Selamat Datang di Blog Wijaya Kusumah

Untuk Pelayanan Informasi yang Lebih Baik, maka Isi Blog Wijaya Kusumah juga tersedia di blog baru di http://wijayalabs.com

Selasa, 26 Agustus 2025

Full Day School

Full Day School dan Pendangkalan Akidah

Oleh: Akhmad Sururi (Wakil Ketua DPW FKDT Jawa Tengah)

Isu full day school atau sekolah lima hari kembali meramaikan jagat pendidikan di Jawa Tengah. Seolah menjadi bola panas, kebijakan ini memantik diskusi panjang, audiensi, bahkan demonstrasi penolakan di beberapa daerah. Walaupun belum serentak di semua kabupaten dan kota, gelombang penolakan tetap terasa nyata.

Yang paling keras menyuarakan keberatan tentu saja datang dari komunitas pendidikan keagamaan nonformal: Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ). Wajar jika mereka resah. Bagaimana tidak? Kehidupan mereka, dedikasi mereka, dan masa depan keberlangsungan pendidikan keagamaan amat bergantung pada jam belajar anak-anak di sore hari. Dan full day school jelas berpotensi menggerus ruang itu.

Kegelisahan ini bukan hal baru. Setahun lalu, demonstrasi besar pernah pecah di Simpang Lima Semarang. Aksi itu digerakkan oleh PWNU, ormas Islam, serta FKDT Jawa Tengah. Suaranya lantang: jangan sampai kebijakan lima hari sekolah mematikan madrasah sore, yang sudah menjadi denyut nadi pendidikan akhlak bangsa. Namun hari ini, kebijakan itu muncul lagi, seolah menutup mata terhadap jeritan para guru madin dan TPQ yang rela berkorban demi mendidik anak bangsa tanpa banyak menuntut balas jasa.

Pendidikan Agama: Pondasi yang Tak Boleh Rapuh

Sebagai orang yang bergelut di dunia MDT, saya merasa terpanggil untuk ikut bersuara. MDT bukan sekadar lembaga pinggiran, bukan pula tempat belajar tambahan yang bisa digantikan oleh lembaga lain. MDT dan TPQ adalah bagian integral dari sistem pendidikan nasional, meski sering kali luput dari perhatian negara.

Lembaga inilah yang dengan sabar mendidik generasi bangsa untuk mengenal Al-Qur’an, menanamkan akidah, serta membiasakan akhlak mulia. Jika pendidikan formal lebih menekankan aspek kognitif, maka MDT dan TPQ menyempurnakan dengan aspek afektif dan spiritual. Dua hal yang seringkali diabaikan, padahal justru menjadi pondasi kokoh bagi lahirnya generasi Indonesia emas.

KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, pernah menegaskan:
"Jika kalian ingin melihat kejayaan suatu bangsa, maka lihatlah akhlak generasinya. Jika akhlaknya baik, maka baiklah bangsa itu; jika akhlaknya rusak, maka rusaklah bangsa itu."

Tanpa pendidikan agama yang kuat, generasi kita akan mudah goyah. Tawuran pelajar, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, hingga tindak kriminal yang dilakukan remaja, sebagian besar berakar dari rapuhnya akhlak. Dan akhlak tak mungkin tumbuh subur bila akidah mereka dangkal.

Inilah yang saya khawatirkan dari full day school. Bukan sekadar soal durasi anak-anak di sekolah, tetapi soal tergerusnya ruang untuk memperdalam agama. Jika kebijakan ini terus dipaksakan, maka kita sedang membuka jalan bagi pendangkalan akidah generasi bangsa.

Lima Hari Sekolah: Alasan Yuridis yang Tidak Bijak

Saya memahami bahwa salah satu alasan munculnya wacana lima hari sekolah adalah penyesuaian dengan aturan lima hari kerja bagi PNS. Guru yang berstatus PNS merasa tidak adil jika harus bekerja enam hari, sementara pegawai kantor hanya lima hari.

Namun, apakah keadilan administratif ini sebanding dengan kerugian besar yang akan ditanggung bangsa? Apakah demi rasa "setara" itu, kita rela mengorbankan pendidikan agama anak-anak kita?

Pendidikan bukan sekadar urusan jam kerja, bukan pula hanya soal hak pegawai. Pendidikan adalah soal masa depan. Maka kebijakan apa pun seharusnya berpihak pada kepentingan jangka panjang bangsa, bukan kepentingan sesaat birokrasi.

KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, pernah berkata:
"Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah."

Ungkapan ini bisa ditarik relevansinya ke dunia pendidikan. Bahwa mendidik bukan soal mencari kemudahan bagi guru atau birokrasi, melainkan soal menghidupkan dan menyelamatkan generasi.

