Selamat Datang di Blog Wijaya Kusumah

Untuk Pelayanan Informasi yang Lebih Baik, maka Isi Blog Wijaya Kusumah juga tersedia di blog baru di http://wijayalabs.com

Selasa, 26 Agustus 2025

Ketika Mahasiswa.dan Pelajar Sudah Turun ke Jalan

Mahasiswa, Pelajar, dan Rakyat Turun ke Jalan: Opera Sabun Republik

Ada yang aneh di republik ini. Bukan karena harga cabai naik—itu sudah biasa. Bukan pula karena BBM naik—itu juga langganan. Yang benar-benar aneh adalah ketika mahasiswa dan pelajar akhirnya benar-benar turun ke jalan bersama rakyat.

Bukan sekadar status WhatsApp dengan font miring, bukan sekadar twit panjang penuh kutipan filsafat, apalagi sekadar demo kecil di kampus sambil menunggu nasi kotak gratis. Kali ini, mereka turun betulan. Lengkap dengan seragam putih abu-abu, jaket almamater kebanggaan, dan rakyat jelata yang wajahnya sudah lelah dihajar inflasi.

Dan begitulah, jalan raya yang biasanya penuh motor kredit, mobil cicilan, serta truk oleng berteriak "Om telolet om!" mendadak berubah jadi panggung besar: opera sabun republik.

---

Babak I: Bangkitnya Para Pewaris Reformasi

Mahasiswa yang dulu terkenal sebagai agen perubahan, kini lebih dikenal sebagai agen Shopee affiliate. Dulu mereka menulis pamflet, kini menulis caption di Instagram. Dulu lantang berorasi, kini sibuk bikin konten motivasi.

Tapi entah karena kebijakan yang makin gila, entah karena harga kuota naik, atau entah karena sudah tidak tahan melihat pejabat sibuk selfie di acara peresmian tiang listrik, mahasiswa pun kembali bangkit.

“Cukup sudah!” teriak seorang mahasiswa.
“Cukup apa?” sahut yang lain.
“Cukup screenshot harga kos-kosan semester depan! Sudah lebih mahal dari cicilan rumah subsidi!”

Mereka lalu turun. Tidak lagi sekadar berdebat di forum diskusi yang dihadiri lima orang. Tidak lagi sekadar nulis esai yang hanya dibaca dosen (dan itupun kadang tidak). Kali ini mereka turun, langsung ke jalan.

---

Babak II: Pelajar yang Bosan LKS

Tak kalah mengejutkan, pelajar SMP dan SMA ikut turun. Mereka yang biasanya ribut soal ujian, ranking, dan nilai rapor, mendadak punya isu yang lebih serius.

“Bang, harga bakso di kantin udah nggak manusiawi lagi. Tiga ribu cuma dapat kuah sama sawi, pentolnya tinggal cerita masa lalu.”

Ada pula yang membawa poster unik:

“Tugas banyak, gizi kurang, masa depan suram.”

“Kami mogok belajar sampai nasi uduk balik ke harga lima ribu.”

“Full day school, full day sengsara.”

Ironisnya, guru-guru hanya bisa geleng-geleng. Dulu mereka mengira murid yang tawuran itu sudah kelewatan. Ternyata tawuran dengan sistem jauh lebih berbahaya daripada lempar batu di jalan raya.

---

Babak III: Rakyat Jelata yang Sudah Tidak Bisa Tersenyum

Jika mahasiswa adalah api, pelajar adalah bensin, maka rakyat jelata adalah bom waktu. Bertahun-tahun mereka diam, sabar, ikhlas, pasrah, bahkan tetap bisa tersenyum meski harga sembako naik. Tapi kini, senyum itu hilang.

Pedagang kaki lima yang biasanya ramah menawarkan cilok, kini hanya mengangkat poster:
“Dagangan sepi, perut lapar, pejabat tetap pesta.”

Buruh yang dulu hanya bisa demo di depan pabrik, kini ikut turun:
“Kerja lembur tiap malam, gaji tetap pas-pasan. Yang kaya makin banyak harta, kami cuma dapat drama.”

