Namun, kenyataannya sering jauh berbeda.
Di berita, kita mendengar pejabat dengan santai menyebut tunjangan rumah Rp50 juta sebagai hal biasa. Kita membaca laporan tentang anggota dewan yang tidur saat sidang, tetapi tetap menerima gaji penuh. Kita menyaksikan kasus korupsi demi korupsi yang melibatkan orang-orang yang seharusnya menjadi teladan.
Dan saat rakyat kecil bertanya, jawaban yang datang justru menyakitkan:
“Begitulah sistem. Kalian tidak usah iri. Kalian hanya rakyat jelata.”
---
Rakyat Kecil Menyisihkan, Pejabat Menghabiskan
Mari kita bayangkan seorang pedagang gorengan di pinggir jalan. Ia bangun jam 3 pagi, menyiapkan adonan, memanaskan minyak, dan mulai berjualan sejak subuh. Dari seribu rupiah keuntungan setiap potong gorengan, ia menyisihkan sedikit demi sedikit untuk bayar kontrakan, listrik, air, sekolah anak, bahkan untuk pajak ketika membeli bahan baku.
Lalu, di ujung sana, ada seorang pejabat yang menerima gaji puluhan juta per bulan, plus tunjangan, plus fasilitas mobil dinas, rumah dinas, perjalanan dinas, bahkan uang sidang. Pertanyaannya: siapa yang lebih pantas disebut “berjasa”?
Rakyat kecil bukan hanya menyisihkan rezekinya untuk keluarganya, tetapi juga ikut menanggung biaya kehidupan mewah pejabat yang sering kali justru lupa siapa pemberi mandat sebenarnya.
---
Satir Kehidupan: Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Tapi Untuk Siapa?
Demokrasi kita bangun dengan semangat besar: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Namun, praktiknya sering berubah bunyi: dari rakyat, oleh pejabat, untuk pejabat.
Rakyat diminta bekerja keras, membayar pajak, mengikuti aturan. Tetapi ketika giliran rakyat menagih keadilan, jawaban yang datang adalah janji-janji manis yang mudah dilupakan.
Di masa kampanye, anggota dewan rela turun ke pasar, mencium tangan nenek-nenek, menyantuni anak yatim, bahkan makan di warung sederhana. Tetapi setelah kursi empuk didapat, jarak antara mereka dan rakyat seakan membentang jauh, tak terjangkau lagi.
Apakah kita, rakyat kecil, hanya dipandang sebagai “ATM berjalan” yang terus mengisi kas negara, sementara yang menikmati adalah segelintir orang yang duduk di kursi kekuasaan?
---
Kisah Omjay: Suara Guru, Suara Rakyat
Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd—yang akrab disapa Omjay—sering kali menuliskan refleksi kehidupan ini dengan kalimat sederhana tapi tajam. Sebagai guru, beliau merasakan betul bagaimana perjuangan seorang pendidik di negeri ini.
Gaji guru honorer masih jauh dari layak, padahal mereka mengabdi penuh untuk mencerdaskan bangsa. Di sisi lain, pejabat bisa dengan mudah meminta tambahan anggaran miliaran rupiah hanya untuk renovasi kantor atau studi banding ke luar negeri.
Omjay pernah menulis, “Kami guru bukan beban, justru pencetak generasi emas. Tetapi mengapa penghargaan untuk kami begitu minim?”
Kalimat itu bukan hanya keluhan, tapi juga jeritan hati jutaan guru dan rakyat kecil yang sering merasa dilupakan.
---
Hak yang Dibalikkan
Ketika mendengar kalimat: “Di dalam hartamu yang sedikit itu, ada hak pejabat dan anggota dewan yang terhormat”, hati rakyat kecil seperti ditusuk. Seolah-olah pejabat sedang mengingatkan bahwa hidup mereka bergantung pada dompet rakyat kecil.
Padahal, seharusnya terbalik: di dalam harta pejabat yang berlimpah itu, ada hak rakyat kecil yang seharusnya diperjuangkan.
Ada hak anak yatim untuk mendapat pendidikan gratis.
Ada hak ibu-ibu untuk memperoleh layanan kesehatan layak.
Ada hak petani agar harga hasil panennya tidak jatuh di bawah biaya produksi.
Ada hak nelayan untuk tidak terusik oleh kapal-kapal besar yang merampas laut mereka.
Jika konsep keadilan benar-benar ditegakkan, maka pejabat dan anggota dewan bukanlah pihak yang paling dulu menikmati pajak rakyat. Mereka seharusnya menjadi pihak terakhir, setelah kebutuhan rakyat terpenuhi.
---
Refleksi: Untuk Apa Semua Ini?
Kita tentu tidak menolak adanya pajak, gaji pejabat, atau tunjangan anggota dewan. Semua itu memang diperlukan agar roda pemerintahan berjalan. Tetapi yang membuat luka adalah ketidakadilan dalam pembagian, ketidakpekaan dalam ucapan, dan ketidakseriusan dalam bekerja.
Bayangkan jika seorang anggota dewan benar-benar hadir untuk rakyat: setiap rupiah yang mereka terima akan menjadi investasi kembali kepada rakyat. Mereka tidak akan tega tidur saat sidang, karena sadar bahwa rakyat membayar mahal setiap detik waktu mereka. Mereka tidak akan semena-mena menyebut tunjangan besar sebagai hal biasa, karena tahu di luar sana ada rakyat yang untuk makan sehari saja harus berhutang.
---
Harapan Rakyat Kecil
Rakyat kecil tidak menuntut banyak. Mereka hanya ingin:
1. Keadilan – agar harta negara tidak hanya berputar di lingkaran elite, tapi benar-benar dirasakan oleh rakyat jelata.
2. Empati – agar pejabat berhenti berkata-kata menyakitkan dan mulai mendengarkan suara hati rakyat.
3. Integritas – agar kursi kekuasaan tidak dipakai untuk memperkaya diri, tetapi untuk mengabdi sepenuh hati.
4. Perubahan nyata – agar anak-anak bisa sekolah tanpa orang tua harus menjual sawah, agar sakit bisa sembuh tanpa harus menjual motor, agar kerja keras benar-benar mendatangkan kesejahteraan.
---
Penutup: Suara Hati yang Tak Boleh Padam
Wahai pejabat, wahai anggota dewan yang terhormat, jangan lupa bahwa harta rakyat bukanlah hakmu. Itu amanah yang dititipkan. Rakyat menitipkan keringatnya agar engkau bisa bekerja untuk mereka, bukan untuk dirimu sendiri.
Janganlah sekali-kali berpikir bahwa di dalam harta rakyat yang sedikit itu ada hakmu. Justru di dalam harta yang melimpah padamu ada hak rakyat yang harus engkau perjuangkan.
Seperti kata Omjay, guru blogger Indonesia, “Kami guru, kami rakyat, kami bukan beban. Justru dari tangan-tangan kami, bangsa ini berdiri.”
Dan semoga suatu hari nanti, kita tidak lagi mendengar kalimat pahit tentang hak pejabat dalam harta rakyat, tetapi kalimat manis bahwa pejabatlah yang rela berkorban demi kesejahteraan rakyat. Karena hanya dengan itu, makna demokrasi dan keadilan sosial benar-benar hidup di negeri ini.
---
๐ Jumlah kata: ±1.210
---
Apakah Anda ingin menyebarkan tulisan ini? Silahkan dengan senang hati dan semoga dibaca oleh para pejabat korup.
Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay
Guru blogger Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar pada blog ini, dan mohon untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan yang benar.