Akidah yang Dangkal, Bahaya yang Nyata

Mari kita jujur, persoalan moral anak bangsa hari ini sudah cukup memprihatinkan. Tayangan media dan berita kriminal setiap hari menyajikan bukti betapa akidah dan akhlak sebagian generasi kita kian menipis.

Jika pendidikan agama semakin dikurangi, bukankah itu sama saja menambah bahan bakar dalam bara api masalah moral ini? Kedangkalan akidah bukan persoalan ringan. Ia bisa menjelma menjadi krisis identitas, hilangnya arah hidup, bahkan mudahnya anak-anak kita dipengaruhi paham menyimpang atau radikalisme.

Karena itulah, hadirnya MDT dan TPQ menjadi mutlak. Mereka adalah benteng terakhir untuk memperkuat keyakinan, menjaga iman, serta menanamkan cinta beragama yang moderat. Tanpa itu, generasi emas Indonesia hanya akan menjadi slogan tanpa makna.

Seorang tokoh pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara, pernah menekankan:
"Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya."

Bagaimana mungkin keselamatan dan kebahagiaan itu tercapai bila akidah sebagai pondasi kehidupan justru dikorbankan?

Sinergi, Bukan Eliminasi

Kita tidak menolak inovasi pendidikan. Kita juga tidak alergi dengan program pemerintah. Tetapi, kebijakan yang menyangkut masa depan anak bangsa haruslah melalui kajian matang, bukan sekadar meniru pola kerja birokrat.

MDT dan TPQ bukan pesaing sekolah formal. Justru keduanya adalah mitra strategis. Sekolah formal membekali ilmu pengetahuan, sementara madrasah sore menguatkan iman dan ibadah. Keduanya harus berjalan beriringan, bukan saling meniadakan.

Bayangkan, jika anak-anak hanya mengandalkan pelajaran agama di sekolah formal yang jamnya sangat terbatas, apakah cukup? Tentu tidak. Maka MDT hadir untuk melengkapi. Dan ini sudah menjadi tradisi panjang bangsa kita.

Sejarah mencatat, para pendiri bangsa banyak lahir dari rahim pendidikan pesantren, madrasah, dan surau. Mereka bukan hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia. Mengapa hari ini kita justru tega mengabaikan warisan emas itu?

Jalan Tengah untuk Kemaslahatan

Oleh karena itu, program lima hari sekolah sebaiknya dikaji ulang dengan jernih. Pemerintah daerah, ormas, guru, dan masyarakat harus duduk bersama mencari jalan terbaik. Jangan sampai kebijakan yang dimaksudkan untuk efisiensi birokrasi justru mengorbankan pendidikan keagamaan.

Prinsip maslahat harus menjadi pijakan. Apalagi, Kemendikbud juga pernah menggulirkan gagasan tujuh kebiasaan anak Indonesia hebat. Salah satunya adalah membiasakan anak beribadah. Pertanyaannya: bagaimana mungkin kebiasaan itu terwujud bila ruang ibadah di lembaga nonformal justru dipersempit?

Maka, mari kita dorong sinergi. Biarkan sekolah formal berjalan sesuai kurikulumnya, dan biarkan MDT serta TPQ tetap eksis memberi penguatan agama. Bukankah tujuan akhir kita sama, yaitu mencetak generasi berilmu, berakhlak, dan berkarakter?

Penutup: Menyelamatkan Generasi

Pendidikan bukan hanya tentang mencetak orang pintar, tetapi juga manusia yang beriman dan bertakwa. Itulah yang diajarkan konstitusi kita, itulah yang diamanahkan para pendiri bangsa.

Full day school boleh jadi tampak modern dan praktis di mata sebagian orang, tetapi jangan lupa, di balik itu ada harga mahal yang harus dibayar: tergesernya pendidikan agama yang sudah terbukti menjaga moral generasi.

Jika kita abai, pendangkalan akidah hanya tinggal menunggu waktu. Dan ketika itu terjadi, penyesalan tidak lagi berguna.

Mari bersama menjaga MDT dan TPQ. Mari rawat pendidikan agama agar tetap menjadi pondasi kuat bangsa. Karena hanya dengan iman yang kokoh, ilmu yang luas, dan akhlak yang mulia, kita bisa benar-benar mewujudkan Indonesia emas 2045.

Salam blogger persahabatan 
Wijaya Kusumah - omjay 
Guru blogger Indonesia 
Blog https://wijayalabs.com

1 komentar:

  1. Bahasan yang lagi trend, ditempat saya juga mau 5 hari sekolah namun perlu dikaji ulang biar sinergi dengan para ulama, terutama dengan TPQ dan MDT

    BalasHapus

Silahkan memberikan komentar pada blog ini, dan mohon untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan yang benar.