Dan jangan lupakan ibu-ibu rumah tangga. Mereka adalah kekuatan sejati. Jika ibu-ibu sudah marah, tidak ada yang bisa menahan. Poster mereka sederhana:
“Harga minyak goreng: kami tidak lupa.”

---

Babak IV: Pemerintah Pura-Pura Kaget

Ketika rakyat benar-benar turun ke jalan, apa reaksi pemerintah? Tentu saja pura-pura kaget.

“Lho kok bisa mahasiswa dan pelajar ikut-ikutan?”
“Padahal kan kita sudah kasih subsidi konten TikTok.”
“Padahal kan kita sudah bikin hari libur baru biar semua senang.”

Beberapa pejabat bahkan berkata, “Demo ini ditunggangi!”
Ya, benar. Ditunggangi rasa lapar, ditunggangi rasa kecewa, ditunggangi cicilan yang tak kunjung lunas.

Ada pula pejabat yang mencoba menenangkan situasi:
“Kami sedang rapat membahas solusi.”
Padahal rapatnya di hotel bintang lima, dengan menu buffet, sambil live di Instagram.

---

Babak V: Satir Jalanan

Kalau dulu ada “Orasi Ilmiah”, kini muncul “Satir Jalanan”. Poster-poster rakyat penuh humor tapi menyakitkan:

“Mau makan ayam geprek, dompet menjerit.”

“Pejabat tidur nyenyak, rakyat tidur gelisah.”

“Kami tidak butuh janji, kami butuh nasi.”

“BBM naik, sabar. Pajak naik, sabar. Sabar kami sudah habis!”

“Tolong jangan salahkan kami kalau turun ke jalan, karena trotoar sudah dipakai pedagang, kursi sudah dipakai buzzer.”

Jalanan pun jadi panggung komedi. Tapi ini bukan komedi yang bikin ketawa, melainkan komedi tragis—tertawa sambil menahan air mata.

---

Babak VI: Media Sosial Jadi Senjata

Di era digital, demo tidak hanya terjadi di jalan, tapi juga di dunia maya. Mahasiswa dan pelajar tidak hanya berorasi dengan toa, tapi juga dengan thread di X, video pendek di TikTok, dan meme sarkastis di Instagram.

Satu video viral memperlihatkan seorang pelajar SMA berorasi:
“Kami belajar sejarah tentang reformasi 1998. Kami kira itu cerita masa lalu. Ternyata sekarang kami yang harus menulis bab baru!”

Netizen pun ramai-ramai berkomentar:

“Akhirnya generasi rebahan turun tangan.”

“Inilah saatnya whiteboard digital melawan whiteboard pejabat.”

“Jangan lupa upload, biar trending!”

---

Babak VII: Akhir yang Belum Tuntas

Apakah setelah demo besar-besaran ini keadaan langsung berubah? Tentu saja tidak.

Harga masih naik, janji masih banyak, solusi masih dalam rapat. Tapi setidaknya, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, rakyat tidak lagi hanya jadi penonton.

Mahasiswa, pelajar, dan rakyat bersatu. Mereka sadar, tidak ada perubahan kalau hanya diam. Tidak ada keadilan kalau hanya pasrah.

Dan yang paling penting, mereka sadar bahwa republik ini bukan milik segelintir orang di kursi empuk, melainkan milik semua yang keringatnya jatuh di jalanan.

---

Epilog: Satir Sebagai Alarm Bangsa

Tulisan ini tentu saja satir. Kita tertawa karena pahit, kita tersenyum karena getir.

Tapi siapa tahu, dari satire lahirlah kesadaran. Dari poster lucu lahirlah keberanian. Dari tawa getir lahirlah tekad untuk memperbaiki negeri ini.

Karena, kalau mahasiswa, pelajar, dan rakyat sudah benar-benar turun ke jalan, itu artinya sabar sudah habis. Dan jika sabar rakyat sudah habis, jangan salahkan siapa pun ketika republik ini benar-benar berubah—entah jadi lebih baik, atau malah jadi opera sabun tanpa akhir.

---

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar pada blog ini, dan mohon untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan yang benar.